• Tidak ada hasil yang ditemukan

[Pembelajaran Karakter] Bab ii. manusia belajar dari sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "[Pembelajaran Karakter] Bab ii. manusia belajar dari sejarah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MANUSIA BELAJAR DARI SEJARAH

Selama manusia ada, sejarah akan terus bergulir. Sejarah sudah ada ketika manusia pertama ada. Kita tahu kemudian sejarah dunia berkembang karenanya. Sejarah juga kemudian menjadi cerita masa lalu dimana banyak pelajaran bisa dipetik darinya. Sejarah kemudian menjadi penting bagi manusia. Tidak heran jika pelajaran sejarah ada di sekolah. Sebuah tindakan bodoh jika sejarah dihapus sebagai mata pelajaran di sekolah umum.

Sejarah telah memberi banyak pelajaran bagi manusia. Manusia berusaha untuk tidak jatuh pada lubang yang sama. “Seekor keledai pun tidak akan jatuh pada lubang yang sama,” begitu kata orang-orang Belanda. Manusia tentu tidak ingin terperosok pada kesalahan yang sama. Artinya, jika manusia melakukan kesalahan yang sama, maka manusia itu sungguh kalah dungu dengan keledai. Sejarah telah menunjukan pada kita bagaimana beberapa manusia mengulang kesalahan yang pernah di lakukan manusia lain.

A. Manfaat Sejarah

Sejarah memiliki peranan penting dalam pembentukan identitas dan kepribadian bangsa. Sebuah masyarakat pasti membutuhkan identitasnya masing-masing. Suatu masyarakat atau bangsa tak mungkin akan mengenal siapa diri mereka dan bagaimana mereka menjadi seperti sekarang ini tanpa mengenal sejarah. Tidak heran jika pelajaran adalah pelajaran yang harus ada di sekolah. Tanpa sekolah pun, manusia sendiri kadang dituntut oleh dirinya sendirilalu dengan sukarela mencari jati dirinya. Hingga dia akan tahu sejarah dirinya.

Sejarah dengan identitas bangsa memiliki hubungan timbal-balik. Akar sejarah yang dalam dan panjang akan memperkokoh eksistensi dan identitas serta kepribadi suatu bangsa. Bangsa itu, karenanya, akan bangga dan mencintai sejarah dan kebudayaannya.

(2)

berbagai alternatif untuk memilih begitu banyak cara hidup (a multitude of ways).

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Nugent (1967) mengatakan dengan tegas bahwa “Know other peoples, know yourself.” Setiap orang adalah produk masyarakat dan masyarakat adalah produk masa lampau, ialah produk sejarah. Dengan mempelajari sejarah kita akan mampu menghindari berbagai kesalahan dan kekurangan masyarakat masa lampau untuk kemudian memperbaiki masa depan1.

Ini adalah pertanyaan klasik, namun selalu mengusik dan menggugah hati manusia dari dahulu hingga saat sekarang ini. Sejak zaman Sokrates, Herodotos (484 – 425 s.M), dan Thucydides (456 – 396) orang memandang sejarah sebagai teladan kehidupan. Teori ini disebut sebagai the examplar theory of history.

Dimana pun, sejarah dapat memberikan nilai atau norma yang dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Bagi orang-orang Tionghoa, dimasa lalu hingga kini

barangkali, sejarah merupakan cermin kehidupan. Tradisi penulisan sejarah bagi bangsa Tionghoa sudah sangat tua dan sudah banyak hasilnya. Hasil penulisan itu sering

menjadi acuan bagi penulisan sejarah modern. Raja atau dinasti yang sedang berkuasa di Tiongkok, merasa memilik keharusan untuk menuliskan sejarah raja atau dinasti yang digantikannya.

Orang-orang Romawi yang begitu mengagungkan kejayaan, punya pemikiran sendiri soal sejarah. Mereka percaya penuh bahwa Historia Vitae Magistra, yang berarti sejarah adalah guru kehidupan. Demi mencapai hidup yang lebih baik seseorang harus mau dan harus berguru kepada sejarah.2

Ada yang berpendapat, sejarah adalah akumulasi rekaman pengalaman manusia. Mempelajari sejarah berarti mempelajari segala bentuk puncak pengalaman dan perubahan yang telah dicapai manusia sepanjang abad silam. Dengan berbekal sejarah masa lampau manusia memperoleh bekal dan titik pijak untuk membangun sejarah baru.

Kehidupan manusia selalu harus selalu berdialog dengan sejarah masa lalu agar dapat membangun sejarah di masa sekarang menjadi lebih baik lagi, serta memproyeksikan pandangan ke dalam sejarahnya di masa mendatang. Dimensi kesejarahan menuntut manusia untuk selalu melakukan pembaharuan dan berupaya mencapai kemajuan. 3

Menurut Robert Jones Shafer (1974) manfaat sejarah adalah sebagai berikut:

pertama,memperluas pengalaman-pengalaman manusiawi. Belajar sejarah sama artinya berdialog dengan masyarakat dan bangsa manapun dan di saat kapan pun. Dari

1 http://intl.feedfury.com/content/17146948-manfaat-pendidikan-sejarah.html 2Ibid.

(3)

pengalaman sejarah itu orang dapat menimba pengalaman-pengalaman dalam menghadapi dan memecahkan problem-problem kehidupan dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pada dasarnya masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupannya hampir sama, yang berbeda adalah detail dan

intensitasnya. Cara mengatasi dan memberikan tanggapan terhadap masalah, baik secara intelektual maupun secara emosional, juga tidak terlalu berbeda. Dengan belajar sejarah, karenanya, sikap dan kepribadian seseorang akan menjadi lebih matang. 4

Kedua,dengan belajar sejarah akan memungkinkan seseorang untuk dapat memandang sesuatu secara keseluruhan (to see things whole). Sejarah menawarkan begitu banyak dan bervariasi (the multiplicity or variety) kondisi dan pengalaman manusia. Tidak ada disiplin ilmu yang mampu menyajikan rekaman pengalaman manusia yang begitu menyeluruh, selain sejarah. Agama, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial lainnya memberikan sumbangan yang sama, namun hanya sebatas dan menurut cara ilmu itu sendiri. Dimensi keseluruhan dalam sejarah diharapkan akan mampu membangun keutuhan kepribadian manusia.5

Bisa kita tangkap betapa sejarah akan sangat membantu manusia merumuskan keputusan yang diambil untuk masa depannya. Dan juga manusia bisa paham siapa dirinya. Sejarah akan menuntun manusia menjadi bijak dengan tidak mengulang kesalahan sama.

Lupa, adalah penyakit kronis yang dimiliki hamper semua manusia. Sangat penting bagi manusia untuk berjuang melawan lupa. Lupa, seperti kata Milan Kundera, adalah rezim paling berbahaya dan mengerikan. Tidak ada yang lebih membodohkan dan menjerumuskan selain lupa.

Ada pepatah Belanda yang menyebutkan, “seekor keledai tidak akan jatuh pada lubang yang sama.” Maksudnya, kesalahan di masa lalu janganlah sampai terulang kembali di masa sekarang maupun di masa mendatang. Itulah gunanya memori yang melawan lupa. Membantu manusia menghindari lubang kesalahan yang bisa jadi teramat fatal

Dengan menjadi bijak, manusia bisa mengambil keputusan dengan baik. Perlu banyak bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan, latar belakang sejarah perlu dipahami agar tidak menyesal di kemudian haril. Sangat perlu sekali bagi para pengambil keputusan untuk menengok ke masa lalu. Hal ini karena sejarah memiliki arah gerak. dengan melihat arah gerak, maka semakin banyak hal yang bisa diramalkan apa yang mungkin terjadi di masa depan.

(4)

Selain itu, sejarah juga bisa memberikan banyak teladan posotif bagi generasi baru untuk menjadi diri mereka di kemudian hari. meski bisa menjadi diri sendiri, sangat wajar bagi abak-anak untuk belajar dari tokoh-tokoh sejarah yang mereka kagumi, atau barangkali dari yang mereka benci sekali pun. Sejerah juga membuat mereka bijak dan kritis dalam menilai sebuah kondisi. Dengan sejarah, mereka juga bisa membentuk karakter dari tokoh idola mereka.

B. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter seperti hal baru bagi banyak orang di Indonesia. Sebelumnya, pendidikan dianggap bukan masalah karakter. Pendidikan hanyalah perkara memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan paling buruk adalah pendidikan hanya mencari ijazah semata. Jelasnya, jarang ada orang berpikir jika pendidikan adalah pembentukan karakter.

Sebanarnya, ada tujuan lain pendidikan. Yakni untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi.

Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi

merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi

penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering

(5)

rohani, antara `independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.6

Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 7

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), nyatanya kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. 8

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.9

6 Seperti disusun Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma: dalam

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm

7 Akhmad Sudrajat, Tentang Pendidikan Karakter,

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/ 8Ibid.

(6)

C. Belajar dari Taman Siswa dan Kayu Tanam

Ada dua sekolah penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dua sekolah ini bukan pesantren namun sejak awal adalah sekolah yang bisa membawa dan membangun manusia Indonesia baru. Bagaimana tidak, sekolah ini meski kualitas dan fasilitas pengajaran kurikulum modern-nya kalah disbanding sekolah pemerintah milik pemerintah colonial, sekolah ini sudah berpikir tentang pendidikan karakter. Dua sekolah itu bisa dibilang modern di zamannya.

Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi

Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan

perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dan lain

sebagainya. Sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.10 Begitulah kira-kira cita-cita Ki Hajar Dewantara sang pendiri taman Siswa.

Bisa dibilang, Tamansiswa cukup anti intelektualisme juga.Artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu

berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.11 Dimana kemampuan intelektual terarah dengan baik dan tidak melahirkan generasi frustasi yang arahnya mengarah pada pengerusakan.

Tujuan dari pendidikan yang dijalankan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.12

Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa dengan tujuan tercapainya masyarakat tertib dan damai (orde en vrede) serta keluarga bahagia. Ketertiban atas nama kadaver disiplin ala diktator tentu tidak menimbulkan kedamaian, demikian pula kedamaian tanpa ketertiban tentu akan membahayakan perdamaian itu sendiri.13

10Sejarah Taman SIswa, http://tamansiswa.org/sejarah-tamansiswa.html 11Ibid.

12 Ibid.

(7)

Pendidikan yang diajarkan pelopor bagi kaum pribumi Indonesia di jaman penjajahan Belanda itu sifatnya mandiri, merdeka dan swadaya. Hal itu sangat cocok untuk dikembangkan untuk pendidikan nasional.14

Di masa Ki Hadjar, perbedaan pendidikan dengan persekolahan tidak dirasa mendesak. Ketika itu, kehidupan relatif sederhana dan lembaga-lembaga religius, adat, keluarga, melalui nilai-nilai kemanusiaan yang dipegangnya, masih efektif mempengaruhi perilaku individu. Walaupun begitu, Ki Hadjar sudah mendasarkan pendidikan kebangsaannya pada kebudayaan, agar natur pembelajaran tidak tergelincir ke luar rel pendidikan dan demi pengukuhan kesadaran berbangsa dan bertanah air sama.15

Pendidikan, sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan, adalah suatu proses yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, humanitas, bangsa, dan negara. Persekolahan adalah bentuk institusional dari pendidikan yang berusaha, karena resmi ditugasi oleh pendidikan, menetapkan bentuk-bentuk yang relevan dari nilai-nilai tadi-aneka pengetahuan, keterampilan, seni, norma, dan lain-lain-dan mentransmisikannya kepada anak didik. Sekolah memang yang melayani "keseluruhan pendidikan untuk anak" (the whole of education for the child), tapi pendidikanlah yang mendidik "keseluruhan pribadi anak" (the whole child). 16

Maka pendidikan adalah usaha yang mempengaruhi hidup dan kehidupan, di dalam dan di luar sekolah, yang mengakibatkan perubahan dalam perilaku individu, apakah dalam kebiasaan, karakter, atau intelektualitasnya. Perubahan ini terjadi selama hidup, tak perlu berkaitan dengan kelulusan atau suatu kejadian tertentu yang bersifat publik atau privat. Artinya, pendidikan terjadi dalam situasi dan institusi di luar sekolah-dalam pendidikan nonformal, di rumah, atau pendidikan informal, dan dalam pergaulan sehari-hari (media massa, peer group dan non-peer group, dan lain-lain). "Pendidikan" yang terakhir disebut ini tak jarang merusak karena sulit dimintai pertanggungjawabannya. 17

Selain Tamansiswa, Indonesia masih punya INS Kayutanam kita memiliki banyak tokoh pendidikan yang hebat dalam konsep pendidikan dalam membangun bangsa Indonesia. Sebagai contoh, Engku Moehammad Syafei yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda, ia mendirikan INS Kayu Tanam. Tokoh pendidikan ini

14 Menurut Wuryadi, ketua Ketua Majelis Luhur III Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Persatuan Tamansiswa Yogyakarta.

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/05/02/16814/Ajaran-Ki-Hajar-Dewantara-mulai-Ditinggalkan

15 Daoed Joesoef, Kebudayaan, Pendidikan dan Persekolahan, Tempo, 3 Mei 2010

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/05/03/KL/mbm.20100503.KL133434.id.html

(8)

berkeyakinan konsep yang ada di INS Kayu Tanam akan mendidik siswa berwatak mandiri, berkemauan, dan bekerja keras.18 Seorang guru INS Kayu Tanam menulis:

INS Kayutanam didirikan oleh Engkoe Mohammad Syafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam sebuah desa kecil yang terdapat di Kecamatan 2X11 Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman. Engkoe Mohammad Sjafei adalah anak angkat Inyiak Marah Sutan dan Andung Khadijah. 31 Mei tahun 1922 Moh. Sjafei dikirim belajar ke Belanda oleh Inyiak Marah Sutan dan kembali tahun 1924. Tahun 1925 lagu Indonesia Subur diciptakan yang merupakan gubahan puisi Anduang Khadijah dan Inyiak Marah Sutan sebagai cikal bakal dan cita-cita besar lahirnya INS Kayutanam.19

Tujuan sistem INS Kayu Tanam adalah mendidik murid agar memiliki etos kerja di suatu sisi atau dalam istilah lain ialah menumbuhkan sikap “tidak senang diam” selalu saja ingin berbuat atau memikirkan sesuatu yang berfaedah, sedangkan di sisi lain menumbuhkan sifat aktif dan kreatif. Di INS Kayutanam, ditekankan pula untuk menghilangkan sikap mental ikut-ikutan atau ikut arus; Memantapkan pendirian atau sikap mandiri; Menumbuhkan semangat kompetitif yang sehat. 20

Ttujuan INS kayu tanam yang didirikan oleh muhamad syafei adalah agar peserta didik mermiliki kemampuan penting dalam dirinya dalam bersikap. Pertama, menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama, etika dan moral). Kedua, menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif). Ketiga, menumbuhkembangkan pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang tinggi. Keempat, menanamkan percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship. Dan keenam, mewujudkan dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita.

Sangat penting bagi dunia pendidikan Indonesia untuk lebih bisa berkaca pada INS Kayu Tanam mengenai pendidikan berkarakter. Harus disadari, dunia pendidikan Indonesia kurang belajar dari sekolah yang dibangun pada zaman pergerakan nasional itu. Dunia pergerakan nasional adalah dunia yang menganggap penting untuk menjadikan pendidikan sebagai investasi mada depan.

18Konsep INS Kayu Tanam, http://edu-articles.com/konsep-ins-kayutanam/

19 Pariadi, Sistem Pendidikan INS Kayu Tanam, 2008, http://iti-ins.com/moduls.php?

op=sis_article&category_id=255&article_id=96

(9)

D. Masalah Dalam Pelajaran Sejarah

Pelajaran sejarah Indonesia, selalu menanamkan adanya musuh bersama. Maksud dari adalah agar orang Indonesia waspada pada imperialisme barat. Misal, dalam pelajaran sekolah selalu ditulis Belanda membunuh rakyat Indonesia. Kata Belanda itu sebenarnya memiliki arti yang sedemikian luas. Bisa seluruh rakyat Belanda, termasuk keluarga kerajaan Belanda. Faktanya, pelaku pembunuhan adalah tentara Belanda, yang diantaranya adalah orang Indonesia yang kebtulan menjadi tentara Indon`esia.

Padahal tidak semua orang Belanda suka dengan pendudukan tentara Belanda di Indonesia. Beberapa anggota wajib militer kebanyakan terpaksa ikut perang ke Indonesia. Beberapa dari mereka itu merasa tidak ingin nasib yang mereka alami di zaman pendudukan NAZI Jerman atas Negeri Belanda terulang pada Indonesia dan mereka sendiri sebagai tentara pendudukannya. Beberapa orang Belanda itu tidak pernah alami pelajaran sejarah bagaimana NAZI menduduki negeri mereka. Namun dari sejarah hidup mereka yang mengerikan itu, mereka sudah mampu belajar untuk tidak menyakiti orang lain seperti mereka pernah alami.

Belajar sejarah seolah diajarkan untuk membenci. Bukan rahasia umum jika hampir seluruh orang Indonesia membenci kaum komunis. Bagi mereka kaum komunis adalah pendosa yang tak perlu diampuni. Kaum komunis dianggap pemberontak yang selalu merugikan Indonesia. Kasus pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat tahun 1965 menjadikan kaum komunis sebagai pelaku pembunuhan. Padahal pelaku pembunuhan adalah sekelompok tentara yang tidak suka dengan kesewenangan Jenderal AD tadi.21

Pemerintah orde baru uterus menjadikan kaum komunis sebagai musuh bersama untuk melanggengkan gaya warlord-nya Suharto. Karenanya menjadi wajib untuk menjelek-jelekan kaum komunis dalam pelajaran sejarah anak-anak SD. Bagi anak yang tidak ada sangkut pautnya dengan komunis tentu bukan masalah, namun bagi anak yang keluarganya terkait dengan komunis tentu akan menjadi sesuatu yang menyakitkan.

Dibenci bukan hal menyenangkan bagi anak usia sekolah. Ini adalah dampak buruk bagi perkembangan anak tersebut. Selain nasibnya sudah ditentukan untuk dipersulit mencari kerja di lembaga pemerintah, kepercayaan diri mereka di lingk`ungan masyarakat juga terhambat walaupun sebenarnya mereka punya bakat menonjol.

Jelas apa yang dilakukan pendidikan orde baru jelas mebunuh karakter anak Indonesia. Menjadikan sebagian kaum pembenci dan pendengki dan menjadikan

(10)

sebagian yang lagi kehilangan kepercayaan dirinya. Dan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, hanya omong kosong belaka karena hak berkembangnya karakter positif bagi sebagian anak-anak telah dimatikan.

Tokoh yang paling ditonjolkan adalam pelajaran sejarah di sekolah umumnya hanya pemimpin paling berkuasa. Sementara tokoh-tokoh yang punya nama karena kejujurannya begitu jarang diangkat. Penyimpangan ini tidak seolah bukan menjadi hal penting. Semua merasa hal ini bukan hal yang punya pengaruh buruk. Sikap yang tidak bersahabat itu bisa berakhir buruk. Sisi negatif ini adalah hal yang tidak bisa dihindari.

Selain kurikulum yang mengajari kebencian tadi, rupanya waktu pembelajaran sejarah di sekolah bisa dibilang sangat kurang. Pelajaran sejarah menjadi pelajaran minor. Dalam hal alokasi waktu dan tanggapan banyak siswa. Hingga sejarah pun menjadi pelajaran yang begitu dihindari dan membosankan.

Pertama, pelajaran sejarah yang diajarkan kurang kontekstual, bahkan dianggap Jawasentris. Pelajaran sejarah local dimana siswa berada kurang dipelajari. Pelajaran sejarah local, meski tidak diajarkan di sekolah, biasanya dipelajari sendiri oleh siswa dengan mendengar cerita-cerita orang tua. Atas nama persatuan, sejarah yang diajarkan di sekolah selalu barbau Jakartasentris, seolah Indonesia hanya Jakarta. Kedua, pelajaran sejarah di sekolah selalu menuntut siswa untuk menghafal. Siswa kurang bisa diajak belajar `mendalami sejarah.

Kegagalan pelajaran sejarah di Sekolah bukanlah kesalahan guru sejarah di sekolah. Jam pelajaran sejarah sekolah juga bisa dibilang cukup kurang. Bagaimana mungkin siswa paham dengan pelajaran sejarah yang diajarkan dalam waktu singkat dan dalam kondisi `yang tidak menyenangkan.

Menurut Staf Program Pendidikan ISSI, Grace Leksana, mengatakan, beberapa faktor penyebab itu, pertama, adalah belum lengkapnya buku-buku dan sumber belajar yang tersedia secara gratis. Kedua, terbatasnya jam tatap muka dan adanya perbedaan materi ajar pendidikan Sejarah di program IPA, IPS, dan Bahasa. Ketiga, masih terbatasnya kegiatan pengembangan profesi guru Sejarah, baik dalam bentuk pelatihan, lokakarya, maupun seminar. Menurut Grace Leksana:

"Keempat, sangat terbatasnya peran guru Sejarah dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan, khususnya terkait dengan pendidikan Sejarah. Kelima, minimnya fasilitas dan pendanaan yang diberikan pemerintah pusat dan daerah terhadap pengembangan organisasi profesi guru Sejarah.” 22

22 Aprianita, Empat Sebab Pelajaran Sejarah Mandek, Kompas, Jum’at, 12 November 2010.

(11)

Ratna Hapsari, Ketua AGSI, mengaku sangat prihatin dengan kondisi kurikulum pendidikan Sejarah Indonesia saat ini yang terlalu padat. Seharusnya, kata dia, materi-materi yang disampaikan adalah materi-materi yang esensial. "Maksud esensial adalah materi-materi dimengerti oleh siswa untuk membangun nilai-nilai bangsa," ujar Ratna. Sebagai contoh, lanjut dia, pada materi sejarah zaman Majapahit, toleransi antaragama semestinya bisa dipelajari dan nilai-nilai positifnya bisa diambil anak didik.

Sekarang ini pelajaran Sejarah terbelenggu oleh kurikulum yang linear, yaitu bersifat menghafal. "Setiap sejarah di Indonesia seharusnya dimaknai, dibenahi, dan

dikembangkan lewat suatu metode diskusi, misalnya siswa harus bisa mempresentasikan apa yang didapatnya dari materi tersebut," lanjut Ratna.23

Lebih lanjut, Ratna mengatakan bahwa metode pembelajaran bisa dikembangkan melalui pelatihan secara intensif, berkesinambungan, dan yang terpenting harus memiliki kontrol. Ia mengatakan, pelatihan selama berbulan-bulan yang tanpa umpan balik bagi anak didik pada akhirnya hanya akan mengembalikan metode pembelajaran secara hafalan.24 Hafalan nampaknya harus segera ditinggalkan oleh dunia pendidikan Indonesia.

Sekretaris Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Bambang Indriyanto berpendapat Program Pendidikan Karakter yang sejatinya akan diluncurkan oleh Presiden pada saat itu dinilai sangat penting. Menurut Bambang, siswa dengan karakter yang kuat pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Beberapa karakter yang ingin dibangun berkaitan dengan nilai-nilai yang umum diterima secara luas oleh masyarakat, antara lain: kejujuran, disiplin, dan kebersihan. Sementara karakter yang bersifat kearifan lokal tetap diakomodasi melalui pendidikan yang spesifik di tiap daerah. Menurut Staf Khusus Menteri Bidang Komunikasi Media, Sukemi, "Karakter di sini adalah yang bersifat common sense. Tentu tetap dibingkai dengan karakter yang sifatnya merupakan kearifan lokal."25

E. Harus benar-benar Diterapkan

23Ibid. 24Ibid.

25

Bangun Keberadaban Bangsa, Program Pendidikan Karakter Disiapkan, Tempointeraktif, Rabu, 28 April 2010 | 12:33 WIB,

(12)

Sukemi mengatakan, karakter tersebut bukan hal yang baru di masyarakat. Karena itu, Kemen Diknas melihat program ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi pendidikan karakter. "Tidak ada yang baru dengan karakter yang akan dibangun. Karena itu tahun ini kami akan melakukan revitalisasi karakter-karakter ini," ujar dia.

Menurut Sukemi, pembangunan karakter telah menjadi isu penting di berbagai

Kementerian. Karena itu, Presiden akan mencanangkan program nasional pembangunan karakter bangsa. Dengan begitu, pembangunan karakter dapat dilakukan secara

serempak di berbagai sektor pemerintahan. 26

Pembangunan karakter bangsa melalui pelajaran sejarah juga sangat penting. Sejarah Indonesia, maupun dunia, bisa membangun karakter anak Indonesia menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang memiliki karakter positif karena menjalankan nilai-nilai positif pula.

Pendidikan karakter melalui pelajaran sejarah sudah bisa dilaksanakan pada siswa sekolah dasar secara bertahap. Pelajaran sejarah yang diberikan sebenarnya juga tidak perlu berupa materi-materi berat seperti yang ada dalam kurikulum sekarang. Sebaiknya pembelajaran karakter di SD cukup dengan memperkenalkan sosok-sosok teladan Indonesia terlebih dahulu. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan kunjungan ke museum atau tempat-tempat bersejarah. Setelah pengenalan tokoh atau tempat-tempat bersejarah, sebaiknya siswa diberikan tugas untuk memberikan tanggapan soal tokoh atau tempat bersejarah yang diperkenalkan. Setelah diadakan evaluasi, maka guru pun memberikan penjelasan atau kesimpulan pada siswa

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan deskripsi teoritik dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah Terdapat perbedaan hasil belajar siswa menggunakan Model

1) Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2) Mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmiah. 3) Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains

Siswa yang memiliki efikasi tinggi dalam mengikuti proses pembelajaran kooperatif tipe TAI menjadi siswa lebih aktif dan siswa secara individu membangun keyakinan diri

peraturan kepada peserta didik sebaiknya ia juga memberikan alasan-alasan yang mudah dipahami tentang peraturan tersebut sehingga peserta didik akan menaati

Pada hakekatnya, metode pembelajaran kooperatif merupakan metode atau strategi pembelajaran gotongroyong yang tidak jauh berbeda dengan metode pembelajaran kelompok

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang pernah di lakukan untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar IPS diantaranya PTK yang dibuat oleh Azaika Hafidyaningtyas pada tahun

orang lain. 3) Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial. 4) Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.. 6) Peduli akan pemenuhan diri ( self-fulfilment

Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (studend oriented),