• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pegawai Dinas Sosial

Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri sese- orang. Karakteriktik bersifat internal dan eksternal. Karakteristik internal diperoleh seseorang karena kelahirannya. Sedangkan karakteristik eksternal diperoleh dari interaksi dengan lingkungan sosialnya. Karakteristik seseorang bisa mirip tetapi tidak sama, hal inilah yang dapat menyebabkan perbedaan tingkahlaku sese- orang dengan orang lainnya pada suatu situasi.

Karakteristik ini mendasari tingkahlaku seseorang dalam situasi kerja mau- pun situasi lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1971:26). Pendapat tersebut sena- da dengan pernyataan Sumardjo (2008:89):

Sifat bawaan adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau watak mandiri yang membuat seseorang (penyuluh) berperilaku tertentu (secara otonom) dalam merespons sesuatu dengan cara tertentu, misalnya percaya diri, kontrol diri, kesiapan diri, ketahanan pada stress, ketabahan atau daya tahan.

Lebih rinci Sumardjo (2008:26) menyatakan bahwa seorang penyuluh se- harusnya mempunyai karakter konsisten, inovatif, percaya diri, berkeyakinan diri, arif, mampu bersinergi (interdependent), berwawasan luas, adil, dan beradab. Beradab berarti mampu memahami dan menghargai norma dan nilai budaya yang berlaku dan mampu berempati karenanya dalam mengemban misi atau tugas-tugasnya.

Lippitt (Mardikanto, 1993:49) menyatakan bahwa keberhasilan seorang pe- nyuluh sangat ditentukan oleh kepribadian yang tercermin dari penampilannya saat pertama kali berhadapan dengan masyarakat sasarannya (first impression).

Marius (2007:2) menyatakan bahwa pendidikan formal, pendidikan non for- mal, umur, masa kerja, sifat kekosmopolitan, pendapatan dan motivasi berpe- ngaruh nyata pada kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Nuryanto (2008:32) menguatkan bahwa motivasi, efektivitas latihan, pengem- bangan diri berpengaruh nyata pada kompetensi penyuluh.

Penyuluhan adalah proses pendidikan. Keberhasilan proses tersebut dipe- ngaruhi oleh sifat atau karakteristik pelajar dan pengajar (Jusuf, 1982:37; Padmowihardjo, 1994:90-91). Karakteristik tersebut berbeda-beda antar orang (Arboleda, 1981:ii–2). Hasil perpaduan antara karakteristik bawaan dengan

pengalaman belajar menjadikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan setiap orang (Lionberger dan Gwin, 1982:8). Pendapat keempat sumber tersebut mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar, karakteristik pelajar dan pengajar perlu diketahui. Keuntungan mengetahui karakteristik pelajar adalah sebagai panduan mulai darimana pelajaran dimulai dan apa metode yang tepat diguna-kan untuk mencapai tujuan latihan. Sedangkan diketahuinya karakteristik peng-ajar dapat menjadi faktor prediksi sejauhmana kesesuaiannya dengan proses be-lajar dan pelajarnya.

Menurut Slamet (1975:3) dalam melakukan pemenuhan kebutuhan belajar perlu diperhatikan sejumlah karakteristik, antara lain usia, tingkat pendidikan, pengalaman dan status sosial. Pendapat tersebut mempunyai beberapa kesama- an dengan karakteristik pengajar menurut Padmowihardjo (1994:90) yaitu bakat, penguasaan materi, penguasan metode, penampilan fisik, sikap mental, umur, kesehatan, dan jenis kelamin.

Memperhatikan uraian di atas, karakteristik pegawai Dinas Sosial yang dija- dikan peubah penelitian adalah umur, jenis kelamin, pendidikan formal, kejuruan pendidikan formal, status sekolah, motivasi kerja, gaji, status sosial, curahan waktu mencari informasi, dan pengalaman kerja.

Jenis Kelamin

Padmowihardjo (1994:90) menyatakan jenis kelamin berpengaruh pada efisiensi belajar. Untuk materi yang memerlukan kemampuan fisik yang kuat, se- baiknya dipilih pelajar laki-laki saja, tetapi kalau perempuan dapat melakukannya dengan baik maka materi itupun dapat diikuti perempuan. Pengaturan tersebut bukan dilandasi oleh diskriminasi, tetapi merupakan penyesuaian pada potensi. Menurut Pidara (1997:188) dalam masa perkembangan awal, anak-anak perem- puan rata-rata berkembang lebih cepat tiga tahun dari anak laki-laki sehingga mereka terlihat lebih dewasa.

Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sudah berlangsung lama dan dianggap sesuatu yang wajar. Menurut Harsiwi (2004:1) ada dua teori besar ten- tang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, yaitu teori nature dan teori

nurture. Teori nature menganggap bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis yang sudah ada sejak manusia dilahirkan. Teori nurture menganggap bahwa perbedaan psikologis antara pria dan wanita tercipta melalui proses belajar dari lingkungan, jadi tidak

dibawa sejak lahir. Masyarakat Indonesia cenderung menerima perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai hal yang alamiah, sehingga lebih dekat pada pemi-kiran teori nature.

Padmowihardjo (1994:90) menyatakan, dalam pelaksanaan pekerjaan, da- pat dilihat tiga kondisi pencapaian (1) laki-laki dan perempuan berkemampuan sama misalnya dalam prestasi akademis, (2) laki-laki lebih unggul dari perem- puan misalnya dalam penggunaan otot dan tenaga, (3) perempuan lebih unggul dari laki-laki misalnya dalam pekerjaan yang memerlukan kesabaran antara lain keperawatan.

Selanjutnya Harsiwi (2004:2) menyatakan bahwa semua teori tentang pem- bagian kerja yang menganggap wanita lebih lemah atau bahkan lebih rendah dari pria tampaknya perlu dipertanyakan, sebab yang diinginkan wanita bukanlah mereka harus sama dengan pria, melainkan semacam pengakuan serta peng- hargaan atas kemampuannya. Wanita dan pria tidak bisa disamakan dalam se- gala hal, namun tidak perlu dipertanyakan siapa yang lebih unggul dan siapa yang lebih lemah, melainkan perbedaan keduanya itu hendaknya saling meleng- kapi kedua pihak.

Pendapat di atas penting dipahami, karena Barry (Harsiwi, 2004:2) menya- takan, di sektor formal peranan perempuan pekerja biasanya jauh lebih kecil dan menduduki posisi yang kurang penting. Hal ini sering dikaitkan dengan kemam- puan perempuan yang lebih terbatas, yang seringkali merupakan cerminan dari pendidikannya.

Umur

Hasil penelitian Sachie (Salkind, 1985:32) menunjukkan bahwa perbedaan umur membawa perbedaan dalam kematangan. Salkind (1985:31) menyatakan bahwa umur kronologis merupakan acuan untuk mengetahui tingkat perkem- bangan individu. Hal itu karena umur kronologis mudah dan akurat ditentukan, sehingga tingkat perkembangan individu dapat diamati dengan menggunakan kri- teria munculnya kinerja atau kemampuan tertentu dalam umurnya.

Umur erat hubungannya dengan kinerja. Alasannya adalah produktivitas seseorang akan merosot dengan makin tuanya seseorang, karena kecepatan, kecekatan, kekuatan, koordinasi merosot dengan perjalanan waktu, selain faktor kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual juga akan mengurangi produktivitas.

Havighurst (Pidara, 1997:189-190) memberikan perspektif berbeda terha- dap fase perkembangan individu terkait umur. Fase-fase tersebut melahirkan tugas-tugas perkembangan yang berbeda pada masa kanak-kanak, masa anak- anak, masa remaja, masa dewasa awal, masa setengah baya, masa orang tua. Tugas perkembangan tiga masa terakhir adalah:

1) Masa dewasa awal: Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertang- gung jawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik.

2) Masa setengah baya: Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga negara yang baik, membangun serta mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu seng- gang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan dengan pertambahan umur.

3) Masa orang tua: Menyesuaikan diri dengan semakin menurun- nya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri pada menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.

Klausmeier dan Goodwin (1966:97) menyatakan bahwa umur pelajar dan pengajar merupakan salah satu karakteristik penting dalam efisiensi belajar. Pen- jelasannya diungkapkan oleh Padmowihardjo (1994:36):

Kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual se- menjak dilahirkan sampat saat kedewasaan atau sekitar usia 25 ta- hun. Selanjutnya kemampuan belajar akan menurun secara gradual dan terasa sangat nyata setelah masa kedewasaan tercapai sampai usia 55 – 60 tahun, kemudian setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.

Gambar 3 pada halaman berikut ini memperlihatkan hubungan antara umur dan kemampuan belajar, sehingga dapat dipahami bagaimana gambaran pe- ningkatan dan penurunan kemampuan belajar pada umur tertentu.

Gambar 3 Hubungan umur dengan kemampuan belajar Sumber: Padmowihardjo, 1994:36

Hubungan antara umur dan kemampuan belajar tersebut bukan disebabkan oleh tingkat kecerdasan, tetapi oleh fungsi kerja otot yang dapat dilihat dari fungsi kerja indera, misalnya penglihatan dan pendengaran yang mana melalui indera inilah rangsangan belajar masuk dalam tubuh seseorang. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain.

Dari berbagai uraian tentang umur, dapat diringkas bahwa pertambahan umur akan mempengaruhi kemampuan fisik dan belajar. Kemampuan tersebut akan bertambah dan mencapai puncaknya pada usia dewasa, dan selanjutnya mengalami penurunan. Perkembangan (penambahan dan pengurangan kemam- puan) tersebut harus disesuaikan dengan tugas-tugas perkembangan yang dipi- kul oleh setiap orang dalam setiap fase kehidupannya.

Pendidikan Formal

Pendidikan berarti usaha mengubah perilaku agar muncul perilaku baru yang dikehendaki. Usaha tersebut dapat ditempuh dengan pendidikan formal da- lam bentuk sekolah dasar, menengah dan tinggi dengan berbagai kejuruan sesu- ai minat. Pendidikan non formal berupa penyuluhan, latihan, pembinaan, bim- bingan. Sedangkan pendidikan informal dialami warga masyarakat dalam kehi- dupan mereka sehari-hari, antara lain melalui media massa (Slamet, 2003:12).

Morgan et al., (1963:1) menyatakan program pendidikan yang baik akan membuat perbedaan besar dalam standar hidup, kebudayaan dan kebebasan suatu bangsa. Franklin (Morgan et al., 1963:3) menyatakan bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat terwujud apabila didukung oleh pendidikan yang

10 20 30 40 50 60 70 Kemampuan

belajar

baik. Sejalan dengan hal tersebut, Slamet (2003:12) mengungkapkan bahwa masyarakat perlu dipersiapkan melalui program-program pendidikan agar mam- pu menerima dan berpartisipasi secara aktif dalam setiap usaha pembangunan.

Pendidikan formal terdiri atas jenjang dasar, menengah dan tinggi. Dengan mengikuti lama tahun dalam setiap jenjang, tingkat pendidikan formal seseorang dapat dikelompokkan:

1) Dasar, apabila menyelesaikan pendidikan di sekolah selama 6 tahun efektif di sekolah dasar.

2) Menengah, apabila seseorang menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih dari 6 tahun sampai dengan 12 tahun efektif (SD, SMP, SMA)

3) Tinggi, apabila seseorang menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih dari 12 tahun (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi atau akademi).

Kejuruan Pendidikan Formal

Jenis pendidikan formal yang paling sesuai bagi Penyuluh Sosial adalah kejuruan penyuluhan, karena dalam kejuruan tersebut mereka disiapkan untuk menguasai kerangka pengetahuan, sikap dan keterampilan mengubah perilaku melalui proses pendidikan non formal.Untuk memperkuat kemampuan Penyuluh Sosial yang berlatar belakang kejuruan penyuluhan, mereka perlu diikutsertakan dalam berbagai latihan intensif tentang penanggulangan masalah kesejahteraan sosial.

Selain itu karena substansi/materi penyuluhan sosial adalah penanggu- langan masalah kesejahteraan sosial, maka kesejahteraan sosial merupakan ke- juruan yang sesuai juga bagi penyuluh sosial. Untuk membangun kemampuan Penyuluh Sosial yang berlatar belakang kejuruan kesejahteraan sosial, mereka perlu diikutsertakan dalam berbagai latihan intensif untuk membangun kompeten- si menyuluh.

Status Sekolah

Sampai saat ini di masyarakat masih terdapat persepsi yang beragam pada kualitas sekolah atau lembaga pendidikan formal negeri dan swasta. Ada yang menganggap sekolah negeri lebih baik, tetapi ada juga yang menyatakan sekolah swasta lebih berkualitas. Ukuran-ukuran kualitas dalam lembaga pendidikan biasanya dikaitkan dengan proses belajar, peserta belajar, tenaga pengajar, sarana, prasarana, biaya, dan manajemen organisasi.

Meskipun persepsi tersebut bisa berbeda, tetapi masyarakat luas juga me- mahami bahwa pada kedua lembaga pendidikan formal tersebut, ada yang ber- kualitas dan ada juga yang kurang berkualitas. Pemahaman yang sama juga ter- bentuk pada saat obyeknya adalah biaya pendidikan, yaitu sekolah swasta me- merlukan biaya pendidikan yang berasal dari siswanya dalam jumlah yang lebih banyak daripada sekolah negeri.

Terlepas dari perbedaan dan persamaan persepsi tersebut, sebenarnya ke- duanya adalah lembaga pendidikan formal yang berkedudukan setara dalam pe- nyelenggaraan pendidikan. Keduanya adalah sarana untuk mencapai salah satu tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam penelitian ini, peubah status sekolah diteliti bukan untuk mencari ja- waban mana yang lebih berkualitas diantara sekolah swasta dan negeri, tetapi ingin mencari jawaban atas`pertanyaan bagaimana tingkat kesepakatan pegawai Dinas Sosial yang lulusan sekolah swasta dan negeri pada kebutuhan latihan dalam penyuluhan sosial.

Motivasi Kerja

Motif adalah dorongan, hasrat, keinginan dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu (Sobur, 2003:267). Sedangkan motivasi adalah upaya yang dilakukan manusia yang menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan sesuatu, karena itu setiap tindakan memiliki motif atau dorongan (Padmowihardjo, 1994:135).

Steers et al.,(1996:8) menyatakan bahwa dalam membahas motivasi, per- hatian harus difokuskan pada:

Apa yang mendasari/mendorong/memberi tenaga pada perilaku manusia? Apa arah atau saluran perilaku? Bagaimana perilaku ter- pelihara dan berkesinambungan? Ketiga aspek itulah yang menjadi faktor-faktor penting dalam memahami perilaku manusia dalam be- kerja.

Motivasi kerja adalah sekelompok pendorong yang mempunyai ciri berasal dari dalam dan luar individu, dapat menimbulkan perilaku kerja, dan juga dapat menentukan bentuk, tujuan, intensitas, dan lamanya perilaku kerja (Pinder dalam

Donovan,2001:53). Arti yang mirip dinyatakan Slamet (tt:1) yaitu kondisi-kondisi di dalam dan di luar individu yang menyebabkan adanya keragaman dalam inten- sitas, kualitas, arah, dan lamanya perilaku kerja. Dari dua definisi yang mirip

tersebut, motivasi kerja dapat diartikan sebagai kondisi-kondisi di dalam dan di luar individu yang menjadi pendorong atau penyebab bentuk, tujuan, intensitas, arah, dan lamanya perilaku kerja.

Slamet (tt: 4-10), Wirawan (2009:1-6), Steers et al., (1996:57) mengung- kapkan tiga teori yang berkenaan dengan motivasi kerja yaitu teori pengharapan (expectancy theory), teori kesamaan atau keseimbangan (equity theory), dan teori penentuan-tujuan (goal setting theory).

Menurut teori pengharapan, orang akan termotivasi untuk bekerja dengan baik bila ada peluang untuk mendapatkan insentif. Besar kecilnya motivasi kerja tergantung pada nilai insentif tersebut pada masing-masing individu. Insentif ter- sebut ada tiga jenis yaitu insentif materil misal bantuan keuangan, atau tugas tambahan yang lebih sedikit. Insentif solidaritas misal penghargaan dari organi- sasi dan anggotanya. Terakhir adalah insentif yang sesuai dengan tujuan organi- sasi, misal mendapat tugas yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus, atau kesempatan untuk mengembangkan kemampuan. Dalam teori ini terdapat tiga konsep penting: (1) Nilai, setiap bentuk insentif punya nilai positif atau negatif bagi seseorang, juga apakah nilai itu besar atau kecil bagi sese- orang. (2) Instrumentalitas, adanya hubungan antara pekerjaan yang harus dila- kukan dengan dengan harapan yang dimiliki. Jika pekerjaan dilihat sebagai alat untuk mendapatkan apa yang diharapkan, maka timbul motivasi kerja. (3) Peng- harapan, persepsi tentang besarnya kemungkinan keberhasilan mencapai tujuan atau hasil kerja.

Teori kesamaan atau keseimbangan menyatakan bahwa orang cenderung akan membandingkan insentif atau rewards yang diperolehnya dengan yang di- peroleh orang lain yang mempunyai beban kerja serupa. Jika besarnya insentif dua orang itu sama maka akan muncul motivasi kerja, jika lebih kecil akan mun- cul rasa kecewa yang mengurangi motivasi kerja, jika seseorang menerima lebih banyak maka akan termotivasi lebih kuat. Menurut teori ini, orang cenderung untuk selalu melihat rasio antara beban kerja (effort) dengan penghargaan yang diterimanya. Bila seimbang antara keduanya maka orang akan merasa puas, bila sebaliknya akan merasa tidak puas atau kecewa, akibat selanjutnya adalah me- nurunnya motivasi kerja.

Teori penentuan–tujuan menyatakan bahwa orang termotivasi untuk men- capai tujuan yang jelas, sebaliknya orang akan bermotivasi kerja rendah bila tujuan dari pekerjaannya tidak jelas. Orang yang tugasnya punya tujuan jelas

dan lebih “menantang”, akan menunjukkan motivasi kerja yang lebih besar dari orang yang tujuan tugasnya kabur atau terlalu mudah untuk mencapainya.

Berdasarkan tiga teori tersebut, untuk menumbuhkan motivasi kerja pega- wai Dinas Sosial dalam melakukan penyuluhan adalah: (1) Memberikan insentif material, insentif solidaritas, dan insentif yang sesuai dengan tujuan organisasi yang dinilai positif dan relatif besar oleh pegawai tersebut. (2) Menyesuaikan rasio atau perbandingan antara insentif dengan beban kerja, memberikan insentif yang sama kepada pegawai dengan beban kerja yang sama. (3) Memperjelas tugas dan tujuan pekerjaan yang diemban oleh pegawai, memberikan pekerjaan yang “menantang” kepada pegawai bersangkutan. Ketiga hal tersebut dapat dija- dikan indikator untuk mengetahui motivasi kerja pegawai.

Herzberg (Steers et al., 1996:17), Sobur (2003:281-282) menyatakan ter- dapat dua faktor yang berkaitan dengan kepuasan dan ketidakpuasan kerja:

Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja disebut motivator yang meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi. Jika motivator tersebut ditanggapi secara positif, maka pekerja cen- derung merasa puas dan termotivasi. Namun jika faktor tersebut kurang atau tidak ada di tempat kerja, maka pekerja akan kekurangan motivasi tetapi tidak berarti tidak puas dengan pekerjaan mereka. Faktor yang berpengaruh pada ketidakpuasan kerja disebut higienis yang meliputi gaji, pengawasan atau supervisi, keamanan kerja, kon- disi kerja, administrasi, kebijakan organisasi, hubungan antarpribadi dengan rekan kerja, atasan, bawahan. Jika faktor higienis ditanggapi secara positif, maka pekerja tidak mengalami kepuasan atau termoti- vasi, tetapi jika kurang atau tidak ada, maka pekerja akan merasa tidak puas.

Identifikasi faktor motivator dan higienis dalam pekerjaan penyuluh sosial dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana Penyuluh Sosial termotivasi da- lam melaksanakan pekerjaannya.

Curahan Waktu Mencari Informasi

Seorang penyuluh haruslah orang yang kosmopolit, yaitu sifat yang melekat pada seseorang yang ditandai dengan luasnya relasi atau kenalan, pengetahuan dan minat (Lionberger dan Gwin, 1982:219). Tentang kekosmopolitan Rogers (2003:260-261) mengemukakan:

Kekosmopolitan termasuk dalam peubah yang menunjukkan hubung- an positif dengan derajat difusi inovasi seseorang. Kekosmopolitan seseorang sangat menentukan percepatan proses adopsi inovasi, se- makin kosmpolit seseorang maka semakin cepat mengadopsi inovasi.

Mengingat penyuluh adalah agen pembaharu yang sedikit banyaknya selalu terkait dengan perubahan perilaku melalui difusi inovasi, maka kekosmopolitan merupakan karakteristik penting bagi penyuluh so- sial.

Pengukuran kekosmopolitan penyuluh sosial yang relatif mudah ditunjuk- kan oleh van den Ban (Jahi, 1988:45) yaitu banyaknya penggunaan media massa, karena ia adalah atribut lain kekosmopolitan.

Dari penjelasan tentang kekosmopolitan tersebut, dapat ditarik hal penting, yaitu penyuluh haruslah orang yang bersedia mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari informasi dari media massa (media cetak, elektronik, baru).

Jika penyuluh mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari informasi, maka ia terdedah informasi, sehingga mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan mutakhir, mempunyai minat yang beragam, dan akses lebih luas pada relasi individual dan kelembagaan yang dapat digunakan dalam rangka proses pendi- dikan non formal kepada sasaran penyuluhan.

Gaji

Gaji yang diperoleh dari tempat bekerja adalah sumber keuangan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan mengikuti teori kebutuhan manusia, jumlah gaji yang dinyatakan dalam suatu mata uang, merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan secara berjenjang yaitu fisiologis, rasa aman, kasih sayang, peng- hargaan, dan aktualisasi diri.

Meskipun tidak selalu melibatkan uang, kebutuhan dasar manusia tersebut akan jauh lebih mudah dipenuhi secara layak (kuantitas dan kualitas) jika terse- dia sejumlah uang sebagai wujud jumlah gaji. Dengan demikian jumlah gaji pegawai Dinas Sosial turut menentukan kuantitas dan kualitas kebutuhan yang terpenuhi, juga yang tidak terpenuhi. Dalam kondisi normal, mudah diterima bah- wa jumlah gaji berkorelasi positif dengan kuantitas dan kualitas kebutuhan terpe- nuhi, dan berkorelasi negatif dengan kuantitas dan kualitas kebutuhan tidak ter- penuhi.

Demikian pentingnya gaji, sehingga Herzberg dalam teori motivasi dua fak- tor memasukkannya sebagai salah satu unsur dalam faktor higienis yang apabila tidak ada atau dipersepsi kurang akan menyebabkan munculnya ketidakpuasan kerja.

Status Sosial

Pada setiap masyarakat terdapat penghargaan tertentu pada hal-hal terten- tu. Jika masyarakat memandang kekayaan material sebagai hal penting, maka hartawan akan masuk dalam kedudukan yang lebih tinggi. Demikian juga pada masyarakat yang memandang tinggi kepandaian, keturunan, kehormatan, usia dan sebagainya.

Dari situlah sistem lapisan dalam masyarakat (stratifikasi sosial) terbentuk. Sistem lapisan tersebut bisa terbuka atau tertutup. Dalam sistem tertutup, terda- pat pembatasan mobilitas vertikal, cara seseorang untuk masuk ke dalam sistem adalah kelahiran. Sistem lapisan tertutup digunakan antara lain pada masyarakat yang mengenal kasta, misalnya di India dan Bali. Sebaliknya dalam sistem lapis- an terbuka, setiap orang punya kesempatan untuk mobilitas vertikal berdasarkan kecakapan.

Unsur lapisan masyarakat adalah status sosial dan peranan (Soekanto, 2005:239-246):

Status sosial atau kedudukan adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, di dalamnya melekat hubungan dengan orang lain, prestise, hak dan kewajibannya. Peranan merupakan as- pek dinamis dari status sosial. Jika seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya maka dia menjalankan suatu peranan. Status sosial dan peranan tidak dapat dipisahkan, ka- rena satu sama lain saling tergantung, tidak ada peranan tanpa status sosial dan tidak ada status sosial tanpa peranan.

Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam status sosial ya- itu ascribed status yang diperoleh melalui kelahiran, dan lebih berkembang da-

Dokumen terkait