• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usia Sekolah Dasar

Usia sekolah dasar adalah usia dimana seorang anak mengikuti jenjang pendidikan formal paling dasar yang ditempuh dalam waktu enam tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Siswa sekolah dasar pada umumnya berusia 7-12 tahun. Setiap Warga Negara Indonesia berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) enam tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) tiga tahun (Kemendiknas 2010).

Proses pertumbuhan fisik seorang anak pada masa usia sekolah akan melambat dan lebih stabil. Proses penambahan tinggi dan berat anak yang lebih stabil akan memberi waktu kepada tubuh anak untuk mengembangkan berbagai koordinasi dan gerakan. Pada tahap ini juga terjadi proses pertambahan fisik yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. pada anak laki-laki, lengan, paha, dan kakinya cenderung bertambah panjang. Sementara pada anak perempuan, panggul dan pahanya cenderung membesar (Damayanti 2010). Menurut Papilia et al. (2008), pertumbuhan fisik anak pada kenyataannya sangat beragam. Salah satu contohnya sampai usia tujuh tahun dengan tinggi rata-rata seusianya dan tidak tumbuh sama sekali selama dua tahun masih masuk ke dalam batasan normal tinggi rata-rata usia sembilan tahun.

Anak usia sekolah merupakan individu yang sedang berkembang. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental ke arah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Tingkah laku dalam memilih makanan sudah terbentuk pada anak sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan dan pola pikir yang ingin mencoba hal baru (Harper et al. 1986).

Besar Uang Jajan

Uang jajan merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk keperluan makan. Perolehan uang jajan menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang jajan yang dimiliki (Napitu 1994).

Orang tua cenderung selalu memberikan uang jajan untuk anaknya karena kesibukan mereka. Kebiasaan yang timbul adalah orang tua kurang memperhatikan asupan gizi anaknya. Anak-anak tidak dibiasakan untuk sarapan pagi dan anak hanya diberikan uang jajan untuk membeli makanan di sekolah.

Selain itu, jajanan yang biasa dijual di warung kurang memperhatikan keseimbangan gizi dan kebersihan (Muasyaroh 2006).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Pendidikan

Salah satu unsur penting yang mempengaruhi keadaan gizi adalah latar belakang pendidikan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimilikinya akan lebih baik. Faktor tingkat pendidikan perlu dipertimbangkan untuk menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Berdasarkan kepentingan keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan dapat mengambil tindakan secepatnya (Fikawati & Syafiq 2007).

Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadaran terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2006). Pengetahuan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non formal orangtua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan fertilitas dan status gizi keluarga (Sukandar 2007).

Pekerjaan

Besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Hal ini karena pekerjaan akan menentukan pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan ini akan digunakan salah satunya untuk membeli makanan. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki seseorang maka peluang untuk memperoleh pekerjaan akan semakin besar (Fikawati & Syafiq 2007).

Pendapatan

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas akan kurang 6

dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Syafiq 2007). Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingginya pendapatan akan mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan. Soekirman (2000) menyebutkan secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan sehingga konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh pendapatan keluarga.

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga lainnya. Penurunan daya beli pada tingkat keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah 2007).

Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Tambahan pendapatan sebesar 1% untuk semua keluarga, maka keluarga dengan anggota dua sampai tiga orang akan meningkatkan pengeluaran pangan lebih dari 1%, sedangkan untuk keluarga dengan jumlah anggota lebih besar pengeluaran pangan hanya meningkat 0.8%-0.9% (Sanjur 1982).

Jumlah anggota keluarga mempengaruhi jumlah dan keragaman pangan yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982).

Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang di antara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari 7

bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989).

Konsumsi Pangan Anak Sekolah

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sediaoetama 1996).

Kebiasaan makan anak dipengaruhi oleh peranan orang tua terutama ibu, untuk memperhatikan pola makan dan kebiasaaan makan anaknya agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat terawasi dengan baik. Seorang ibu dapat memberikan perhatiaan khusus terhadap makanan yang disukai anak dan keluarga sehingga tetap dapat memberikan makanan yang sehat terutama pada anak yang sedang dalam puncak pertumbuhan dan perkembangan (Roedjito 1989).

Pada anak usia sekolah terjadi perubahan pola makan yang besar. Anak usia sekolah lebih banyak melewatkan waktu makan mereka di sekolah dibandingkan di rumah bersama orang tua. Hal tersebut menyebabkan asupan energi dan zat-zat gizi anak setiap hari menjadi lebih sulit untuk dikontrol. Peran orang tua sangat penting untuk dapat memantau asupan energi dan zat-zat gizi anak setiap hari agar anak dapat menjalani proses belajarnya dengan baik dan tetap tumbuh dan berkembang optimal (Damayanti 2010).

Kebutuhan Zat Gizi Anak

Angka kecukupan Gizi dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 memuat daftar energi dan zat-zat gizi lainnya yang dianjurkan untuk diberikan pada anak dan orang dewasa bagi tiap golongan umur. Kebutuhan setiap anak berbeda sesuai dengan golongan umur mereka. Makanan yang dijadikan harus berfungsi sebagai energi untuk aktivitas otot-ototnya, membentuk jaringan baru, akan tetapi juga memberikan rasa enak dan puas. Selain itu, makanan anak sekolah perlu mendapatkan perhatian mengingat masih dalam

masa pertumbuhan, maka keseimbangan gizinya harus dipertahankan supaya tetap sehat (Pudjiadi 1990).

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengatur suhu dan kegiatan fisik. Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh metabolisme basal, umur, dan aktivitas fisik, suhu lingkungan, serta kesehatannya. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Kecukupan energi dianjurkan diperoleh dari karbohidrat 50-60%, lemak, 25-35%, sedangkan selebihnya protein 10-15% (Pudjiadi 1990). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 menetapkan kecukupan energi untuk usia 10-12 tahun baik laki-laki dan perempuan sebesar 2050 Kal, sedangkan usia 13-15 tahun sebesar 2400 (laki-laki) dan 2350 (perempuan).

Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif sehingga terjadi penurunan berat badan. Bila terjadi pada anak-anak akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2001).

Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separuhnya dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit. Protein memiliki beberapa fungsi yaitu untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi,

mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi (Almatsier 2001). Menurut WNPG (2004) angka kecukupan protein untuk usia 10-12 tahun untuk laki-laki dan perempuan sebesar 50 gram, sedangkan usia 13-15 tahun sebesar 60 gram (laki-laki) dan 57 gram (perempuan).

Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2001). Protein hewani termasuk kualitas lengkap dan protein nabati mempunyai nilai kualitas setengah sempurna atau protein tidak lengkap (Sediaoetama 1996).

Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah dan sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan marasmus. Marasmus adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak di antara kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar negara sedang berkembang. Gejalanya adalah pertumbuhan terhambat, lemak di bawah kulit berkurang serta otot-otot berkurang dan melemah, sering terjadi gastoenteristis yang diikuti dehidrasi, infeksi saluran penasapan, tuberkulosis, cacingan berat dan penyakit kronis lain (Almatsier 2001).

Zat besi (Fe)

Zat besi memiliki peranan penting dalam metabolisme tubuh. Sekitar dua pertiga zat besi tubuh berperan sebagai zat besi fungsional seperti hemoglobin (60%), mioglobin (15%), dan terikat dalam berbagai jenis enzim (5%). Adapun sepertiga lainnya zat besi disimpan dalam bentuk feritin (20%) dan hemosiderin (10%) (Gibney et al. 2002). Beberapa fungsi essensial zat besi di dalam tubuh, sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan berbagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2001).

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi nonhem dalam makanan nabati. Sumber besi dari makanan hewani yaitu seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber lainnya yaitu telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Kualitas besi (bioavailability) merupakan hal penting diperhatikan selain kuantitas besi dalam makanan (Almatsier 2001).

Kekurangan besi dapat berpengaruh terhadap produktivitas, penampilan kognitif, dan sistem kekebalan (Almatsier 2001). Anemia defisiensi besi disebabkan oleh asupan zat besi tidak cukup dan penyerapannya tidak adekuat. 10

Tanda dan gejala anemia defisiensi besi biasanya tidak khas dan tidak jelas, seperti pucat, mudah lelah, berdebar, dan sesak nafas. Kepucatan bisa diperiksa pada telapak tangan, kuku, dan konjungtiva palpebra (Arisman 2004).

Vitamin C

Vitamin C merupakan kofaktor enzim yang larut dalam air dan sebagai antioksidan. Fungsi vitamin C dalam tubuh antara lain sintesis kolagen, carnitin, katekolamin, dan neurotransmiter, membantu metabolisme asam folat dan tirosin (Wolinsky & Driskell 1997). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat, vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2001).

Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan gangguan pada fungsi sistem kolagen dan akan terlihat perdarahan terutama pada jaringan lunak, seperti gusi. Gejala ini disebut scurvy. Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka. Asupan vitamin C yang tinggi dapat meningkatkan risiko timbulnya batu ginjal karena meningkatnya produksi oksalat,

rebound scurvy akibat penurunan yang mendadak. Dosis tinggi juga dilaporkan mengakibatkan gangguan lambung dan diare pada beberapa individu (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Kecukupan zat besi (fe) dan vitamin C terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecukupan zat besi dan vitamin C untuk usia 10-13 tahun

Zat Gizi Perempuan Laki-laki

10-12 tahun 13 tahun 10-12 tahun 13 tahun

Vitamin C (mg) 50 65 50 75

Besi (mg) 20 26 13 19

*Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Status Gizi Anak

Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Penilaian status gizi seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk mengetahui baik buruknya status gizi (Riyadi 2003). Beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu dengan pengukuran antropometri, klinik, dan laboratorium.

Pengukuran antropometri merupakan suatu metode untuk mengukur dimensi tubuh dan komposisi tubuh. Pengukuran ini berbeda sesuai dengan

umur (jenis kelamin, dan ras) dan tingkatan gizi individu (Gibson 2005). Indeks antropometri dapat dinyatakan salah satunya dalam bentuk Z-skor. Z-skor (atau skor standar deviasi) adalah deviasi (simpangan) nilai seseorang dari nilai median populasi referensi, dibagi dengan standar deviasi populasi referensi (Riyadi 2003):

Z-skor = ( ) ( )

Status gizi dalam ilmu gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna tersendiri. Misalnya kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”, kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U atau “TB/U”, dan kombinasi antara BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau “BB/TB” (Soekirman 2000).

Indikator BB/U

Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, maka nafsu makan atau jumlah makanan yang dikonsumsi akan berkurang yang mengakibatkan menurunnya berat badan. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Berdasarkan CDC (2000) indikator BB/U meliputi kurang (Z skor< -2.0), normal (Z skor≥ -2.0 s/d < -2.0), dan lebih (Z skor ≥ -2.0)

Indikator TB/U:

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan dalam keadaan normal tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi badan relatif tidak terlihat terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau (Soekirman 2000). Berdasarkan WHO (2007), indikator TB/U meliputi sangat pendek (Z skor< -3.0), pendek (Z skor≥-3.0 s/d < -2.0), dan normal (Z skor ≥ - 2.0).

Indikator IMT/U

Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score (WHO 2007). Indeks IMT/U ini dihitung dengan cara berat badan dalam satuan kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam satuan meter yang telah dikuadratkan, kemudian hasilnya dibandingkan dengan referensi IMT pada umur yang sama dengan anak yang dinilai status gizinya (Riyadi 2003).

IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. Selain itu, indikator IMT/U juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan indikator ini sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa (Riskesdas 2010). Berdasarkan WHO (2007) kategori indikator IMT/U terdiri dari sangat kurus (Z skor< -3.0), kurus (Z skor≥-3.0 s/d < - 2.0), normal (Z skor≥2.0 s/d ≤ 2.0), dan gemuk (Z skor > 2.0).

Sarapan

Melewatkan makan pagi atau sarapan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa sehingga tubuh lemah karena tidak adanya suplai energi. Jika hal ini terjadi, maka tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada di jaringan lemak tubuh. Tidak sarapan pagi menyebabkan kekosongan lambung selama 10-11 jam karena mungkin makanan terakhir yang masuk ke dalam tubuh adalah makan malam yang berkisar antara pukul 18.00- 20.00. Sarapan pagi akan menyumbangkan gizi sekitar 25% kebutuhan gizi ideal (Khomsan 2005), sedangkan menurut Depkes (1995), sarapan pagi sebaiknya menyediakan 20- 30% kebutuhan gizi sehari.

Terdapat beberapa manfaat apabila kita melakukan sarapan. Pertama, menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kadar gula darah yang cukup akan membuat gairah dan kosentrasi belajar di sekolah menjadi lebih baik sehingga berdampak positif terhadap prestasi akademik di sekolah. Kedua, sarapan pagi dapat memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2005). Selain itu, sarapan pagi bermanfaat untuk memelihara ketahanan fisik dan meningkatkan produktivitas kerja (Depkes 1995). Hidangan saat sarapan pagi sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat tenaga, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang 13

seimbang (Depkes 1995). Penelitian Harahap et al. (1998) menunjukan bahwa jenis hidangan yang biasa dikonsumsi untuk sarapan pagi oleh anak sekolah pada umumnya terbatas pada makanan pokok saja dan jenis hidangan lainnya adalah makanan jajanan. Makanan seperti pisang goreng, singkong, atau ubi terkadang dikonsumsi sebagai pengganti sarapan pagi. Makanan ringan seperti itu hanya menyumbangkan energi sebesar 5% dari kebutuhan dan proteinnya hanya cukup untuk memenuhi 2% dari kebutuhan sehari (Khomsan 2005).

Secara kuantitas sarapan harus dapat memenuhi kecukupan setiap individu serta memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi tersebut mempunyai waktu metabolisme yang berbeda-beda. Pemecahan atau pembakaran karbohidrat akan berlangsung terlebih dahulu sampai 4 jam pertama, kemudian protein dan terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme tersebut. Jadi sarapan harus merupakan kombinasi yang baik diantara zat gizi yang di dalam makanan (Khomsan 2005).

Sarapan pagi kadang-kadang merupakan kegiatan yang tidak menggairahkan. Nafsu makan belum ada, menu di meja makan tidak menarik, dan waktu yang terbatas menyebabkan anak-anak tidak merasa bersalah meninggalkan sarapan. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan makan pagi pada anak sangat menentukan, karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan rumah tangga. Faktor kesibukan ibu, khususnya yang bekerja, seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat menyediakan sarapan. Membiasakan sarapan pada anak-anak memang tidak mudah (Khomsan 2005).

Pada dekade terakhir, makin banyak anak-anak di negara berkembang yang bersekolah dan tingkat prestasi mereka di sekolah masih mengecewakan. Kesehatan dan gizi yang buruk menjadi faktor yang menghalangi kemampuan mereka untuk belajar. Salah satu contoh adalah kejadian kelaparan di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Powell et al. (1998) terhadap anak usia sekolah di Jamaika menunjukkan tidak sarapan menghalangi kecerdasan kognitif anak dan cenderung terjadi pada anak-anak kurang gizi.

Studi mengenai kebiasaan sarapan anak usia sekolah 10-15 tahun di Andhra Pradesh, India menunjukkan bahwa hanya 42.8% anak usia sekolah yang sarapan secara teratur. Lebih dari separuh anak melewatkan sarapan dengan rentang waktu sarapan yaitu satu sampai dua kali dalam seminggu. Komposisi energi dan protein yang didapatkan apabila seorang anak sarapan adalah seperempat atau sepertiga dari kebutuhan energi dan protein mereka

dalam sehari. Ketidakcukupan energi dan protein akibat tidak sarapan menyebabkan tinggi persentase kekurangan gizi pada anak usia sekolah di India yaitu sebesar 40% pada siswa laki-laki sedangkan siswa perempuan sebesar 32.1% (Chitra & Reddy 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Hernawati (2003) pada siswi SLTP di kota Bogor menunjukan siswi yang sarapan pagi memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak sarapan pagi. Penelitian lain pada siswa sekolah dasar di kota Bogor menunjukan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan kadar glukosa darah namun tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kosentrasi belajar siswa (Faridi 2002).

Intervensi sarapan selama satu tahun pada siswa sekolah dasar di Jamaika menunjukan adanya perbaikan kecil yang signifikan terhadap kehadiran dan status gizi anak pada kelompok sarapan dibandingkan kelompok kontrol. Sarapan mengakibatkan peningkatan tingkat kehadiran anak di sekolah. Anak- anak dalam kelompok sarapan juga mengalami pertambahan berat badan serta peningkatan tinggi badan dan BMI (Body Mass Index) secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok dengan status gizi kurang mengalami peningkatan status gizi ketika mereka diberikan sarapan. Hasil lain dari penelitian ini adalah terdapat manfaat yang signifikan dari sarapan terhadap prestasi

Dokumen terkait