• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

MOKHAMAD O. ROYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Hubungan Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial, adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun, kecuali bahan rujukan yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2009

(3)

Servants at the Social Affair in South Kalimantan and the Training Needs in Social Extension. Under the Supervision of AMRI JAHI, DARWIS S. GANI, DJOKO SUSANTO, and I GUSTI PUTU PURNABA.

Social extension training to improve the competence of civil servants at the social affair must be designed according to the training needs and charac-teristics of the related employees. The research objectives were first to present the distribution of civil servants at the social affair in terms of their characteristics under observation; second, formulate in ranks the needs of civil servants for training on social extension; then determine the degree of agreement among the civil servants on a number of characteristics in the social extension training; and finally set up a valid and reliable instrument to determine the needs of social extension training. This study was a descriptive research to describe the cha-racteristic variable and training variable and examine the relationship between both variables. The smallest unit of observation was the Civil Servants at the Social Affair in South Kalimantan, with the population of 502 people. A simple random sampling was applied to obtain 228 people as the samples. Frequency distribution was used to analyze the data, ranking of scores and Kendall W’s con-cordance to rank the training needs, Kendall W’s concon-cordance and Kendall’s correlation rank t to determine the degree of agreement among the civil servants on some characteristics of training needs, Cronbach’s Alpha and variant analysis to measure the reliability of the instrument in determining the training needs. The research obtained the following results. First, the female civil servants at the So-cial Affair in South Kalimantan were fewer in number and had more limited positions and roles than male employees in the organizational structure. Nearly half of the employees were of inadequate education for extension activities. There was a lack of employees with formal education on social welfare and ex-tension. Slightly over one third had a low working motivation. One third had low income. A little over half of the civil servants were in the middle-to-lower social status. Second, the training needs from the first to the third ranks were the under-standing of cultural differences, leadership, and extension principles. Next, based on the level and fields of formal education, there was a potential difference in the training needs. Finally, the four types of instruments used in the research were valid and reliable for the measurement of the needs in social extension training. The research gives the following recommendations. First, civil servants develop-ment should be conducted by improving the appreciation and recognition system. It is also urgently necessary to recruit functional officials for social extension. Second, the role of training should be improved to create polyvalent social exten-sion. Further, it is essential to design a social extension training to accommodate the differences in training needs by separating extension materials into basic and optional categories. Finally, in choosing one of the four instruments which are relatively equal in validity and reliability in the need analysis of social extension training, it is important to consider the characteristics of intended training needs. Key Words: Characteristics, training needs, social extension, instruments for

(4)

Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial.” Dibimbing oleh AMRI JAHI, DARWIS S. GANI, DJOKO SUSANTO, dan I GUSTI PUTU PURNABA.

Posisi penyuluhan dan penyuluh sosial dalam penyelenggaraan kesejahte-raan sosial adalah penting. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Ke-sejahteraan Sosial menyatakan bahwa penyuluh sosial bersama dengan pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, dan relawan sosial adalah sumber daya manusia dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Peran penyuluh sosial dalam posisi tersebut adalah menyelenggarakan pendidikan non formal untuk mengubah perilaku penyandang masalah kesejahte-raan sosial (PMKS) agar tahu, mau, dan mampu melakukan proses pemecahan masalah, menggali dan memanfaatkan kesempatan, peluang, serta sumber daya diri dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan. Sasaran perubahan juga melipu-ti unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat agar tahu, mau, dan mampu melakukan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, dan jaminan sosial.

Berdasarkan pada posisi dan peran tersebut, penyuluhan sosial harus diar-tikan dan dilakukan sebagai proses perubahan perilaku melalui pendidikan non formal untuk mewujudkan kondisi warga negara yang terpenuhi kebutuhan mate-rial, spiritual, dan sosial yang layak sesuai harkat dan martabat manusia.

Tantangan yang dihadapi penyuluhan dan penyuluh sosial adalah jumlah PMKS yang besar, kerumitan dalam penanganan, munculnya masalah baru, serta terbatasnya jumlah dan sebaran Pejabat Fungsional Penyuluh Sosial. Keterbatasan tersebut secara langsung menyebabkan penyuluhan sosial di dae-rah dilakukan oleh pegawai Dinas Sosial non Pejabat Fungsional Penyuluh Sosi-al. Pengamatan pada praktik penyuluhan yang dilakukan pegawai tersebut me-nunjukkan terdapat persepsi yang kurang tepat pada penyuluhan dan kompe-tensi menyuluh yang lemah, sehingga penyuluhan cenderung dilakukan sebagai proses informatif semata yang sulit untuk mengubah perilaku sasaran penyuluh-an.

Tiada jalan lain untuk meningkatkan kompetensi menyuluh kecuali proses belajar, antara lain melalui latihan. Latihan penyuluhan sosial yang diikuti pega-wai Dinas Sosial telah dan sedang dilakukan, tetapi kurang efektif. Kondisi itu terjadi karena latihan dirancang tidak menggunakan informasi karakteristik dan kebutuhan latihan aktual yang dirasakan pegawai Dinas Sosial. Hal itu karena kedua jenis informasi tersebut tidak tersedia. Salah satu penyebabnya adalah belum ada instrumen untuk menentukan kebutuhan latihan penyuluhan sosial.

(5)

sepakatan pegawai Dinas Sosial pada sejumlah karakteristik yang diamati pada kebutuhan latihan penyuluhan sosial. (4) menetapkan instrumen yang sahih dan andal untuk mengukur kebutuhan latihan penyuluhan sosial.

Unit analisis adalah pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan. Ukuran populasi 502 orang. Sampel diambil secara acak sederhana (simple random sampling) dari populasi, ukurannya ditentukan dengan rumus Slovin pada α= 0.05, berjumlah 228 orang.

Penelitian dirancang secara deskriptif untuk menjelaskan peubah X yaitu karakteristik pegawai Dinas Sosial, menjelaskan peubah Y yaitu kebutuhan latih-an penyuluhlatih-an sosial, dlatih-an menjajagi hubunglatih-an latih-antara peubah X denglatih-an peubah Y. Rancangan tersebut diterapkan dalam bentuk survei pada pegawai Dinas Sosial selaku pelaksana penyuluhan sosial, dan sekaligus calon potensial peser-ta latihan penyuluhan sosial.

Data dikumpulkan dengan menggunakan empat macam instrumen. Untuk keperluan tersebut, total anggota sampel berukuran 228 orang ditempatkan se-cara acak ke dalam empat kelompok, tiap kelompok berjumlah 57 orang. Selan-jutnya, secara acak pula ditetapkan penggunaan instrumen untuk setiap kelom-pok sampel, sehingga setiap kelomkelom-pok mengisi instrumen yang berbeda. Kelom-pok I mengisi instrumen dua sisi yang mengukur kemampuan aktual menyuluh, dan pentingnya kemampuan menyuluh. Kelompok II, instrumen satu sisi yang mengukur pentingnya kemampuan menyuluh. Kelompok III, instrumen satu sisi yang mengukur kemampuan aktual menyuluh. Kelompok IV, instrumen satu sisi yang mengukur kuantitas kebutuhan latihan menyuluh.

Data dikumpulkan pada tanggal 13 Oktober–14 Nopember 2008 di 11 ka-bupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Kota Banjarmasin dan Banjarbaru, Kabupaten Barito Kuala, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong.

Data yang dikumpulkan adalah karakteristik pegawai Dinas Sosial yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan formal, kejuruan pendidikan formal, status sekolah, motivasi kerja, curahan waktu untuk mencari informasi, gaji, status sosial, dan pengalaman kerja. Data lainnya adalah kebutuhan latihan pe-nyuluhan sosial yang meliputi aksi sosial, keragaman budaya, program penyu-luhan, sumber daya dan kebutuhan PMKS, mengelola informasi, relasi interper-sonal, landasan penyuluhan, kepemimpinan, organisasi kerja, dan profesionalis-me.

Analisis data yang digunakan adalah distribusi frekuensi untuk menghitung kasus dan persentase karakteristik pegawai Dinas Sosial. Skor tertimbang dan konkordansi Kendall W untuk memeringkatkan kebutuhan latihan, dan menentu-kan derajat kesepakatan pemeringkatan kebutuhan latihan. Konkordansi Kendall W dan korelasi rank Kendall τ untuk menentukan derajat kesepakatan pegawai pada karakteristik yang diamati pada kebutuhan latihan. Cronbach’s Alpha dan analisis varian untuk menentukan koefisien keandalan, dan galat ukur.

(6)

Selatan dalam penyuluhan sosial yang menempati peringkat pertama sampai ketiga adalah pemahaman keragaman budaya, kepemimpinan, dan landasan penyuluhan. (3) Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan berdasarkan tingkat pendidikan formal, dan kejuruan pendidikan formal menunjukkan adanya potensi perbedaan kebutuhan latihan. (4) Keempat jenis instrumen yang digunakan da-lam penelitian ini sahih dan andal untuk mengukur kebutuhan latihan dada-lam pe-nyuluhan sosial.

Saran yang diajukan adalah (1) pengembangan pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan perlu dilakukan melalui perbaikan sistem pengakuan dan penghargaan (recognition system) yang meliputi penyusunan uraian pekerjaan, peningkatan kompetensi, perumusan indikator penilaian prestasi kerja yang jelas dan terukur, pengembangan karir berdasarkan prestasi, penyediaan fasilitas kerja yang lengkap dan berkualitas, serta insentif yang memadai. Selain itu, Dinas Sosial perlu segera melakukan rekruitmen untuk mengisi kekosongan for-masi jabatan fungsional penyuluh sosial. (2) Dinas Sosial di Kalimantan Selatan serta Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Banjarmasin perlu bekerjasama lebih baik, untuk meningkatkan peran latihan dalam mewujud-kan pegawai Dinas Sosial yang memiliki kompetensi penyuluh sosial polivalen. (3) Latihan penyuluhan sosial perlu dirancang untuk mengakomodasi perbedaan latihan menurut tingkat dan kejuruan pendidikan formal, dengan cara memilah materi latihan ke dalam kelompok materi dasar (mayor) dan minor. Rekruitmen peserta latihan penyuluhan sosial perlu didasarkan pada paduan karakteristik tingkat dan kejuruan pendidikan formal. Widyaiswara yang akan menjadi instruk-tur latihan, perlu mengikuti Training of Trainers Penyuluhan Sosial yang sebaik-nya diselenggarakan oleh Pusdiklat Kesejahteraan Sosial bekerjasama dengan perguruan tinggi terkemuka dalam penyuluhan pembangunan. Widyaiswara pada saat melakukan tugas selaku instruktur latihan, perlu mendapat supervisi dari pakar penyuluhan pembangunan dan pakar pekerjaan sosial. (4) Keputusan un-tuk memilih satu dari empat macam instrumen yang relatif sama sahih dan andal dalam menentukan kebutuhan latihan penyuluhan sosial, perlu didasarkan pada pertimbangan sifat kebutuhan latihan yang ingin diketahui.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

MOKHAMAD O. ROYANI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup

: Dr. Joyakin Tampubolon, M.Si.

Penguji pada Ujian Terbuka

: Dr. Marjuki, M.Sc.

(10)

Nama : Mokhamad O. Royani

NIM : P061050121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A. Anggota

Prof. (R.) Dr. Djoko Susanto, S.K.M. Anggota

Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, D.E.A. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

x

Puji syukur ke Hadirat Alloh SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi yang berjudul Hubungan Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial dapat penulis selesaikan.

Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan terima kasih menda-lam kepada Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. (R.) Dr. Djoko Susanto, S.K.M., Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A., Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, D.E.A. selaku Anggota Komisi Pembimbing. Keempatnya adalah guru yang mumpuni dalam ilmunya, serta arif dalam membimbing dan menguji.

Terima kasih kepada Dr. Marjuki, M.Sc. selaku Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Departemen Sosial atas tugas belajar dan beasiswa yang diberi-kan kepada penulis, juga selaku Penguji Luar Komisi bersama Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S. M.Ec. pada Ujian Terbuka tanggal 9 Juli 2009. Terima kasih kepada Dr. Joyakin Tampubolon, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup tanggal 27 Mei 2009 dan juga selaku Juri bersama Dr. Sri Tjahyorini, M.Si. dan Edi Suharto, Ph.D. yang menilai dan membantu mewujudkan kesahihan instru-men penelitian.

Terima kasih kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Dekan Sekolah Pascarsarjana, dan Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan beserta Dosen dan Staf atas pelayanan dalam pro-ses belajar. Juga kepada Kepala dan Staf BBPPKS Banjarmasin, Kepala dan Staf Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial atas dukungannya sela-ma melaksanakan tugas belajar, serta Kepala dan Staf Dinas Sosial/nomenklatur sejenis di Kalimantan Selatan yang memberikan data dan informasi yang diperlu-kan dalam penulisan disertasi ini.

Terima kasih kepada Drs. Chusnan Yusuf, Drs. Agus Supardjo, M.Pd. dan Drs. Hasbullah M.Si. yang memotivasi dan memfasilitasi penulis untuk terus belajar, serta Dra. Hj. Badriyah, M.A.P. yang memberi semangat, dukungan dan bantuan tidak ternilai dari awal sampai akhir studi. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Teddy Rachmat Muliady, M.M., Dr. Lukman Effendy, M.Si., Dra. Diah Retna Puspita, M.Hum. yang berbagi suka dan duka dalam belajar. Juga kepada Dr. Ir. Sumaryo, M.Si., Dr. Sapja Anantanyu, S.Pd. M.Si. dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi Penyuluhan Pembangunan, dan Bara III/31 yang tidak dapat dise-butkan satu per satu, atas berbagai pengalaman akademis dan persahabatan yang menyenangkan.

Kepada kedua orang tua penulis –Endan Sulaeman dan Waway Kusdiarni– atas kasih sayang dan doanya yang tiada henti; kakak dan adik-adik atas sena-sib dan sepenanggungannya; Riva Liskurniati, S.E. istri yang sabar dan sukses menjadi orang tua tunggal sementara untuk kedua putri terkasih –Nadia Nimaskusuma Royani dan Najwa Adzanikusuma Royani– penulis ucapkan terima kasih tak terkira.

Semoga Alloh Yang Maha Pengasih dan Penyayang memberi pahala sebe-sar-besarnya kepada berbagai pihak tersebut, atas segala kebaikannya kepada penulis.

(12)

Penulis lahir di Bandung pada tanggal 15 April 1967, sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Endan Sulaeman dan Ibu Waway Kusdiarni. Pendidikan sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB dan mendapat gelar Magister Sains pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2005. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Sosial.

Penulis bekerja sebagai staf Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Banjarmasin dari tahun 2001 sampai sekarang. Sebe-lumnya, sejak tahun 1992 sampai dengan 2001 bekerja di Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Selatan, pada Seksi Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban Narkotika, dan Seksi Rehabilitasi Penyandang Cacat.

(13)

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang Penelitian... 1

Masalah Penelitian ... 7

Tujuan Penelitian... 9

Manfaat Penelitian... 10

Definisi Istilah ... 11

TINJAUAN PUSTAKA ... 12

Karakteristik Pegawai Dinas Sosial ... 12

Jenis Kelamin ... 13

Umur ... 14

Pendidikan Formal ... 16

Kejuruan Pendidikan Formal ... 17

Status Sekolah... 18

Motivasi Kerja ... 18

Curahan Waktu Mencari Informasi ... 20

Gaji ... 21

Status Sosial... 22

Pengalaman Kerja ... 23

Instrumen Penentuan Kebutuhan Latihan ... 24

Lingkup Kebutuhan Latihan Penyuluhan Sosial ... 32

Aksi Sosial ... 35

Keragaman Budaya ... 40

Program Penyuluhan ... 41

Sumber Daya dan Kebutuhan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial... 49

Mengelola Informasi ... 51

Relasi Interpersonal... 54

Landasan Penyuluhan ... 57

Kepemimpinan... 63

Organisasi Kerja ... 73

(14)

KERANGKA PEMIKIRAN... 93

METODE PENELITIAN ... 96

Populasi dan Sampel... 96

Disain Penelitian ... 97

Data dan Instrumentasi ... 98

Kesahihan dan Keandalan Instrumen ... 102

Pengumpulan Data ... 105

Analisis Data... 105

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 110

Hasil... 110

Distribusi Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan pada Sejumlah Karakteristik yang Diamati ... 110

Kebutuhan Latihan Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dalam Penyuluhan Sosial ... 117

Hubungan Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial ... 119

Instrumen Penentuan Kebutuhan Latihan Penyuluhan Sosial ... 120

Pembahasan ... 124

Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan . 124 Kebutuhan Latihan Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dalam Penyuluhan Sosial ... 130

Hubungan Karakteristik Pegawai Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dengan Kebutuhan Latihan dalam Penyuluhan Sosial ... 141

Instrumen Penentuan Kebutuhan Latihan Penyuluhan Sosial ... 144

KESIMPULAN DAN SARAN ... 153

Kesimpulan ... 153

Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 156

LAMPIRAN ... 163

(15)

Halaman

1. Strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar ... 54

2. Kesiapan pengikut – perilaku pemimpin ... 66

3. Strategi pelayanan anak terlantar berdasarkan tahap perkembangan... 90

4. Ukuran dan sebaran populasi... 96

5. Ukuran dan sebaran sampel ... 97

6. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan jenis kelamin... 110

7. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan umur ... 111

8. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan pendidikan formal . 111 9. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan kejuruan pendidikan formal ... 112

10. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan status sekolah... 113

11. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan motivasi kerja... 114

12. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan curahan waktu mencari informasi ... 114

13. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan gaji ... 115

14. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan status sosial... 116

15. Distribusi pegawai Dinas Sosial berdasarkan pengalaman kerja . 116 16. Kebutuhan latihan pegawai Dinas Sosial dalam penyuluhan sosial... 118

17. Hubungan karakteristik pegawai Dinas Sosial dengan kebutuhan latihan dalam penyuluhan sosial... 119

18. Hasil analisis Cronbach’s Alpha ... 120

19. Hasil analisis varian data Instrumen IA ... 121

20. Hasil analisis varian data Instrumen IB ... 121

21. Hasil analisis varian data Instrumen II ... 122

22. Hasil analisis varian data Instrumen III ... 122

23. Hasil analisis varian data Instrumen IV ... 123

24. Kebutuhan latihan memahami keragaman budaya ... 130

25. Kebutuhan latihan kepemimpinan ... 131

26. Kebutuhan latihan landasan penyuluhan ... 133

27. Kebutuhan latihan memahami organisasi kerja... 134

28. Kebutuhan latihan aksi sosial ... 135

29. Kebutuhan latihan program penyuluhan... 136

(16)

32. Kebutuhan latihan kompetensi teknis ... 139 33. Kebutuhan latihan mengelola informasi ... 140

(17)

Halaman

1. Lima peringkat teratas PMKS di Indonesia ... 5

2. Lima peringkat teratas PMKS di Kalsel ... 6

3. Hubungan umur dengan kemampuan belajar ... 16

4. Contoh instrumen untuk mengukur kemampuan aktual menyuluh dan pentingnya kemampuan menyuluh ... 30

5. Contoh instrumen untuk mengukur pentingnya kemampuan menyuluh ... 31

6. Contoh instrumen untuk mengukur kemampuan aktual menyuluh ... 31

7. Contoh instrumen mengukur kuantitas kebutuhan latihan menyuluh ... 32

8. Kompetensi sebagai hubungan kausal... 33

9. Diagram aksi sosial ... 35

10. Logic model... 36

11. Empat jenis perilaku pemimpin dalam gaya situasional ... 65

12. Lingkaran kemiskinan ... 80

13. Lingkaran setan kemiskinan ... 80

14. Peran kredit mikro dalam pengentasan kemiskinan ... 83

15. Kerangka pemikiran... 93

16. Model statistik peubah penelitian ... 98

17. Proporsi varian error dan varian sebenarnya pada varian diperoleh pada Instrumen IA... 147

18. Proporsi varian error dan varian sebenarnya pada varian diperoleh pada Instrumen I sisi B ... 147

19. Proporsi varian error dan varian sebenarnya pada varian diperoleh pada Instrumen II ... 148

20. Proporsi varian error dan varian sebenarnya pada varian diperoleh pada Instrumen III ... 148

21. Proporsi varian error dan varian sebenarnya pada varian diperoleh pada Instrumen IV... 149

(18)

Halaman 1. Instrumen I (Dua Sisi) Penentuan Kebutuhan Latihan Pegawai

Dinas Sosial dalam Penyuluhan Sosial ... 163 2. Instrumen II (Satu Sisi) Penentuan Kebutuhan Latihan Pegawai

Dinas Sosial dalam Penyuluhan Sosial ... 177 3. Instrumen III (Satu Sisi) Penentuan Kebutuhan Latihan Pegawai

Dinas Sosial dalam Penyuluhan Sosial ... 188 4. Instrumen IV (Satu Sisi) Penentuan Kebutuhan Latihan Pegawai

Dinas Sosial dalam Penyuluhan Sosial ... 199

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Posisi penyuluhan dan penyuluh sosial dalam penyelenggaraan kesejahte-raan sosial adalah penting. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Ke-sejahteraan Sosial menyatakan bahwa penyuluh sosial bersama dengan pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, dan relawan sosial adalah sum-ber daya manusia dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Keempat unsur tersebut harus bekerjasama dalam melakukan upaya terarah, terpadu dan berkelanjutan dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.

Peran penyuluh sosial dalam posisi tersebut adalah menyelenggarakan pendidikan non formal untuk mengubah perilaku penyandang masalah kesejah-teraan sosial (PMKS) agar tahu, mau, dan mampu melakukan proses pemecah-an masalah, menggali dpemecah-an mempemecah-anfaatkpemecah-an kesempatpemecah-an, pelupemecah-ang, serta sumber daya diri dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan. Sasaran perubahan juga meliputi unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat yang terdiri atas indivi-du, kelompok, dan lembaga kesejahteraan sosial agar tahu, mau, dan mampu melakukan: Pertama, rehabilitasi sosial yaitu proses perwujudan dan pengem-bangan kemampuan yang memungkinkan seseorang melaksanakan fungsi sosi-al secara wajar dsosi-alam kehidupan masyarakat. Kedua, perlindungan sosisosi-al yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari gun-cangan dan kerentanan sosial. Kemudian, pemberdayaan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah kesejahteraan sosial mempunyai daya sehingga mampu memenuhi kebutuhan. Terakhir, jaminan sosial yaitu skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat dapat memenuhi kebutuhan secara layak.

(20)

Posisi, peran, dan proses penyuluhan sosial tersebut, menuntut adanya penyuluh kompeten yang dicirikan oleh pemilikan motif, karakter, konsep diri, pe-ngetahuan, dan keterampilan dalam process area berupa metodologi penyu-luhan, dan content area berupa keterampilan teknis penanganan masalah kese-jahteraan sosial.

Penyuluhan sosial saat ini menghadapi dua tantangan besar. Pertama, karakteristik PMKS yang harus dilayani. Jumlah PMKS sekitar 27,9 juta jiwa (Pusdatin, 2008:5). Terdapat kerumitan pelaksanaan pelayanan sosial karena ramifikasi atau keterkaitan yang erat antar masalah kesejahteraan sosial. Saat ini kerap dijumpai seseorang atau sekelompok orang yang tidak hanya mengalami satu jenis masalah kesejahteraan sosial, tetapi sekaligus dua atau lebih. Selain itu muncul masalah kesejahteraan sosial baru yang terjadi karena proses perubahan di dalam masyarakat, misalnya masalah yang dialami pekerja migran, HIV/AIDS, dan korban bencana sosial. Berbagai hal tersebut memerlukan sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang besar, tetapi keterse-diaannya saat ini dapat dikatakan relatif terbatas.

(21)

Negeri Sipil yang ada di Departemen Sosial dan Dinas Sosial untuk menjadi PFPS.

Keterbatasan jumlah dan sebaran PFPS, secara langsung menyebabkan penyuluhan sosial di tingkat provinsi/kabupaten/kota dilaksanakan oleh pegawai Dinas Sosial non PFPS. Untuk sementara, kondisi ini dapat diterima, akan tetapi terdapat suatu masalah yang dialami pegawai Dinas Sosial dalam melakukan penyuluhan sosial, yaitu persepsi kurang tepat pada penyuluhan sosial, dan kompetensi menyuluh yang lemah.

Pengamatan pada praktik penyuluhan yang dilakukan oleh pegawai Dinas Sosial non PFPS memperlihatkan dua hal. Pertama, masih terdapat anggapan bahwa penyuluhan adalah gerak dasar yang bermakna merintis, membuka, dan melandasi pelayanan sosial. Hal tersebut tidak tepat, karena penyuluhan tidak hanya dilakukan pada tahap awal suatu program, tetapi suatu program ber-kelanjutan yang berisi rencana, pelaksanaan dan penilaian proses perubahan perilaku. Anggapan yang tidak tepat tersebut menyebabkan penyuluhan sosial cenderung dilakukan sebagai proses penyampaian informasi semata. Tujuannya agar sasaran penyuluhan tahu dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan kese-jahteraan sosial. Dalam hal ini tidak disadari bahwa peningkatan pengetahuan saja belum cukup bagi terjadinya perubahan perilaku, karena masih diperlukan perubahan sikap dan keterampilan yang sulit dicapai oleh proses informatif se-mata, karena hanya mungkin dicapai melalui proses pendidikan. Anggapan lain yang kurang tepat adalah penyuluhan dapat dilakukan siapa saja, asalkan pela-kunya menguasai informasi tentang penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Hal tersebut juga tidak tepat, karena Penyuluh Sosial harus mempunyai kemampuan dalam metodologi penyuluhan dan kemampuan teknis penanganan masalah kesejahteraan sosial. Dua jenis kemampuan inilah yang perlu dimiliki dan diting-katkan pada pegawai Dinas Sosial agar mampu melakukan penyuluhan sosial sebagai proses perubahan perilaku.

(22)

keterampilan, sehingga sasaran perubahan perilaku ke arah yang lebih baik pada PMKS, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat belum tercapai secara optimal.

Pernyataan Suharto (2006:2) tentang situasi latihan dalam lingkup kese-jahteraan sosial kiranya memberikan gambaran mengapa latihan tersebut kurang efektif:

(1) Kurikulum latihan terlalu teoritis dan umum.

(2) Model latihan cenderung bersifat “all size”, kurang berstruktur dan berjenjang sesuai dengan tingkat kecakapan dan kompe-tensi peserta.

(3) Para pengajar memiliki pengetahuan yang memadai tentang materi, namun tidak pernah mempraktekkan materinya dalam dunia nyata, sehingga apa yang diajarkan cenderung normatif dan kurang menyentuh persoalan kontemporer.

(4) Peserta latihan memiliki karakteristik pendidikan dan peng-alaman yang sangat beragam sehingga kurikulum dan materi jarang bisa memenuhi kebutuhan spesifik peserta.

Untuk menghindari kondisi latihan demikian, cara yang dapat dilakukan adalah menempuh prosedur latihan yang dimulai dengan kegiatan penentuan ke-butuhan latihan. Kegiatan tersebut hasilnya adalah identifikasi karakteristik calon peserta, dan identifikasi materi-materi yang perlu dilatihkan. Kedua hal tersebut merupakan bahan bagi perancang program latihan untuk membuat disain latihan yang terdiri atas tujuan latihan, pengalaman belajar, struktur dan sekuen penca-paian tujuan dan pengalaman belajar, media, materi, dan alat belajar yang tepat. Rancangan latihan demikian, membuat peserta termotivasi untuk melakukan pro-ses belajar, mempelajari materi yang pro-sesuai dengan kebutuhannya, dan akhirnya menggunakan hasil latihan dalam penyuluhan.

Penentuan kebutuhan latihan penyuluhan sosial tersebut harus meliputi dua bidang yaitu process area berupa metodologi penyuluhan dan content area

(23)

Penentuan kebutuhan latihan yang meliputi seluruh area kebutuhan, me-merlukan sumber daya yang relatif besar. Kendala yang dihadapi saat ini adalah keterbatasan dalam penyediaan sumber daya tersebut, terutama biaya. Solusi yang dapat ditempuh untuk melakukan penentuan kebutuhan yang sesuai ngan kondisi sumber daya saat ini, adalah melakukan pengukuran sesuai de-ngan kaidah kesahihan, keandalan, dan kondisi spesifik lokal.

Kaidah kesahihan menentukan kecukupan isi alat pengukur dalam meng-ukur petunjuk sifat obyek. Kecukupan tersebut mengandung arti bahwa alat pengukur dapat dipandang sebagai sampel yang mewakili populasi area kebu-tuhan yang ingin diukur, sehingga tidak semua area tersebut harus diukur. Kaidah keandalan menentukan kemantapan dan kejituan suatu alat dalam meng-ukur. Sedangkan kondisi spesifik lokal merujuk pada kondisi aktual kebutuhan latihan yang dirasakan pegawai Dinas Sosial yang dikaitkan dengan masalah ke-sejahteraan sosial yang ada pada suatu lokasi, dan memerlukan perhatian lebih karena alasan tertentu, misal jumlah penyandang suatu masalah.

Penyandang masalah kesejahteraan sosial di Indonesia sebanyak 27,9 juta (Pusdatin, 2008:8). Berdasarkan jumlahnya, PMKS dapat diurutkan pada pering-kat satu sampai dengan lima seperti terlihat pada Gambar 1.

7,092,089

3,940,624

2,888,141

2,461,948 2,368,540

Keluarga rentan

Fakir miskin Korban bencana alam

Masy tinggal di daerah rawan bencana

Anak terlantar

(24)

Urutan PMKS berdasarkan jumlahnya pada tingkat nasional, mempunyai kemiripan dengan urutan PMKS berdasarkan jumlahnya di Kalimantan Selatan. Di provinsi tersebut, terdapat 578,2 ribu PMKS (Pusdatin, 2008:8). Jumlah PMKS terbanyak dalam urutan satu sampai dengan lima dapat dilihat pada Gambar 2.

106,891

76,446 73,963

57,758 57,079

Keluarga rentan

Fakir miskin korban bencana alam

Anak terlantar Masy tinggal di daerah rawan bencana

Gambar 2 Lima peringkat teratas PMKS di Kalsel Sumber: Pusdatin, 2008:8

Urutan PMKS berdasarkan jumlahnya di Kalimantan Selatan seperti terlihat pada Gambar 2 yaitu keluarga rentan, fakir miskin, korban bencana alam, anak terlantar, dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.

(25)

Masalah Penelitian

Informasi tentang karakteristik berupa ciri-ciri pribadi yang melekat pada seseorang karena kelahirannya dan interaksi dengan lingkungan, serta kebutuh-an latihkebutuh-an ykebutuh-ang merupakkebutuh-an kesenjkebutuh-angkebutuh-an kebutuh-antara pengetahukebutuh-an, sikap, dkebutuh-an kete-rampilan saat ini dengan yang diharapkan ada pada seseorang untuk melakukan sesuatu, ditambah dengan informasi tentang hubungan antara karakteristik de-ngan kebutuhan latihan adalah bahan utama merancang suatu latihan.

Sayangnya, informasi tentang karakteristik, kebutuhan latihan, dan hu-bungan antar karakteristik dengan kebutuhan latihan pegawai Dinas Sosial da-lam penyuluhan sosial tidak tersedia, karena penentuan kebutuhan latihan tidak dilakukan secara memadai, baik intensitas maupun kualitasnya. Padahal, jika pe-nentuan kebutuhan latihan tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka latihan kemungkinan besar tidak akan konsisten dengan kebutuhan aktual.

Dalam latihan penyuluhan sosial, ketidaksesuaian tersebut menyebabkan kesulitan dalam rekruitmen peserta, motivasi belajar rendah, dan pasif dalam ak-tivitas belajar. Hal itu karena peserta merasa tujuan, pengalaman belajar, struktur dan sekuen pencapaian tujuan dan pengalaman belajar, materi, media, bahan, dan alat latihan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi tersebut bertambah sulit, karena pelatih lebih banyak mengandalkan metode belajar searah yang bertumpu pada teknik ceramah, lebih banyak membahas hal-hal konseptual dari-pada praktik, seringkali mengulang materi latihan yang sama, atau tidak menya-jikan materi yang dibutuhkan. Berbagai masalah yang menurunkan efektivitas la-tihan tersebut, pada gilirannya tidak mendukung terjadinya efisiensi penggunaan sumber daya terutama biaya yang saat ini sulit diperoleh.

Proses latihan demikian menyebabkan tidak terjadi peningkatan kemampu-an pegawai Dinas Sosial dalam menyuluh. Akibat selkemampu-anjutnya, praktik penyuluh-an sosial tidak membaik, tetap saja hpenyuluh-anya berupa penyampaipenyuluh-an informasi ten-tang penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Bukan berupa proses pendidikan non formal untuk mengubah perilaku.

Tidak meningkatnya kemampuan pegawai Dinas Sosial dalam menyuluh dan tidak berubahnya praktik penyuluhan sosial, bertolakbelakang dengan pe-nambahan jumlah PMKS, munculnya masalah sosial baru, dan semakin rumitnya penanganan masalah.

(26)

meme-nuhi seluruh kebutuhan latihan pegawai Dinas Sosial yang diduga selain mempu-nyai persamaan juga memiliki perbedaan karakteristik.

Kebutuhan latihan, selain diidentifikasi juga perlu diketahui prioritasnya yang tercermin dalam peringkat kebutuhan latihan aktual yang dirasakan pega-wai Dinas Sosial dalam penyuluhan. Penentuan prioritas bukan dimaksudkan ha-nya untuk memenuhi kebutuhan peringkat atas, dan tidak memenuhi peringkat bawah, tetapi untuk mengelompokkan berbagai kebutuhan latihan tersebut da-lam kategori kebutuhan latihan dasar yang harus diikuti seluruh peserta, dan kategori kebutuhan latihan pilihan yang sesuai dengan minat peserta. Di samping itu perlu diketahui hubungan antara karakteristik dengan kebutuhan latihan. Gunanya untuk mengetahui apakah ada perbedaan latihan menurut sejumlah karakteristik yang diamati.

Berbagai informasi tersebut, memerlukan data yang hanya dapat dikum-pulkan oleh instrumen yang benar-benar mengukur kebutuhan latihan, mantap dan akurat dalam mengukur. Untuk itu perlu dilakukan usaha mengetahui instru-men macam apa yang sahih dan andal dalam instru-mengukur kebutuhan latihan pe-nyuluhan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan-pertanyaan penelitian (research questions) dirumuskan berikut ini:

1) Bagaimana distribusi pegawai Dinas Sosial pada sejumlah karakteristik yang diamati?

2) Bagaimana peringkat kebutuhan latihan pegawai Dinas Sosial dalam pe-nyuluhan sosial?

3) Bagaimana derajat kesepakatan pegawai Dinas Sosial pada sejumlah ka-rakteristik yang diamati pada kebutuhan latihan penyuluhan sosial?

(27)

Tujuan Penelitian

Salah satu prinsip pendidikan orang dewasa (POD) adalah memperhatikan minat dan kebutuhan peserta belajar. Prinsip tersebut harus diterapkan dalam la-tihan sebagai salah satu teknik POD. Jika tidak, maka lala-tihan tidak akan efektif dalam mengubah perilaku, bahkan dapat terjadi pemborosan sumber daya yang saat ini dapat dikatakan langka. Mengingat efektivitas dan efisiensi adalah hal penting dalam latihan, maka minat dan kebutuhan tersebut harus ditemukan. Salah satu tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kebutuhan latihan pega-wai Dinas Sosial dalam penyuluhan sosial.

Selain sifatnya yang sama dengan manusia lain karena faktor lingkungan sosial, manusia juga mempunyai sifat unik yang membedakan dengan yang lain, hal itu karena faktor-faktor internal yang dibawanya. Sejalan dengan itu, pema-haman tentang karakter calon peserta latihan menjadi penting, karena berpe-ngaruh pada efektivitas dan efisiensi latihan. Hal inilah yang mendasari tujuan berikutnya dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan karakteristik pegawai Dinas Sosial sebagai calon peserta latihan penyuluhan sosial.

Karakteristik pegawai Dinas Sosial dan kebutuhan latihan penyuluhan sosi-al diduga mempunyai keragaman, untuk itu diperlukan informasi tentang kesepa-katan pegawai Dinas Sosial berdasarkan karakteristik yang diamati pada ke-butuhan latihan penyuluhan sosial.

Informasi tentang karakteristik dan kebutuhan latihan, memerlukan data yang akurat. Untuk itu diperlukan suatu instrumen yang benar-benar mampu mengukur kebutuhan latihan, mantap dan akurat untuk mengidentifikasi kebu-tuhan latihan. Dengan demikian, secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah: 1) Menjelaskan distribusi pegawai Dinas Sosial pada sejumlah karakteristik

yang diamati.

2) Menyusun peringkat kebutuhan latihan pegawai Dinas Sosial dalam pe-nyuluhan sosial.

3) Menentukan derajat kesepakatan pegawai Dinas Sosial pada sejumlah ka-rakteristik yang diamati pada kebutuhan latihan penyuluhan sosial.

(28)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pegawai Dinas Sosial sebagai acuan dalam mengenali kebutuhan latihannya yang dapat dipenuhi antara lain melalui belajar mandiri sebagai perwujudan belajar sepanjang hayat, dan bahan pengambilan keputusan dalam mengikuti latihan untuk meningkatkan kompetensi menyuluh.

Secara organisasional, hasil penelitian ini bermanfaat bagi:

1) Dinas Sosial di Kalimantan Selatan dalam perumusan kebijakan pengem-bangan pegawai agar mampu melakukan penyuluhan sebagai proses pen-didikan non formal untuk mengubah perilaku agar mampu memecahkan masalah dalam memenuhi kebutuhan PMKS.

2) Badan Pendidikan dan Penelitian Departemen Sosial yang membawahi an-tara lain Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial, serta Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial, untuk merancang latihan penyuluhan sosial dengan menggunakan informasi tentang karak-teristik, kebutuhan latihan, dan hubungan karakteristik dengan kebutuhan latihan pegawai Dinas Sosial.

3) Pusat penyuluhan sosial dalam merancang kebijakan peningkatan kualitas penyuluh dan program penyuluhan sosial.

Dengan memanfaatkan hasil penelitian berupa instrumen yang sahih dan andal untuk mengukur kebutuhan latihan penyuluhan sosial, ketiga organisasi pemerintah tersebut, dapat merancang dan melakukan kegiatan penentuan ke-butuhan latihan (training needs assessment) secara berkala dan berkualitas.

(29)

Definisi Istilah

X Karakteristik pegawai Dinas Sosial adalah sejumlah ciri pribadi yang terdiri atas:

X1 Jenis kelamin X2 Umur

X3 Pendidikan formal adalah jenjang sekolah tertinggi yang diselesaikan hingga memperoleh ijazah sebagai buktinya.

X4 Kejuruan pendidikan formal adalah jurusan atau program studi yang dipilih saat sekolah.

X5 Status sekolah adalah lembaga pendidikan yang dibedakan dengan sebutan negeri dan swasta.

X6 Motivasi kerja adalah dorongan dari dalam dan luar diri untuk beker-ja, karena adanya kepuasan yang ditimbulkan oleh prestasi, peng-hargaan, tanggung jawab, promosi, pekerjaan itu sendiri, dan poten-si bagi pertumbuhan, serta tiadanya ketidakpuasan yang ditimbulkan oleh kebijakan organisasi, pengendalian, gaji, dan kondisi kerja. X7 Curahan waktu untuk mencari informasi adalah jumlah jam dalam

satu hari yang digunakan untuk mencari informasi melalui media massa.

X8 Gaji adalah upah kerja berupa sejumlah uang dalam rupiah yang diterima setiap bulan.

X9 Status sosial adalah kedudukan dalam lapisan masyarakat berdasar-kan ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahu-an ypengetahu-ang dimiliki.

X10 Pengalaman kerja adalah jumlah tahun kerja sebagai Pegawai Ne-geri Sipil di Dinas Sosial.

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Pegawai Dinas Sosial

Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri sese-orang. Karakteriktik bersifat internal dan eksternal. Karakteristik internal diperoleh seseorang karena kelahirannya. Sedangkan karakteristik eksternal diperoleh dari interaksi dengan lingkungan sosialnya. Karakteristik seseorang bisa mirip tetapi tidak sama, hal inilah yang dapat menyebabkan perbedaan tingkahlaku sese-orang dengan sese-orang lainnya pada suatu situasi.

Karakteristik ini mendasari tingkahlaku seseorang dalam situasi kerja mau-pun situasi lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1971:26). Pendapat tersebut sena-da dengan pernyataan Sumardjo (2008:89):

Sifat bawaan adalah karakter atau kepribadian yang otonom atau watak mandiri yang membuat seseorang (penyuluh) berperilaku tertentu (secara otonom) dalam merespons sesuatu dengan cara tertentu, misalnya percaya diri, kontrol diri, kesiapan diri, ketahanan pada stress, ketabahan atau daya tahan.

Lebih rinci Sumardjo (2008:26) menyatakan bahwa seorang penyuluh se-harusnya mempunyai karakter konsisten, inovatif, percaya diri, berkeyakinan diri, arif, mampu bersinergi (interdependent), berwawasan luas, adil, dan beradab. Beradab berarti mampu memahami dan menghargai norma dan nilai budaya yang berlaku dan mampu berempati karenanya dalam mengemban misi atau tugas-tugasnya.

Lippitt (Mardikanto, 1993:49) menyatakan bahwa keberhasilan seorang pe-nyuluh sangat ditentukan oleh kepribadian yang tercermin dari penampilannya saat pertama kali berhadapan dengan masyarakat sasarannya (first impression).

Marius (2007:2) menyatakan bahwa pendidikan formal, pendidikan non for-mal, umur, masa kerja, sifat kekosmopolitan, pendapatan dan motivasi berpe-ngaruh nyata pada kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Nuryanto (2008:32) menguatkan bahwa motivasi, efektivitas latihan, pengem-bangan diri berpengaruh nyata pada kompetensi penyuluh.

(31)

pengalaman belajar menjadikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan setiap orang (Lionberger dan Gwin, 1982:8). Pendapat keempat sumber tersebut mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar, karakteristik pelajar dan pengajar perlu diketahui. Keuntungan mengetahui karakteristik pelajar adalah sebagai panduan mulai darimana pelajaran dimulai dan apa metode yang tepat diguna-kan untuk mencapai tujuan latihan. Sedangkan diketahuinya karakteristik peng-ajar dapat menjadi faktor prediksi sejauhmana kesesuaiannya dengan proses be-lajar dan pelajarnya.

Menurut Slamet (1975:3) dalam melakukan pemenuhan kebutuhan belajar perlu diperhatikan sejumlah karakteristik, antara lain usia, tingkat pendidikan, pengalaman dan status sosial. Pendapat tersebut mempunyai beberapa kesama-an dengkesama-an karakteristik pengajar menurut Padmowihardjo (1994:90) yaitu bakat, penguasaan materi, penguasan metode, penampilan fisik, sikap mental, umur, kesehatan, dan jenis kelamin.

Memperhatikan uraian di atas, karakteristik pegawai Dinas Sosial yang dija-dikan peubah penelitian adalah umur, jenis kelamin, pendidija-dikan formal, kejuruan pendidikan formal, status sekolah, motivasi kerja, gaji, status sosial, curahan waktu mencari informasi, dan pengalaman kerja.

Jenis Kelamin

Padmowihardjo (1994:90) menyatakan jenis kelamin berpengaruh pada efisiensi belajar. Untuk materi yang memerlukan kemampuan fisik yang kuat, se-baiknya dipilih pelajar laki-laki saja, tetapi kalau perempuan dapat melakukannya dengan baik maka materi itupun dapat diikuti perempuan. Pengaturan tersebut bukan dilandasi oleh diskriminasi, tetapi merupakan penyesuaian pada potensi. Menurut Pidara (1997:188) dalam masa perkembangan awal, anak-anak perem-puan rata-rata berkembang lebih cepat tiga tahun dari anak laki-laki sehingga mereka terlihat lebih dewasa.

Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sudah berlangsung lama dan dianggap sesuatu yang wajar. Menurut Harsiwi (2004:1) ada dua teori besar ten-tang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, yaitu teori nature dan teori

(32)

dibawa sejak lahir. Masyarakat Indonesia cenderung menerima perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai hal yang alamiah, sehingga lebih dekat pada pemi-kiran teori nature.

Padmowihardjo (1994:90) menyatakan, dalam pelaksanaan pekerjaan, da-pat dilihat tiga kondisi pencapaian (1) laki-laki dan perempuan berkemampuan sama misalnya dalam prestasi akademis, (2) laki-laki lebih unggul dari perem-puan misalnya dalam penggunaan otot dan tenaga, (3) peremperem-puan lebih unggul dari laki-laki misalnya dalam pekerjaan yang memerlukan kesabaran antara lain keperawatan.

Selanjutnya Harsiwi (2004:2) menyatakan bahwa semua teori tentang pem-bagian kerja yang menganggap wanita lebih lemah atau bahkan lebih rendah dari pria tampaknya perlu dipertanyakan, sebab yang diinginkan wanita bukanlah mereka harus sama dengan pria, melainkan semacam pengakuan serta peng-hargaan atas kemampuannya. Wanita dan pria tidak bisa disamakan dalam se-gala hal, namun tidak perlu dipertanyakan siapa yang lebih unggul dan siapa yang lebih lemah, melainkan perbedaan keduanya itu hendaknya saling meleng-kapi kedua pihak.

Pendapat di atas penting dipahami, karena Barry (Harsiwi, 2004:2) menya-takan, di sektor formal peranan perempuan pekerja biasanya jauh lebih kecil dan menduduki posisi yang kurang penting. Hal ini sering dikaitkan dengan kemam-puan peremkemam-puan yang lebih terbatas, yang seringkali merupakan cerminan dari pendidikannya.

Umur

Hasil penelitian Sachie (Salkind, 1985:32) menunjukkan bahwa perbedaan umur membawa perbedaan dalam kematangan. Salkind (1985:31) menyatakan bahwa umur kronologis merupakan acuan untuk mengetahui tingkat perkem-bangan individu. Hal itu karena umur kronologis mudah dan akurat ditentukan, sehingga tingkat perkembangan individu dapat diamati dengan menggunakan kri-teria munculnya kinerja atau kemampuan tertentu dalam umurnya.

(33)

Havighurst (Pidara, 1997:189-190) memberikan perspektif berbeda terha-dap fase perkembangan individu terkait umur. Fase-fase tersebut melahirkan tugas-tugas perkembangan yang berbeda pada masa kkanak, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa awal, masa setengah baya, masa orang tua. Tugas perkembangan tiga masa terakhir adalah:

1) Masa dewasa awal: Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertang-gung jawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik.

2) Masa setengah baya: Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga negara yang baik, membangun serta mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu seng-gang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan dengan pertambahan umur.

3) Masa orang tua: Menyesuaikan diri dengan semakin menurun-nya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri pada menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.

Klausmeier dan Goodwin (1966:97) menyatakan bahwa umur pelajar dan pengajar merupakan salah satu karakteristik penting dalam efisiensi belajar. Pen-jelasannya diungkapkan oleh Padmowihardjo (1994:36):

Kemampuan umum untuk belajar berkembang secara gradual se-menjak dilahirkan sampat saat kedewasaan atau sekitar usia 25 ta-hun. Selanjutnya kemampuan belajar akan menurun secara gradual dan terasa sangat nyata setelah masa kedewasaan tercapai sampai usia 55 – 60 tahun, kemudian setelah itu penurunan akan lebih cepat lagi.

(34)

Gambar 3 Hubungan umur dengan kemampuan belajar Sumber: Padmowihardjo, 1994:36

Hubungan antara umur dan kemampuan belajar tersebut bukan disebabkan oleh tingkat kecerdasan, tetapi oleh fungsi kerja otot yang dapat dilihat dari fungsi kerja indera, misalnya penglihatan dan pendengaran yang mana melalui indera inilah rangsangan belajar masuk dalam tubuh seseorang. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain.

Dari berbagai uraian tentang umur, dapat diringkas bahwa pertambahan umur akan mempengaruhi kemampuan fisik dan belajar. Kemampuan tersebut akan bertambah dan mencapai puncaknya pada usia dewasa, dan selanjutnya mengalami penurunan. Perkembangan (penambahan dan pengurangan kemam-puan) tersebut harus disesuaikan dengan tugas-tugas perkembangan yang dipi-kul oleh setiap orang dalam setiap fase kehidupannya.

Pendidikan Formal

Pendidikan berarti usaha mengubah perilaku agar muncul perilaku baru yang dikehendaki. Usaha tersebut dapat ditempuh dengan pendidikan formal da-lam bentuk sekolah dasar, menengah dan tinggi dengan berbagai kejuruan sesu-ai minat. Pendidikan non formal berupa penyuluhan, latihan, pembinaan, bim-bingan. Sedangkan pendidikan informal dialami warga masyarakat dalam kehi-dupan mereka sehari-hari, antara lain melalui media massa (Slamet, 2003:12).

Morgan et al., (1963:1) menyatakan program pendidikan yang baik akan membuat perbedaan besar dalam standar hidup, kebudayaan dan kebebasan suatu bangsa. Franklin (Morgan et al., 1963:3) menyatakan bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat terwujud apabila didukung oleh pendidikan yang

10 20 30 40 50 60 70 Kemampuan

belajar

(35)

baik. Sejalan dengan hal tersebut, Slamet (2003:12) mengungkapkan bahwa masyarakat perlu dipersiapkan melalui program-program pendidikan agar mam-pu menerima dan berpartisipasi secara aktif dalam setiap usaha pembangunan.

Pendidikan formal terdiri atas jenjang dasar, menengah dan tinggi. Dengan mengikuti lama tahun dalam setiap jenjang, tingkat pendidikan formal seseorang dapat dikelompokkan:

1) Dasar, apabila menyelesaikan pendidikan di sekolah selama 6 tahun efektif di sekolah dasar.

2) Menengah, apabila seseorang menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih dari 6 tahun sampai dengan 12 tahun efektif (SD, SMP, SMA)

3) Tinggi, apabila seseorang menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih dari 12 tahun (SD, SMP, SMA, perguruan tinggi atau akademi).

Kejuruan Pendidikan Formal

Jenis pendidikan formal yang paling sesuai bagi Penyuluh Sosial adalah kejuruan penyuluhan, karena dalam kejuruan tersebut mereka disiapkan untuk menguasai kerangka pengetahuan, sikap dan keterampilan mengubah perilaku melalui proses pendidikan non formal.Untuk memperkuat kemampuan Penyuluh Sosial yang berlatar belakang kejuruan penyuluhan, mereka perlu diikutsertakan dalam berbagai latihan intensif tentang penanggulangan masalah kesejahteraan sosial.

Selain itu karena substansi/materi penyuluhan sosial adalah penanggu-langan masalah kesejahteraan sosial, maka kesejahteraan sosial merupakan ke-juruan yang sesuai juga bagi penyuluh sosial. Untuk membangun kemampuan Penyuluh Sosial yang berlatar belakang kejuruan kesejahteraan sosial, mereka perlu diikutsertakan dalam berbagai latihan intensif untuk membangun kompeten-si menyuluh.

Status Sekolah

(36)

Meskipun persepsi tersebut bisa berbeda, tetapi masyarakat luas juga me-mahami bahwa pada kedua lembaga pendidikan formal tersebut, ada yang ber-kualitas dan ada juga yang kurang berber-kualitas. Pemahaman yang sama juga ter-bentuk pada saat obyeknya adalah biaya pendidikan, yaitu sekolah swasta me-merlukan biaya pendidikan yang berasal dari siswanya dalam jumlah yang lebih banyak daripada sekolah negeri.

Terlepas dari perbedaan dan persamaan persepsi tersebut, sebenarnya ke-duanya adalah lembaga pendidikan formal yang berkedudukan setara dalam pe-nyelenggaraan pendidikan. Keduanya adalah sarana untuk mencapai salah satu tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam penelitian ini, peubah status sekolah diteliti bukan untuk mencari ja-waban mana yang lebih berkualitas diantara sekolah swasta dan negeri, tetapi ingin mencari jawaban atas`pertanyaan bagaimana tingkat kesepakatan pegawai Dinas Sosial yang lulusan sekolah swasta dan negeri pada kebutuhan latihan dalam penyuluhan sosial.

Motivasi Kerja

Motif adalah dorongan, hasrat, keinginan dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu (Sobur, 2003:267). Sedangkan motivasi adalah upaya yang dilakukan manusia yang menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan sesuatu, karena itu setiap tindakan memiliki motif atau dorongan (Padmowihardjo, 1994:135).

Steers et al.,(1996:8) menyatakan bahwa dalam membahas motivasi, per-hatian harus difokuskan pada:

Apa yang mendasari/mendorong/memberi tenaga pada perilaku manusia? Apa arah atau saluran perilaku? Bagaimana perilaku ter-pelihara dan berkesinambungan? Ketiga aspek itulah yang menjadi faktor-faktor penting dalam memahami perilaku manusia dalam be-kerja.

Motivasi kerja adalah sekelompok pendorong yang mempunyai ciri berasal dari dalam dan luar individu, dapat menimbulkan perilaku kerja, dan juga dapat menentukan bentuk, tujuan, intensitas, dan lamanya perilaku kerja (Pinder dalam

(37)

tersebut, motivasi kerja dapat diartikan sebagai kondisi-kondisi di dalam dan di luar individu yang menjadi pendorong atau penyebab bentuk, tujuan, intensitas, arah, dan lamanya perilaku kerja.

Slamet (tt: 4-10), Wirawan (2009:1-6), Steers et al., (1996:57) mengung-kapkan tiga teori yang berkenaan dengan motivasi kerja yaitu teori pengharapan (expectancy theory), teori kesamaan atau keseimbangan (equity theory), dan teori penentuan-tujuan (goal setting theory).

Menurut teori pengharapan, orang akan termotivasi untuk bekerja dengan baik bila ada peluang untuk mendapatkan insentif. Besar kecilnya motivasi kerja tergantung pada nilai insentif tersebut pada masing-masing individu. Insentif ter-sebut ada tiga jenis yaitu insentif materil misal bantuan keuangan, atau tugas tambahan yang lebih sedikit. Insentif solidaritas misal penghargaan dari sasi dan anggotanya. Terakhir adalah insentif yang sesuai dengan tujuan organi-sasi, misal mendapat tugas yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus, atau kesempatan untuk mengembangkan kemampuan. Dalam teori ini terdapat tiga konsep penting: (1) Nilai, setiap bentuk insentif punya nilai positif atau negatif bagi seseorang, juga apakah nilai itu besar atau kecil bagi sese-orang. (2) Instrumentalitas, adanya hubungan antara pekerjaan yang harus dila-kukan dengan dengan harapan yang dimiliki. Jika pekerjaan dilihat sebagai alat untuk mendapatkan apa yang diharapkan, maka timbul motivasi kerja. (3) Peng-harapan, persepsi tentang besarnya kemungkinan keberhasilan mencapai tujuan atau hasil kerja.

Teori kesamaan atau keseimbangan menyatakan bahwa orang cenderung akan membandingkan insentif atau rewards yang diperolehnya dengan yang di-peroleh orang lain yang mempunyai beban kerja serupa. Jika besarnya insentif dua orang itu sama maka akan muncul motivasi kerja, jika lebih kecil akan mun-cul rasa kecewa yang mengurangi motivasi kerja, jika seseorang menerima lebih banyak maka akan termotivasi lebih kuat. Menurut teori ini, orang cenderung untuk selalu melihat rasio antara beban kerja (effort) dengan penghargaan yang diterimanya. Bila seimbang antara keduanya maka orang akan merasa puas, bila sebaliknya akan merasa tidak puas atau kecewa, akibat selanjutnya adalah me-nurunnya motivasi kerja.

(38)

dan lebih “menantang”, akan menunjukkan motivasi kerja yang lebih besar dari orang yang tujuan tugasnya kabur atau terlalu mudah untuk mencapainya.

Berdasarkan tiga teori tersebut, untuk menumbuhkan motivasi kerja pega-wai Dinas Sosial dalam melakukan penyuluhan adalah: (1) Memberikan insentif material, insentif solidaritas, dan insentif yang sesuai dengan tujuan organisasi yang dinilai positif dan relatif besar oleh pegawai tersebut. (2) Menyesuaikan rasio atau perbandingan antara insentif dengan beban kerja, memberikan insentif yang sama kepada pegawai dengan beban kerja yang sama. (3) Memperjelas tugas dan tujuan pekerjaan yang diemban oleh pegawai, memberikan pekerjaan yang “menantang” kepada pegawai bersangkutan. Ketiga hal tersebut dapat dija-dikan indikator untuk mengetahui motivasi kerja pegawai.

Herzberg (Steers et al., 1996:17), Sobur (2003:281-282) menyatakan ter-dapat dua faktor yang berkaitan dengan kepuasan dan ketidakpuasan kerja:

Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja disebut motivator yang meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan potensi bagi pertumbuhan pribadi. Jika motivator tersebut ditanggapi secara positif, maka pekerja cen-derung merasa puas dan termotivasi. Namun jika faktor tersebut kurang atau tidak ada di tempat kerja, maka pekerja akan kekurangan motivasi tetapi tidak berarti tidak puas dengan pekerjaan mereka. Faktor yang berpengaruh pada ketidakpuasan kerja disebut higienis yang meliputi gaji, pengawasan atau supervisi, keamanan kerja, kon-disi kerja, administrasi, kebijakan organisasi, hubungan antarpribadi dengan rekan kerja, atasan, bawahan. Jika faktor higienis ditanggapi secara positif, maka pekerja tidak mengalami kepuasan atau termoti-vasi, tetapi jika kurang atau tidak ada, maka pekerja akan merasa tidak puas.

Identifikasi faktor motivator dan higienis dalam pekerjaan penyuluh sosial dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana Penyuluh Sosial termotivasi da-lam melaksanakan pekerjaannya.

Curahan Waktu Mencari Informasi

Seorang penyuluh haruslah orang yang kosmopolit, yaitu sifat yang melekat pada seseorang yang ditandai dengan luasnya relasi atau kenalan, pengetahuan dan minat (Lionberger dan Gwin, 1982:219). Tentang kekosmopolitan Rogers (2003:260-261) mengemukakan:

(39)

Mengingat penyuluh adalah agen pembaharu yang sedikit banyaknya selalu terkait dengan perubahan perilaku melalui difusi inovasi, maka kekosmopolitan merupakan karakteristik penting bagi penyuluh so-sial.

Pengukuran kekosmopolitan penyuluh sosial yang relatif mudah ditunjuk-kan oleh van den Ban (Jahi, 1988:45) yaitu banyaknya penggunaan media massa, karena ia adalah atribut lain kekosmopolitan.

Dari penjelasan tentang kekosmopolitan tersebut, dapat ditarik hal penting, yaitu penyuluh haruslah orang yang bersedia mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari informasi dari media massa (media cetak, elektronik, baru).

Jika penyuluh mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari informasi, maka ia terdedah informasi, sehingga mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan mutakhir, mempunyai minat yang beragam, dan akses lebih luas pada relasi individual dan kelembagaan yang dapat digunakan dalam rangka proses pendi-dikan non formal kepada sasaran penyuluhan.

Gaji

Gaji yang diperoleh dari tempat bekerja adalah sumber keuangan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan mengikuti teori kebutuhan manusia, jumlah gaji yang dinyatakan dalam suatu mata uang, merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan secara berjenjang yaitu fisiologis, rasa aman, kasih sayang, peng-hargaan, dan aktualisasi diri.

Meskipun tidak selalu melibatkan uang, kebutuhan dasar manusia tersebut akan jauh lebih mudah dipenuhi secara layak (kuantitas dan kualitas) jika terse-dia sejumlah uang sebagai wujud jumlah gaji. Dengan demikian jumlah gaji pegawai Dinas Sosial turut menentukan kuantitas dan kualitas kebutuhan yang terpenuhi, juga yang tidak terpenuhi. Dalam kondisi normal, mudah diterima bah-wa jumlah gaji berkorelasi positif dengan kuantitas dan kualitas kebutuhan terpe-nuhi, dan berkorelasi negatif dengan kuantitas dan kualitas kebutuhan tidak ter-penuhi.

(40)

Status Sosial

Pada setiap masyarakat terdapat penghargaan tertentu pada hal-hal terten-tu. Jika masyarakat memandang kekayaan material sebagai hal penting, maka hartawan akan masuk dalam kedudukan yang lebih tinggi. Demikian juga pada masyarakat yang memandang tinggi kepandaian, keturunan, kehormatan, usia dan sebagainya.

Dari situlah sistem lapisan dalam masyarakat (stratifikasi sosial) terbentuk. Sistem lapisan tersebut bisa terbuka atau tertutup. Dalam sistem tertutup, terda-pat pembatasan mobilitas vertikal, cara seseorang untuk masuk ke dalam sistem adalah kelahiran. Sistem lapisan tertutup digunakan antara lain pada masyarakat yang mengenal kasta, misalnya di India dan Bali. Sebaliknya dalam sistem lapis-an terbuka, setiap orlapis-ang punya kesempatlapis-an untuk mobilitas vertikal berdasarklapis-an kecakapan.

Unsur lapisan masyarakat adalah status sosial dan peranan (Soekanto, 2005:239-246):

Status sosial atau kedudukan adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, di dalamnya melekat hubungan dengan orang lain, prestise, hak dan kewajibannya. Peranan merupakan as-pek dinamis dari status sosial. Jika seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya maka dia menjalankan suatu peranan. Status sosial dan peranan tidak dapat dipisahkan, ka-rena satu sama lain saling tergantung, tidak ada peranan tanpa status sosial dan tidak ada status sosial tanpa peranan.

Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam status sosial ya-itu ascribed status yang diperoleh melalui kelahiran, dan lebih berkembang da-lam sistem lapisan masyarakat tertutup. Lainnya adalah achieved status yaitu kedudukan yang dicapai melalui usaha, berlandas kecakapan, terbuka bagi siapa saja yang memenuhi syarat, sehingga berkembang dalam masyarakat terbuka.

Menurut Soekanto (2005:237-238) status sosial seseorang biasanya dinilai berdasarkan :

1) Ukuran kekayaan. Orang yang memiliki kekayaan terbanyak termasuk dalam lapisan teratas.

2) Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar termasuk dalam lapisan teratas.

3) Ukuran kehormatan. Orang yang paling disegani dan dihormati termasuk dalam lapisan teratas.

(41)

Fakta bahwa status sosial adalah penting, sedangkan pada sisi lain penyu-luh sulit untuk menempati lapisan atas masyarakat berdasarkan ukuran kekaya-an. Sebaiknya Penyuluh Sosial mengembangkan status sosialnya melalui pintu masuk ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu tersebut bisa dicapai melalui penguasaan kompetensi menyuluh, sehingga ia bisa melaksanakan perannya sebagai penyuluh. Diharapkan jika ukuran ini terpenuhi, maka Penyuluh Sosial termasuk dalam kategori orang yang disegani dan dihormati. Selain itu pengua-saan kompetensi penyuluhan akan menimbulkan wewenang keilmuan yang me-rupakan salah satu ukuran kekuasaan.

Pengalaman Kerja

Pengalaman adalah hasil proses belajar yang dicapai seseorang dari keter-libatannya secara langsung dalam suatu peristiwa atau situasi lampau. Jika hasil-nya baik dan proses pencapaianhasil-nya cukup memberi kesan, maka akan menda-tangkan kepuasan. Sebaliknya, jika tidak baik dan prosesnya mengalami ham-batan atau gangguan, maka akan menghasilkan kekecewaan.

Perbedaan pengalaman akan menghasilkan perbedaan kemampuan (Newcomb, 2004:244). Penjelasannya diungkapkan oleh Padmowihardjo (1994: 18-20):

(42)

Pengalaman kerja seseorang dapat diukur dengan mengetahui durasi atau berapa lama seseorang telah melakukan suatu pekerjaan. Durasi waktu tersebut dapat menjadi gambaran berapa lama seseorang mempelajari dan menekuni pe-kerjaannya, sehingga dapat dikatakan bahwa lebih lama seseorang melakukan suatu pekerjaan, ia akan lebih berpengalaman dalam pekerjaan tersebut

Instrumen Penentuan Kebutuhan Latihan

Menurut Gilley dan Eggland (1989:198) kebutuhan bermakna sebagai ke-inginan, minat, dan kekurangan. Lebih spesifik Gilley dan Eggland (1989:218) menyatakan bahwa kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan saat ini de-ngan keadaan yang diinginkan. Dede-ngan kata lain kebutuhan adalah perbedaan antara ”what is” dengan ”whatshould be”.

Lebih jauh, Atwood dan Ellis (Gilley dan Eggland, 1989:197) mengartikan kebutuhan yang dikaitkan dengan dampaknya: ”Kebutuhan adalah kekurangan yang menurunkan kesejahteraan hidup manusia”. Johnson (1995:2) menyatakan kebutuhan adalah kekurangan yang menghambat perkembangan atau keber-fungsian manusia atau sistem (Johnson, 1995:2). Sejalan dengan dua pendapat tersebut, Slamet (Tamba, 2007:25) menyatakan: ”Tidak terpenuhinya kebutuhan akan menyebabkan ketidakseimbangan fisiologis dan psikologis”.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan adalah kondisi kekurangan dari yang seharusnya atau dari yang diharapkan. Da-lam pengembangan sumber daya manusia, kondisi atau keadaan tersebut berupa kecakapan atau keahlian (pengetahuan, sikap, keterampilan), kinerja, atau situasi.

Sejalan dengan pengertian kebutuhan tersebut, kebutuhan latihan didefini-sikan oleh Rae (1990:12), Halim dan Ali (1997:137), Mangkuprawira dan Hubeis (2007:85) sebagai kondisi kesenjangan atau kekurangan antara pengetahuan, si-kap, dan keterampilan yang dikuasai saat ini dengan yang seharusnya dimiliki. Kesenjangan tersebut menjadi masalah yang mengawali munculnya perbedaan antara kinerja yang diharapkan dengan kinerja yang ditampilkan.

(43)

Latihan adalah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap, agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tang-gungjawab dengan semakin baik, sesuai dengan standar tertentu (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:72).

Menurut Davies (2005:34-35) latihan dibutuhkan karena ada masalah, tan-tangan atau tuntutan pengembangan. Hal itu terkait dengan rangsangan yang muncul berupa:

1) Kreativitas yaitu cara pengoperasian yang benar-benar baru. 2) Inovatif, mengembangkan sistem yang sudah ada atau

per-luasannya.

3) Preventif, mencegah sebelum kesalahan muncul. 4) Kuratif, menangani setelah kesalahan muncul.

5) Memadamkan kebakaran, membetulkan kesalahan ketika peris-tiwa sedang terjadi.

Bagi organisasi yang ingin berkembang, rangsangan untuk menyelengga-rakan latihan selalu ada, jika tidak, maka organisasi akan stagnan dan lambat lun akan ditinggalkan oleh pelanggannya karena tidak terpenuhinya harapan a-kan pelayanan yang berkualitas.

Sedangkan dari sisi individual, seseorang belajar atau melakukan sesuatu karena tiga hal yaitu (1) pemenuhan kebutuhan jasmani seperti lapar dan sakit, (2) kesenangan naluriah dan ingin tahu, dan (3) mempelajari pemenuhan kebu-tuhan bentuk-bentuk perilaku yang berorientasi pada sasaran yang dibinanya.

Mosher (1966:138-139) menegaskan:

Untuk mempercepat pembangunan (pertanian) maka petugas teknis yaitu penyuluh perlu diberikan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya…Usaha itu berupa latihan-latihan yang dilakukan pada awal masa jabatannya, terlebih penting lagi latihan-latihan yang dilakukan semasa ia menjalankan pekerjaannya. Pendapat tersebut dapat diterapkan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, dengan demikian pegawai Dinas Sosial perlu memperoleh latihan sepan-jang masa melakukan pekerjaannya, termasuk pekerjaan menyuluh.

(44)

Hasil evaluasi pada Tenaga Kesejahteraan Sosial Pemerintah pada re-gional Kalimantan (BBPPKS, 2005:10-12) lebih menguatkan dugaan bahwa pe-gawai Dinas Sosial yang melakukan penyuluhan sosial memerlukan latihan. Indikasinya adalah:

1) Berlatar belakang pendidikan formal non pekerjaan sosial se-hingga kurang cakap dalam melakukan analisis masalah kese-jahteraan sosial. Akibatnya sering memberikan rekomendasi yang kurang tepat dalam memberikan pelayanan sosial bagi klien.

2) Seringkali menempatkan diri sebagai orang yang lebih tahu ten-tang masalah klien dan pemecahan masalahnya tanpa mem-pertimbangkan pendapat klien.

3) Karena alasan kepraktisan, kegiatan penyuluhan lebih banyak dilakukan dalam kelompok besar yang kurang intim, sehingga sulit untuk menjalin hubungan yang hangat dan akrab antara petugas dengan klien.

4) Indikator keberhasilan penyuluhan menggunakan tingkat fre-kuensi terselenggaranya kegiatan, bukannya indikator fungsio-nal yang menunjukkan perubahan kemampuan klien dalam me-menuhi kebutuhan dan memecahkan masalahnya.

5) Canggung dalam berkomunikasi dengan klien, hal ini karena ku-rang adanya kepercayaan pada kemampuan diri sendiri dalam membantu klien memecahkan masalahnya.

Hickerson dan Middleton (1975:13), Rae (2002:8), Boydell (Davies, 2005: 119) menyatakan bahwa model latihan yang efektif terdiri atas tahapan analisis kebutuhan latihan, merancang tujuan latihan, merancang latihan, melaksanakan latihan, evaluasi (formatif dan sumatif). Gilley dan Eggland (1989:214) mengemu-kakan sembilan tahap latihan yaitu falsafah mengajar dan belajar, analisis kebutuhan, umpan balik, disain program, pengembangan program, implementasi program, manajemen program, evaluasi, dan akuntabilitas. Dalam versi yang lebih ringkas, Irianto (2001:30) menyatakan bahwa latihan mempunyai tahapan integratif yang terdiri atas tahap penentuan, tahap implementasi, dan tahap evaluasi.

(45)

Salah satu model yang ditawarkan Gilley dan Eggland (1989:209) untuk penentuan kebutuhan adalah individual appraisal models. Model ini terdiri atas dua jenis yaitu kolaboratif dan nonkolaboratif. Dalam model kolaboratif, karyawan dibantu orang lain untuk mengklarifikasi kebutuhannya, sedangkan nonkolabora-tif, karyawan menentukan sendiri kebutuhannya. Model nonkolaboratif mengan-dung kelemahan, karena biasanya yang bersangkutan tidak cukup mengenali dan tidak memahami esensi kebutuhan belajar.

Dengan demikian, colaborative individual appraisal models lebih baik dalam penentuan kebutuhan latihan. Hal tersebut didukung oleh Halim dan Ali (1997: 137) yang menyatakan bahwa penentuan kebutuhan latihan dapat dilakukan de-ngan cara analisis individual yang bertujuan mengidentifikasi kebutuhan latihan spesifik bagi seseorang atau sekelompok orang. Analisis tersebut dipusatkan ke-pada pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dikembangkan agar mampu melaksanakan suatu pekerjaan.

Terkait dengan model tersebut, Arboleda (Jarmie, 1985:32) menyatakan bahwa metode terbaik untuk mengetahui kebutuhan latihan adalah dengan mela-kukan survei pada calon peserta latihan, karena survei yang dilamela-kukan pada sampel acak, dapat digeneralisasi pada populasi asal sampel. Berdasarkan hal tersebut, metode survei deskriptif pada sampel yang ditarik secara acak dari sua-tu populasi, adalah cara yang tepat unsua-tuk menensua-tukan kebusua-tuhan latihan pega-wai Dinas Sosial dalam penyuluhan sosial.

Terdapat beberapa alat pengumpul data dalam survei, salah satunya ada-lah kuesioner yang menurut menurut Gilley dan Eggland (1989:202), Halim dan Ali (1997:137), Irianto (2001:39) tepat untuk mengumpulkan data kebutuhan la-tihan.

(46)

Kesahihan (validitas) menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin kita ukur (Singarimbun dan Effendi, 1989:122; Kerlinger, 2004: 730). Menurut Kerlinger (2004:731-734) salah satu tipenya ada-lah validitas isi atau muatan (content validity). Validitas isi adalah kerepresen-tativan atau kepadahan sampling (memadai-tidaknya sampling) yang terdapat dalam muatan suatu instrumen pengukur. Sedangkan kata muatan menyiratkan pengertian substansi, bahan, topik. Validitas muatan dibimbing oleh pertanyaan:

Gambar

Gambar 2 Lima peringkat teratas PMKS di Kalsel
Gambar 4  Contoh instrumen untuk mengukur kemampuan
Gambar 5 dan 6.
Gambar 7 Contoh instrumen untuk mengukur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Total curahan tenaga kerja terbanyak yang dilakukan oleh petani dan keluarga yaitu pada usaha hutan rakyat 176 HOK (Desa Karyabakti), usaha sawah 110 HOK (DesaTanjungkerta), usaha

Sebagaimana halnya untuk subtes Verbal dan subtes Kuantitatif, pada subtes Penalaranpun tampak bahwa aitem-aitem yang lebih sulit cenderung memiliki Jurnal Penelitian dan

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena

Proses penetapan segmen pasar yang paling menarik yang kemudian akan dijadikan target utama perusahaan dalam kegiatan akhir dari pemasaran yaitu penjualan, berdasarkan

Tentukan harga x dan y dalam persamaan linier simultan sebagai berikut dengan cara determinan yang menggunakan aturan Cramer. selsesaikan persamaan linier simultan seperti dibawah

yang terjadi setelah agak lama makanan masuk ke dalam lambung (Depkes R.I, 1994). Muntah adalah pengeluaran isi lambung secara eksklusif melalui mulut dengan Muntah adalah

Tugas Pokok ; melakukan koordinasi sistem pelaksanaan upaya pembinaan, peningkatan kepesertaan dan pengembangan, pengelolaan pelayanan serta pemantauan dan penanganan

online yang dibuat oleh konsumen dengan grab car sebagai penyedia jasa transportasi online tersebut dianggap tidak pernah ada,.. sehingga tidak ada dasar bagi para pihak baik