• Tidak ada hasil yang ditemukan

53 Status Imun

Imunitas

Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan sehat respon imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya subtansi asing. Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh dengan respon imun yang efisien. Akan tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respon imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit (Kresno 2001).

Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen. Bellanti & Joseph (1993) menyatakan defisiensi zat gizi termasuk zat gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada pertumbuhan anak. Zat gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respon imun (Muis 2001).

Sistem imun

Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu non spesifik dan sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem imun spesifik dan non spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun teresbut terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain (Bratawijaya dan Rengganis 2009). Berikut ini adalah gambaran umum sitem imun menurut Bratawijaya dan Rengganis 2009.

54 Gambar 1 Gambaran umum sistem imun

Sumber: Baratawijaya dan Rengganis (2009).

Menurut Tortora (2004) sistem imun non spesifik adalah sistem pertahanan tubuh, yang merupakan komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada induvidu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk kedalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi). Sistem imun ini disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon secara langsung (Bratawijaya 2006).

Imunitas non spesifik jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi , misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut non spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Samik dan Julia 2002).

Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh

NON SPESIFIK

SELULAR

SPESIFIK

FISIK LARUT HUMORAL SELULAR Kulit Selaput lendir Silia Batuk Biokimia - Lisozim - Sekresisebaseus - Asam lambung - Laktoferin - Asam neuraminik - Fagosit * Mononuklear * Polimononuklear - Sel NK - Sel mast - Basofil - Eosinofil - SD Sel B - IgG - IgA - IgM - IgE - IgD Sitokinin Sel T - Th1 - Th2 - Ts/Tr/Th3 - ThTd - CTL/Tc - Th17 Humoral - Komplemen - APP

- Mediator asal lipid - Sitokinin

55 sitem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imum tersebut. Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Bratawijaya 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan, begitu seterusnya (Tortora 2004).

Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun spesifik hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno 2001). Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono 2004).

Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intrasel contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno 2001). Imunitas humoral terdiri kelompok sel-B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan 20% dari limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, getah bening). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta antitoksik (Baratawijaya dan Garna 2002). Antibodi yang lepas dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respon imun humoral oleh karena infeksi dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan (kresno 2001).

Penilaian Status Imun

Intregritas respon imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas immunoglobulin didalam serum seseorang atau dengan

56 mengukur titer antibodi setelah diberikan stimulus antigenis yang cukup (Suyitno 1985). Analisis untuk mengukur respon imun humoral (antibodi) dapat dibagi menjadi tiga kelas yaitu primary binding test, secondary binding test, dan tertiary binding test. Metode yang paling sensitif (jumlah antibodi yang dapat dideteksi) adalah primary binding test yang merupakan suatu metode pengukuran langsung yang dilakukan pada interaksi antibodi-antigen. Salah satu metode yang termasuk dalam primary binding test adalah metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) (Kindt et al 2007).

IgG adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar 80% dari semua imunoglobulin dalam darah. Imunoglobulin dapat ditemukan dalam darah, limpa, dan usus. Kadar IgG meningkat secara lambat selama respons primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara cepat dengan kekuatan yang lebih besar pada paparan kedua (Corwin 2001). Terdapat empat subkelas pada IgG manusia yang dibedakan oleh jumlah dan urutan rantai yang sesuai dengan penurunan rata-rata kosentrasi serum. Empat subkelas tersebut antara lain : IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Goldsby et al 2007). Menurut Roitt (1991) Imunogllobulin G merupakan komponen utama immunoglobulin dalam serum. Respon imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap sampel darah anak. Kriteria IgG menurut Kurniati (2004) dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Klasifikasi status imun disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi status imun

Kadar titer IgG IU/ml Kategori

0,0-1,0 IU/ml Rendah

>1,0-1,5 Cukup

> 1.5 IU/ml Tinggi

Sumber: Kurniati (2004)

Peran Vitamin dalam Pembentukan Imunitas

Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil, namun sangat penting untuk reaksi-reaksi metabolik didalam sel, serta diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan. Mineral terutama mineral mikro terdapat (Almatsier 2006). Peran vitamin lam jumlah sangat kecil dalam tubuh, namun mempunyai peran sangat penting untuk kehidupan, kesehatan dan reproduksi (Piliang 2006). Menurut IOM (2000) Peran lain dari vitamin dan mineral adalah sebagai antioksidan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia.

57 Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises), vitamin dan mineral sebagai antioksidan untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat besi tersebut membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergrest

et al 2007).

Hasil penelitian Karyadi et al (2002) menunjukkan bahwa anak-anak kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan meningkatkan keparahan penyakit diare. Hal ini karena terganggunya sel ephitel pada sel saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan Semba et al (1993) dan Semba (1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap antigen T. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap antigen spesifik, apositosis dan menjaga intregitas lapisan mukosa (Rahman et al 1999). Peran vitamin A pada sel-sel mukosa diantaranya mukosa saluran cerna juga telah dibuktikan oleh Kotake-Nara et al (2000).

Status Vitamin A

Vitamin A

Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik komplek yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Pada umumnya vitamin A tidak dapat disintesis dari dalam tubuh. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah vitamin yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Linder 1992). Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama kali ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekusor/provitamin A/Karotenoid yang mempunyai aktivitas biologi sebagai retinol (Almatsier 2006).

58 Istilah Vitamin A biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni karotenoid provitamin A, retinol dan metabolit aktivnya. Secara fisiologis bentuk aktiv vitamin A yang utama adalah retinaldehida a dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol (Bender 2003).

Peran Vitamin A

Menurut Hartono (2000) Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Selain itu sangat penting untuk kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi. Apabila kekurangan vitamin A akan mengakibatkan buta senja, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, sering marah dan lesu. Vitamin A berfungsi membantu perkembangan tulang dan gigi, menyehatkan struktur sel pada kulit dan membran mukosa, serta membantu penglihatan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan (Almatsier 2000).

Stipanuk (2000) menyebutkan Vitamin A dan metabolismenya dalam spectrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain adalah esensial untuk penglihatan, reproduksi, fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi dan pemberian isyarat (Signaling). Selain itu Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Vitamin A mempunyai peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas. Vitamin A mutlak dalam memelihara sel-sel epitel dan memberikan rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan tubuh terhadap infeksi, juga menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat proses penuaan. Fungsi Vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi penglihatan (Moeljoharjo 1993).

Vitamin A dalam bahan pangan berbentuk beta karoten. Menurut Simon & Macmillan (1995), beta karoten merupakan zat gizi mikro yang banyak ditemukan pada buah dan sayur. Di dalam tubuh, beta karoten dikonversi menjadi Vitamin A. Beta karoten memiliki keuntungan lain yaitu sebagai antioksidan. Antioksidan adalah suatu subtansi yang dapat membantu melawan proses pembentukan radikal bebas, molekul yang tidak stabil dan dapat merusak sel. Radikal bebas yang terbentuk didalam tubuh saat metabolisme tubuh tidak normal diakibatkan faktor lingkungan seperti sinar x, merokok, konsumsi alkohol, dan zat pencemar

59 lainnya. Aktivitas antioksidan dari beta karoten mengatur pencegahan kanker dan sakit jantung serta dapat meningkatkan sistem imun.

Pangan Sumber Vitamin A

Pangan yang menjadi sumber beta karoten adalah wortel, brokoli, bayam, dan apricot (Simon & Macmillan 1995). Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan sayuran hijau daun, seperti bayam secara umum mengandung karotenoid dalam jumlah yang besar. Meskipun tomat mengandung beberapa vitamin A dengan karotenoid aktif, pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki aktivasi gizi. Buah-buahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid yang dapat diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum mengandung sangat sedikit vitamin A (Olson 1990).

Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani, terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia menghasilkan vitamin A1, sedangkan ikan air tawar mengandung terutama vitamin A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur. Secara tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawa- senyawa karotena, yang dalam saluran pencernaan diubah menjadi vitamin A (Moeljoharjo 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat daiandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya akan vitamin A. Termasuk kedalam pangan hewani adalah telur, daging, susu dan ikan (Khomsan 2004).

Kecukupan Vitamin A

Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukupan asupan vitamin A dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin serta keadaan fisiologis (Arisman 2002). Angka kecukupan vitamin A adalah jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status vitamin A pada level memuaskan atau cukup.

Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi transportasi dan penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika terdapat kekurangan energi dan protein (KEP). Tanda-tanda defisiensi vitamin A dapat pula terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah asupan vitamin A nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis RBP ( retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang

60 membuat protein tidak tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut menimbulkan gangguan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai gizi kurang tersebut (Hartono 2009).

Mengingat penting dan banyaknya peran vitamin A, maka kekurangan asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius (Muhilal & Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A cukup apabila dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak menunjukkan tanda defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A selama 3 bulan. Ada berbagai standard mengenai angka kecukupan vitamin A anak. Angka kecukupan vitamin A anak yang digunakan untuk menghitung kecukupan vitamin A dalam penelitian ini adalah menurut Muhilal dan Sulaeman (2004). Adapun kecukupan vitamin A anak disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A untuk anak-anak (µg RE/hari)

Kelompok umur Angka

Kecukupan (1998) IOM (2002) FAO/WHO (2002) FNRI (2002) Angka Kecukupan (2004) 1-3 tahun 350 300 400 400 400 4-6 tahun 400 400 450 450 450 7-9 tahun 400 400 500 400 500

Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004)

Penilaian Status Vitamin A

Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik untuk mengetahui status vitamin A, namun pengukuran dengan cara biopsi tidak mungkin dilakukan pada penelitian di lapangan. Karena tidak memungkinkan, total serum vitamin A atau konsentrasi retinol serum lebih sering digunakan sebagai gantinya (Gibson 2005).

Retinol serum diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi Vitamin A pada sampel. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl. Menurut Sommer dan West (1996) status vitamin A seseorang juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kandungan vitamin A dalam serum darah Tabel 3 berikut ini.

61 Kadar Serum Status vitamin A µg/dl µmol/liter ≥ 20 ≥ 0,Ò Normal 10 – 20 0,35 – 0,69 Low < 10 < 0,35 Deficient

Sumber: Sommer dan West (1996).

Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras. Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10 g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka panjang menurunkan konsentrasi retinol. Kurang energi protein dapat menurunkan apo-RBP, kekurangan zinc dapat menurunkan kadar retinol karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High

Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari

retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A

Menurut Linder (1992) Devisiensi Vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epithelium dibeberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel korne, paru-paru, kulit dan mukosa intestinal serta dapat menurunkan sel goblet intestinal dan permukaan vilus. Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan kemampuan sistem untuk menahan organisme pathogen (Brody 1994). Devisiensi Vitamin A pada anak-anak berhubungan dengan angka infeksi dan angka kematian. Indikator Defisiensi Vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi retinol dalam serum (Sommer dan West 1996; Beaten et al 2004).

Kekurangan vitamin A menyebabkan intregitas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus. Konsekwensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman pathogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini dapat diperkuat dengan penelitian dimana anak-anak kekurangan vitamin A menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al 2002; Long et al 2006).

Kelebihan vitamin A dapat terjadi jika mengkonsumsi vitamin A dengan jumlah yang berlebihan dalam jangka waktu lama. Kelebihan dapat menyebabkan kerusakan hati, sakit pada tulang sendi, alopecia, sakit kepala, muntah dan kulit mongering(FAO/WHO 2001). Kelebihan terjadi bila konsumsi

62 vitamin A dalam bentuk vitamin A. Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respon antibodi terhadap tetanus toxoid (Semba et al

1992). Perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al 1990).

Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh

Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007). Vitamin A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk retinil ester, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester retinil di dalam sel-sel mukosa usus halus.

Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol (Almatsier 2005). Retinol diesterifikasi dalam mukosa intestinal, diikat kedalam chylomicron dan dibawa ke saluran darah melalui sirkulasi lymph. Vitamin A dalam tubuh disimpan dalam hati dengan bentuk retinil ester sekitar 90%. Hati mempunyai kemampuan menyimpan vitamin A yang cukup untuk beberapa bulan. Kapasitas penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa. Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol keluar dari hati (Semba 2002).

Kehilangan simpanan vitamin A ini biasanya terjadi karena asupan vitamin A tidak mencukupi selama satu periode waktu tertentu kendati kehilangan vitamin A tersebut akan meningkat dengan infeksi yang menyertai. Laju pemakaian vitamin A oleh jaringan tertentu dapat menunjukkan adanya adaptasi terhadap ketersediaan vitamin A yang berkurang. Adaptasi homeostatik dan pendaurulangan ini berfungsi untuk mempertahankan kadar vitamin A yang relative konstan dalam darah sampai simpanan didalam tubuh terpakai dibawah nilai batas yang menentukan Hartono (2009).

Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut

63 melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding

rotein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut

Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan.

Status Gizi Berdasarkan Antropometri

Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Gibson (2005) mendefinisikan status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Menilai status gizi seseorang dapat memberikan gambaran tentang baik atau tidaknya status gizi orang tersebut. Menurut Astawan & Wahyuni (1988), status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang dimakan sehari-hari. Susunan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi tubuh dapat menciptakan status gizi yang memuaskan.

Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Suparisa et al (2002) ada empat macam, yakni: secara antripometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pada penilaian berbasis masyarakat cara pengukuran yang sering digunakan adalah metode antropometri gizi. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri ialah ukuran dari tubuh. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak seimbangan protein dan energi (Hartono A 2005, Suparisa IDN et al

2002).

Pengukuran Status Gizi

Pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, yaitu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang dugunakan antara lain BB/U, TB/U dan BB/TB.

64 Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya (Suharjo dan Riyadi 1990). Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relative lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan

Dokumen terkait