• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 YellowfinTuna

Menurut Saanin (1984) ikan Yellowfin Tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Metazoa

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Percomorphi

Sub Ordo : Scombroidea Famili : Scomberidae

Genus : Thunnus

Species : Thunnus albacores

Gambar 1 Yellowfin Tuna (Thunnus albacores).

Yellowfin Tuna memiliki rangka terdiri dari tulang benar, tertutup insang, kepala simetris dan badan tidak seperti ular. Badan bersisik, kadang-kadang seluruhnya atau sebagian tertutup oleh kelopak-kelopak tebal. Memiliki lebih dari 2 jari-jari sirip punggung keras dan hanya satu sirip punggung atau dua sirip punggung yang bersambungan atau berdekatan. Sirip punggung terdiri dari bagian yang berjari-jari keras dan langsung berhubungan dengan bagian yang berjari-jari lemah. Badan berbentuk cerutu, bersisik lingkaran (cycloid) dan jari-jari lemah sirip ekor bercabang pada

5 pangkalnya, terdapat sirip kecil di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sisik pada daerah sirip dada seolah-olah membentuk lapisan sendiri, satu rigi pada tiap-tiap sisi ekor ada 6-9 buah sirip-sirip kecil. Badan bersisik rata dan sirip dada sepanjang kepala (Saanin 1984). Yellowfin tuna memiliki warna biru gelap metalik hitam lalu disambung dengan warna kuning dan perak pada perut, untuk sirip dorsal, sirip dubur dan finlets berwarna kuning cerah. Berat maksimum YellowfinTuna adalah 200 kg dengan panjang baku maksimum 239 cm, tetapi umumnya tertangkap adalah 150 cm (Fishbase 2010).

Yellowfin Tuna yang di Indonesia dikenal dengan nama Madidihang atau Geulang Kedawung. Penyebaran ikan ini hampir di semua perairan tropis, terutama di Laut Cina Selatan, Laut Sulu, perairan Sulawesi dan Lautan Indonesia. Yellowfin Tuna banyak tertangkap sepanjang pantai yang berperairan panas tetapi dengan salinitas yang lebih rendah dari arus Kurosio. Ikan ini banyak menyukai area dekat pulau-pulau dan gosong karang, sehingga ikan ini dikenal sebagai ikan yang euryhaline atau mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi dengan salinitas. YellowfinTuna dikatakan sebagai pemburu mangsa di siang hari, walau pada malam hari juga aktif memburu mangsa. Hasil analisa isi perut menunjukkan presentase pada siang hari lebih tinggi sehingga dikatakan lebih tepat sebagai pemburu siang hari (Gunarso 1985).

Suhu merupakan faktor penting untuk meramalkan adanya tuna di suatu perairan, walaupun belum dapat dijadikan dasar untuk menentukan kelimpahannya (Nakamura 1969). Yellowfin Tuna mempunyai kisaran temperatur antara 18oC–31oC. Kisaran 20oC– 28oC merupakan kisaran optimum dimana Yellowfin Tuna terkonsentrasi (Laevastu dan Hela 1970).

Kisaran suhu untuk penyebaran dan lapisan renang beberapa jenis tuna disajikan dalam tabel 1.

6

Tabel 1 Kisaran suhu dan lapisan renang ikan tuna

Jenis Ikan Suhu Optimum (oC) Lapisan Renang (m)

Bluefin tuna 14 – 21 50 – 300 Shouthern bluefin 10 – 28 50 – 300 Bigeye tuna 17 – 23 50 – 400 Yellowfin tuna 20 – 28 0 – 200 Albacore tuna 14 – 22 200 – 300 Striped marlin 18 – 24 0 – 80 Swordfish marlin 19 – 22 30 – 80 Black marlin 26 – 29 20 – 90 Skipjack tuna 20 – 24 0 – 40 Sumber: Batubara (1981)

Yellowfin Tuna termasuk ikan penjelajah perairan oseanis, dan biasanya ditemukan bergerombol. Ikan ini ditemukan hampir di seluruh laut yang hangat kecuali Laut Mediterania. Penyebaran geografisnya mencakup daerah yang sangat luas di seluruh daerah tropis dan subtropis Samudera Hindia, Pasifik dan Atlantik (Simbolon 2011).

Pusat distribusi Yellowfin Tuna berada di bagian utara dari arus khatulistiwa selatan di Pasifik tengah dan barat. Distribusi Yellowfin Tuna di bagian timur Pasifik tropis sangat bervariasi sesuai dengan perubahan musiman struktur laut. Pemijahan terjadi sepanjang tahundi perairan ini, walaupun puncak musim berbeda regional (Nakamura 1969).

Yellowfin Tuna menyebar di seluruh perairan Indonesia seperti di kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia. Kawasan barat Indonesia meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kawasan timur Indonesia meliputi Laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Papua dan Selat Makassar (Uktolseja

et al 1998 diacu dalam Simbolon 2011).

Semua jenis tuna umumnya membentuk kelompok campuran dari dua atau tiga jenis tuna. Kelompok campuran tersebut terdiri dari spesies-spesies yang berukuran yang sama. Hal tersebut berkaitan erat dengan faktor kecepatan renang ikan. Semakin besar ukuran tuna, maka kecepatan renangnya semakin tinggi. Kesamaan dalam ukuran memiliki kecenderungan kecepatan renang tuna seragam (Baskoro dan Taurusman 2011).

7 2.2Parameter Oseanografi

2.2.1 Suhu permukaan laut

Suhu adalah salah satu faktor lingkungan yang paling mudah untuk diteliti dan ditentukan. Fluktuasi air laut banyak dipengaruhi oleh iklim, suhu udara, kekuatan arus, kecepatan angin, lintang, maupun keadaan relief dasar laut. Fluktuasi harian suhu permukaan misalnya, pada umumnya tidak akan lebih dari 0,2–0,4oC, sedangkan didekat pantai fluktuasi tersebut bisa mencapai beberapa derajat celcius besarnya (Baskoro dan Taurusman 2011).

Suhu dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dpl (dari permukaan laut), waktu harian, sirkulasi udara, awan, aliran dan kedalaman air. Umumnya suhu digunakan sebagai indikator untuk menentukan perubahan ekologi. Hal itu tidak saja menyangkut suhu dan daerah fluktuasinya, akan tetapi juga menyangkut gradient horizontal dan vertikalnya, variasi dari satu tempat ke tempat lain dimana suhu tersebut dipakai sebagai indikator ekologi baik secara langsung maupun tidak langsung (Baskoro dan Taurusman 2011).

Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Di samudra, suhu bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang, dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kebanyakan organisme laut telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembang biak dalam kisaran suhu yang lebih sempit daripada kisaran total 0–40oC. Sebagian besar organisme laut juga bersifat poikilotermik (berdarah dingin) dan suhu air laut bervariasi menurut garis lintang, maka penyebaran organisme laut sangat mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografik (Nybakken 1988).

Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yakni, lapisan hangat di bagian teratas, lapisan termoklin di tengah dan lapisan dingin dibagian bawah. Secara alami suhu air permukaan memang merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan karena adanya kerja angin, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28oC) yang homogen. Lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan homogen dan bisa menjadi tebal lagi karena adanya pengaruh arus dan pasang-surut. Di perairan dangkal lapisan homogen ini melanjut sampai ke dasar (Nontji 2005).

8

Lapisan termoklin terdapat di bawah lapisan homogen, di mana suhu menurun cepat terhadap kedalaman. Suhu yang turun menyebabkan densitas air meningkat, maka lapisan termoklin ini merupakan pula daerah perlonjakan kenaikan densitas yang sangat menyolok. Perubahan densitas ini bisa lebih diperkuat lagi karena di lapisan ini pun salinitas sering meningkat dengan cepat. Akibatnya air di sebelah atasnya tidak bisa bercampur dengan lapisan air di bawahnya, sehingga lapisan ini sering pula disebut lapisan pegat (discontinuity layer) karena mencegah atau memegat percampuran air antara lapisan di atas dan di bawahnya. Upwelling terjadi karena lapisan pegat ini bergerak ke atas dan bentuknya tidak lagi terlalu tajam hingga zat hara yang kaya dari lapisan dalam bisa naik ke atas. Tebalnya lapisan termoklin bervariasi sekitar 100-200 m. Di bawah lapisan termoklin, baru terdapat lagi lapisan yang hampir homogen dan dingin. Makin ke bawah suhunya berangsur-angsur turun hingga pada kedalaman lebih 1.000 m suhu biasanya kurang dari 5oC (Nontji 2005). Pola sebaran suhu secara vertikal diperlihatkan dalam Gambar 2.

9 2.2.2 Klorofil-a

Plankton adalah biota yang hidup di lingkungan pelagik dan mengapung, menghanyut atau berenang sangat lemah, artinya mereka tak dapat melawan arus. Plankton terdiri dari fitoplankton atau plankton tumbuh-tumbuhan dan zooplankton atau plankton hewan. Biota yang mengapung ini mencakup sejumlah besar biota di laut, baik ditinjau dari jumlah jenisnya maupun kepadatannya. Produsen primer (fitoplankton), herbivora, konsumen tingkat pertama, larva dan juwana planktonik dari hewan lain, digabung menjadi satu membentuk volume biota laut yang luar biasa besarnya (Romimohtarto dan Juwana 2001).

Meskipun fitoplankton membentuk sejumlah besar biomassa di laut, kelompok ini hanya diwakili oleh beberapa filum saja. Sebagian bersel satu dan mikroskopik, dan mereka termasuk filum Chrysophyta, yakni alga kuning-hijau yang meliputi diatom dan kokolitofor (coccolithophore). Selain ini terdapat beberapa jenis alga biru-hijau (Cyanophyta), alga coklat (Phaeophyta) dan satu kelompok besar dari Dinoflagellata (Pyrophyta) (Romimohtarto dan Juwana 2001).

Menurut Nontji (2005), fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer (primary producer). Proses fotosintesis tersebut dapat disingkat sebagai reaksi berikut ini:

Karbondioksida + air Glukosa + oksigen 6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2

Dalam rantai makanan (food chain), fitoplankton akan dimakan oleh hewan herbivor yang merupakan produsen sekunder (secondary producer). Produsen sekunder ini umumnya berupa zooplankton yang kemudian dimangsa pula oleh hewan karnivor yang lebih besar sebagai produsen tersier (tertiary producer). Demikianlah seterusnya rentetan karnivor memangsa karnivor lain hingga merupakan produsen tingkat keempat, kelima dan seterusnya (Nontji 2005).

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), produktivitas primer dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sinar matahari (cahaya) dan cuaca melalui tutupan awan, angin dan secara tidak langsung melalui suhu. Angin dapat mengurangi penembusan

10

cahaya ke permukaan laut dan mengurangi kecepatan proses produktivitas primer. Angin dapat menciptakan gelombang yang mengakibatkan permukaan laut tidak rata dan memantulkan sebagian besar sinar matahari jika dibandingkan dengan permukaan yang rata. Suhu juga mempengaruhi daya larut gas-gas yang diperlukan untuk fotosintesis seperti CO2 dan O2.Gas-gas ini mudah terlarut pada suhu rendah daripada suhu tinggi,

akibatnya kecepatan fotosintesis ditingkatkan oleh suhu rendah.

Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai atau di perairan lepas pantai di mana terjadi air naik (upwelling). Di kedua lokasi itu terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut. Di depan muara sungai banyak zat hara datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah air naik zat hara yang kaya terangkat dari lapisan lebih dalam kearah permukaan (Nontji 2005).

2.3Metode Regresi Linier Berganda

Regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh parameter oseanografi dan curah hujan terhadap hasil tangkapan. Hasil tangkapan merupakan variabel terikat sedangkan parameter oseanografi dan curah hujan adalah variabel bebas.Menurut Sarwono (2011) model regresi linier layak digunakan dengan memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Angka signifikansi pada ANOVA sebesar < 0.05

2) Predictor yang digunakan sebagai variabel bebas harus layak. Kelayakan ini diketahui jika angka Standard Error of Estimate < Standard Deviation

3) Koefesien regresi harus signifikan. Pengujian dilakukan dengan Uji T. Koefesien regresi signifikan jika T hitung > T table (nilai kritis).

4) Tidak boleh terjadi multikolinieritas, artinya tidak boleh terjadi korelasi yang sangat tinggi atau sangat rendah antar variabel bebas. Syarat ini hanya berlaku untuk regresi linier berganda dengan variabel bebas lebih dari satu.

5) Tidak terjadi otokorelasi. Terjadi otokorelasi jika angka Durbin dan Watson (DB) sebesar < 1 dan > 3

6) Keselerasan model regresi dapat diterangkan dengan menggunakan nilai r2 semakin besar nilai tersebut maka model semakin baik. Jika nilai mendekati 1 maka model regresi semakin baik. Nilai r2mempunyai karakteristik diantaranya: 1) selalu positif, 2) Nilai r2maksimal sebesar 1. Jika Nilai r2sebesar 1 akan mempunyai arti kesesuaian

11 yang sempurna. Maksudnya seluruh variasi dalam variabel Y dapat diterangkan oleh model regresi. Sebaliknya jika r2 sama dengan 0, maka tidak ada hubungan linier antara X dan Y.

7) Terdapat hubungan linier antara variabel bebas (X) dan variabel tergantung (Y) 8) Data harus berdistribusi normal

9) Data berskala interval atau rasio

10) Kedua variabel bersifat dependen, artinya satu variabel merupakan variabel bebas (disebut juga sebagai variabel predictor) sedang variabel lainnya variabel tergantung (disebut juga sebagai variabel response).

Kelebihan dari metode regresi linier yaitu kemampuannya dalam memprediksi. Selain itu menurut Wibowo (2009) regresi liner memiliki beberapa kelemahan yaitu: 1. Tidak mampu menunjukkan titik jenuh fungsi yang sedang diselidiki. Akibatnya

selalu timbul kemungkinan kesalahan peramalan (ektraspolasi).

2. Terdapat kemungkinan terjadinya multikolineritas pada variabel-variabel yang dipakai. Akibatnya variabel bebas tidak mampu menjelaskan variabel tak bebas tidak mampu menjelaskan varaibel tak bebas (hubungan antara X dan Y tidak bermakna).

12

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di PPN Palabuhanratu pada bulan Maret-Mei 2012. Pengolahan data dilakukan di Studio Komputer Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

3.2 Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Data produksi hasil tangkapan

Pengumpulan data jumlah hasil tangkapan Yellowfin Tuna diperoleh dari pihak PPN Palabuhanratu. Data hasil tangkapan yang digunakan adalah data hasil tangkapan mulai tahun 1997-2011.

3.2.2 Data komposisi ukuran ikan

Data ukuran panjang dan berat ikan diperoleh dengan pengukuran langsung dilapangan dengan jumlah sampel 10% dari populasi hasil tangkapan Yellowfin Tuna

yang didaratkan dari suatu kapal. Sampel kapal yang diambil adalah kapal tonda, yang berjumlah 50% (23 buah kapal) dari total kapal yang beroperasi pada saat penelitian.

13 Sampel ukuran panjang dan berat diambil secara acak tanpa disortir dari hasil tangkapan kapal tonda yang didaratkan.

3.2.3 Data citra satelit dan curah hujan

Pengumpulan data citra satelit yaitu parameter oseanografi yang terdiri dari suhu permukaan laut, klorofil dan tinggi paras laut. Data suhu permukaan laut dan klorofil diperoleh melalui website www.oceancolour.com dan PO.DAAC.jpl.nasa.gov, data tinggi paras laut dengan mendownload di PO.DAAC.jpl.nasa.gov. Data suhu permukaan laut dan klorofil yang digunakan adalah citra Aqua MODIS level 3 mulai tahun 1997-2011. Citra ini digunakan karena khusus untuk keperluan kelautan dan perikanan dan dapat dilihat dengan baik sehingga pengamatan dapat dilihat dengan jelas. Tinggi paras laut diambil data tahunannya mulai tahun 1997-2011.

Data curah hujan dikumpulkan dari BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Sukabumi dan perkiraan data tahun 2011 dari DISPARBUDPORA (Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga) Kab Sukabumi rata-rata tahunan curah hujan. Curah hujan diambil data bulanan dalam lima belas tahun mulai dari tahun 1997–2011.

3.3Metode AnalisisData

3.3.1 Analisis produksi hasil tangkapan

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perubahan produksi hasil tangkapan selama 15 tahun (1997-2011). Analisis produksi hasil tangkapan dilakukan secara deskriptif dengan melihat data produksi hasil tangkapan Yellowfin Tuna.

3.3.2 Analisis komposisi ukuran ikan

Analisis komposisi ukuran Yellowfin Tuna bertujuan untuk mengetahui hasil tangkapan yang didaratkan sudah layak tangkap atau tidak, dengan melihat length at maturity dan weight at maturity Yellowfin Tuna. Analisis hasil tangkapan Yellowfin Tuna

14

1)Jumlah ikan

Sampel ikan yang diambil sebanyak 296 ekor dari kapal tonda (23 buah). Jumlah kapal tersebut merupakan jumlah kapal yang beroperasi pada saat penelitian.

2)Panjang ikan

Panjang total ikan diukur dari ujung mulut hingga ujung sirip ekor. Data panjang ikan digunakan untuk mengetahui jumlah ikan Yelllowfin Tuna yang layak untuk ditangkap.

Panjang total

Gambar 4 Pengukuran panjang total ikan 3)Berat ikan

Sampel Yellowfin Tuna diukur beratnya satu per satu dengan menggunakan timbangan. Data berat digunakan untuk mengetahui jumlah ikan yang layak untuk ditangkap.

3.3.3Analisis SPL, Klorofil-a, TPL dan Curah hujan

Data suhu permukaan laut dan klorofil didapat dengan mendownload di

www.oceancolour.com dan PO.DAAC.jpl.nasa.gov. Suhu permukaan laut dan klorofil diolah dengan menggunakan software Seadas 6.3. Citra suhu permukaan laut dan klorofil kemudian diolah untuk mendapat konsentrasi dengan keluaran berupa gambar dengan format PNG dan berupa data dengan format ASCII. Data dalam format ASCII tersebut kemudian diolah dalam Microsoft excel untuk dicari rata-ratanya perbulan dalam 15 tahun. Data suhu permukaan laut dan klorofil disajikan dalam bentuk grafik dan gambar untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam 15 tahun (1997-2011).

Berikut adalah langkah-langkah dalam pengolahan suhu permukaan laut dan klorofil:

1. Pengolahan data diawali terlebih dahulu dengan mendownload data klorofil di

www.oceancolour.com dan data suhu permukaan laut di www.oceancolour.com dan

PO.DAAC.jpl.nasa.gov. Download pada kedua situs tersebut memiliki langkah yang berbeda, untuk mendownload di www.oceancolour.com masuk situsnya dan memilih

15 bulanan (monthly). Download data dengan mengklik SMI pada sebelah kiri bawah gambar, maka secara otomatis data pun dapat didownload. Download data di

PO.DAAC.jpl.nasa.gov dapat dilakukan dengan masuk dalam situsnya terlebih dahulu, setelah itu klik Measurements dan pilih Sea Surface Tempeature (SST) dan klik

AVHRR-Pathfinder. Klik situs web

http://www.nodc.noaa.gov/SatelliteData/pathfinder4km/, dan klik V5.0/5.1 User Guide pada kotak bagian bawah, lalu akan muncul halaman baru. Pilih situs web

ftp://ftp.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/pathfinder pada judul tulisan How to Access the

Data. Pilih Version5.0 lalu klik Monthly (karena data yang dibutuhkan adalah data bulanan), lalu pilih data pada tahun yang diinginkan maka salah satunya akan muncul

199701.s04m1pfv50-sst-16b.hdf kemudian dapat langsung diklik maka secara otomatis data dapat didownload.

2. Data yang telah didownloaddapat langsung diolah di Seadas 6.3. Data di Copy pada

Desktop kemudian diextract dalam program Seadas 6.3 karena data yang didownload

masih dalam bentuk mentahan.

3. Tahap selanjutnya klik Display pada Seadas Main Menu. Data akan berada di Desktop

maka klik Desktop, lalu pilih data bulanan yang akan diolah. Kemudian akan muncul

Product Selection For Modis File untuk tempat yang diinginkan dapat mencantumkan bujur dan lintang. Klik Chlorophyll a concentration untuk klorofil dan Sea Surface Temperature untuk suhu permukaan laut, lalu klik Load.

4. Band List Selection akan muncul dan klik Display. Muncul tab berikutnya dan klik

Function, pilih Output ASCII untuk menampilkan dalam bentuk data. Pilih Set up dan pada tab Output ASCII Setup klik Write File, maka secara otomatis data telah terproses.

5. Setelah itu, untuk mendapatkan dalam bentuk gambar dapat klik Function, pilih

Output Display, lalu klik go maka secara otomatis gambar pun tersimpan.

6. Data yang telah diolah di Seadas 6.3 kemudian diolah di Microsoft excel untuk dicari rata-rata per bulannya dalam 15 tahun terakhir (1997-2011).

16

Tahapan pengolahan data suhu permukaan laut dan klorofil secara umum disajikan dalam diagram alir berikut ini:

Tidak

Ya

Gambar 5 Diagram alir pengolahan data suhu permukaan laut dan klorofil

Data tinggi paras laut yang diperoleh dengan mendownload di

PO.DAAC.jpl.nasa.gov berupa data tahunan dalam periode 1997–2011, kemudian diolah di Microsoft excel. Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk grafik untuk

Mulai

Download data

Suhu permukaan laut dan Klorofil-a

Bebas Awan

Menu utama Seadas 6.3 Croping dan function

Pengolahan data di Microsoft excel Selesai Output gambar Output Display Outputdata Output ASCII

17 mengetahui perubahan tinggi paras laut yang terjadi selama 15 tahun dari tahun 1997– 2011. Data bulanan curah hujan disajikan dalam bentuk grafik. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan melihat pola perubahan grafik dalam 15 tahun terakhir.

3.4 Hubungan Parameter Oseanografi dan Curah Hujan dengan Hasil Tangkapan Variabel hasil tangkapan dengan variabel parameter oseanografi dan curah hujan dilakukan uji statistik. Tahapan uji statistik yang dilakukan yaitu uji normalitas, uji kolinearitas, koefisien keragaman (koefisien varians) dan analisis regresi linier berganda. Uji statistik parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan menggunakan perangkat lunak Minitab 16, setelah itu dilakukan analisis deskriptif terhadap masing- masing tahapan.

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel dapat mewakili populasi, sedangkan uji kolinearitas untuk mengetahui ada tidaknya hubungan linier atau korelasi yang tinggi antara masing-masing variable independen (parameter oseanografi dan curah hujan). Koefisien keragaman (koefisien varians) perlu dilakukan untuk mengetahui variabilitas parameter oseanografi dan curah hujan dengan hasil tangkapan. Parameter oseanografi dan curah hujan yang memiliki tingkat keragaman besar maka memiliki nilai variabilitas yang besar pula.

Hubungan parameter oseanografi dan curah hujan dengan produksi hasil tangkapan dilakukan melalui analisis statistik regresi linier berganda. Untuk menentukan derajat hubungan antara variabel parameter oseanografi dan curah hujan dan variabel produksi hasil tangkapan dilakukan analisis korelasi dengan mengetahui keterikatannya. Hasil uji statistik disajikan dalam bentuk persamaan matematis, yaitu persamaan regresi linier berganda sebagai berikut:

Y = a+b1X1+b2X2+…+bnXn Keterangan: Y : Variabel terikat a : Konstanta b1,b2 : Koefisien regresi X1,X2 : Variabel bebas

18

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak/Posisi Geografis

Berdasarkan letak geografis, posisi teluk Palabuhanratu berada pada 6o57’–7o07’ LS dan 106o22’–106o33’ BT. Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat. Kecamatan Palabuhanratu termasuk dalam kabupaten Sukabumi dan berjarak sekitar 61 km dari kabupaten Sukabumi. Luas dari kecamatan Palabuhanratu adalah 27.210,13 ha atau sekitar 6,59% dari total luas wilayah kabupaten Sukabumi mencapai 412.799,54 ha. Kecamatan Palabuhanratu terbagi ke dalam 13 desa yaitu Citepus,

Dokumen terkait