• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Patin

Ikan patin berasal dari golongan familia Pangasidae yaitu jenis ikan berkumis yang hidup di perairan air tawar yang berarus lambat seperti sungai atau muara-muara sungai yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Ikan patin (Pangasius sp) berasal dari perairan umum dengan distribusi penyebarannya meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam dan Indonesia. Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin lokal (Pangasius sp) dan ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Salah satu jenis varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah. 2001). Adapun klasifikasi penamaan ikan patin (Saanin. 1984) sebagai berikut :

Filum : Chordata Kelas : Pisces Sub – Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi

Subordo : Siluroidea

Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius pangasius.

Karakteristik fisologi ikan patin adalah kulit halus dan memiliki dua pasang sungut yang relatif pendek sehingga sering disebut sebagai catfish serta terdapat patil di sirip punggung dan sirip dadanya. Ciri khas ikan patin lainnya yaitu jari-jari sirip punggung dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari bercabang, sirip dubur panjang dan bersambung dengan sirip ekor, sedangkan sirip ekor berbentuknya seperti gunting. Ukuran kepala ikan patin relatif kecil, dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah dan pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri. 1998). Selain itu, ikan ini memiliki warna khas pada tubuhnya kelabu kehitaman, sedangkan warna perut dan sekitarnya putih

(Hernowo. 2001). Daging ikan patin juga memiliki karakteristik rasa gurih yang sangat khas sehingga banyak diolah menjadi berbagai macam produk olahan seperti bakso, sosis, dan lainnya. Selain itu, dari hasil analisa kandungan gizi daging ikan patin diketahui mengandung protein yang cukup tinggi yaitu mencapai 19,26% (Suryaningrum et al. 2007).

Daging Ikan

Berdasarkan warnanya, daging ikan dibedakan menjadi dua yaitu daging merah dan daging putih. Daging merah atau gelap terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat hampir di seluruh bagian tubuh ikan (Suzuki. 1981). Bentuk dan volume daging merah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe seperti yang terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tipe daging merah pada berbagai jenis ikan A = Cod, B = Mackerel, C = Frigate Mackerel.

Daging ikan tersusun atas serabut – serabut otot yang saling berikatan oleh adanya jaringan penghubung (endomisium) dan dilindungi oleh miokotomma. Ukuran ketebalan dan panjang jaringan serabut ini berbeda-beda pada setiap jenis ikan. Serabut otot ikan terdiri dari beberapa miofibril yang tersusun paralel dan sarkoplas yang mengisi ruang di antaranya.

Komposisi Daging Ikan

Pada umumnya, komposisi daging ikan terdiri dari 15 – 24% protein, 0.1 – 22% lemak, 1 – 3% karbohidrat, 0.8 – 2% substansi anorganik dan 66 – 84% air

(Suzuki. 1981). Sedangkan komposisi daging ikan patin siam siam (Pangasius hypopthalmus) mengandung protein 19.26%, lemak 5.8%, abu 1.13%, dan air 79.16% dengan rendemen daging sekitar 40% (Suryaningrum et al. 2007). Kandungan lemak dalam daging ikan bervariasi tergantung pada spesies, umur, kondisi sebelum atau setelah perkembangbiakan (bertelur) dan kondisi pakan. Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka semakin rendah kandungan air daging ikan (Suzuki. 1981).

Pada daging merah ikan lebih banyak mengandung lemak dari pada daging putih, sedangkan kandungan protein dalam daging merah lebih sedikit dari pada daging putih. Protein daging ikan terdiri dari protein sarkoplasmik dan miofibrilar, yang dihubungkan oleh jaringan sel yang mengandung stroma. Protein sarkoplasmik terdapat di dalam membran plasma yang mengandung protein terlarut dalam air (water soluble protein) disebut miogen dan diperoleh dari proses penekanan daging ikan, atau dengan cara ekstraksi dalam larutan garam yang berkekuatan ion rendah. Pada beberapa spesies ikan, kandungan protein sarkoplasmik didalam daging merah lebih sedikit daripada didalam daging putih (Suzuki. 1981).

Protein miofibrilar memiliki sifat larut dalam larutan garam (salt soluble protein) (Muchtadi dan Sugiyono. 1992). Protein miofibrilar merupakan protein yang paling banyak dalam daging ikan yang terdiri dari miofibril yang mengandung miosin, aktin, tropomiosin, aktinin dan troponin (Suzuki. 1981). Miosin merupakan komponen terbesar dari fraksi protein miofibrilar yaitu 50 – 60%, aktin sekitar 20%, sedangkan troponin dan tropomiosin sekitar 10%. Protein miofibrilar ini berperan dalam pembentukan koagulasi dan gel dari daging (Sikorski. 2001). Protein ini diekstrak dari daging ikan dalam larutan garam netral dengan kekuatan ionik. Aktin dan miosin diekstraksi secara berurutan dapat membentuk aktomiosin. Ketika protein miofibrillar diekstrak dengan larutan garam, diperoleh ekstrak dalam waktu singkat (terutama miosin) yang memiliki nilai viskositas lebih rendah dari pada ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi dalam waktu yang lebih lama (aktomiosin). Protein miofibrilar mengalami perubahan selama rigor mortis, pemecahan rigor mortis dan

penyimpanan beku dalam waktu lama. Tekstur produk ikan dan pembentukan gel daging ikan lumat dipengaruhi oleh perubahan ini (Suzuki. 1981).

Protein sarkoplasmik dapat memberikan efek yang merugikan terhadap kemampuan protein miofibrilar dalam pembentukan gel. Ketika diberikan perlakuan suhu tinggi pada daging lumat ikan, protein sarkoplasmik akan menempel pada protein miofibrilar, sehingga tidak mudah untuk memperoleh kekuatan gel tinggi dari daging lumat dan water holding capacity (WHC) menjadi rendah. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan daging ikan lumat atau surimi dilakukan pencucian untuk membuang darah, lemak dan juga protein sarkoplasmik yang dapat menghambat pembentukan gel (Suzuki. 1981).

Stroma adalah protein yang membentuk jaringan penghubung sel yang terletak dibagian terluar dari sel otot atau disebut jaringan ikat (Muchtadi dan Sugiyono. 1992). Protein ini banyak terdapat pada ikan berdaging merah, tidak larut air, larutan asam, larutan alkali atau garam netral pada konsentrasi 0.01 – 0.1 M. Stroma mengandung kolagen, yang jika dipanaskan pada periode waktu tertentu akan berubah menjadi suatu larutan gelatin dan dapat membentuk gel (Suzuki. 1981).

Selain itu beberapa jenis ikan laut terutama yang termasuk dalam kelompok scombroidae seperti cakalang, tuna, tongkol marlin dan sardine diketahui mengandung asam amino histidin bebas yang tinggi. Histidin diubah menjadi histamin oleh enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri – bakteri pembentuk histamin seperti Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, Lactobacillus spp., Aeromonas

spp., Eschericia spp., Salmonella spp., Shigella spp., Photobacterium spp., Vibrio

spp., Enterobacter aerogenes dan bakteri yang berasal dari famili

Enterobacteriaceae lainnya (Wei et al. 1990 di dalam Indriati at al. 2006). Pada umumnya, kandungan histamine antara 50 – 100 mg/100 g dianggap berbahaya karena dapat mengakibatkan keracunan (Wonggo. 1995 di dalam Dwiyitno et al. 2004) yang ditandai dengan gejala sakit kepala, pembengkakan lidah, kerongkongan terbakar, mual, muntah-muntah, gatal-gatal dan diare (Mangunwardoyo W et al. 2007).

Sifat Fungsional Protein

Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein yang berperan dalam menentukan karakteristik bahan pangan yang diinginkan, terutama sensori bahan pangan. Sifat ini juga dapat menentukan sifat fisik produk pangan yang dihasilkan akibat proses penanganan, proses pengolahan ataupun penyimpanan yang dilakukan. Sifat fungsional protein terbagi menjadi tiga kelompok utama yaitu : (1) sifat hidrasi (tergantung pada interaksi protein–air) yang meliputi penyerapan dan pengikatan air, swelling (pengembangan), adesi, dan kelarutan, (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti gelasi dan (3) sifat-sifat permukaan seperti tegangan permukaan, emulsifikasi (Fennema. 1985). Beberapa sifat fungsional protein dalam produk pangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fungsional protein dalam sistem pangan

Sifat Fungsional Mekanisme Bahan Pangan Tipe protein

Kelarutan Hidrofilik Minuman Whey protein

Viskositas Pengikatan air,

ukuran dan bentuk hidrodinamik

Soup, gravies, salad dressing, dessert

Gelatin

Pengikatan air Ikatan hidrogen, hidrasi ionik

Sosis, cake, roti Protein otot, protein telur

Gelasi Memerangkap air,

dan immobilisasi

Daging, gel, cake, roti, keju

Protein otot, telur dan susu

Kohesi-Adesi Ikatan hidrofobik,

ionik dan hidrogen

Daging, sosis, pasta,

baked goods

Protein otot, telur, whey Elastisitas Ikatan hidrofobik Daging, bakery Protein otot,

sereal

Emulsifikasi Pembentukan film

dan adsorpsi pada interfase

Sosis, bologna, soup, cake, dressing

Protein otot, telur, susu,

Daya buih Adsorpsi interfasial dan pembentukan film Whipped toppings, es krim, cakes, dessert Protein telur, susu Pengikatan lemak dan flavor

Ikatan hidrofobik Bakery lemak

rendah, donat

Protein susu, telur, sereal. Sumber : Fennema. 1985

Sifat kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh komposisi asam amino, pH, suhu dan pelarut yang digunakan. Asam amino sebagai penyusun protein mengandung grup molekul polar dan non polar yang kemudian dapat diketahui bersifat hirofobik dan hidrofilik yang dapat mempengaruhi kelarutan protein. Pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan tersebut dapat mencapai nol atau terjadinya kesetimbangan muatan yang dikenal dengan titik isoelektrik. Pada pH di atas titik isoelektrik, muatan protein menjadi negatif dan kelarutan protein menjadi meningkat. Interaksi protein dengan air meningkat pada nilai pH yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada titik isoelektrik karena protein dapat bermuatan positif atau negatif. Perubahan muatan ini menyebabkan menurunnya daya tarik menarik antara molekul protein, sehingga molekul protein lebih mudah terurai dan kelarutan protein akan semakin meningkat. Sedangkan adanya perlakuan suhu selama proses pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein yang selanjutnya dapat mempengaruhi kelarutan protein, dimana terjadi perubahan struktur protein. Kelarutan protein ini merupakan syarat awal untuk terjadinya gelasi, emulsifikasi dan proses fungsional lain dari protein (Zayas. 1997).

Penggunaan larutan garam dalam pengolahan produk pangan juga dapat mempengaruhi kelarutan protein. Winarno (2004) menyatakan senyawa garam dapat memecah ikatan hidrogen dalam struktur molekul protein yang akhirnya dapat menyebabkan denaturasi protein. Dengan cara tersebut garam dapat memecah interaksi hidrofobik dan meningkatkan daya kelarutan gugus hidrofobik dalam air. Sedangkan Zayas (1997) menyatakan penggunaan NaCl dalam proses pengolahan produk daging dapat meningkatkan kelarutan protein. Pada proses pengolahan produk daging terutama comminuted dan restructured daging, kelarutan protein dengan garam sangat penting diperhatikan untuk mendapatkan kualitas produk yang baik yaitu akan mengikat komponen formulasi yang tidak larut menjadi matriks protein yang stabil membentuk sistem stabil sebelum dan setelah perlakuan panas.

WHC pada daging dan produknya adalah kemampuan untuk mengabsorpsi dan menahan air selama perlakuan mekanis (pemotongan, penggilingan,

pengadonan, stuffing, dan perlakuan panas (Zayas. 1997). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), WHC menunjukkan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini penting dalam pembuatan produk emulasi daging karena WHC merupakan faktor penting dalam pembentukan gel. WHC ini merupakan fungsi protein yang berkaitan dengan interaksi protein dengan air yang selanjutnya dapat mempengaruhi mutu daging seperti tekstur, citarasa dan warna. Interaksi protein dengan air ini juga menentukan fungsi protein lainnya seperti swelling, kelarutan dan emulsifikasi, serta gelasi. Faktor-faktor yang berpengaruh pada WHC selama proses pengolahan adalah struktur molekul protein daging, komposisi jaringan protein, pH, garam, dan suhu perlakuan (Zayas. 1997).

Sifat emulsifikasi protein miofibril dan sarkoplasmik sangat penting dalam proses emulsifikasi daging. Protein larut air (sarkoplasmik) menunjukkan sifat emulsifikasi yang sangat rendah daripada protein larut garam (miofibril). Kandungan komponen grup sulfihidril, hidrofobik dan kelarutan dari protein daging yang larut garam sangat mempengaruhi sifat emulsifikasi (Zayas. 1997). Sifat fisik dan kimia miosin berperan dalam pembentukan emulsifikasi yaitu (1) grup hidrofobik yang dapat berikatan dengan molekul lemak, (2) grup hidrofilik yang selanjutnya membentuk matriks, (3) membentuk molekul permukaan yang rendah tegangannya. Miosin bebas dapat membentuk suatu lapisan pada permukaan interaksi lemak – air dalam sosis daging (Sikorski. 2001).

Gelasi protein merupakan proses fisik kimia yang terjadi pada interaksi protein dengan protein sehingga tersusun jaringan viskoelastik tiga dimensi yang dapat manahan sejumlah air. Pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan hidrogen, ikatan ionik, ikatan hidrofobik dan ikatan disulfida (Fennema. 1985). Gelasi protein yang dihasilkan oleh protein miofibril sangat menentukan tekstur produk daging. Pembentukan ikatan disulfida berperan dalam pembentukan gel dari protein miosin dan aktomiosin daging ikan pada suhu yang relatif rendah yaitu 40oC. Sedangkan protein sarkoplasmik menunjukkan kemampuan membentuk gelasi pada suhu 70 - 80oC. (Sikorski. 2001).

Surimi

Surimi adalah daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses pencucian (leaching), penambahan garam dan bahan anti denaturasi

(gula/sorbitol) dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai elastisitas (kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku produk fish gel (baso, sosis, burger, otakotak, siomay, nugget) dengan daya tahan simpan yang tinggi (Wahyuni. 2007).

Menurut Suzuki (1981), surimi dibedakan menjadi dua tipe yaitu : (1) Mu-en surimi yaitu surimi bebas garam dan (2) Ka-en surimi yaitu surimi yang diberikan perlakuan garam. Garam merupakan bahan tambahan makanan yang paling umum digunakan untuk mengawetkan hasil perikanan daripada jenis bahan pengawet atau bahan tambahan lainnya. NaCl memiliki daya awet yang tinggi karena (1) dapat menyebabkan berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan afinitasnya akan rendah, (2) dapat menyebabkan protein daging dan protein mikroba terdenaturasi, (3) dapat menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosis, (4) ion klorida mempunyai daya toksisitas yang tinggi terhadap mikroba dan dapat memblokir sistem respirasinya. Pada proses pengolahan ikan pada umumnya digunakan NaCl sekitar 3 – 40% (Hadiwiyoto. 1994).

Proses pengolahan surimi meliputi proses penyiangan (pembuangan kepala dan isi perut), pemisahan daging, penggilingan/pelumatan, pencucian, dan pembekuan. Tujuan dari proses pencucian tidak hanya membuang darah dan kotoran lain, tetapi juga mempertahankan keutuhan protein yang larut air agar tidak rusak (Suryaningrum et al. 2007). Pada proses penggilingan daging ikan diperlukan penambahan larutan garam untuk meningkatkan kekuatan ionik dari daging agar dapat larut dalam aktomiosin sehingga terbentuk gel (Suzuki. 1981). Selain itu, dalam pengolahan surimi dari ikan yang banyak mengandung lemak biasanya juga digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0.5% yang berfungsi dapat membantu mengurangi kandungan lemak dari daging dan mengubah warna menjadi lebih baik (Bledso et al. 2000).

Pada proses pencucian fillet daging ikan dilakukan berulang kali untuk meningkatkan sifat hidrofilik daging menjadi swelling. Pada umumnya pH daging ikan adalah 7.3 – 7.6, namun apabila daging dalam keadaan tidak segar, perpindahan air dari daging menjadi sulit sehingga diperlukan perlakuan pada pH rendah untuk mendekatkan titik isoelektrik dari protein daging ikan. Air dapat

berpindah dengan mudah dari daging dalam keadaam pH 4.8 – 5.6. Penggunaan 0.01 – 0.3% larutan garam seperti natrium klorida pada proses pencucian berikutnya dapat mengurangi kandungan air dari daging dengan mudah. Setelah proses pencucian, dilakukan penghilangan kandungan air dalam daging yang dicuci sampai dengan 80% dengan menggunakan alat sentrifugasi atau screw press (Suzuki. 1981).

Proses penggilingan dapat menghasilkan panas akibat dari interaksi antar friksi molekul dalam daging yang dapat mengakibatkan terjadinya proses denaturasi protein. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan sistem alat penggiling dingin yaitu dengan menambahkan jaket pendingin atau es pada alat penggiling. Penggilingan daging ikan dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter dan ditambahkan garam 2.5 - 3% (dari berat daging). Penambahan garam ini berperan dalam pembentukan gel dari protein daging (Suryaningrum et al. 2007). Sedangkan pada proses pembekuan, pada suhu -1oC sampai -5oC terjadi pembentukan kristal-kristal es, sehingga perlu dilakukan pembekuan cepat dengan

contact plate freezer (Tan et al. 1988). Pada saat penyimpanan beku pada suhu -35oC menunjukkan surimi sangat stabil, pada suhu -20oC kurang stabil dan pada suhu -10oC terjadi penurunan mutu gelasi protein setelah 2 bulan (Matsumoto and Noguchi. 1992).

Sifat fungsional surimi sangat berperan dalam menentukan mutu surimi, terutama kemampuan dalam pembentukan gel. Pembentukan gel surimi berkaitan erat dengan komposisi protein daging ikan yang digunakan. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyiapan bahan utama (daging) dalam pembuatan surimi, yaitu pencegahan terjadinya denaturasi protein, yang dapat dilakukan dengan cara yaitu (1) faktor fisikokimia yang meliputi pengaruh leaching, suhu, pH dan proses pembekuan/penyimpanan dan (2) faktor kimia yang meliputi penggunaan antidenaturan (senyawa krioprotektan) (Matsumoto and Noguchi. 1992).

Selama proses pembekuan dan pengeringan dapat terjadi denaturasi protein yaitu air di sekeliling molekul protein, yang menstabilkan ikatan hidrogen intra molekul dan ikatan hidrofobik yang menstabilkan molekul pada struktur asalnya dihilangkan. Untuk mencegah denaturasi, maka perpindahan air harus dikontrol dan protein distabilkan secara struktur, dengan penggunaan

antidenaturan yaitu krioprotektan seperti sukrosa, sorbitol dan polifospat. Molekul krioprotektan berinteraksi dan terikat dengan molekul protein sehingga setiap molekul protein tertutup oleh molekul krioprotektan yang terhidrasi. Dengan demikian, interaksi diantara molekul protein berkurang, sehingga meningkatkan hidrasi dan mengurangi agregasi protein (Matsumoto and Noguchi. 1992).

Dendeng

Dendeng adalah produk pangan semi basah yang dapat dimakan tanpa rehidrasi dan tidak memberikan rasa kering pada produk. Dalam pembuatan dendeng biasanya diberikan rempah-rempah sebagai bumbu yang berguna untuk menghasilkan aroma, rasa khas dan daya awet. Rempah-rempah ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan dapat berfungsi juga sebagai antioksidan. Rempah – rempah yang sering digunakan dalam pembuatan dendeng adalah jahe, ketumbar, bawang putih, asam jawa dan lengkuas (Peranginangin. 2002).

Sebagian besar komponen di dalam rempah-rempah bersifat sebagai antimikroba, sehingga dapat mengawetkan makanan. Komponen rempah-rempah yang mempunyai aktivitas antimikroba adalah bagian minyak asiri yang terdapat dalam kunyit, jahe bawang putih dan bawang merah. Ekstrak bawang merah mempunyai efek bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Jahe mempunyai efek bakterisidal terhadap Micrococcus varians,

Leuconostoc sp., dan Bacillus subtilis, serta bersifat bakteri statik terhadap

Pseudomonas sp. dan Enterobacter aerogenes. Ekstrak bawang putih mentah juga mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus sp, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis, Serratia marcescens, dan Shigella dysentriae (Astawan. 2005).

Adapun prinsip dari pembuatan dendeng adalah substitusi air dari bahan dengan rempah - rempah sebagai bahan pengawet. Sedangkan untuk memperpanjang daya awet sebagian air dari bahan dihilangkan dengan proses pengeringan (Peranginangin. 2002). Pada umumnya, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan pangan sampai sangat rendah sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan dan memperpanjang daya simpannya. Pengeringan

adalah proses pengeluaran air dari bahan pangan dengan menggunakan energi panas sehingga tingkat kadar air dari bahan tersebut menurun. Dalam proses pengeringan, terdapat dua proses penting yaitu pindah panas yang mengakibatkan penguapan air dalam bahan pangan dan pindah massa yang menyebabkan pergerakan air atau uap air melalui bahan pangan yang kemudian mengakibatkannya terpisah dari bahan pangan. Pengerakan air dalam bahan pangan terjadi melalui proses difusi yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan uap air diantara bagian dalam dan permukaan bahan pangan (Hariyadi dan Kusnandar. 2006).

Menurut Arifudin (2007), dalam pengolahan dendeng ikan diperlukan bahan tambahan makanan dan rempah-rempah seperti gula (20%), garam (4%), ketumbar (2.5%), asam jawa (5%), lengkuas (2.5%), jahe (1.5%) bawang putih (1%), bawang merah (1.5%) dengan lama pengeringan sinar matahari selama 12 jam.

Kemasan

Dalam menentukan pilihan bahan kemasan perlu diketahui berbagai informasi mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan produk sebelum dikonsumsi. Permasalahan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Akibat dari perubahan kadar air akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk dan pelunakan pada produk kering. Sedangkan akibat dari pengaruh gas oksigen yaitu dapat menimbulkan ketengikan (pada produk yang berlemak) dan perkembang biakan jasad renik (Syarief. 1989). Terjadinya perubahan kadar air ataupun pengaruh gas tersebut umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan penyimpanan produk yang dapat mempengaruhi kelembaban udara. Menurut Matz (1997), pertukaran kelembaban uap air diantara produk dengan lingkungan kemasan dapat dicegah jika kemasan dalam dua kondisi yaitu (1) kemasan harus memiliki nilai rata-rata penyebaran kelembaban uap air yang rendah (low moisture vapor transmission), (2) kemasan harus dapat tertutup rapat (kedap udara) tanpa ada pembukaan.

Beberapa komponen flavor dapat ditahan oleh jenis plastik polyethylene. Jenis plastik ini juga dapat mencegah hilangnya flavor volatil dari produk (Matz. 1997). Polyethylene dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang

diperoleh dari industri arang dan minyak. Polyethylene merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri pangan karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakan jernih dan mudah digunakan sebagai laminasi (Syarief. 1989).

Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan suatu bahan pangan didefinisikan sebagai suatu periode selama produk pangan masih dalam keadaan baik karakteristiknya dari segi sensori, kimia dan mikrobiologi maupun dari kandungan gizinya (IFST. 1993). Dalam proses pelaksanaan pendugaan umur simpan suatu produk pangan biasanya diperlukan waktu yang cukup lama, mengingat banyak hal yang terkait di dalam produk pangan yang dapat mempengaruhi karakteristiknya. Namun beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan metode pendugaan umur simpan dalam waktu yang tidak lama, yaitu model Accelerated (percepatan).

Menurut Floros (1993) dalam Arpah (2001) umur simpan produk pangan dapat diduga dan ditetapkan masa kadaluwarsanya dengan menggunakan dua metode yaitu metode konvensional dan metode percepatan (accelerated). Metode konvensional adalah penentuan umur simpan dengan menyimpan produk pangan pada kondisi normal (suhu, kelembaban udara) dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu produk hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa yaitu mutu produk pangan ditolak oleh konsumen. Sedangkan metode percepatan (Accelerated Shelf Life Testing) adalah penentuan umur simpan suatu produk pangan dengan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk pangan tersebut. Keuntungan metode ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3 sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah. 2001).

Metode Accelerated ini diterapkan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kadar air kritis dan model Arrhenius. Pendekatan kadar air kritis dilakukan dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air

Dokumen terkait