Agroforestri
Agroforestrimerupakan komoditas tanaman yang kompleks, yang didominasi oleh pepohonan dan menyediakan hampir semua hasil dan fasilitas hutan alam.Agroforestridapat dilaksanakan dalam beberapa model, antara lain tumpang sari(cara bercocok tanam antara tanaman pokok dengan tanaman semusim), silvopasture (campuran kegiatan kehutanan, penanaman rumput dan peternakan), silvofishery (campuran kegiatan pertanian dengan usaha perikanan di daerah pantai), dan farmforestry (campuran kegiatan pertanian dengan kehutanan) (Sitorus, 2008).
Agroforestri memiliki banyak manfaat untuk sumber pendapatan masyarakat sekitar hutan, dengan tidak hanya memanfaatkan dari hutan berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu saja tetapi masyarakat dapat memanfaatkan dari tanaman pertanian. Oleh karena itu, hal ini harus mendapat perhatian yang besar dari berbagai pihak, baik dari masyarakat sendiri maupun pemerintah pada khususnya (Barus, 2010).
Salah satu keuntungan/kebaikan yang diperoleh petani yang menerapkan usaha taninya dengan sistem agroforestri adalah terjadinya peningkatan keluaran hasil (output) yang lebih bervariasi yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, dan pupuk kandang. Selain itu secara ekonomi sistem agroforestri memiliki keuntungan lainnya yaitu memperkecil resiko kegagalan panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh adaya hasil (panen)dari komponen
6
yang lain dan meningkatkan pendapatan petani, karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang bervariasi dan berkelanjutan (Rauf, 2011).
Jenis-jenis Hasil Hutan Agroforestri
Tanaman industri pengisi agroforestridi kawasan TNGL didominasi oleh tanaman semusim (tanaman non-kayu) seperti jahe, kunyit, lada, serai, dan lain- lain.Sementara tanaman buah-buahan seperti durian, nangka, manggis, dan mangga. Tanaman pohon lain yang banyak terdapat di kawasan penyangga TNGL adalah pohon sayuran yaitu petai dan jengkol serta pohon kemiri. Tanaman yang sesuai digunakan untuk mengisi komponen agroforestri harus memiliki sifat resisten (tahan) terhadap naungan. Beberapa tanaman pertanian semusim ada yang tahan tumbuhdibawah kondisi ternaungi, meskipun lebih sesuai pada lahan terbuka.Tanaman dari jenis tanaman obat seperti kunyit, kencur, dan temulawak umumnya tahan tumbuh di bawah naungan pepohonan.Demikian halnya dengan tanaman nenas, cabai rawit, terong dan lain-lain merupakan tanaman yang dibudidayakan di bawah naungan tanaman pohon (Rauf, 2011).
Jenis yang sesuai dalam pola tanam agrofrestri tentunya berdasarkan sejauh mana kedua tanaman penyusun tersebut saling berinteraksi positif. Interaksi positif ditunjukkan oleh pertumbuhan/produksi tanaman penyusun lebih baik atau tidak mengalami penurunan produksi. Hal ini tentunya dapat didekati dengan mengkaji karakteristik tanaman penyusun tersebut dalam hal tingkat toleransi terhadap naungan dan tipe perakaran. Tanaman kapulaga, jagung, kacang tanah,ubi kayu, ubi jalar, iles-iles, talas, jahe dan lada merupakan jenis tanaman bawah yang potensial hidup di bawah tegakan. Hal ini mendasari untuk
7
melakukan pemilihan jenis tersebut dalam pola tanam agroforestri (Handayani dan Aris, 2004).
Pemanfaatan lahan di kawasan hutan lindung sebagian besar digunakan untuk berkebun dan berladang yang di dalamnya ditumbuhi coklat (Theobrama
cacao), mangga (Mangifera indica), ubi kayu (Manihot utilísima), pisang (Musa
sp), kelapa (Cocos nucifera), kemiri (Aleurites moluccana), jambu mete (Anacardium occidentale), kopi (Coffeea sp), jambu biji (Psiduim guajava), jambu air (Zyzigium aquatica), nangka (Arthocarpus heterophylla) dan sayuran seperti lombok (Capsicum annum) sedangkan penutupan lahan di hutan alam terdiri atas tumbuhan seperti jenis paku-pakuan (Pteridophyta), bambu (Bambusa sp), bitti (Vitex cofassus), rotan (Calamus sp), aren (Arenga pinnata), beberapa jenis anggrek (Orchidaceae) dan masih banyak lagi tanaman lainnya (Asrianny dkk., 2012).
Lingkungan tumbuh tanaman jahe memperngaruhi produktivitas dan mutu rimpang/umbi, karena pembentukan tanah dan intensitas cahaya. Tipe iklim (curah hujan), tinggi tempat dan jenis tanah merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih daerah/lahan yang cocok untuk menanam jahe. Pembentukan rimpang jahe akan terhambat pada tanah dengan kadar air dan drainase kurang baik, demikian juga pada intensitas cahaya rendah dan curah hujan rendah (Muchlas dan Slameto, 2008).
Hasil hutan yang dipungut dari alam bebas atau dihasilkan dari hutan yang ditanami, skema agroforestri, dan pohon – pohon yang berada di luar hutan. Contoh HHBK berupa makanan atau bahan tambahan (additive) untuk makanan (biji- bijian yang dapat dimakan, jamur, cendawan, buah- buahan, herba, bumbu
8
dan rempah- rempah, tumbuhan aroma dan binatang buruan). HHBK serat (yang digunakan untuk konstruksi, furniture, pakaian atau perlengkapan) termasuk pula damar, karet, tumbuhan dan binatang yang digunakan untuk obatobatan, kosmetika, hasil hutan bukan kayu yang digunakan untuk keperluan upacara adat (religi dan kultur ) (Iskandar dkk., 2013).
Beberapa jenis HHBK yang potensial untuk dikembangkan di hutan desa Labbo dan Pattaneteang adalah banga ponda, banga tambu, anggrek tanah, bunga kembang doa, buah markisa, kopi, madu dan rotan. Selain tumbuhan terdapat pula hewan langka yang dilindungi seperti anoa, namun belum tersedia data terkait besaran populasi. Di Kelurahan Campaga Kabupaten Bantaeng memiliki HHBK yang potensial untuk dikembangkan, yaitu daun pandan sebagai bahan pembuatan tikar, buah pangi dan beberapa jenis fauna. (Nurhaedah dan Evita, 2014).
Manfaat Hasil Hutan
Pemanfaatan hutan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pertama manfaat langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan/dinikmati secara langsung oleh masyarakat, yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil hutan, serta berbabagai hasil hutan ikutan seperti rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain- lain. Kedua manfaat tidak langsung, manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaaan hutan itu sendiri, seperti dapat mencegah terjadinya erosi, dapat memberikan rasa keindahan, dapat mengatur tata air dan lain-lain (Salim, 1997).
Pemanfaatan buah-buahan hutan oleh masyarakat di sekitar Hutan Alam Kantuk selain untuk dikonsumsi, ada sebagian kecil yang dijual seperti durian,
9
cempedak dan rambutan. Pohon penghasil buah-buahan hutan sebagai bagian dari plasma nutfah hayati, memiliki nilai penting sebagai sumber informasi dalam menunjang kegiatan pendidikan seperti penelitian dan kehidupan bagi masyarakat di sekitar hutan (Mariana dkk., 2013).
Adapun hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan dan memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat, menurut Sudarmalik dkk, (2006), dapat dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
a. Getah-getahan : Getah jelutung, getah merah, getah balam, getah karet alam dll
b. Tanin : Pinang, gambir, rhizophora, bruguiera, dll
c. Resin : Gaharu, kemedangan, jernang, damar mata
kucing, damar batu, damar rasak, kemenyan dll. d. Minyak atsiri : Minyak gaharu, minyak kayu putih, minyak
keruing, minyak lawang, minyak kayu manis
e. Madu : Apis dorsata, apis melliafera
f. Rotan dan Bambu : Segala jenis rotan, bambu dan nibung g. Penghasil Karbohidrat : Sagu, aren, nipah, sukun dll
h. Hasil Hewan : Sutra alam, Lilin lebah, aneka hewan
yang tidak dilindungi
i. Tumbuhan Obat dan : Aneka tumbuhan obat dari hutan, anggrek Tanaman Hias hutan,palmae, pakis dll
Nilai Ekonomi Hasil Hutan
Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna sesuatu objek (sumberdaya hutan) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Perseprsi ini sendiri
10
merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap sesuatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Lidiawati, 2003).
Nilai sumberdaya hutan bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat.Oleh karena itu untuk mendapatkan keseluruhan manfaat yang ada dilakukan identifikasi setiap jenis manfaat.Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator nilai (indikator adanya nilai).Secara struktur sistem, indikator nilai ini merupakan komponen sistem.Setiap indikator nilai/komponen sistem inilah yang menjadi sasaran penilaian.Setiap indikator nilai ini dapat berupa barang hasil hutan, jasa dari fungsi ekosistem hutan maupun atribut yang melihat pada hutan tersebut dalam hubungannya dengan sosial budaya masyarakat. Proses pembentukan nilai ditentukan oleh persepsi individu di masyarakat terhadap setiap komponen (komoditi) dan besarnya nilai ditentukan juga dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas komponen dari sumberdaya hutan tersebut (Bahruni, 2004).
Dengan membandingkan pendapatan masyarakat dai luar agroforestry dengan pendapatan masyarakat dari agroforestry maka kita dapat melihat bahwa pendapatan yang terbesar diperoleh dari pendapatan dari agroforestri. Pendapatan dari praktik agroforestri ini cukup besar dibandingkan dengan pendapatan di luar agroforestry.Keseluruhan pendapatan masyarakat di desa ini berasal dari hutan dan non hutan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan dari hutan dapat berupa produk-produk agroforestry yang mereka tanam di lahan agroforestry
11
mereka, sementara pendapatan dari luar hutan berupa kegiatan lain di luar kawasan hutan seperti bersawah (Zega dkk, 2013).
Buah manggis memiliki nilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagi komiditi ekspor dan tidak ada pesaingnya, kecuali Malaysia dan Thailand dan negara Amerika Latin. Ekspor manggis menempati urutan pertama eksppor buah segar ke mancanegara kemudian di ikuti oleh buah nenas, mangga, pisang dan pepaya. Buah manggis yang diperdagangkan pada pasar luar negeri sebagian besar berasal dari kebun rakyat yang belum terpelihara secara baik dan sisitem produksinya masih tergantung pada alam (tradisional) (Qosim, 2013).
Tingginya pendapatan disebabkan oleh variasi jenis tanaman yang dikembangkan merupakan komoditi andalan dan memiliki nilai jual (komersil) yang tinggi dipasaran. Tanaman jati memberikan kontribusi pendapatan terbesar kemudian jenis tanaman perkebunan dan tanaman musiman. Tanaman jati memberikan kontribusi pendapatan yang paling banyak dibanding dengan jenis tanaman kakao dan kopi, hal ini menunjukan bahwa tanaman jati masih menjadi pilihan primadona dan merupakan komoditi untuk pasokan kebutuhan industri (Setiawan, 2014).
Pola penjualannya melalui tengkulak berarti proses penebangan dan pengangkutanmenjadi tanggunag jawab tengkulak dan secara otomatis retribusi juga dibebankan ke tengkulak. Akan tetapi jika petani sendiri yang memanen dan memasarkan kayunya, berarti retribusi tersebut menjadi tanggung jawab petani (Afriantho, 2008).
12
Alfian (2000) dalam Suhelmi (2003), salah satu metode perhitungan nilai ekonomis dari manfaat ekologi adalah dengan teknik membangun variabel pasar secara langsung bertanya pada individu masyarakat dengan menggunakan kuesioner adalah konsep kesediaan untuk membayar terhadap barang dan jasa lingkungan yang diperoleh, serta kesediaan menerima konpensasi (Willingness to
Accept), juga barang dan jasa lingkungan tidak lagi dapat mereka manfaatkan.
Sebagai salah satu sumberdaya alam yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, manfaat hutan dapat dubedakan menjadi dua, yaitu : manfaat
tangible (langsung/nyata) dan manfaat intangible (tidak langsung/tidak nyata).
Manfaat tangibleatau manfaat langsung hutan antara lain: kayu, hasil hutan ikutan, dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible atau manfaat tidak langsung hutan antara lain: pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan, kenyamanan lingkungan, dan lain-lain. Berdasarkan kemampuan untuk dipasarkan, manfaat hutan juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : manfaat marketable dan manfaat
non-marketable. Manfaat hutan non-marketable adalah barang dan jasa hutan
yang belum dikenal nilainya atau belum ada pasarnya, seperti: beberapa jenis kayu lokal, kayu energi, binatang, dan seluruh manfaat intangible hutan (Affandi dan patana, 2002).
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dibagi ke dalam 2 kelompok besar yaitu: (1) Hutan negara, dan (2) Hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang di bebani hak atas tanah yang biasanya disebut hutan rakyat. Keberadaan hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan sangatlah penting karena hutan merupakan sumber kehidupan antara lain sebagai sumber pangan, obat-obatan dan penghasilan bagi masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan semakin besar sehngga diperlukan upaya melibatkan msyarakat dalam kegiatan kehutanan sehingga hasil dari hutan terutama bukan kayu dapat terjaga dan lestari.
Hutan adalah sumber makanan yang tidak tergantikan dan saling melengkapi dengan yang diperoleh penduduk dari kegiatan bercocok tanam.Hutan juga berfungsi sebagai sumber obat-obatan yang murah, terjangkau dan terpercaya.Bagi masyarakat lokal, hutan juga berfungsi sebagai sumber produk nabatidan hewani,sumber vitamin, mineral dan protein hewani, yang berperan dalam menjagakesehatan dan kebugaran tubuh mereka.Hutan juga berfungsi sebagai sumber energi utamanya sebagai sumber kayu bakar, dan berperan dalam meningkatkan gizi melalui ketersediaan bahan makanan yang bergizi berdasarkan skala lokal tersebut.
2
Lahan dapat diperlakukan sebagai modal dalam produksi hutan, tetapi juga dapat berperan sebagai sumber daya dalam usaha-usaha pengembangan pemukiman dan agribisnis non hutan. Sebagai lahan di dalam usaha pengelolaan hutan, nilai lahan akan senantiasa meningkat dengan meningkatmya pertumbuhan nilai tegakan hutan. Namun sebagai sumber daya ekonomi, perlakuan lahan dalam usaha-usaha pengembangannya perlu dikendalikan dengan seksama tidak ubahnya seperti memperlakukan lingkungan sebagai sumber daya ekonomi (Wirakusumah, 2003).
Agroforestri merupakan salah satu bentuk terpenting dari penerapan konsep perhutanan sosial. Nurrochmat (2005) mengatakan bahwa perhutanan sosial dapat dipahami sebagai ilmu dan seni menumbuhkan pepohonan dan tanaman lain di dalam dan di sekitar kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk mencapai tujuan ganda meliputi pengelolaan hutan lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu harapan penting dari program perhutanan sosial adalah meningkatkan taraf hidup (pendapatan) masyarakat.
Pola pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri merupakan suatu model usaha tani yang penting bagi para petani yang pada umumnya memiliki lahan pertanian yang terbatas. Dengan pola seperti ini, akan meningkatkan intensitas panen yang akhirnya mampu memberikan tambahan hasil baik berupa fisik maupun nilai finansial. Agroforestrisebagai salah satu model teknologi usaha tani semakin meningkat peranannya, terutama bagi masyarakat pedesaan yang memiliki lahan terbatas.Pola usaha tani seperti ini memberikan kemungkinan bagi pemilik lahan untuk meningkatkan intensitas pengambilan hasil per satuan luas
3
tertentu.Pola usaha tani agroforestriini dianggap dapat mengatasi permasalahan
kehidupan petani, terutama dalam memenuhi kebutuhan subsistemnya (Indriyanto, 2008).
Agroforestridikembangkan untuk memberikan manfaat kepada manusia atau untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Agroforestri utamanya diharapkan dapat mengoptimalkan hasil suatu bentuk lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan. Praktek agroforestrisecara perorangan banyak diterapkan di Kecamatan Sibolangit dengan perbedaan kombinasi jenis yang ditanam serta pilihan jenis kayu/pohon sebagai jenis dominan. Pengelolaan agroforestridi Kecamatan Sibolangit merupakan salah satu upaya masyarakat dalam meningkatkan perekonomian.
Desa Batu Mbilin dan Sembahe terletak di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, yang tinggal di sekitar kawasan Taman Wisata Alam (TWA)yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dari praktek agroforestri.Hasil dari praktek agroforestriyang dimanfaatkan masyarakat desa Batu Mbilin dan Sembahe dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari dan sebagian dijual untuk menghasilkanuang untuk mencukupi kebutuhannya juga. Sejalan dengan itu maka penelitianini dilakukan untuk melihat nilai ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan yang telah dimanfaatkan terhadap pendapatan masyarakat Desa Batu Mbilin dan Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi jenis-jenis hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat pada praktek agroforestridi Desa Batu Mbilin dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
2. Menentukan nilai ekonomi hasil hutan dari praktek agroforestri oleh masyarakat Desa Batu Mbilin dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
3. Mengetahui besarnya kontribusi pemanfaatan hasil hutan pada praktek agroforestriterhadap pendapatan masyarakat Desa Batu Mbilin dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan masukan bagi instansi seperti Badan Konservasi Sumber Daya Hutan dalam pengolahan sumberdaya hutan dari praktek agroforestri sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang potensi kontribusi jenis-jenis hasil
i
ABSTRAK
NURLAN : Jenis-jenis Hasil Hutan Dan Nilai Ekonomi Yang Berasal Dari Praktek Agroforestri Di Sekitar Taman Wisata Alam Sibolangit. Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan ANITA ZAITUNAH
Desa Batu Mbilin dan Sembahe terletak di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, yang tinggal di sekitar kawasan Taman Wisata Alam (TWA) dan menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dari praktek agroforestri. Hasil dari praktek agroforestri yang dimanfaatkan masyarakat desa Batu Mbilin dan Sembahe seperti: pinang, asam gelugur, pisang, manggis, durian, duku,cabai, jahe, langsat, petai, pepaya, kunyit, kemiri, kecombrang dan jagung. Penelitian ini bertujuan untuk : mengidentifikasi jenis-jenis dan nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari praktek agroforestri di Desa Batu Mbilin dan Desa Semabahe, mengetahui kontribusi hasil hutan agroforestri terhadap pendapatan masyarakat di Desa Batu Mbilin dan Desa Semabahe. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2016 dengan menggunakan metode purposive sampling. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa jenis hasil hutan agroforestri yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi di Desa Batu Mbilin
dan Desa Semabahe adalah manggis dengan rincian di Desa Batu Mbilin Rp. 131.000.000 atau 24,83% dan di Desa Semabahe Rp. 213.000.000 atau
31,97% sedangkan jenis hasil hutan agroforestri yang memiliki nilai ekonomi paling rendah adalah pisang dengan rincian di Desa Batu Mbilin Rp. 1.995.000 atau 0,37%. Dan di Desa Semabahe Rp 6.650.000 atau 0,99%. Kontribusi hasil hutan agroforestri di Desa Batu Mbilin sebesar Rp 533.300.000,-/tahun dan kontribusi hasil hutan agroforestri di Desa Sembahe sebesar Rp 701.440.000,- /tahun atau sekitar 79%.
ii
ABSTRACT
NURLAN: The Types of Forest Products and Economic Values of the Agroforestry Practices in Around Sibolangit Nature Park. Advised by RIDWANTI BATUBARA and ANITA ZAITUNAH
Batu Mbilin and Sembahe villagesare located in the district of Sibolangit, Deli Serdang regency, North Sumatra,wherethe inhabitant of the villages live in around the NaturePark (TWA) area and depend their life on the forest products of agroforestry practices. The results of agroforestry practices which is utilized by Batu Mbilin and Sembahe villagers are such as: nut, gelugur acid, bananas, mangosteen, durian, Duku, chilli, ginger, olive, banana, papaya, turmeric, nutmeg, kecombrang and corn. This study aimed to: identify the types and the economic value of the forest products which is used by the practice of agroforestry’s society in Batu Mbilin and Sembahe Village, determine the contribution of the agroforestry forest products to the inhabitant’s income in Batu Mbilin and Sembahe village. This study was conducted in April-May 2016, using purposive sampling method. The result showed that the types of agroforestry forest products that has the highest economic value in Mbilin and Semabahevillages is mangosteen with the details in Batu Mbilin village Rp. 131.000.000 or 24.83% and in Sembahe village Rp. 213.000.000 or 31.97%, meanwhile the types of agroforestry forest products that has the lowest economic value is bananas with the details in Batu Mbilin village Rp. 1.995.000, or 0.37%. and in Sembahe village Rp 6.65.000, or 0.99%. The contribution of agroforestry forest products in Batu Mbilin village Rp 533.300.000, - / year.And the contribution of agroforestry forest products in Sembahe village Rp 701.440.000, - / year or around 79%.