KAJIAN SIFAT FUNGSIONAL DAGING LUMAT DAN
SURIMI IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) SERTA
APLIKASINYA MENJADI DENDENG GILING DAN
PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA
SURYANTI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur Simpannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2009
Suryanti
ABSTRACT
SURYANTI. F251060181. Study on The Functional Properties of Minced and Surimi Patin Siam (Pangasius hyphopthalmus) and their application to Dendeng and its Shelf Life Prediction. Supervised by RIZAL SYARIEF, HARI EKO IRIANTO and SUKARNO.
Development imported fisheries products in local market is faster than that of local ones. This is a defiance for local fisheries industry to diversify its product in order to competite with imported one. Therefore, it is needed a production guideline about functional properties of minced and surimi patin siam which most of them still used for processed product. One of meat product that has been consumed is dendeng. This product is processed by some of preservation steps. This research aimed to recognize of functional properties of minced and surimi patin siam, main nutrition content (composition of amino acid from protein) of
Patin Siam meat. Moreover, there were needed to know the characteristics of dendeng from minced and surimi Patin Siam with protein content and prediction of its`shelf life.
The research consisted of three steps. First step was characterization of functional properties of minced and surimi Patin Siam using parameters i.e. proximate, salt soluble protein, pH, water holding capacity (WHC), emulsion properties and gel strength. Secondly, processing dendeng from minced and surimi Patin Siam by sensory test and dendeng texture properties. In this step, there also was done amino acid analysis from fresh meat and dendeng of Patin Siam. The third was prediction shelf life of dendeng using Arhenius model. LDPE (Low Density Polyethylene) with seal was used as containers at 25oC, 35oC and 45oC. Observation time of 25oC, 35oC and 45oC respectively was 0, 10, 20 and 30 days; 0, 7, 14 and 21 days; and 0, 3, 6 and 9 days.
The final result showed that washing treatment affects moisture, fat, protein, ash and carbohydrate contents. Functional properties of minced i.e. WHC, emulsion characteristics (activity and stability emulsion) increased with more washing treatment. While gel strengh of minced with and without washing was not different. Whereas functional properties of surimi was higher than minced.
Sensory test of dendeng from minced and surimi showed panelists preferred to choose dendeng from minced three times washed. Dendeng textures properties also showed dendeng from minced three times washed had tensile strenght (67.16 kgf/cm2) and elongation (66,19%), these values is closed with commercial dendeng had tensile strenght (70.30 kgf/cm2) and elongation (63.53%).
Observation results shelf life for dendeng from minced three times washed showed at temperature 25oC was 32.01 days, at temperature 35oC was 23.30 days and at temperature 45oC was 17.30 days.
RINGKASAN
SURYANTI. F. 251060181. Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hyphopthalmus) serta aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan pendugaan Umur Simpan. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, HARI EKO IRIANTO dan SUKARNO.
Perkembangan variasi produk perikanan dari luar negeri (import) di pasar domestik saat ini semakin meningkat jika dibandingkan dengan produk perikanan dari dalam negeri. Hal ini merupakan tantangan bagi industri perikanan dalam negeri untuk melakukan diversifikasi produk perikanan agar dapat bersaing dengan luar negeri. Untuk itu sangat dibutuhkan suatu dasar/acuan bagi industri perikanan dalam memproduksi produk perikanan yaitu sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan yang umumnya digunakan untuk memproduksi produk olahan. Salah satu produk olahan daging yang telah lama dikonsumsi masyarakat adalah dendeng giling yang diolah dengan melalui beberapa proses pengawetan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik/sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam, dengan kandungan gizi utama (komposisi asam amino dari protein) daging ikan patin siam. Selain itu juga untuk mengetahui karakteristik dendeng giling dari daging lumat dan surimi ikan patin siam dengan kandungan gizi protein dan umur simpannya.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah karakterisasi sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam dengan parameter pengamatan yaitu komposisi proksimat, protein larut garam, pH, Water holding capacity (WHC), sifat emulsi dan kekuatan gel. Tahap kedua adalah pengolahan dendeng giling dari daging lumat dan surimi ikan patin siam dengan parameter pengamatan adalah uji organoleptik, komposisi proksimat, dan uji sifat tekstur dendeng (kekuatan tarik dan elastisitas). Pada tahap ini juga dilakukan analisa asam amino dari daging segar dan dendeng giling ikan patin siam. Tahap ketiga adalah penyimpanan dendeng giling yang terbaik dari tahap dua dengan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing model Arhenius. Kemasan yang digunakan adalah plastik LDPE (Low Density Polyethylene) tertutup rapat pada suhu 25oC, 35 oC, dan 45 oC. Waktu pengamatan pada suhu 25 oC yaitu pada ke- 0 hari, 10 hari, 20 hari dan 30 hari. Waktu pengamatan pada suhu 35oC yaitu waktu penyimpanan ke- 0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari. Waktu pengamatan pada suhu 45oC yaitu waktu penyimpanan ke- 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari.
Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan pencucian berpengaruh terhadap kandungan air, lemak, protein, abu dan karbohidrat. Sifat fungsional daging lumat seperti WHC, sifat emulsi (aktivitas emulsi dan stabilitas emulsi) cenderung meningkat dengan semakin banyaknya pencucian. Sedangkan kekuatan gel pada daging lumat tanpa pencucian dan dengan pencucian tidak jauh berbeda nilainya. Sedangkan sifat fungsional surimi cenderung lebih tinggi dari pada daging lumat.
lumat pencucian tiga kali memiliki nilai kekuatan tarik (67.16 kgf/cm2) dan elongasi (66.19%) yang lebih mendekati dengan dendeng komersial yaitu nilai kekuatan tarik (70.30 kgf/cm2) dan elongasi (63.53%). Hal ini menunjukkan bahwa elastisitas dendeng giling daging lumat pencucian tiga kali mendekati dendeng sapi komersial sehingga dapat diterima oleh panelis.
Dari hasil pengamatan selama penyimpanan dendeng giling daging lumat pencucian tiga kali diketahui umur simpan pada suhu penyimpanan 25 oC adalah selama 32.01 hari, pada suhu 35 oC adalah 23.30 hari dan pada suhu 45 oC adalah selama 17.30 hari.
@ Hak Cipta milik IPB tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
KAJIAN SIFAT FUNGSIONAL DAGING LUMAT DAN
SURIMI IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) SERTA
APLIKASINYA MENJADI DENDENG GILING DAN
PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA
SURYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur
Simpannya Nama Mahasiswa : Suryanti Nomor Pokok : F251060181 Program Studi : Ilmu Pangan (IPN)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua
Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto Dr. Ir. Sukarno, M.Sc Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti Haryadi,M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karya tulis ilmiah ini telah berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur Simpannya”. Dengan terselesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberi perhatian kepada penulis dengan bijaksana hingga penulisan tesis ini selesai.
2. Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, dan selaku Anggota Komosi Pembimbing yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menempuh program S2 Pascasarjana IPB atas biaya Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta atas arahan, bimbingan, perhatian dan mengupayakan pendanaan dalam pelaksanaan penelitian hingga selesai.
3. Dr. Ir. Sukarno, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesempatan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan dan perhatian dalam mengevaluasi penelitian penulis hingga selesai.
4. Dr. Ir. Yadi Hariyadi M.Sc, selaku Penguji Luar Komisi atas segala saran dan evaluasi terhadap penelitian penulis.
5. Dr. Ir. Arpah, MSi atas saran dalam pelaksanaan penelitian uji penyimpanan.
6. Teman-teman di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, atas bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian hingga selesai.
7. Teman-teman di program studi Ilmu Pangan terutama ibu Elvira Syamsir, Hendra, Baryono, Emma, Akhyar serta teman-teman IPN angkatan 2006 atas bantuan dan dorongan semangat yang diberikan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian hingga selesai.
8. Suami tercinta Rehartono dan kedua anak kami Rivana dan Ravina serta ibunda tercinta Hj. Sundjiah atas kasih sayang, perhatian dan kesabaran dalam mendampingi penulis selama ini.
Kesempurnaan adalah hal yang sangat didambakan, namun tidaklah mungkin tercapai karena kesempurnaan hanyalah milik Alloh SWT. Oleh karena itu, penulis berkenan untuk menerima segala kritik dan saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1975 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak H. Soewargo Drais (Alm) dan Ibu Hj. Sundjiah.
DAFTAR ISI
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Ikan Patin ... 4
Daging Ikan ... 5
Komposisi Daging Ikan ... 5
Sifat Fungsional Protein ... 8
Surimi ... 10
Dendeng ... 13
Kemasan ... 14
Pendugaan Umur Simpan ... 15
Oksidasi lemak ... 19
BAHAN DAN METODE ... 21
Waktu dan Tempat ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Metode Penelitian ... 21
Penelitian Tahap Pertama ... 21
Persiapan bahan ... 22
Proses pengolahan daging lumat tanpa pencucian ... 22
Proses pengolahan daging lumat dengan pencucian ... 22
Proses pengolahan surimi ... 22
Penelitian Tahap Kedua ... 23
Proses pengolahan dendeng giling ikan patin siam ... 23
Rancangan percobaan ... 24
Penelitian Tahap Ketiga ... 26
Metode Pengamatan ... 27
Kadar air ... 27
Kadari lemak ... 27
Kadar abu ... 27
Kadar protein ... 28
Kadar total karbohidrat (Metode fenol) ... 28
Kadar protein larut garam (Salt Soluble Protein) ... 29
Analisis asam amino ... 30
Water Holding Capaciy (WHC) ... 31
Sifat emulsi ... 31
Kekuatan gel (Gel Strenght) ………... 31
Nilai anisidin ... 32
Bilangan peroksida ... 32
Nilai total oksidasi (Totox Value) ... 32
Tensile Strenght dan Elongasi ... 33
Penentuan angka lempeng total (ALT) ... 33
Analisa Kapang ... 33
Uji organoleptik ... 34
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam ... 35
Kadar air ... 35
Kadar protein ... 36
Kadari lemak ... 37
Kadar abu ... 38
pH ... 39
Protein larut garam / Salt Soluble Protein (SSP) ... 40
Sifat emulsi ... 41
Water Holding Capacity (WHC) ... 44
Kekuatan gel (Gel Strenght) ... 45
Karakteristik Dendeng Ikan Patin Siam Lumat dan Surimi ... 47
Uji organoleptik ... 47
Sifat tekstur dendeng giling ikan patin siam ... 51
Analisa proksimat ... 53
Profil asam amino ... 55
Analisa mikrobiologi ... 61
Penyimpanan Dendeng Ikan Patin Siam (Pangasius Hypopthalmus) ... 63
Bilangan Peroksida ... 63
Angka Anidisin ... 65
Nilai Totoks ... 66
Pendugaan Umur Simpan ... 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tipe daging merah pada berbagai jenis ikan ... 5
2 Mekanisme oksidasi lemak ... 19
3 Prosedur pembuatan dendeng giling dari ikan patin siam ... 25
4. Protein larut garam (ssp) daging lumat dan surimi ikan patin siam ... 40
5. Sifat emulsi daging lumat dan surimi ikan patin siam ... 42
6. Water Holding Capacity (WHC) daging lumat dan surimi ikan patin siam. 44 7. Kekuatan gel daging lumat dan surimi ikan patin siam ……….. 45
8. Daging lumat tanpa pencucian (P0), daging lumat pencucian satu kali (P1), daging lumat pencucian dua kali (P2), daging lumat pencucian tiga kali (P3) ………... 46
9. Hasil uji organoleptik metode pembedaan atribut dendeng giling mentah.. 48
10. Hasil uji organoleptik metode pembedaan atribut dendeng giling matang... 48
11. Hasil uji organoleptik metode hedonik dendeng giling ikan patin siam ... 50
13. Awal reaksi maillard ... 60
14. Nilai bilangan peroksida selama penyimpanan ... 64
15. Nilai angka anisidin selama penyimpanan ... 65
16. Nilai totoks dendeng ikan patin siam selama penyimpanan ... 67
17. Plot ordo nol pada penyimpanan 25oC ... 69
18. Plot ordo nol pada penyimpanan 35oC ... 69
19. Plot ordo nol pada penyimpanan 45oC ... 70
20. Plot ordo satu pada penyimpanan 25oC ... 70
21. Plot ordo satu pada penyimpanan 35oC ... 71
22. Plot ordo satu pada penyimpanan 45oC ... 71
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Sifat fungsional protein dalam sistem pangan ... 8
2. Hasil analisa proksimat daging lumat dan surimi ikan patin siam ... 35
3. pH daging lumat dan surimi ikan patin siam …………... 39
4. Sifat tekstur dendeng giling ikan patin siam ... 52
5. Hasil analisa proksimat dendeng giling ikan patin siam ... 54
6. Komposisi asam amino daging dan dendeng ikan patin siam ... 57
7. Komposisi asam amino esensial daging segar dan dendeng ikan patin siam ... 61
8. Hasil analisa angka lempeng total dan kapang dendeng ikan patin siam ... 62
9. Nilai slope k dari persamaan ordo nol dan ordo satu ... 72
10. Tabulasi parameter persamaan Arhenius pada ordo nol ... 73
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey analisa proksimat daging lumat
dan surimi ikan patin siam …... 86 2. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey protein larut garam (Salt soluble
protein/ssp) dan persen protein ………... 90 3. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey Sifat Emulsi ………... 92 4. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey Water Holding Capaity (WHC) .. 94 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey Kekuatan gel ... 95 6. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan tarik dan elongasi ..…. 96 7. Skorsheet Uji Organoleptik pembedaan atribut ... 97 8. Skorsheet Uji Organoleptik hedonik ... 99 9. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey uji organoleptik hedonik ... 101 10. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey uji organoleptik pembedaan
atribut dendeng giling mentah ... 103 11. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey uji organoleptik pembedaan
atribut dendeng giling matang ... 106 12. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey analisa dendeng giling ikan
patin siam ... 108 13. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey analisa angka lempeng total ... 113 14. Syarat Mutu Dendeng ( SNI Dendeng sapi : SNI 01-2908-1992) …….. 114 15. Gambar tekstur dendeng giling ikan patin siam (Pangasius
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini, komoditas ekspor hasil perikanan tidak hanya
di dominasi oleh hasil perikanan tangkap saja, namun sudah mulai banyak diisi
oleh hasil perikanan budidaya. Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya
produksi hasil perikanan tangkap dan semakin banyaknya masalah penolakan
ekspor hasil perikanan tangkap yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini, yang
dikarenakan oleh adanya kandungan logam berat yang telah melebihi batas
normal. Kandungan logam berat pada hasil perikanan tangkap ini umumnya
berasal dari cemaran polusi perairan di laut. Menurut data statistik perikanan
(Anonim. 2008), sejak tahun 2004 – 2007 diketahui terjadi kenaikan nilai ekspor
hasil perikanan dengan nilai rata-rata sebesar 7.62%. Total nilai ekspor perikanan
ini meningkat sejak dilakukan ekspor hasil perikanan budidaya yang mulai banyak
diminati oleh pasar di luar negeri. Salah satu komoditas potensial perikanan untuk
meningkatkan daya saing produk perikanan didalam maupun luar negeri adalah
ikan patin (Pangasius sp). Komoditas ekspor hasil perikanan ini umumnya
diekspor masih dalam keadaan segar atau daging fillet tidak dalam bentuk produk
olahan.
Pada umumnya, bahan baku ikan yang digunakan untuk memproduksi
produk olahan ikan berupa daging lumat atau berupa surimi. Surimi adalah
daging lumat yang telah dibersihkan dan dicuci secara berulang – ulang dengan
tujuan agar sebagian besar bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Selain itu, untuk
meningkatkan sifat elstisitas gel surimi dapat diberikan bahan tambahan makanan
(Peranginangin et al. 1999). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
dilaporkan bahwa daging ikan patin siam sangat baik diolah menjadi surimi
dengan dengan warna daging putih dan kekuatan gel tekstur yang bervariasi
(Suryaningrum et al. 2007).
Surimi yang berasal dari ikan air tawar lebih baik mutunya dari pada
surimi yang berasal dari ikan laut karena kandungan daging berwarna gelap
kestabilan mutunya karena tingginya kandungan histidin yang dengan cepat dapat
berubah menjadi histamin setelah ikan mati (Suzuki. 1981). Selain itu di dalam
daging berwarna gelap banyak terdapat hemoglobin dan myoglobin yang dapat
mempengaruhi kualitas mutu warna surimi yang dihasilkan.
Salah satu produk olahan daging yang telah lama dikenal masyarakat
adalah dendeng. Dendeng merupakan produk olahan daging semi basah yang
telah melalui beberapa proses pengawetan dengan tujuan untuk memperpanjang
daya simpan. Proses pengawetan yang dilakukan adalah dengan menggunakan
bahan tambahan makanan seperti garam, gula dan rempah-rempah serta penerapan
proses pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam
bahan pangan sampai tingkat tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan dan untuk
memperpanjang daya simpannya. Selain itu, pengeringan juga dapat untuk
mengurangi beban selama pengemasan, penyimpanan dan transportasi (Hariyadi
dan Kusnandar. 2006).
Perkembangan variasi produk perikanan dari luar negeri (import) di pasar
domestik saat ini semakin meningkat jika dibandingkan dengan produk perikanan
dari dalam negeri. Hal ini merupakan tantangan bagi industri perikanan dalam
negeri untuk melakukan diversifikasi produk perikanan agar dapat bersaing
dengan luar negeri. Untuk itu sangatlah dibutuhkan suatu dasar/acuan bagi
industri perikanan dalam memproduksi produk perikanan. Karakteristik sifat
fungsional daging ikan lumat dan surimi merupakan salah satu dasar/acuan yang
sangat dibutuhkan dalam memproduksi produk perikanan. Berdasarkan sifat-sifat
fungsional tersebut dapat diproduksi produk perikanan dengan karakteristik mutu
yang diinginkan. Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi sifat fungsional
daging lumat dan surimi ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) serta
aplikasinya menjadi produk dendeng giling dan pendugaan umur simpannya.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :
1. Mengetahui karakteristik/sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin
2. Mengetahui kandungan gizi utama (komposisi asam amino dari protein)
daging ikan patin siam
3. Mengetahui karakteristik dendeng giling dari daging lumat dan surimi ikan
patin siam
4. Mengetahui kandungan gizi protein dan umur simpan dendeng giling dari ikan
patin siam.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
karakteristik/sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus) yang dapat dijadikan sebagai dasar/acuan dalam proses
pengolahan produk perikanan selanjutnya. Selain itu juga diharapkan dapat
diketahui karakteristik dan kandungan gizi protein dendeng giling dari ikan patin
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Patin
Ikan patin berasal dari golongan familia Pangasidae yaitu jenis ikan
berkumis yang hidup di perairan air tawar yang berarus lambat seperti sungai atau
muara-muara sungai yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Ikan patin (Pangasius sp) berasal dari perairan umum dengan distribusi
penyebarannya meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam dan
Indonesia. Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin lokal
(Pangasius sp) dan ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Salah satu jenis
varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan
adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah. 2001). Adapun
klasifikasi penamaan ikan patin (Saanin. 1984) sebagai berikut :
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub – Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius pangasius.
Karakteristik fisologi ikan patin adalah kulit halus dan memiliki dua
pasang sungut yang relatif pendek sehingga sering disebut sebagai catfish serta
terdapat patil di sirip punggung dan sirip dadanya. Ciri khas ikan patin lainnya
yaitu jari-jari sirip punggung dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari
bercabang, sirip dubur panjang dan bersambung dengan sirip ekor, sedangkan
sirip ekor berbentuknya seperti gunting. Ukuran kepala ikan patin relatif kecil,
dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah dan pada sudut
mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba
(Susanto dan Amri. 1998). Selain itu, ikan ini memiliki warna khas pada
(Hernowo. 2001). Daging ikan patin juga memiliki karakteristik rasa gurih yang
sangat khas sehingga banyak diolah menjadi berbagai macam produk olahan
seperti bakso, sosis, dan lainnya. Selain itu, dari hasil analisa kandungan gizi
daging ikan patin diketahui mengandung protein yang cukup tinggi yaitu
mencapai 19,26% (Suryaningrum et al. 2007).
Daging Ikan
Berdasarkan warnanya, daging ikan dibedakan menjadi dua yaitu daging
merah dan daging putih. Daging merah atau gelap terdapat di sepanjang tubuh
bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat hampir di seluruh
bagian tubuh ikan (Suzuki. 1981). Bentuk dan volume daging merah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tipe seperti yang terlihat pada Gambar 1 di bawah
ini.
Gambar 1. Tipe daging merah pada berbagai jenis ikan
A = Cod, B = Mackerel, C = Frigate Mackerel.
Daging ikan tersusun atas serabut – serabut otot yang saling berikatan
oleh adanya jaringan penghubung (endomisium) dan dilindungi oleh
miokotomma. Ukuran ketebalan dan panjang jaringan serabut ini berbeda-beda
pada setiap jenis ikan. Serabut otot ikan terdiri dari beberapa miofibril yang
tersusun paralel dan sarkoplas yang mengisi ruang di antaranya.
Komposisi Daging Ikan
Pada umumnya, komposisi daging ikan terdiri dari 15 – 24% protein, 0.1 –
(Suzuki. 1981). Sedangkan komposisi daging ikan patin siam siam (Pangasius
hypopthalmus) mengandung protein 19.26%, lemak 5.8%, abu 1.13%, dan air
79.16% dengan rendemen daging sekitar 40% (Suryaningrum et al. 2007).
Kandungan lemak dalam daging ikan bervariasi tergantung pada spesies, umur,
kondisi sebelum atau setelah perkembangbiakan (bertelur) dan kondisi pakan.
Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka semakin rendah kandungan air daging
ikan (Suzuki. 1981).
Pada daging merah ikan lebih banyak mengandung lemak dari pada daging
putih, sedangkan kandungan protein dalam daging merah lebih sedikit dari pada
daging putih. Protein daging ikan terdiri dari protein sarkoplasmik dan
miofibrilar, yang dihubungkan oleh jaringan sel yang mengandung stroma.
Protein sarkoplasmik terdapat di dalam membran plasma yang mengandung
protein terlarut dalam air (water soluble protein) disebut miogen dan diperoleh
dari proses penekanan daging ikan, atau dengan cara ekstraksi dalam larutan
garam yang berkekuatan ion rendah. Pada beberapa spesies ikan, kandungan
protein sarkoplasmik didalam daging merah lebih sedikit daripada didalam daging
putih (Suzuki. 1981).
Protein miofibrilar memiliki sifat larut dalam larutan garam (salt soluble
protein) (Muchtadi dan Sugiyono. 1992). Protein miofibrilar merupakan protein
yang paling banyak dalam daging ikan yang terdiri dari miofibril yang
mengandung miosin, aktin, tropomiosin, aktinin dan troponin (Suzuki. 1981).
Miosin merupakan komponen terbesar dari fraksi protein miofibrilar yaitu 50 –
60%, aktin sekitar 20%, sedangkan troponin dan tropomiosin sekitar 10%.
Protein miofibrilar ini berperan dalam pembentukan koagulasi dan gel dari daging
(Sikorski. 2001). Protein ini diekstrak dari daging ikan dalam larutan garam
netral dengan kekuatan ionik. Aktin dan miosin diekstraksi secara berurutan
dapat membentuk aktomiosin. Ketika protein miofibrillar diekstrak dengan
larutan garam, diperoleh ekstrak dalam waktu singkat (terutama miosin) yang
memiliki nilai viskositas lebih rendah dari pada ekstrak yang diperoleh dari
ekstraksi dalam waktu yang lebih lama (aktomiosin). Protein miofibrilar
penyimpanan beku dalam waktu lama. Tekstur produk ikan dan pembentukan gel
daging ikan lumat dipengaruhi oleh perubahan ini (Suzuki. 1981).
Protein sarkoplasmik dapat memberikan efek yang merugikan terhadap
kemampuan protein miofibrilar dalam pembentukan gel. Ketika diberikan
perlakuan suhu tinggi pada daging lumat ikan, protein sarkoplasmik akan
menempel pada protein miofibrilar, sehingga tidak mudah untuk memperoleh
kekuatan gel tinggi dari daging lumat dan water holding capacity (WHC) menjadi
rendah. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan daging ikan lumat atau surimi
dilakukan pencucian untuk membuang darah, lemak dan juga protein
sarkoplasmik yang dapat menghambat pembentukan gel (Suzuki. 1981).
Stroma adalah protein yang membentuk jaringan penghubung sel yang
terletak dibagian terluar dari sel otot atau disebut jaringan ikat (Muchtadi dan
Sugiyono. 1992). Protein ini banyak terdapat pada ikan berdaging merah, tidak
larut air, larutan asam, larutan alkali atau garam netral pada konsentrasi 0.01 –
0.1 M. Stroma mengandung kolagen, yang jika dipanaskan pada periode waktu
tertentu akan berubah menjadi suatu larutan gelatin dan dapat membentuk gel
(Suzuki. 1981).
Selain itu beberapa jenis ikan laut terutama yang termasuk dalam
kelompok scombroidae seperti cakalang, tuna, tongkol marlin dan sardine
diketahui mengandung asam amino histidin bebas yang tinggi. Histidin diubah
menjadi histamin oleh enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri
– bakteri pembentuk histamin seperti Morganella morganii, Klebsiella
pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, Lactobacillus spp., Aeromonas
spp., Eschericia spp., Salmonella spp., Shigella spp., Photobacterium spp., Vibrio
spp., Enterobacter aerogenes dan bakteri yang berasal dari famili
Enterobacteriaceae lainnya (Wei et al. 1990 di dalam Indriati at al. 2006).
Pada umumnya, kandungan histamine antara 50 – 100 mg/100 g dianggap
berbahaya karena dapat mengakibatkan keracunan (Wonggo. 1995 di dalam
Dwiyitno et al. 2004) yang ditandai dengan gejala sakit kepala, pembengkakan
lidah, kerongkongan terbakar, mual, muntah-muntah, gatal-gatal dan diare
Sifat Fungsional Protein
Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein yang berperan
dalam menentukan karakteristik bahan pangan yang diinginkan, terutama sensori
bahan pangan. Sifat ini juga dapat menentukan sifat fisik produk pangan yang
dihasilkan akibat proses penanganan, proses pengolahan ataupun penyimpanan
yang dilakukan. Sifat fungsional protein terbagi menjadi tiga kelompok utama
yaitu : (1) sifat hidrasi (tergantung pada interaksi protein–air) yang meliputi
penyerapan dan pengikatan air, swelling (pengembangan), adesi, dan kelarutan,
(2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti gelasi dan (3)
sifat-sifat permukaan seperti tegangan permukaan, emulsifikasi (Fennema. 1985).
Beberapa sifat fungsional protein dalam produk pangan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fungsional protein dalam sistem pangan
Sifat Fungsional Mekanisme Bahan Pangan Tipe protein
Kelarutan Hidrofilik Minuman Whey protein
Viskositas Pengikatan air,
Pengikatan air Ikatan hidrogen, hidrasi ionik
Sosis, cake, roti Protein otot, protein telur
Gelasi Memerangkap air,
dan immobilisasi
Elastisitas Ikatan hidrofobik Daging, bakery Protein otot, sereal
Daya buih Adsorpsi interfasial dan pembentukan
Ikatan hidrofobik Bakery lemak
rendah, donat
Protein susu, telur, sereal.
Sifat kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh komposisi asam amino,
pH, suhu dan pelarut yang digunakan. Asam amino sebagai penyusun protein
mengandung grup molekul polar dan non polar yang kemudian dapat diketahui
bersifat hirofobik dan hidrofilik yang dapat mempengaruhi kelarutan protein.
Pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino
yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan tersebut dapat mencapai nol
atau terjadinya kesetimbangan muatan yang dikenal dengan titik isoelektrik. Pada
pH di atas titik isoelektrik, muatan protein menjadi negatif dan kelarutan protein
menjadi meningkat. Interaksi protein dengan air meningkat pada nilai pH yang
lebih tinggi atau lebih rendah daripada titik isoelektrik karena protein dapat
bermuatan positif atau negatif. Perubahan muatan ini menyebabkan menurunnya
daya tarik menarik antara molekul protein, sehingga molekul protein lebih mudah
terurai dan kelarutan protein akan semakin meningkat. Sedangkan adanya
perlakuan suhu selama proses pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein
yang selanjutnya dapat mempengaruhi kelarutan protein, dimana terjadi
perubahan struktur protein. Kelarutan protein ini merupakan syarat awal untuk
terjadinya gelasi, emulsifikasi dan proses fungsional lain dari protein (Zayas.
1997).
Penggunaan larutan garam dalam pengolahan produk pangan juga dapat
mempengaruhi kelarutan protein. Winarno (2004) menyatakan senyawa garam
dapat memecah ikatan hidrogen dalam struktur molekul protein yang akhirnya
dapat menyebabkan denaturasi protein. Dengan cara tersebut garam dapat
memecah interaksi hidrofobik dan meningkatkan daya kelarutan gugus hidrofobik
dalam air. Sedangkan Zayas (1997) menyatakan penggunaan NaCl dalam proses
pengolahan produk daging dapat meningkatkan kelarutan protein. Pada proses
pengolahan produk daging terutama comminuted dan restructured daging,
kelarutan protein dengan garam sangat penting diperhatikan untuk mendapatkan
kualitas produk yang baik yaitu akan mengikat komponen formulasi yang tidak
larut menjadi matriks protein yang stabil membentuk sistem stabil sebelum dan
setelah perlakuan panas.
WHC pada daging dan produknya adalah kemampuan untuk mengabsorpsi
pengadonan, stuffing, dan perlakuan panas (Zayas. 1997). Menurut Muchtadi
dan Sugiyono (1992), WHC menunjukkan kemampuan daging untuk mengikat
air bebas. Sifat ini penting dalam pembuatan produk emulasi daging karena WHC
merupakan faktor penting dalam pembentukan gel. WHC ini merupakan fungsi
protein yang berkaitan dengan interaksi protein dengan air yang selanjutnya dapat
mempengaruhi mutu daging seperti tekstur, citarasa dan warna. Interaksi protein
dengan air ini juga menentukan fungsi protein lainnya seperti swelling, kelarutan
dan emulsifikasi, serta gelasi. Faktor-faktor yang berpengaruh pada WHC selama
proses pengolahan adalah struktur molekul protein daging, komposisi jaringan
protein, pH, garam, dan suhu perlakuan (Zayas. 1997).
Sifat emulsifikasi protein miofibril dan sarkoplasmik sangat penting dalam
proses emulsifikasi daging. Protein larut air (sarkoplasmik) menunjukkan sifat
emulsifikasi yang sangat rendah daripada protein larut garam (miofibril).
Kandungan komponen grup sulfihidril, hidrofobik dan kelarutan dari protein
daging yang larut garam sangat mempengaruhi sifat emulsifikasi (Zayas. 1997).
Sifat fisik dan kimia miosin berperan dalam pembentukan emulsifikasi yaitu (1)
grup hidrofobik yang dapat berikatan dengan molekul lemak, (2) grup hidrofilik
yang selanjutnya membentuk matriks, (3) membentuk molekul permukaan yang
rendah tegangannya. Miosin bebas dapat membentuk suatu lapisan pada
permukaan interaksi lemak – air dalam sosis daging (Sikorski. 2001).
Gelasi protein merupakan proses fisik kimia yang terjadi pada interaksi
protein dengan protein sehingga tersusun jaringan viskoelastik tiga dimensi yang
dapat manahan sejumlah air. Pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan
hidrogen, ikatan ionik, ikatan hidrofobik dan ikatan disulfida (Fennema. 1985).
Gelasi protein yang dihasilkan oleh protein miofibril sangat menentukan tekstur
produk daging. Pembentukan ikatan disulfida berperan dalam pembentukan gel
dari protein miosin dan aktomiosin daging ikan pada suhu yang relatif rendah
yaitu 40oC. Sedangkan protein sarkoplasmik menunjukkan kemampuan membentuk gelasi pada suhu 70 - 80oC. (Sikorski. 2001).
Surimi
Surimi adalah daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses
(gula/sorbitol) dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai
elastisitas (kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku
produk fish gel (baso, sosis, burger, otakotak, siomay, nugget) dengan daya tahan
simpan yang tinggi (Wahyuni. 2007).
Menurut Suzuki (1981), surimi dibedakan menjadi dua tipe yaitu : (1)
Mu-en surimi yaitu surimi bebas garam dan (2) Ka-en surimi yaitu surimi yang
diberikan perlakuan garam. Garam merupakan bahan tambahan makanan yang
paling umum digunakan untuk mengawetkan hasil perikanan daripada jenis bahan
pengawet atau bahan tambahan lainnya. NaCl memiliki daya awet yang tinggi
karena (1) dapat menyebabkan berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga
kadar air dan afinitasnya akan rendah, (2) dapat menyebabkan protein daging dan
protein mikroba terdenaturasi, (3) dapat menyebabkan sel-sel mikroba menjadi
lisis karena perubahan tekanan osmosis, (4) ion klorida mempunyai daya
toksisitas yang tinggi terhadap mikroba dan dapat memblokir sistem respirasinya.
Pada proses pengolahan ikan pada umumnya digunakan NaCl sekitar 3 – 40%
(Hadiwiyoto. 1994).
Proses pengolahan surimi meliputi proses penyiangan (pembuangan kepala
dan isi perut), pemisahan daging, penggilingan/pelumatan, pencucian, dan
pembekuan. Tujuan dari proses pencucian tidak hanya membuang darah dan
kotoran lain, tetapi juga mempertahankan keutuhan protein yang larut air agar
tidak rusak (Suryaningrum et al. 2007). Pada proses penggilingan daging ikan
diperlukan penambahan larutan garam untuk meningkatkan kekuatan ionik dari
daging agar dapat larut dalam aktomiosin sehingga terbentuk gel (Suzuki. 1981).
Selain itu, dalam pengolahan surimi dari ikan yang banyak mengandung lemak
biasanya juga digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0.5% yang
berfungsi dapat membantu mengurangi kandungan lemak dari daging dan
mengubah warna menjadi lebih baik (Bledso et al. 2000).
Pada proses pencucian fillet daging ikan dilakukan berulang kali untuk
meningkatkan sifat hidrofilik daging menjadi swelling. Pada umumnya pH daging
ikan adalah 7.3 – 7.6, namun apabila daging dalam keadaan tidak segar,
perpindahan air dari daging menjadi sulit sehingga diperlukan perlakuan pada pH
berpindah dengan mudah dari daging dalam keadaam pH 4.8 – 5.6. Penggunaan
0.01 – 0.3% larutan garam seperti natrium klorida pada proses pencucian
berikutnya dapat mengurangi kandungan air dari daging dengan mudah. Setelah
proses pencucian, dilakukan penghilangan kandungan air dalam daging yang
dicuci sampai dengan 80% dengan menggunakan alat sentrifugasi atau screw
press (Suzuki. 1981).
Proses penggilingan dapat menghasilkan panas akibat dari interaksi antar
friksi molekul dalam daging yang dapat mengakibatkan terjadinya proses
denaturasi protein. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan sistem alat
penggiling dingin yaitu dengan menambahkan jaket pendingin atau es pada alat
penggiling. Penggilingan daging ikan dilakukan dengan menggunakan alat silent
cutter dan ditambahkan garam 2.5 - 3% (dari berat daging). Penambahan garam
ini berperan dalam pembentukan gel dari protein daging (Suryaningrum et al.
2007). Sedangkan pada proses pembekuan, pada suhu -1oC sampai -5oC terjadi pembentukan kristal-kristal es, sehingga perlu dilakukan pembekuan cepat dengan
contact plate freezer (Tan et al. 1988). Pada saat penyimpanan beku pada suhu
-35oC menunjukkan surimi sangat stabil, pada suhu -20oC kurang stabil dan pada suhu -10oC terjadi penurunan mutu gelasi protein setelah 2 bulan (Matsumoto and Noguchi. 1992).
Sifat fungsional surimi sangat berperan dalam menentukan mutu surimi,
terutama kemampuan dalam pembentukan gel. Pembentukan gel surimi berkaitan
erat dengan komposisi protein daging ikan yang digunakan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah penyiapan bahan utama (daging) dalam pembuatan surimi,
yaitu pencegahan terjadinya denaturasi protein, yang dapat dilakukan dengan cara
yaitu (1) faktor fisikokimia yang meliputi pengaruh leaching, suhu, pH dan proses
pembekuan/penyimpanan dan (2) faktor kimia yang meliputi penggunaan
antidenaturan (senyawa krioprotektan) (Matsumoto and Noguchi. 1992).
Selama proses pembekuan dan pengeringan dapat terjadi denaturasi
protein yaitu air di sekeliling molekul protein, yang menstabilkan ikatan hidrogen
intra molekul dan ikatan hidrofobik yang menstabilkan molekul pada struktur
asalnya dihilangkan. Untuk mencegah denaturasi, maka perpindahan air harus
antidenaturan yaitu krioprotektan seperti sukrosa, sorbitol dan polifospat.
Molekul krioprotektan berinteraksi dan terikat dengan molekul protein sehingga
setiap molekul protein tertutup oleh molekul krioprotektan yang terhidrasi.
Dengan demikian, interaksi diantara molekul protein berkurang, sehingga
meningkatkan hidrasi dan mengurangi agregasi protein (Matsumoto and Noguchi.
1992).
Dendeng
Dendeng adalah produk pangan semi basah yang dapat dimakan tanpa
rehidrasi dan tidak memberikan rasa kering pada produk. Dalam pembuatan
dendeng biasanya diberikan rempah-rempah sebagai bumbu yang berguna untuk
menghasilkan aroma, rasa khas dan daya awet. Rempah-rempah ini dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan dapat berfungsi juga sebagai antioksidan.
Rempah – rempah yang sering digunakan dalam pembuatan dendeng adalah jahe,
ketumbar, bawang putih, asam jawa dan lengkuas (Peranginangin. 2002).
Sebagian besar komponen di dalam rempah-rempah bersifat sebagai
antimikroba, sehingga dapat mengawetkan makanan. Komponen rempah-rempah
yang mempunyai aktivitas antimikroba adalah bagian minyak asiri yang terdapat
dalam kunyit, jahe bawang putih dan bawang merah. Ekstrak bawang merah
mempunyai efek bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella
dysentriae. Jahe mempunyai efek bakterisidal terhadap Micrococcus varians,
Leuconostoc sp., dan Bacillus subtilis, serta bersifat bakteri statik terhadap
Pseudomonas sp. dan Enterobacter aerogenes. Ekstrak bawang putih mentah
juga mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus
sp, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis, Serratia marcescens, dan Shigella
dysentriae (Astawan. 2005).
Adapun prinsip dari pembuatan dendeng adalah substitusi air dari bahan
dengan rempah - rempah sebagai bahan pengawet. Sedangkan untuk
memperpanjang daya awet sebagian air dari bahan dihilangkan dengan proses
pengeringan (Peranginangin. 2002). Pada umumnya, pengeringan bertujuan
untuk mengurangi kadar air dalam bahan pangan sampai sangat rendah sehingga
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan
adalah proses pengeluaran air dari bahan pangan dengan menggunakan energi
panas sehingga tingkat kadar air dari bahan tersebut menurun. Dalam proses
pengeringan, terdapat dua proses penting yaitu pindah panas yang mengakibatkan
penguapan air dalam bahan pangan dan pindah massa yang menyebabkan
pergerakan air atau uap air melalui bahan pangan yang kemudian
mengakibatkannya terpisah dari bahan pangan. Pengerakan air dalam bahan
pangan terjadi melalui proses difusi yang disebabkan oleh adanya perbedaan
tekanan uap air diantara bagian dalam dan permukaan bahan pangan (Hariyadi
dan Kusnandar. 2006).
Menurut Arifudin (2007), dalam pengolahan dendeng ikan diperlukan
bahan tambahan makanan dan rempah-rempah seperti gula (20%), garam (4%),
ketumbar (2.5%), asam jawa (5%), lengkuas (2.5%), jahe (1.5%) bawang putih
(1%), bawang merah (1.5%) dengan lama pengeringan sinar matahari selama 12
jam.
Kemasan
Dalam menentukan pilihan bahan kemasan perlu diketahui berbagai
informasi mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan produk sebelum
dikonsumsi. Permasalahan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah
perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Akibat dari perubahan kadar air
akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk dan pelunakan
pada produk kering. Sedangkan akibat dari pengaruh gas oksigen yaitu dapat
menimbulkan ketengikan (pada produk yang berlemak) dan perkembang biakan
jasad renik (Syarief. 1989). Terjadinya perubahan kadar air ataupun pengaruh
gas tersebut umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan penyimpanan produk
yang dapat mempengaruhi kelembaban udara. Menurut Matz (1997), pertukaran
kelembaban uap air diantara produk dengan lingkungan kemasan dapat dicegah
jika kemasan dalam dua kondisi yaitu (1) kemasan harus memiliki nilai rata-rata
penyebaran kelembaban uap air yang rendah (low moisture vapor transmission),
(2) kemasan harus dapat tertutup rapat (kedap udara) tanpa ada pembukaan.
Beberapa komponen flavor dapat ditahan oleh jenis plastik polyethylene.
Jenis plastik ini juga dapat mencegah hilangnya flavor volatil dari produk (Matz.
diperoleh dari industri arang dan minyak. Polyethylene merupakan jenis plastik
yang paling banyak digunakan dalam industri pangan karena sifat-sifatnya yang
mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakan jernih dan
mudah digunakan sebagai laminasi (Syarief. 1989).
Pendugaan Umur Simpan
Umur simpan suatu bahan pangan didefinisikan sebagai suatu periode
selama produk pangan masih dalam keadaan baik karakteristiknya dari segi
sensori, kimia dan mikrobiologi maupun dari kandungan gizinya (IFST. 1993).
Dalam proses pelaksanaan pendugaan umur simpan suatu produk pangan biasanya
diperlukan waktu yang cukup lama, mengingat banyak hal yang terkait di dalam
produk pangan yang dapat mempengaruhi karakteristiknya. Namun beberapa
tahun terakhir ini telah dikembangkan metode pendugaan umur simpan dalam
waktu yang tidak lama, yaitu model Accelerated (percepatan).
Menurut Floros (1993) dalam Arpah (2001) umur simpan produk pangan
dapat diduga dan ditetapkan masa kadaluwarsanya dengan menggunakan dua
metode yaitu metode konvensional dan metode percepatan (accelerated). Metode
konvensional adalah penentuan umur simpan dengan menyimpan produk pangan
pada kondisi normal (suhu, kelembaban udara) dan dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutu produk hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa
yaitu mutu produk pangan ditolak oleh konsumen. Sedangkan metode percepatan
(Accelerated Shelf Life Testing) adalah penentuan umur simpan suatu produk
pangan dengan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk pangan tersebut.
Keuntungan metode ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3
sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah.
2001).
Metode Accelerated ini diterapkan dengan menggunakan dua pendekatan
yaitu pendekatan kadar air kritis dan model Arrhenius. Pendekatan kadar air kritis
dilakukan dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang
diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air
sebagai kriteria kadaluwarsa. Sedangkan pendekatan dengan model Arrhenius
demikian kerusakan produk pangan terjadi lebih cepat, kemudian umur simpan
ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Metode Arrhenius ini
umumnya digunakan untuk melakukan pendugaan umur simpan produk pangan
yang sensitif oleh perubahan suhu, di antaranya produk pangan yang mudah
mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi kecoklatan
ataupun kerusakan vitamin C. Beberapa contoh produk pangan yang dapat
ditentukan umur simpannya dengan menggunakan model Arrhenius adalah
makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk
chip/snack, jus buah, produk pasta, daging (ikan, udang), saus sambal/tomat,
bumbu, selai, tepung, serta produk lainnya yang mengandung lemak tinggi
(berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan
protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan) (Kusnandar. 2006).
Menurut Labuza (1982), reaksi kinetika dasar suatu bahan pangan untuk
memperkirakan terjadi kemunduran mutunya disajikan dalam bentuk persamaan
di bawah ini.
dA = k A n ... (1)
dt dimana ;
dA = Perubahan rata-rata faktor mutu terhadap waktu.
dt
A = Faktor mutu yang diukur
t = Waktu
k = Konstanta
n = Orde reaksi yang terkait dengan jumlah faktor mutu terukur yang ada.
Hasil studi umur simpan tidak diperoleh sebagai nilai rata-rata, tetapi sebagai
jumlah faktor mutu yang terukur sebagai fungsi terhadap waktu. Kemudian,
untuk memperoleh nilai kemunduran, harus dirubah dahulu dalam bentuk plot
grafik kinetika.
Berdasarkan persamaan (1), diasumsikan nilai n = 0 disebut orde nol
reaksi, yaitu kemunduruan mutu yang terjadi secara konstan pada suhu yang sama.
degradasi enzimatis (pada buah dan sayur segar, bahan/produk pangan beku), (2)
nonenzimatis browning (pada dairy produk, sereal), (3) oksidasi lemak
(perkembangan ketengikan pada snack food, dry foods dan makanan beku).
Persamaan ordo nol dinyatakan dalam persamaan 2.
dA = k ... (2)
dt
Persamaan 2 menyatakan bahwa perubahan kemunduran mutu adalah konstan
pada suhu yang konstan. Asumsi ini digunakan dalam penurunan persamaan 3.
Sedangkan dalam pendugaan umur simpan produk pangan ordo nol digunakan
persamaan 4 dan 5.
At t
ƒ
dA =-
ƒ
kdt ... (3) Ao toA = Ao – kt ... (4)
Kemudian, nilai kemunduran mutu diplot pada grafik sehingga diperoleh slope
nilai k. Pendugaan umur simpan pada ordo nol digunakan persamaan 5.
t = A – Ao ... (5)
k
Keterangan :
Ao = nilai mutu awal
A = nilai mutu setelah waktu tertentu
At = nilai mutu pada akhir
t = umur simpan.
Menurut Labuza (1982)
,
dalam pendugaan umur simpan beberapa produkpangan tidak semuanya menggunakan pada ordo nol karena kemunduran mutu
pada suhu tertentu dapat terjadi tidak konstan. Apabila hal ini dimasukkan pada
persamaan 1 (reaksi kinetika dasar bahan pangan) maka nilai n = 1, sehingga
persamaannya yaitu :
Pada persamaan ordo satu dihasilkan persamaan eksponensial seperti yang terlihat
pada persamaan 7 dan 8.
At t
ƒ
dA=
-
ƒ
kdt ... (7) Ao A to
ln A = - k t ... (8) Ao
Kemudian, nilai kemunduran mutu diplot pada grafik sehingga diperoleh slope
nilai k. Pada pendugaan umur simpan orde satu digunakan persamaan 9.
t = ln A – ln Ao ... (9)
k
Beberapa reaksi yang mengindikasikan kemunduran mutu produk pangan yang
termasuk dalam ordo satu diantaranya adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba,
kerusakan vitamin dan kerusakan protein. Sedangkan penentuan ordo persamaan
dilakukan dengan melihat kesesuaian data terhadap persamaan yang diperoleh dari
grafik plot data pada ordo nol dan ordo satu (Labuza. 1982).
Pendugaan umur simpan produk pangan, dengan menggunakan persamaan
Arhenius digunakan nilai slope k yang diperoleh dari persamaan ordo nol ataupun
ordo satu dari masing-masing suhu yang diterapkan dan kemudian dihubungkan
dengan variable suhu. Rahayu dan Arpah (2003) menyatakan persamaan
Arhenius menggambarkan hubungan antara umur simpan dan suhu dengan
menggunakan nilai k, yaitu :
k = ko e -[Ea/RT] atau ln k = ln ko – [Ea/R] 1/T
Persamaan tersebut diperoleh melalui grafik hubungan ln k (sumbu y) dengan 1/T
(sumbu x), yang akan memberikan persamaan garis lurus : y = a + bx, dimana
slope b = (Ea/R) dan intersep a = ln ko. Sedangkan temperatur yang digunakan
pada persamaan Arhenius ini dalam skala Kelvin (oK). Dari persamaan Arhenius ini dapat diketahui pendugaan umur simpan pada suhu tertentu sesuai dengan
Oksidasi Lemak
Pada umumnya ketengikan yang sering terjadi pada produk perikanan
dapat menurunkan mutu produk. Ketengikan disebabkan karena terjadinya proses
oksidasi lemak yang biasanya terjadi secara spontan antara oksigen di atmosfer
dengan lemak dalam bahan yang disebut reaksi autooksidasi. Kelompok asam
lemak tidak jenuh sangat potensial mengalami dekomposisi secara autooksidasi
(Gordon. 2001). Mekanisme terjadinya oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap
yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi dimulai dari reaksi lemak
radikal dari molekul lemak dengan atom hidrogen yang sangat reaktif sebagai
radikal hidroksi. (Gordon. 2001). Reaksi ini dapat berlangsung cepat dengan
adanya cahaya, panas, logam-logam berat (Cu, Fe, Co dan Mn) dan enzim
lipoksidase (Winarno. 2004).
Pada tahap propagasi terjadi reaksi autooksidasi yaitu oksigen dari
atmosfer bereaksi dengan alkil radikal menghasilkan peroksida radikal. Peroksida
radikal yang dihasilkan lebih banyak dari pada alkil radikal karena reaksi yang
terjadi cepat. Reaksi yang terjadi pada tahap propagasi lebih cepat terjadi dari
pada tahap inisiasi karena nilai entalpi reaksi propagasi lebih kecil dari pada
inisiasi (Gordon. 2001). Enthalpi merupakan energi dalam suatu zat yang dapat
memulai terjadinya suatu reaksi (Chang R. 1977). Sedangkan pada tahap
terminasi, hidroksiperoksida terdekomposisi menjadi molekul-molekul volatil
hidrokarbon, alkohol dan aldehid yang dapat menimbulkan aroma dari reaksi
oksidasi lemak (Gordon. 2001). Proses terjadinya oksidasi lemak pada setiap
tahap rekasi tersbut diatas dapat terlihat pada Gambar 2.
Inisiasi X• + RH R• + XH Propagasi R• + O2 ROO•
ROO• + R’ H ROOH + R•
Terminasi ROO• + ROO• ROOR + O2
ROO• + R• ROOR
R• + R• RR
Menurut Hurrel (1984) degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas menjadi
produk sekunder yang bervariasi seperti aldehid, hidrokarbon serta terjadi
polimerisasi produk primer dan sekunder menjadi produk akhir yang stabil.
Pada ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat tinggi
sehingga oksidasi lemak sangat mungkin terjadi selama proses pengolahan.
Menurut Nair dan Gopakumar (1978) dalam Amin (2008) menyatakan ahwa
kandungan asam eikosapentanoat (EPA) catfish air tawar, air laut dan air payau
adalah 3.78%, 5.54% dan 4.36% sedangkan kandungan asam dokosaheksanoat
(DHA) masing – masing adalah 0.28%, 4.83% dan 1.59%.
Asam lemak omega-3 dan omega-6 yang dikenal dengan asam
eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) merupakan asam
lemak tidak jenuh tinggi (Polyunsaturated Fatty Acid /PUFA) yang banyak
terdapat dalam minyak ikan. Menurut Pak (2005), asam lemak omega-3 dan
omega-6 bermanfaat bagi kesehatan, yaitu dapat mencegah penyakit jantung,
hipertensi dan radang sendi, serta DHA penting untuk perkembangan otak.
Menurut Irianto (1992) dan Pokorny et al (2001) untuk mengetahui
tingkat oksidasi lemak dalam produk pangan dapat dilakukan pengukuran
terhadap kehilangan materi lemak seperti asam lemak atau trigliserida, dan dengan
mengukur produk oksidasi lemak primer ataupun sekunder seperti bilangan
peroksida dan nilai anisidin. Kombinasi hasil oksidasi primer dan sekunder secara
empiris diketahui sebagai nilai total oksidasi (totox value). Nilai total oksidasi
diperoleh dengan perhitungan nilai anisidin ditambah dengan dua kali nilai
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Desember 2008 di
laboratorium kimia, laboratorium pengolahan dan laboratorium mikrobiologi pada
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan serta di laboratorium rekayasa proses pangan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan patin siam
(Pangasius hypopthalmus) yang diperoleh langsung dari kolam budidaya ikan
patin di Parung Bogor Jawa Barat, es batu dan rempah - rempah (jahe, ketumbar,
lengkuas, bawang putih, bawang merah). Bahan kimia yang digunakan adalah
NaHCO3, NaCl, sodium tripolyphosphate (STPP), sorbitol, metanol, klorofom,
potassium iodida, sodium tiosulfat, p-anisidin, akuades, fenol, BSA (Bovine
Serum Albumine). Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi
bak penampung ikan, pisau, talenan, saringan, timbangan, sealer blender, cawan
porselin, labu kjedhal, tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring, soxhlet, tanur,
cawan petri, pipet, lampu bunsen dan gelas piala, serta peralatan laboratorium
seperti meat bone separator, dehydrating, spektrofotometer UV-VIS elektrobeam,
TA - XT Texture Analyzer, tensile strength dan HPLC.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu penelitian tahap pertama,
penelitian tahap kedua dan penelitian tahap ketiga.
Penelitian Tahap Pertama
Tujuan dari penelitian tahap pertama ini adalah untuk mengetahui
sifat-sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam yang diperlukan sebagai
dasar pengolahan produk selanjutnya. Selain itu juga untuk mengetahui
kandungan gizi utama dan komposisi asam amino dari protein daging ikan patin
Penelitian tahap pertama ini terdiri dari persiapan bahan serta pengolahan
daging lumat dan surimi. Pengolahan daging lumat dilakukan dengan empat
perlakuan yaitu daging lumat tanpa pencucian, daging lumat pencucian satu kali,
daging lumat pencucian dua kali dan daging lumat pencucian tiga kali.
Persiapan Bahan
a. Pengambilan sampel ikan patin siam dari kolam yang diangkut dalam keadaan
hidup,
b. Pemberokan selama 24 jam dalam bak penampung ikan dengan tujuan untuk
membuang kotoran dan lumpur dalam tubuh ikan.
c. Perendaman ikan di dalam air es sampai mati
d. Pemfilletan daging ikan
Proses pengolahan daging lumat tanpa pencucian
a. Penggilingan dan pemisahan tulang/duri ikan dalam fillet daging dengan
menggunakan alat meat bone separator.
b. Pengepresan dengan menggunakan mesin dehydrating.
Proses pengolahan daging lumat dengan pencucian
a. Penggilingan dan pemisahan tulang/duri ikan dalam fillet daging dengan
menggunakan alat meat bone separator.
b. Perlakuan pencucian masing – masing dilakukan sebanyak satu kali, dua kali
dan tiga kali dengan menggunakan air dingin (suhu 4-5oC) dengan volume pencucian daging lumat ikan : air = 1 : 5 selama 15 menit.
c. Pengepresan dengan menggunakan mesin dehydrating.
Proses pengolahan surimi (Suryaningrum et al. 2007).
a. Penggilingan dan pemisahan tulang/duri ikan dalam fillet daging dengan
menggunakan alat meat bone separator.
b. Pencucian pertama dan kedua dengan menggunakan air dingin (suhu 4-5oC) dengan volume pencucian daging lumat ikan : air = 1 : 5 yang ditambahkan
0.5% NaHCO3 selama 15 menit.
c. Pencucian ketiga dengan menggunakan air dingin (suhu 4-5oC) dengan volume pencucian daging lumat ikan : air = 1 : 5 yang ditambahkan 0.2%
d. Pengepresan dengan menggunakan mesin dehydrating.
e. Penambahan bahan antidenaturasi yaitu sorbitol 4% dan sodium
tripolyphosphate 0.2 %. dan dilanjutkan dengan pengadukan selama 15
menit
f. Pengemasan dan pencetakan dengan menggunakan plastik polyethilene
g. Penyimpanan beku dalam freezer pada suhu ≤ - 20oC
Analisis yang dilakukan terhadap daging lumat tanpa pencucian dan
dengan pencucian satu kali, dua kali dan tiga kali serta surimi yaitu analisis
proksimat, pH, Salt Soluble Protein, Water Holding Capacity (WHC), sifat
emulsi, dan kekuatan gel. Selain itu, pada daging segar tanpa pencucian juga
dilakukan analisis asam amino.
Penelitian Tahap Kedua
Tujuan dari tahap penelitian kedua ini adalah untuk mengetahui
karakteristik dendeng giling yang dihasilkan dari daging lumat dan surimi ikan
patin siam. Pada tahap ini dilakukan pengolahan dendeng giling dari daging
lumat ikan patin siam yang diperoleh dari perlakuan tanpa pencucian, pencucian
satu kali, pencucian dua kali, pencucian tiga kali serta surimi.
Proses pengolahan dendeng giling ikan patin siam (Arifudin. 2007 dimodifikasi).
a. Pencampuran bahan utama (daging lumat atau surimi) dan bahan tambahan
(20% gula putih dan 3% garam) serta rempah-rempah seperti ketumbar
(2.5%), asam jawa (3%), lengkuas (2.5%), jahe (0.5%) bawang putih (2%),
bawang merah (1.5%)
b. Pencetakan
c. Pengeringan dengan sinar matahari selama 15 jam.
Prosedur proses pengolahan dendeng giling dari ikan patin siam dapat dilihat pada
Gambar 2.
Analisis yang dilakukan terhadap dendeng giling meliputi : analisis
proksimat, sifat tekstur (tensile strenght dan elongasi), uji organoleptik serta
analisis mikrobiologi yaitu penentuan angka lempeng total (ALT) dan kapang.
atribut (tekstur, warna, rasa dan aroma). Selain itu juga dilakukan analisis asam
amino pada dendeng giling ikan patin siam yang terbaik dipilih oleh panelis dari
hasil uji organoleptik.
Rancangan Percobaan
Pada tahap penelitian tahap pertama dan kedua digunakan analisis data
dengan Rancangan Acak Lengkap dengan ulangan 3 kali dengan model
rancangan yaitu :
Yij = µ + α i + Eij
Yij = respon yang ditimbulkan dari perlakuan jenis bahan baku taraf ke-i dan
ulangan ke-j
µ = rataan/nilai tengah
αi = pengaruh jenis bahan baku taraf ke-i Eij = galat percobaan
Apabila perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5% maka akan dilanjutkan
dengan uji Tukey untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata diantara
Filet daging ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) segar
Penggilingan dan pemisahan tulang/duri
Daging lumat
Pencucian I Pencucian I (ikan : air = 1: 5
(b/v),(ikan : air = 1: 5 (v/v), 4-5oC) 4-5oC, 0.5% NaHCO3)
Pencucian II Pencucian II (ikan : air = 1:5
(b/v), (ikan : air = 1: 5 (v/v), 4-5oC) 4-5oC, 0.5% NaHCO3)
Pencucian III Pencucian III (ikan : air =1: 5
(b/v), (ikan : air = 1: 5 (v/v), 4-5oC) 4-5oC, 0.2% NaCl)
Pengepresan Pengepresan
Penambahan antidenaturan (sorbitol 4% dan STPP 0.2%)
Pencetakan dan pengemasan
Surimi
Penyimpanan pada suhu ≤ -20oC
Pencampuran bahan Bahan tambahan : gula, garam, rempah - rempah
Penipisan adonan (ketebalan ± 2 mm) dan pencetakan
Pengeringan (sinar matahari (suhu 31-33oC ; 15 jam)
Dendeng giling ikan patin siam
Penelitian Tahap Ketiga
Pada tahap ini dilakukan pendugaan umur simpan dendeng giling ikan
patin siam yang disukai berdasarkan uji organoleptik dengan menggunakan
metode Accelerated Shelf Life Testing model Arhenius. Kemasan yang digunakan
adalah plastik LDPE (Low Density Polyethylene) tertutup seal rapat pada suhu
25oC, 35oC, dan 45oC. Waktu pengamatan pada suhu 25oC yaitu pada ke- 0 hari, 10 hari, 20 hari dan 30 hari. Waktu pengamatan pada suhu 35oC yaitu pada ke- 0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari. Waktu pengamatan pada suhu 45oC yaitu pada ke- 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari. Menurut Kusnandar (2006), tahap percobaan
penyimpanan produk yang menggunakan Metode Accelerated Shelf Life Testing
(ASLT) dengan model Arhenius yaitu:
1. Identifikasi karakteristik produk yaitu menentukan faktor-faktor (komposisi
produk, proses produksi, penyimpanan serta pengemasan produk hingga
sampai di konsumsi konsumen) yang berpengaruh terhadap titik kritis produk.
2. Penentuan atribut mutu produk yang dapat menyebabkan penolakan konsumen
terhadap produk.
3. Penentuan metode analisis yang akan dilakukan untuk mengukur perubahan
mutu produk selama penyimpanan.
4. Penentuan 3 (tiga) suhu penyimpanan percobaan dan selang waktu
pengamatan.
5. Pengumpulan data : identifikasi nilai mutu awal dan batas kritisnya.
6. Membuat pola hubungan nilai kT terhadap suhu percobaan (1/T) menurut
model Arhenius : k = ko.e-Ea/RT ; di mana Ea : energi aktivasi yaitu tingkat energi minimum yang diperlukan untuk memulai suatu reaksi perubahan yang
nilainya dianggap konstan pada suatu kisaran suhu tertentu, R: konstanta gas
(8,314 J/g), dan T: suhu (oK). Dari pola hubungan ini diperoleh persamaan : Ln kT = Ln ko – Ea/RT.
7. Perhitungan umur simpan pada suhu penyimpanan dengan menggunakan
persamaan : ts = [ln(Qo/Qt)]/kT , dimana : t : umur simpan (hari), Qo : nilai
mutu awal, Qt : nilai batas kritis/batas mutu akhir dan kT : konstanta
Pengamatan kritis yang dilakukan pada penelitian penyimpanan dendeng giling
ikan ini adalah nilai total oksidasi (totox value) yang diperoleh dari perhitungan
analisis nilai peroksida dan angka anisidin sebagai titik kritis yang
mengindikasikan penolakan konsumen terhadap produk.
Metode Pengamatan Kadar Air (SNI -01-2354.2-2006)
Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 30 menit lalu didinginkan
dalam desikator dan ditimbang beratnya (A). Sampel dihaluskan atau dikecilkan
ukurannya sampai homogen, dan ditimbang sekitar 2 g dimasukkan ke dalam
cawan porselin dan ditimbang seluruhnya (B). Cawan porselin berisi sampel
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 102oC selama ± 18 jam lalu ditimbang (C). Kemudian cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Kadar air
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar air (%bb) = (B – C) x 100%
(B – A)
Kadar Lemak (SNI-01-2354.3-2006)
Labu soxhlet kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dihaluskan atau dipotong
kecil-kecil (homogen) dan ditimbang dengan berat tertentu (B) dan diisikan ke
dalam selongsong lemak. Sebanyak 150 ml klorofom dimasukkan ke dalam
selongsong lemak berisi sampel dan selanjutnya dimasukkan ke dalam extractor
soxhlet untuk diekstraksi pada suhu 600oC selama 6 jam. Setelah selesai kloroform yang tersisa dalam labu lemak diuapkan di dalam oven bersuhu 105oC selama ± 2 jam lalu didinginkan ke dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar
lemak dihitung dengan rumus : % kadar lemak = [ (C – A) : B] x 100%
Kadar Abu (SNI-01-2354.1-2006)
Cawan abu porselen kosong dimasukkan ke dalam tungku pengabuan suhu
550oC selama semalam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat cawan abu porselen kosong (A). Sampel dihomogenkan dan
ditimbang ±2 g (B) dimasukkan ke dalam cawan abu. Cawan abu berisi sampel