• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan status antropometri dan vitamin A dengan status imun siswa sekolah usia 7-9 tahun di Cibeber, Leuwiliang kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan status antropometri dan vitamin A dengan status imun siswa sekolah usia 7-9 tahun di Cibeber, Leuwiliang kabupaten Bogor"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

35

ABSTRACT

ANJAS NURLINA MUKTININGRUM. Corelation between Antropometric Status, ,Retinol Status and Immune Status in Primary School Children 7-9 year old at Cibeber, Leuwiliang, Bogor. Guided by HARDINSYAH and VERA URIPI.

The objective of this study whas to analyze relationship between antropometric status, retinol status, and immune status in primary school children in Cibeber, Bogor. This study applied a crossectional study design conducted in 7 until 8 June 2010. The number sampel was 34 at primary school children eged 7-9 consist of 20 boys and 14 girls. In this aged children certainted finished to obtain supplementation vitamin A.

There was significan correlation between retinol status and immune status (r;0.039). Antropometric status not significantly correlated with retinol status (r; 0.402). Immune status not significantly correlated with morbidity (0.993). Morbidity not significantly correlated with antropometric status (r; 0.58).

(2)

47

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan dan gizi mempunyai peranan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memedai. Gizi baik mampu meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan sebagai pondasi untuk masa depan anak (WHO 1996). Kurang Vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dinegara berkembang. WHO menyatakan bahwa KVA diderita oleh sekitar 40% populasi dunia (Zeba et al 2006). Hasil penelitian Sommer dkk (1996) diketahui bahwa prevalensi xeroftalmia di Indonesia secara keseluruhan memenuhi batasan WHO untuk disebut sebagai masalah kesehatan masyarakat.

Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan membuat 250.000-500.000 orang anak meninggal dunia dalam tahun tersebut. Lebih kurang 150 juta anak lain mengalami kematian dalam usia anak-anak akibat penyakit infeksi yang disebabkan oleh status vitamin A yang tidak memadai (Ahmed dan Darnton 2008). Dari 24 provinsi yang disurvai ditemukan 15 daerah rawan KVA. Diperkirakan diseluruh Indonesia setiap tahun terdapat lebih dari 60.000 anak penderita xeroftalmia tingkat berat akibat KVA. Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa sumber vitamin A yang telah digunakan keluarga khususnya sayuran daun hijau sedikit dikonsumsi oleh anak (Tarwotjo 1990). Soekirman (2000) menyatakan pada tahun 1992 angka kejadian KVA di Indonesia pada tingkat klinis berhasil diturunkan, bahkan hingga tahun 2006 terus mengalami penurunan. Namun, pada tingkat subklinis prevalensinya masih tinggi dibeberapa daerah.

Menurut Semba (1998) defisiensi Vitamin A berhubungan dengan kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality). Studi meta analisis menemukan defisiensi Vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al

(3)

48 resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia dan meningkatkan defisiensi protein (Maqsood et al 2004).

Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat badan, kegagalan tumbuh kembang pada anak dan penyebab penurunan cadangan zat gizi yang berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan Watson 1993). Defisiensi ringan merupakan tanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi dan akan berpengaruh disepanjang kehidupannya (Allen dan Gillespie 2001). Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Intregasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecukupan semua zat gizi dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan mayarakat. Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respon imun yang rendah (IFTRI 2000). Selama ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara status vitamin A dengan status imun pada siswa sekolah dasar (SD), oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara status antropometri dan vitamin A dengan status imun siswa sekolah dasar usia 7-9 tahun di Cibeber,Leuwiliang Kabupaten Bogor.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan status antropometri dengan status vitamin A anak. 2. Menganalisis hubungan status Vitamin A dengan status imun anak

3. Menganalisis hubungan status imun dengan morbiditas anak.

4. Menganalisis hubungan morbiditas dengan status gizi berdasarkan antropometri anak.

Hipotesis

1. Status gizi berdasarkan antropometri berhubungan positif dengan status vitamin A anak.

(4)

49 4. Morbiditas berhubungan positif dengan status gizi berdasarkan antropometri

anak.

Kegunaan

(5)

53 Status Imun

Imunitas

Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan sehat respon imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya subtansi asing. Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh dengan respon imun yang efisien. Akan tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respon imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit (Kresno 2001).

Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen. Bellanti & Joseph (1993) menyatakan defisiensi zat gizi termasuk zat gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada pertumbuhan anak. Zat gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respon imun (Muis 2001).

Sistem imun

Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu non spesifik dan sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem imun spesifik dan non spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun teresbut terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain (Bratawijaya dan Rengganis 2009). Berikut ini adalah gambaran umum sitem imun menurut Bratawijaya dan Rengganis 2009.

(6)

54 Gambar 1 Gambaran umum sistem imun

Sumber: Baratawijaya dan Rengganis (2009).

Menurut Tortora (2004) sistem imun non spesifik adalah sistem pertahanan tubuh, yang merupakan komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada induvidu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk kedalam tubuh. Untuk menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir, fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi). Sistem imun ini disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon secara langsung (Bratawijaya 2006).

Imunitas non spesifik jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi , misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut non spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Samik dan Julia 2002).

Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh

(7)

55 sitem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imum tersebut. Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Bratawijaya 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan, begitu seterusnya (Tortora 2004).

Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun spesifik hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno 2001). Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono 2004).

Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intrasel contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno 2001). Imunitas humoral terdiri kelompok sel-B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan 20% dari limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibody. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, getah bening). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta antitoksik (Baratawijaya dan Garna 2002). Antibodi yang lepas dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respon imun humoral oleh karena infeksi dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan (kresno 2001).

Penilaian Status Imun

(8)

56 mengukur titer antibodi setelah diberikan stimulus antigenis yang cukup (Suyitno 1985). Analisis untuk mengukur respon imun humoral (antibodi) dapat dibagi menjadi tiga kelas yaitu primary binding test, secondary binding test, dan tertiary binding test. Metode yang paling sensitif (jumlah antibodi yang dapat dideteksi) adalah primary binding test yang merupakan suatu metode pengukuran langsung yang dilakukan pada interaksi antibodi-antigen. Salah satu metode yang termasuk dalam primary binding test adalah metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) (Kindt et al 2007).

IgG adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar 80% dari semua imunoglobulin dalam darah. Imunoglobulin dapat ditemukan dalam darah, limpa, dan usus. Kadar IgG meningkat secara lambat selama respons primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat secara cepat dengan kekuatan yang lebih besar pada paparan kedua (Corwin 2001). Terdapat empat subkelas pada IgG manusia yang dibedakan oleh jumlah dan urutan rantai yang sesuai dengan penurunan rata-rata kosentrasi serum. Empat subkelas tersebut antara lain : IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Goldsby et al 2007). Menurut Roitt (1991) Imunogllobulin G merupakan komponen utama immunoglobulin dalam serum. Respon imun diukur dengan menganalisis titer IgG total terhadap sampel darah anak. Kriteria IgG menurut Kurniati (2004) dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Klasifikasi status imun disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi status imun

Kadar titer IgG IU/ml Kategori

0,0-1,0 IU/ml Rendah

>1,0-1,5 Cukup

> 1.5 IU/ml Tinggi

Sumber: Kurniati (2004)

Peran Vitamin dalam Pembentukan Imunitas

(9)

57 Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoises), vitamin dan mineral sebagai antioksidan untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6, vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat besi tersebut membantu pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan produksi antibodi. Oleh karena itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal (Wintergrest

et al 2007).

Hasil penelitian Karyadi et al (2002) menunjukkan bahwa anak-anak kekurangan vitamin A berisiko mengidap penyakit pernafasan dan meningkatkan keparahan penyakit diare. Hal ini karena terganggunya sel ephitel pada sel saluran cerna dan pernafasan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan Semba et al (1993) dan Semba (1994) menunjukkan bahwa kekurangan vitamin A berdampak pada kemampuan membangkitkan respon antibodi terhadap antigen T. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap antigen spesifik, apositosis dan menjaga intregitas lapisan mukosa (Rahman et al 1999). Peran vitamin A pada sel-sel mukosa diantaranya mukosa saluran cerna juga telah dibuktikan oleh Kotake-Nara et al (2000).

Status Vitamin A

Vitamin A

(10)

58 Istilah Vitamin A biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni karotenoid provitamin A, retinol dan metabolit aktivnya. Secara fisiologis bentuk aktiv vitamin A yang utama adalah retinaldehida a dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol (Bender 2003).

Peran Vitamin A

Menurut Hartono (2000) Vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Selain itu sangat penting untuk kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi. Apabila kekurangan vitamin A akan mengakibatkan buta senja, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, sering marah dan lesu. Vitamin A berfungsi membantu perkembangan tulang dan gigi, menyehatkan struktur sel pada kulit dan membran mukosa, serta membantu penglihatan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan meningkatkan aktivitas sistem kekebalan (Almatsier 2000).

Stipanuk (2000) menyebutkan Vitamin A dan metabolismenya dalam spectrum yang luas mempunyai fungsi biologis antara lain adalah esensial untuk penglihatan, reproduksi, fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi dan pemberian isyarat (Signaling). Selain itu Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Vitamin A mempunyai peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas. Vitamin A mutlak dalam memelihara sel-sel epitel dan memberikan rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan tubuh terhadap infeksi, juga menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat proses penuaan. Fungsi Vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi penglihatan (Moeljoharjo 1993).

(11)

59 lainnya. Aktivitas antioksidan dari beta karoten mengatur pencegahan kanker dan sakit jantung serta dapat meningkatkan sistem imun.

Pangan Sumber Vitamin A

Pangan yang menjadi sumber beta karoten adalah wortel, brokoli, bayam, dan apricot (Simon & Macmillan 1995). Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan sayuran hijau daun, seperti bayam secara umum mengandung karotenoid dalam jumlah yang besar. Meskipun tomat mengandung beberapa vitamin A dengan karotenoid aktif, pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki aktivasi gizi. Buah-buahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid yang dapat diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum mengandung sangat sedikit vitamin A (Olson 1990).

Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani, terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia menghasilkan vitamin A1, sedangkan ikan air tawar mengandung terutama vitamin A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur. Secara tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawa-senyawa karotena, yang dalam saluran pencernaan diubah menjadi vitamin A (Moeljoharjo 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat daiandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya akan vitamin A. Termasuk kedalam pangan hewani adalah telur, daging, susu dan ikan (Khomsan 2004).

Kecukupan Vitamin A

Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukupan asupan vitamin A dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin serta keadaan fisiologis (Arisman 2002). Angka kecukupan vitamin A adalah jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status vitamin A pada level memuaskan atau cukup.

(12)

60 membuat protein tidak tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut menimbulkan gangguan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai gizi kurang tersebut (Hartono 2009).

Mengingat penting dan banyaknya peran vitamin A, maka kekurangan asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius (Muhilal & Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A cukup apabila dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak menunjukkan tanda defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A selama 3 bulan. Ada berbagai standard mengenai angka kecukupan vitamin A anak. Angka kecukupan vitamin A anak yang digunakan untuk menghitung kecukupan vitamin A dalam penelitian ini adalah menurut Muhilal dan Sulaeman (2004). Adapun kecukupan vitamin A anak disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A untuk anak-anak (µg RE/hari)

Kelompok umur Angka

Kecukupan

Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004)

Penilaian Status Vitamin A

Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik untuk mengetahui status vitamin A, namun pengukuran dengan cara biopsi tidak mungkin dilakukan pada penelitian di lapangan. Karena tidak memungkinkan, total serum vitamin A atau konsentrasi retinol serum lebih sering digunakan sebagai gantinya (Gibson 2005).

Retinol serum diukur secara intra vena untuk mengetahui keadaan defisiensi Vitamin A pada sampel. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl. Menurut Sommer dan West (1996) status vitamin A seseorang juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kandungan vitamin A dalam serum darah Tabel 3 berikut ini.

(13)

61

Sumber: Sommer dan West (1996).

Konsentrasi retinol serum dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan ras. Selain itu, konsentrasi retinol serum juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran holo-RBP. Faktor lain yang berpengaruh adalah asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10 g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka panjang menurunkan konsentrasi retinol. Kurang energi protein dapat menurunkan apo-RBP, kekurangan zinc dapat menurunkan kadar retinol karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High

Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari

retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A

Menurut Linder (1992) Devisiensi Vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epithelium dibeberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel korne, paru-paru, kulit dan mukosa intestinal serta dapat menurunkan sel goblet intestinal dan permukaan vilus. Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan kemampuan sistem untuk menahan organisme pathogen (Brody 1994). Devisiensi Vitamin A pada anak-anak berhubungan dengan angka infeksi dan angka kematian. Indikator Defisiensi Vitamin A antara lain dapat dilihat dari konsentrasi retinol dalam serum (Sommer dan West 1996; Beaten et al 2004).

Kekurangan vitamin A menyebabkan intregitas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus. Konsekwensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman pathogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini dapat diperkuat dengan penelitian dimana anak-anak kekurangan vitamin A menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al 2002; Long et al 2006).

(14)

62 vitamin A dalam bentuk vitamin A. Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respon antibodi terhadap tetanus toxoid (Semba et al

1992). Perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al 1990).

Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh

Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007). Vitamin A dalam makanan sebagian besar terdapat dalam bentuk retinil ester, bersama karotenoid bercampur dengan lipida lain di dalam lambung. Ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim pankreas esterase menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester retinil di dalam sel-sel mukosa usus halus.

Sebagian dari karotenoid, terutama β-karoten di dalam sitoplasma sel mukosa usus halus dipecah menjadi retinol (Almatsier 2005). Retinol diesterifikasi dalam mukosa intestinal, diikat kedalam chylomicron dan dibawa ke saluran darah melalui sirkulasi lymph. Vitamin A dalam tubuh disimpan dalam hati dengan bentuk retinil ester sekitar 90%. Hati mempunyai kemampuan menyimpan vitamin A yang cukup untuk beberapa bulan. Kapasitas penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa. Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol keluar dari hati (Semba 2002).

Kehilangan simpanan vitamin A ini biasanya terjadi karena asupan vitamin A tidak mencukupi selama satu periode waktu tertentu kendati kehilangan vitamin A tersebut akan meningkat dengan infeksi yang menyertai. Laju pemakaian vitamin A oleh jaringan tertentu dapat menunjukkan adanya adaptasi terhadap ketersediaan vitamin A yang berkurang. Adaptasi homeostatik dan pendaurulangan ini berfungsi untuk mempertahankan kadar vitamin A yang relative konstan dalam darah sampai simpanan didalam tubuh terpakai dibawah nilai batas yang menentukan Hartono (2009).

(15)

63 melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding

rotein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut

Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan.

Status Gizi Berdasarkan Antropometri

Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Gibson (2005) mendefinisikan status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Menilai status gizi seseorang dapat memberikan gambaran tentang baik atau tidaknya status gizi orang tersebut. Menurut Astawan & Wahyuni (1988), status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang dimakan sehari-hari. Susunan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi tubuh dapat menciptakan status gizi yang memuaskan.

Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Suparisa et al (2002) ada empat macam, yakni: secara antripometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pada penilaian berbasis masyarakat cara pengukuran yang sering digunakan adalah metode antropometri gizi. Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri ialah ukuran dari tubuh. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak seimbangan protein dan energi (Hartono A 2005, Suparisa IDN et al

2002).

Pengukuran Status Gizi

(16)

64 Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya (Suharjo dan Riyadi 1990). Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relative lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito 1989).

Suharjo & Riyadi (1990) mengungkapkan dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan akan nampak pada saat yang cukup lama. Kelebihan indeks BB/U adalah lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status jangka pendek dan meneteksi kegemukan. Sedangkan kelemahannya adalah dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, memerlukan data umur yang akurat, dan sering terjadi kesalahan pengukuran misalnya pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang.

Tinggi badan (TB) merupakan indikator antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu pendek. Kelebihan indeks TB/U yaitu baik untuk menilai status gizi masa lampau dan alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah TB tidak cepat naik, pengukuran relatif sulit karena harus berdiri tegak sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB serta ketepatan umur sulit didapat (Suharjo & Riyadi 1990).

(17)

65 Indikator BB/TB , berat badan berkorelasi linear dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama dapat dilihat setelah hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai Z-skor. Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi normal. Nilai Z-skor masing-masing anak dihitung dengan menggunakan rumus (Gibson 1990) sebagai berikut:

Keterangan:

i = umur (bulan)

Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i

Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i

Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i

Ada tiga tingkatan niali Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB dan Z-skor TB/U. penentuan Z-skor tersebut tersebut didasarkan pada referensi WHO/NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing-masing individu kemudian dibandingkan dengan distribusi baku WHO/NCHS (2006) dengan titik batas (cut-off-point) Z-skor adalah -2. Berikut adalah Tabel 4 klasifiksi status gizi berdasarkan nilai Z-skor.

Tabel 4 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Z-skor WHO-NCHS (2006)

Indikator Kriteria Standar

BB/U Gizi Lebih >2,0 SD baku WHO-NCHS

Gizi Baik -2,0 SD s/d 2 SD

Gizi Kurang <-2,0 SD

Gizi Buruk <-3,0 SD

TB/U Normal >-2,0 SD

Pendek/Stunted <-2,0 SD baku WHO-NCHS

BB/TB Gemuk >2,0 SD baku WHO-NCHS

Normal -2,0 SD s/d 2 SD

Kurus/Wasted <-2,0 SD

Sangat Kurus <-3,0 SD

Sumber: WHO NCHS (2006).

Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan diantaranya adalah a) batas ambang yang digunakan untuk masing-masing indeks antropometri sama misalnya, untuk katergori KEP batas abangnya

(Xi-Mi) Zsci = ———

(18)

66 dibawah -2 SD; b) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometeri; c) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah dan antar kelompok; d) Dapat mengetahui populasi yang mengalami kurang gizi akut dan kronik dalam keadaan kurus atau pendek. Sedangkan kelamahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing-masing indeks tidak sama (Jahari dkk 2000).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Apriaji (1986) faktor-faktor yang berperan dalam menentukan status gizi seseorang terdiri dari dua bagian, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar diri seseorang (konsumsi makan, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, latar belakang sosial budaya serta kebersihan lingkungan). Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang (status kesehatan, umur, dan jenis kelamin).

Tingkat kecukupan gizi juga mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kebutuhan gizi yang dianjurkan untuk setiap individu akan mengakibatkan status gizi yang baik pada seseorang. Sebaliknya jika konsumsi zat gizi berlebih atau kekurangan akan menimbulkan status gizi berlebih atau kurang pada seseorang. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi serta keadaan tubuh yang dapat menyebabkan gangguan penyerapan gizi atau parasit (Suharjo 1989).

(19)

67 anatomi dan penurunan fungsi tubuh akibat kekurangan asupan energi dan zat gizi (Waterlow et al 1992)

Menurut Almatsier (2002) status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahayakan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi disebabkan oleh masalah primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi.

Konsumsi Pangan

Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003). Menurut Wulandari (2000) konsumsi pangan secara garis besar adalah kuantitas pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dengan jenis pangan tunggal ataupun beragam.

Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi. Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi yang lebih tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi lebih tinggi. Cerminan kebiasaan makan individu atau keluarga merupakan fungsi dari pola konsumsi pangan individu atau keluarga. Salah satu aspek kebiasaan makan adalah frekuensi makan per hari (Khomsan 1993).

(20)

68 Karakteristik individu anak sekolah dasar (umur, jenis kelamin, berat badan, dan kondisi sosial ekonomi keluarga) dapat mempengaruhi pola dan tingkat konsumsi pangannya. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), aktivitas dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi zat gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Metode food recall adalah metode penilaian konsumsi pangan dimana pewawancara menanyakan apa yang telah dikonsumsi oleh responden. Wawancara dilakukan berdasarkan suatu daftar pertanyaan atau kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Ditanyakan dengan lengkap apa yang telah dikonsumsi ketika makan pagi, siang, makan dan selingan/ makanan kecil diluar waktu makan. Tanggal waktu makan serta besar porsi setiap makanan dicatat dengan teliti. Hasil pencatatan wawancara kemudian diolah, dikembalikan kepada bentuk bahan mentah dan dihitung zat-zat gizinya berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) yang berlaku. Masing-masing zat gizi dijumlahkan dan dihitung rata-rata konsumsi setiap hari (Sediaoetama 2006). Kebutuhan Energi dan Zat Gizi

Zat gizi merupakan unsur-unsur yang terdapat dalam makanan dan diperlukan oleh tubuh untuk berbagai keperluan seperti menghasilkan energi, mengganti jaringan aus serta rusak, memproduksi subtansi tertentu misalnya enzim, hormone dan antibodi. Zat gizi dapat dibagi menjadi kelompok makronutrien yang terdiri atas karbohidrat, lemak serta protein dan kelompok mikronutien yang terdiri atas vitamin serta mineral (Harono 2006).

(21)

69 keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, membentuk antibodi dan mengangkut zat-zat gizi (Almatsier 2003). Didalam tubuh lemak berfungsi sebagai cadangan energi dalam bentuk jaringan lemak yang ditimbun ditempat-tempat tertentu (Soediaoetama 2006).

Kecukupan protein merupakan persyaratan bagi trasportasi pada penggunaan vitamin A secara optimal, kadar retinol serum akan menurun jika terdapat kekurangan energi protein (KEP). Tanda defisiensi vitamin A dapat pula terjadi sebagai fenomena sekunder KEP tanpa tergantung apakah asupan vitamin A-nya mencukupi atau tidak. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis RBP (retinol binding protein; protein pengikat retinol) yang membuat protein tersebut tersedia untuk mengangkut retinol. Keadaan ini turut menimbulkan respon imun yang berat terhadap infeksi sebagai akibat defisiensi fungsional vitamin A maupun gangguan respon imun yang menyertai gizi kurang tersebut (Hartono 2009).

Perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan disebut sebagai tingkat kecukupan zat gizi. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996) diacu dalam Sukandar (2007) adalah: 10 defisit tingkat berat (<70% AKG; 2) deficit tingkat sedang (70-79% AKG); deficit tingkat ringan (80-89% AKG); 4) normal (90-119% AKG); kelebihan (>120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu, kurang (<77% AKG) dan cukup (> 77% AKG). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi actual (nyata) dengan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.

Morbiditas

(22)

70 digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan Depkes (2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Morbiditas

Menurut Undang-undang No. 9 Bab I, pasal 2 tentang pokok-pokok Kesehatan, yang dimaksud dengan sehat adalah sehat jasmani, rohani (jiwa dan mental) dan sosial bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Sehat rohani adalah kondisi sosial yang memungkinkan setiap warga negara mampu memelihara kehidupannya serta keluarganya. Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang. Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia dan dapat mempengaruhi kehidupannya (Subandriyo & Hartanti 1994).

Menurut Subandriyo (1993), angka kesakitan (morbiditas) lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Sedangkan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.

Keterkaitan Morbiditas dengan Status Gizi

Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Yang paling penting ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan nitrogen. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi (Suhardjo 1989).

(23)

71 sakit (morbiditas), mekanismenya mencakup penurunan asupan makanan, gangguan penyerapan, gangguan peningkatan kebutuhan gizi, serta peningkatan kerusakan jaringan (Latham 1997). Ada hubungan yang sinergistik antara kejadian sakit dengan status gizi. Infeksi bersama-sama penurunan asupan makanan merupakan sebab utama kurang gizi (Waterlow 1992).

Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing dan sebagainya (Shulman et al 1994; Entjang 2000). Proses terjadinya penyakit infeksi karena adanya bibit penyakit (agent) yang masuk kedalam tubuh manusia rentan (host). Morbiditas menyebakan berkurangnya aktivitas anak, menyebabkan terjadinya anoreksia, pengurangan asupan makanan dengan sengaja (Satoto 1990)

Infeksi yang sering terjadi pada anak-anak adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan Infeksi saluran makanan, yang umum adalah diare. Infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyebab masalah kesehatan paling umum terjadi didunia. Meskipun penyakit ini belum didefinisikan kedalam kelompok penyakit, namun infeksi pernapasan akut termasuk di dalamnya batuk influenza, pneumonia, bronchitis, dan sejumlah penyakit infeksi lainnya. Kebanyakan infeksi pernapasan ditemukan dibagian dunia yang lebih dingin atau didataran tinggi daerah tropis (Webber 2005).

(24)

72 pemakaian retinol oleh jaringan target, atau peningkatan kehilangan retinol melalui urin yang berkaitan dengan respon fase akut (Hartono 2009).

Diare berkaitan secara khusus dengan status gizi anak, dampak diare terhadap status gizi lebih besar dari pada infeksi lain karena selama diare terjadi gangguan asupan, gangguan absorbsi dan gangguan metabolisme secara bersamaan (Scrimshaw et al 1983).Diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer bahkan dapat berupa air saja yang terjadi lebih sering dari biasa (tiga kali atau lebih sehari). Tanda-tanda diare diantaranya adalah buang air besar encer terus-menerus (lebih dari tiga kali sehari) kadang disertai muntah (muntaber) dan panas, nafsu makan berkurang dan selalu haus serta badan lesu dan lemas (Latifah et al 2002).

Diare akut lebih mudah diobati dibandingkan yang kronis. Diare akut akan segera hilang setelah gejala atau penyebabnya teratasi. Pengobatan diare kronis lebih spesifik sebab terlebih dahulu harus menemukan penyebabnya sebelum dilakukan tindakan pengobatan. Diare akut dapat menyebabkan tubuh kurang cairan (dehidrasi). Sebaliknya diare kronis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kurang gizi (Subandriyo 2000).

Demam termasuk tanda bahwa tubuh terkena infeksi yang ditunjukkan dengan naiknya suhu tubuh. Suhu tubuh manusia merupakan hasil akhir dari produksi panas pada proses metabolic, aktivitas otot dan kehilangan panas. Suhu normal tubuh sekitar 37 C. Pada saat demam, suhu tubuh mencapai 41 C. Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti kompleks imun, atau inflamasi (peradangan) lainnya (Shulman et al 1994).

Anak Sekolah Dasar

Hurlock (1999) mengelompokkan anak usia sekolah dasar berdasarkan perkembangan psikologis yang disebut sebagai Late Childhood. Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir pada saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun. Menurut Yusuf dalam Kusumaningrum (2006), masa usia sekolah dasar dibagi menjagi dua fase, yaitu masa kelas rendah berumur 6 sampai 9 tahun dan masa kelas tinggi 12 sampai 13 tahun.

(25)

73 teman sebaya secara baik. Pada usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu Hurlock (1999). Usia sekolah merupakan awal seorang anak belajar bertanggung jawab terhadap sikap dan perilakunya. Anak usia sekolah biasanya mempunyai lebih banyak perhatian dan aktivitas diluar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Anak usia sekolah telah mempunyai daya tahan yang cukup terhadap berbagai penyakit (RSCM dan Persagi 1990)

Anak usia sekolah dasar mempunyai sifat yang berubah-ubah terhadap makanan, selalu ingin mencoba makanan yang baru dikenalnya dan secara umum mereka tidak pernah mengalami masalah dalam hal nafsu makan (Komalasari 1991). Menurut Akbar (2005) menyatakan pada periode ini terjadi perkembangan sosialisasi yang menonjol pada anak. Diantaranya adalah pergaulan anak menjadi lebih luas, dan tidak terbatas hanya dengan anggota keluarga di rumah. Masa sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak bergaul dengan teman sebayanya. Selain itu, pada usia sekolah terjadi perkembangan intelegensi, minat, emosi dan kepribadian.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Menurut Hartog et al (1995) karakteristik sosial ekonomi keluarga dinegara berkembang dikategorikan ke dalam tiga kelas yiatu tinggi, menengah dan bawah. Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun non pangan selama setahun terkhir. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dari pada kebutuhan non pangan. Sebaliknya jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil.

Besar Keluarga

(26)

74 pangan rumah tangga. Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi kebutuhan keluarga, semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi ( Lumeta 1987).

Peningkatan jumlah keluarga menurunkan konsumsi pangan hewani dan pangan sumber karbohidrat diganti dengan yang lebih murah atau dalam porsi yang lebih kecil (Hartog et al. 1995). Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (>7 orang). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara besar keluarga dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga.

Pendidikan Orang Tua

Keadaan gizi seseorang banyak titentukan oleh perilaku pengasuhannya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik maka keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Soewondo & Sadi 1990). Latar belakang pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk hal konsumsi pangan sehari-hari (Engle et al. 1997).

Pekerjaan Orang Tua

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engel et al. 1994).

(27)

75 pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000).

Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara pedidikan dengan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya mempengaruhi kesehatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990).

KERANGKA PEMIKIRAN

(28)

75 pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000).

Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara pedidikan dengan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya mempengaruhi kesehatan dan status gizi (Riyadi et al. 1990).

KERANGKA PEMIKIRAN

(29)

76 oleh kondisi sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan perkapita dan besar keluarga . Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Pengukuran status gizi berdasarkan Z-skor menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Konsumsi energi dan zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kebutuhan gizi yang dianjurkan untuk setiap individu akan mengakibatkan status gizi yang baik pada seseorang.

Vitamin A dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Vitamin A dalam bahan pangan nabati berbentuk beta karoten yang memiliki keuntungan lain yaitu sebagai antioksidan. Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat berfungsi secara optimal. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi. Imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun. Vitamin A juga terbukti dapat meningkatkan respon antibodi terhadap antigen spesifik, apositosis dan menjaga intregitas lapisan mukosa.

Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi. Untuk lebih bisa memahami berikut adalah kerangka konseptual penelitian ini yang disajikan pada Gambar 2.

Karakteristik Keluarga : besar keluarga

pendapatan

Konsumsi Energi, Protein, Lemak dan Vitamin A Ketersediaan

Energi, Protein, Lemak dan Vitamin A

Pendidikan orang tua (kepala keluarga) Pekerjaan orang tua

(30)

77 Gambar 2 Hubungan antara status antropometri, status vitamin A dengan status

(31)

78

METODE PENELITIAN

Waktu, Tempat dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan baseline dari penelitian Dr. Ir. Sri Anna Marliyati MSi. dengan judul “Studi Pengaruh Pemanfaatan Karoten dari Crude Pal Oil

(CPO) dan Wortel (daucus carota) pada Mi Instan Terhadap Peningkatan Retinol Darah dan Respon Imun Hewan”. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei dengan desain crossecsional study. Sampel diambil dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2010. Lokasi penelitian di Sekolah Dasar Negeri Angsana I, desa Cibeber kecamatan Luewiliang Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara Purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa siswa disekolah dasar tersebut mempunyai karakteristik keluarga yang cukup seragam. Selain itu rumah tempat tinggal orang tua siswa tidak jauh dari sekolah yang merupakan tempat penelitian sehingga mudah untuk mengumpulkan orang tua siswa disekolah untuk dilakukan wawancara.

Jumlah dan Cara Penarikan Sampel

Sampel adalah siswa berusia 7-9 tahun yang bersekolah di SD Negeri Angsana I dan Ibu dari siswa yang dipilih secara purposive sampling (Singarimbun & Effendi 1995). Jumlah siswa laki-laki sebanyak 20 orang dan siswa perempuan sebanyak 14 orang sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 34 orang sampel. Populasi sampel yang diambil adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi sampel meliputi siswa kelas 2 SD (umur 7-9 tahun), sehat (tidak menderita infeksi sekunder) berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, telah mendapat penjelasan penelitian, menyetujui informed consent dan Bersedia untuk mematuhi prosedur penelitian. Kriteria eksklusi adalah mempunyai kelainan kongenital/ cacat bawaan, mempunyai alergi berat berdasarkan medical Questionnaire, mengkonsumsi antibiotik dan/atau laxative (4 minggu sebelum penelitian), menerima kapsul vitamin A dosis tinggi setahun sebelum penelitian, berpartisipasi dalam penelitian lain.

Jenis dan Cara Pengambilan Data

(32)

79 keluarga dan pendapatan perkapita keluarga), frekuensi konsumsi pangan diperoleh melalui kuisioner serta data konsumsi pangan sampel diperoleh dengan metode recall 2 x 24 jam. Selain data karakteristik juga digunakan status retinol darah dan status imun sampel yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium dari serum darah sampel oleh Puslitbang Gizi Depkes Bogor. Adapun jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis data Cara pengumpulan data

Identitas anak (berat badan, tinggi badan, umur)

Wawancara dengan wali murid dengan menggunakan kuisioner

Karakteristik sosial ekonomi keluarga - Pendidikan

- Pendapatan - Pekerjaan orang tua

- Besar keluarga

Wawancara dengan wali murid dengan menggunakan kuisioner

Kejadian sakit (morbiditas) Wawancara dengan wali murid dengan

menggunakan kuisioner injak dengan ketelitian 0.1 kg

Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm

Perhitungan berdasarkan Z-score dengan standar baku WHO 2006

Kadar retinol darah (µg/dl) Pengambilan sampel darah (sebanyak 3

ml) dilakukan oleh tenaga medis.

Analisis kadar retinol darah dengan

metode ekstaksi (Concurrent Liquid

Chromatography Assay of Retinol) Respon imun humoral (IgG)

- Kadar IgG (mg/ml)

Pengambilan sampel darah (sebanyak 3 ml) dilakukan oleh tenaga medis. Analisis kadar IgG dengan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Konsumsi Pangan

- Frekuensi Konsumsi Pangan - Recall konsumsi

Wawancara dengan wali murid dengan menggunakan kuisioner

Pengolahan dan Analisis Data

(33)

80 dengan menggunakan WHO-NCHS. Data hubungan status gizi dengan status status vitamin A , status vitamin A dengan status imun, status imun dengan morbiditas, serta morbiditas dengan status gizi diukur dengan analisis korelasi pearson. Adapun pengukuran data yang lainnya disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Pengolahan dan analisis data

Data Pengukuran Kategori

Status gizi berdasarkan BB/TB

dengan baku WHO-Status Vitamin A Pengukuran retinol

serum dilakukan dengan

Status Imun menganalisis titer IgG total terhadap sampel

Morbiditas Frekuensi sakit dikalikan dengan lama hari sakit. Dikategorikan Defisit tingkat sedang : 70-79% AKG Defisit tingkat ringan : 80-89% AKG

(34)

81 Anak Sekolah Dasar (SD) adalah kelompok anak usia 7-9 tahun yang sedang menempuh pendidikan dasar baik laki-laki maupun perempuan dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai sampel.

Jumlah Anggota Keluarga adalah banyaknya individu sebagai anggota dalam keluarga sampel. Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dikategorikan kecil (<4), sedang (5-7), dan besar (>7).

Kadar Retinol Darah adalah jumlah (μg/dl) retinol dalam serum darah sampel yang diukur dengan metode ekstraksi (Concurrent Liquid Chromatography Assay of Retinol).

Kondisi Sosial-Ekonomi adalah kondisi keluarga sampel yang meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan per kapita, dan jumlah anggota keluarga.

Konsumsi Energi dan Zat Gizi adalah tindakan makan sampel terhadap makanan yang biasa dikonsumsi dan dapat dinilai dengan metode food recall 7x24 jam secara kuantitatif.

Morbiditas adalah prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular didasarkan pemeriksaan lama sakit dan frekuensi sakit.

Pekerjaan orang tua adalah segala bentuk usaha/aktivitas orang tua sampel yang menghasilkan nilai uang.

Pendapatan Per Kapita adalah jumlah pendapatan per orangan dalam keluarga yang dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang dapat menjadi indikator kemiskinan. Menurut BPS (2009), standar Garis Kemiskinan untuk Provinsi Jawa Barat, kategori miskin ada pada pendapatan per kapita <Rp 175.193 dan tidak miskin >= Rp 175.193.

Pendidikan Orang Tua jenjang pendidikan formal yang dicapai orang tua sampel

(35)

82 antropometri, yaitu BB/U dan dibandingkan dengan standar baku WHO-NCHS 2006.

Tingkat pendidikan orang tua adalah pendidikan formal yang pernah dijalani oleh orang tua sampel.

Respon Imun Humoral, IgG adalah suatu respon dari sistem kekebalan tubuh spesifik yang dihasilkan oleh sel limfosit B dan ditunjukkan oleh kadar antibodi IgG (Immunoglobulin G) dalam serum darah yang diukur dengan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay).

(36)

83 Karakteristik Contoh

Umur dan Jenis Kelamin

Usia sekolah dimulai pada usia 6 tahun dan berakhir pada saat individu menunjukkan kematangan seksualnya antara usia 13 sampai 14 tahun Hurlock (1999). Menurut Yusuf dalam Kusumaningrum (2006), masa usia sekolah dasar dibagi menjagi dua fase, yaitu masa kelas rendah berumur 6 sampai 9 tahun dan masa kelas tinggi 12 sampai 13 tahun. Menurut Tarwotjo (1990) diperkirakan diseluruh Indonesia setiap tahun terdapat lebih dari 60.000 anak penderita xeroftalmia tingkat berat akibat KVA.

Pengambilan contoh dipilih secara criteria inklusi berusia 7-9 tahun, dikarenakan pada usia ini anak sudah tidak mendapat suplementasi vitamin A sehingga diharapkan hasil yang didapat akurat. Contoh merupakan siswa yang duduk dikelas dua sekolah dasar di desa cibeber kecamatan Leuwiliang. Sebanyak 8.8% contoh berumur 7 tahun, sebanyak 47.1% contoh berumur 8 tahun dan sebanyak 44.1% contoh berumur 9 tahun. Umur terendah contoh 7 tahun dan umur tertinggi contoh adalah 9 tahun. Adapun sebaran umur dan jenis kelamin contoh disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Umur dan Jenis Kelamin contoh

jenis kelamin

Berdasarkan Tabel 7 contoh merupkan anak Sekolah Dasar Negeri Angsana I berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan jumlah keseluruhan sebanyak 37 contoh. Sebanyak 58.8% contoh berjenis kelamin laik-laki dan 41.2% berjenis kelamin perempuan. Dalam penelitian ini contoh berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada contoh berjenis kelamin perempuan. Menutut Muhilal dan Sulaeman (2004) tidak ada perbedaan antara angka kecukupan vitamin A pada anak laki-laki dan permpuan yaitu sebesar 500 µg RE/hari. Akan tetapi menurut WHO 1995 laju pertumbuhan dan kebutuhan vitamin A sejak lahir hingga usia 10 tahun pada anak laki-laki secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan.

(37)

84 Parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi keluarga contoh antara lain pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga dan pendapatan perkapita keluarga contoh. Pendidikan dan pekerjaan orang tua contoh yang diukur adalah dari kepala keluarga contoh (ayah). Kondisi sosial ekonomi keluarga contoh penting diketahui dalam penelitian untuk lebih mengetahui karakteristik contoh. Data kondisi sosial ekonomi merupakan data sekunder diperoleh berdasarkan wawancara oleh enumerator.

Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua

Jenjang pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan. Adapun jenjang pendidikan tersebut yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, diploma, S1, dan S2. Pendidikan orang tua dilihat dari jenjang pendidikan kepala keluarga contoh. Berdasarkan klasifikasi jenjang pendidikan tersebut 8.8% orang tua contoh tidak sekolah, sebanyak 26.5% tidak tamat SD, 55.9% tamat SD dan 8.8% tamat SMP. Pendidikan orang tua contoh sebagian besar adalah tamat SD, hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan orang tua contoh.

Pendidikan orang tua contoh masih tergolong rendah sehingga memungkingkan pengetahuan tentang pemilihan ragam makanan yang dikonsumsi juga rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Soewondo & Sadi (1990) yang mengemukakan semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi. Menurut Riyadi (2006) keadaan gizi seseorang banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhannya, apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik maka keadaan gizi anak juga baik. Tingkat pendidikan orang tua contoh merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap asupan makanan dan status gizi contoh.

(38)

85 2.9% pedagang dan 5.9% bergerak dibidang pelayanan jasa. Sebaran jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan orang tua contoh disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Jenjang pendidikan dan pekerjaan orang tua contoh

Pekerjaan

Pekerjaan orang tua contoh sebagian besar bergerak disektor pertanian dan perdagangan. Hal ini dapat disebabkan jenjang pendidikan orang tua contoh sebagian besar adalah tamat SD dengan pendidikan tertinggi orang tua contoh hanya tamat SMP sehingga pekerjaan yang dimiliki juga tidak beragam. Hasil ini sejalan dengan penelitian Engel et al (1994). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Besar Keluarga dan Pendapatan

Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (>7 orang). Berdasarkan kategori besar keluarga teresebut sebanyak 2.9% termasuk dalam keluarga kecil, sebanyak 82.4% termasuk dalam katergori keluarga sedang dan sebanyak 14.7% termasuk dalam kategori keluarga besar. Sebagian besar keluarga contoh termasuk dalam kategori besar keluarga sedang (5-7) anggota keluarga. Besar anggota keluarga akan berpengaruh terhadap kebutuhan akan pangan dan non pangan yang akan meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Lumeta (1987) semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi. Sebaran besar keluarga dan pendapatan perkapita contoh dapat dilihat pada Tabel 9.

(39)

86

pendapatan perkapita

besar keluarga

kecil sedang Besar Total

n % n % n % n %

Miskin 1 2.9 16 47.1 4 11.8 21 61.8

tidak miskin 0 0.0 12 35.3 1 2.9 13 38.2

Total 1 2.9 28 82.4 5 14.7 34 100.0

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Pendapatan keluarga contoh digolongkan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin. Menurut BPS (2009), standar Garis Kemiskinan untuk Provinsi Jawa Barat, kategori miskin ada pada pendapatan per kapita <Rp 175.193 dan tidak miskin > Rp 175.193. Berdasarkan standar garis kemiskinan tersebut sebanyak 61.8% keluraga contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin dan sebanyak 38.2% keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin

Pendapatan keluarga yang rendah akan berpengaruh terhadap daya beli pangan sehari-hari. Sebagian besar keluarga contoh berpendapatan rendah atau termasuk dalam ketegori keluarga miskin. Menurut Riyadi et al. (1990) hal tersebut memungkinkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.

Status Gizi Berdasarkan Antropometri

Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat-zat gizi makanan (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2001) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Gibson (2005) mendefinisikan status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, peyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Untuk menghitung status gizi diperlukan data antropometri contoh meliputi data tinggi badan (TB), berat badan (BB) dan data karakteristik yaitu umur contoh. Berikut adalah Tabel 10 sebaran TB, BB dan umur contoh.

(40)

87

Parameter Rata-rata+SD (Min-maks)

Tinggi Badan (cm) 117.3+4.2 108.3-125.7

Berat Badan (kg) 19.5+1.97 15-23

Umur (tahun) 8.3+0.7 7-9

Z-skor BB/U -1.89+0.57 -2.7-0.05

Z-skor TB/U -1.89+0.71 -3.1-0.73

Z-skor BB/TB -0.92+0.71 -2.2-3.0

Berdasarkan tabel diatas rata-rata tinggi badan contoh 117.3+4.2 dengan kisaran 108.3+125.7 cm. Rata-rata berat badan contoh 19.5+1.97 dengan kisaran 15-23 kg sedangkan rata-rata umur contoh adalah 8.3+0.7 dengan kisaran 7-9 tahun. Rata-rata skor BB/U contoh sebesar -1.89+0.57, rata-rata z-skor TB/U sebesar -1.89+0.71 dan rata-rata z-z-skor BB/TB sebesar -0.92+0.71. Pengukuran status gizi contoh didasarkan pada parameter BB/TB dihitung menggunakan rumus Z-score (Gibson 1990).

Pengukuran antropometri terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai kurus (wasted). Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relative lama. Indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu pendek. Sebaran status gizi berdasarkan antropometri contoh disajikan pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11 Status gizi berdasarkan antropometri contoh

status gizi(TB/U)

status gizi (BB/TB)

Normal kurus Total

n % n % n %

Normal 16 47.1 2 5.9 18 52.9

Pendek 16 47.1 0 0 16 47.1

Total 32 94.1 2 5.9 34 100

(41)

88 mempengaruhi status gizi diantaranya faktor eksternal meliputi konsumsi pangan, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, latar belakang sosial budaya serta kebersihan lingkungan. Selain faktor eksternal juga dipengaruhi oleh faktor internal yaitu status kesehatan, umur, dan jenis kelamin.

Gizi kurang terjadi karena konsumsi energi memang tidak mencukupi kebutuhan sehingga mengakibatkan hampir seluruh zat gizi lainnya ikut berkurang. Menurut Almatsier gangguan gizi disebabkan oleh masalah primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Menurut Hardinsyah & Martianto (1992) ada tiga yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kualitas dan ragam pangan yang tersedia dari produksi, pendapatan dan tingkat pengetahuan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa telaah tentang konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi.

Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003).

Pengukuran konsumsi pangan contoh dilakukan dengan metode food

recall dimana pewawancara menanyakan apa yang telah dikonsumsi oleh

(42)

89 Tabel 12 Rata-rata konsumsi, AKG dan tingkat kecukupan gizi

Energi dan zat gizi Variabel Konsumsi zat gizi

Energi

Konsumsi (kkal/hari) 912

AKG (gram/hari) 1800

Tingkat kecukupan (%) 50.7

Protein

Konsumsi (g/hari) 29.3

AKG (gram/hari) 45

Tingkat kecukupan (%) 65.1

Lemak

Konsumsi (g/hari) 27.8

AKG (gram/hari) 50

Tingkat kecukupan (%) 55.7

Vitamin A

Konsumsi (mg/hari) 235.5

AKG (mg/hari) 500

Tingkat kecukupan (%) 46.9

Berdasarkan tabel rata-rata konsumsi contoh untuk energi sebesar 912 kkal yang mencukupi 50.7% dari rata-rata AKG untuk energi contoh sebesar 1800 kkal. Rata-rata konsumsi protein contoh sebesar 29.3 g yang mencukupi 65.1% dari rata-rata AKG untuk protein contoh sebesar 45 g. Rata-rata konsumsi lemak contoh sebesar 27.8 g yang mencukupi 55.7% dari rata-rata AKG untuk lemak sebesar 50 g. Konsumsi lemak berasal dari sumber protein hewani sebesar 10.9% dari AKG lemak sebesar 50 g. Rata-rata konsumsi vitamin A contoh sebesar 235.5 mg yang mencukupi 46.9% dari rata-rata AKG untuk vitamin A contoh sebesar 500mg. Konsumsi vitamin A contoh berasal dari sumber protein hewani sebesar 9.1% dari AKG vitamin A sebesar 500mg.

Tingkat kecukupan gizi juga mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kebutuhan gizi yang dianjurkan untuk setiap individu akan mengakibatkan status gizi yang baik pada seseorang. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh secara keseluruhan hanya memenuhi separuh dari kebutuhan energi dan zat gizi yang dibutuhkan. Energi dan protein berperan secara timbal balik antara keduanya terhadap pertumbuhan anak. Kurang gizi merupakan hasil akhir kesinambungan mekanisme perubahan anatomi dan penurunan fungsi tubuh akibat kekurangan asupan energi dan zat gizi (Waterlow et al 1992)

Gambar

Tabel 5  Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 6  Pengolahan dan analisis data
Tabel 8  Jenjang pendidikan dan pekerjaan orang tua contoh
Tabel 11  Status gizi berdasarkan antropometri contoh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Tambahan Guru (sebagai Wakil Kepala Sekolah, Perpustakaan, Laboratorium) NO Tugas Tambahan Ekuivalen Jam Tatap Muka. 1

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 31 Juli 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada aplikasi SPSE

Burung Kepodang cukup dikenal dalam budaya Jawa, khususnya Jawa Tengah, selain hanya karena Burung Kepodang merupakan fauna identitas provinsi Jawa Tengah, Burung Kepodang juga

Store atmosphere mempengaruhi customer loyalty dan memiliki hubungan yang signifikan dengan menyediakan tempat yang bersih, lay out yang tertata rapi, adanya

[r]

Di Desa Abang Songan periode 2016 ini, terdapat sebanyak 105 KK miskin dari total 376 KK.Untuk program KK Dampingan di Desa Abang Songan, masing-masing mahasiswa

Pelanggan merupakan sebuah asset utama bagi sebuah SPBU, untuk itu perusahaan jasa berusaha menjaga kualitas pelayanan dan menetapkan harga yang sesuai dengan standar

berkesinambungan dengan kebijakan kepegawaian daerah didasarkan pula pada kondisi kebutuhan daerah, karakteristik dan budaya kerja. Beberapa kebijakan nasional dalam