• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebiasaan Sarapan dan Olahraga serta Hubungannya dengan Daya Tahan Paru-Jantung Anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebiasaan Sarapan dan Olahraga serta Hubungannya dengan Daya Tahan Paru-Jantung Anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

NONLY STEVANIE. The Relation of Breakfast and Exercise Habits to Students Cardiorespiratory Endurance of Kebon Kopi 2 Elementary School Bogor. Supervised by AHMAD SULAEMAN and TIURMA SINAGA.

Breakfast and exercise are important aspects in increasing students’s fitness, especially in elementary’s school-age children. One component of health-related fitness is a cardiorespiratory endurance. Cardiorespiratory endurance relates to the physical ability of a child in following the lesson learning process efficiently and effectively in a relatively long time without causing tiredness. The aims of study was to identify the breakfast and exercise habits and their relation to fitness level of elementary school students. Case study design was applied in this study. Research conducted at the Kebon Kopi Elementary School 2 Bogor in March-April 2011. The sampling inclusion criteria are students can understand and properly fill out the questionnaires, had no history of chronic illness or a derivative. Most of the sample (84%) are 10-12 years students. The highest percentage of normal nutritional status according to the example is BB/U (54%), TB/U (68%), and BMI/ U (70%). More than half of the sample (52%) always take a breakfast before they go to school. Their breakfast habits only contribute about 16% energy, 12% protein, 11% iron, and 1% vitamin C to nutrient adequacy. More than 70% of samples had a exercise frequency less than 3 times/week. About 46% sample doing exercise in 30-40 minutes each. Spearman correlation test results there is no relation between age, nutritional status, breakfast habits, 5L frequent complaints, and complaints of drowsiness with cardiorespiratory endurance (p>0.05). There is correlation between the sexes (p<0.05, r= -0.417), frequency of exercise (p <0.05, r = 0.350), and duration of exercise (p<0.05, r = 0.455) with cardiorespiratory endurance.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik tangguh, mental yang kuat, dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi

merupakan salah satu aspek yang dapat merusak kualitas SDM (Atmarita & Fallah 2004). United Nation (2010) memfokuskan usaha perbaikan

gizi dalam upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur dengan mengikuti daur kehidupan, terutama untuk kelompok usia sekolah. Masalah gizi yang rentan terjadi kelompok usia sekolah pada umumnya disebabkan gangguan pertumbuhan dan berdampak terhadap penurunan produktivitas fisik (UNICEF 1998).

Pernyataan di atas juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 1998 tentang Pendidikan Dasar yang pada Bab II pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Sesuai dengan tujuan pendidikan dasar tersebut serta seiring dengan arah keberhasilan pembangunan nasional, aspek gizi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam menentukan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas,.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menunjukkan tingkat kecukupan gizi anak usia sekolah belum cukup memadai. Prevalensi kekurusan (IMT/U) nasional pada anak usia sekolah (6-12 tahun) sebesar 12.2% terdiri dari 4,6% sangat kurus dan 7,6% kurus. Kondisi tersebut makin diperparah dengan rata-rata kecukupan konsumsi energi pada anak usia usia sekolah hanya berkisar antara 71,6-89,1% dan 44% anak masih mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan normal (Salimar et al. 2010). Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa anak usia sekolah adalah kelompok umur yang rentan terhadap kekurangan gizi.

(3)

makan dengan melewatkan sarapan rawan berisiko terhadap penurunan kadar gula darah, bahkan dalam jangka waktu yang relatif panjang dapat menyebabkan penyakit infeksi disertai kurang gizi (Puslitbang Gizi et al. 1998).

Manfaat sarapan terbukti efektif dalam peningkatan kebugaran dan konsentrasi dalam proses belajar (Khomsan 2005). Salah satu komponen kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan (health related fitness) yaitu daya tahan paru-jantung (cardiorespiratory endurance). Daya tahan paru-jantung merupakan kemampuan paru jantung menyuplai oksigen untuk kerja otot dalam jangka waktu yang lama (Robergs & Roberts 2000). Anak dengan daya tahan paru-jantung yang baik memiliki kemampuan dan kesanggupan fisik dalam mengikuti proses belajar secara efisien dan efektif dalam waktu yang relatif lama tanpa menimbulkan kelelahan.

Faktor lain yang mempengaruhi kebugaran adalah kebiasaan berolahraga. Hampir setengah dari jumlah anak usia 12-21 tahun di Indonesia tidak cukup aktif. Kelompok usia tersebut memiliki aktivitas fisik tergolong ringan-sedang dan hanya sekitar 25% yang aktif berolahraga secara rutin. Anak perempuan memiliki risiko kurang aktif berolahraga lebih besar dibandingkan anak laki-laki, terutama menjelang dan setelah pubertas. Selain itu, hanya sepertiga sekolah dasar dan menengah yang memberikan pendidikan olahraga setiap hari (Adiwinanto 2008).

Olahraga bermanfaat bagi anak-anak untuk masa sekarang dan akan datang. Manfaat dari kebiasaan olahraga adalah menjaga berat badat ideal, meningkatkan densitas mineral tulang, dan meningkatkan daya tahan paru-jantung yang menjadi indikator kebugaran. Hasil penelitian Guttin et al. (2002) menunjukkan terjadi perbaikan daya tahan paru-jantung pada anak obese dengan intervensi latihan terutama olahraga dengan intensitas tinggi.

(4)

paru-jantung pada siswa sekolah dasar dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian adalah mengetahui kebiasaan sarapan dan olahraga hubungannya terhadap daya tahan paru-jantung pada anak sekolah dasar dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh (usia, besar uang jajan, serta status gizi) dan sosial ekonomi (pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, dan pendapatan keluarga) anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

2. Mengidentifikasi kebiasaan sarapan (frekuensi sarapan, waktu dan tempat sarapan, jenis makanan sarapan, serta kontribusi zat gizi makanan sarapan) anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

3. Mengidentifikasi kebiasaan olahraga (frekuensi olahraga, jenis olahraga, dan durasi olahraga) anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

4. Mengidentifikasi daya tahan paru-jantung anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

5. Menganalisis hubungan antara kebiasaan sarapan dengan daya tahan paru- jantung anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

6. Menganalisis hubungan antara kebiasaan olahraga dengan daya tahan paru- jantung anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan daya tahan paru- jantung anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

2. Terdapat hubungan antara kebiasaan olahraga dengan daya tahan paru- jantung anak Sekolah Dasar Kebon Kopi 2 Bogor.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh siswa sekolah dasar untuk memahami arti pentingnya sarapan dan olahraga terhadap kebugaran khususnya daya tahan paru-jantung mereka. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan

(5)

dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk orang tua sehingga dapat memahami dan mengerti akan pentingnya sarapan dan olahraga bagi kebugaran anak mereka. Penelitian ini bagi pihak sekolah dapat dijadikan acuan peningkatan kebiasaan sarapan dan olahraga melalui program pendidikan gizi di sekolah.

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Usia Sekolah Dasar

Usia sekolah dasar adalah usia dimana seorang anak mengikuti jenjang pendidikan formal paling dasar yang ditempuh dalam waktu enam tahun, mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Siswa sekolah dasar pada umumnya berusia 7-12 tahun. Setiap Warga Negara Indonesia berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) enam tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) tiga tahun (Kemendiknas 2010).

Proses pertumbuhan fisik seorang anak pada masa usia sekolah akan melambat dan lebih stabil. Proses penambahan tinggi dan berat anak yang lebih stabil akan memberi waktu kepada tubuh anak untuk mengembangkan berbagai koordinasi dan gerakan. Pada tahap ini juga terjadi proses pertambahan fisik yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. pada anak laki-laki, lengan, paha, dan kakinya cenderung bertambah panjang. Sementara pada anak perempuan, panggul dan pahanya cenderung membesar (Damayanti 2010). Menurut Papilia et al. (2008), pertumbuhan fisik anak pada kenyataannya sangat beragam. Salah satu contohnya sampai usia tujuh tahun dengan tinggi rata-rata seusianya dan tidak tumbuh sama sekali selama dua tahun masih masuk ke dalam batasan normal tinggi rata-rata usia sembilan tahun.

Anak usia sekolah merupakan individu yang sedang berkembang. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental ke arah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Tingkah laku dalam memilih makanan sudah terbentuk pada anak sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan dan pola pikir yang ingin mencoba hal baru (Harper et al. 1986).

Besar Uang Jajan

Uang jajan merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk keperluan makan. Perolehan uang jajan menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang jajan yang dimiliki (Napitu 1994).

(7)

Selain itu, jajanan yang biasa dijual di warung kurang memperhatikan keseimbangan gizi dan kebersihan (Muasyaroh 2006).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Pendidikan

Salah satu unsur penting yang mempengaruhi keadaan gizi adalah latar belakang pendidikan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimilikinya akan lebih baik. Faktor tingkat pendidikan perlu dipertimbangkan untuk menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Berdasarkan kepentingan keluarga, pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan dapat mengambil tindakan secepatnya (Fikawati & Syafiq 2007).

Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadaran terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2006). Pengetahuan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non formal orangtua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan fertilitas dan status gizi keluarga (Sukandar 2007).

Pekerjaan

Besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Hal ini karena pekerjaan akan menentukan pendapatan yang dihasilkan. Pendapatan ini akan digunakan salah satunya untuk membeli makanan. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki seseorang maka peluang untuk memperoleh pekerjaan akan semakin besar (Fikawati & Syafiq 2007).

Pendapatan

(8)

dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Syafiq 2007). Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingginya pendapatan akan mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan. Soekirman (2000) menyebutkan secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan sehingga konsumsi makanan baik jumlah maupun mutunya dipengaruhi oleh pendapatan keluarga.

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga lainnya. Penurunan daya beli pada tingkat keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan terutama bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah 2007).

Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Tambahan pendapatan sebesar 1% untuk semua keluarga, maka keluarga dengan anggota dua sampai tiga orang akan meningkatkan pengeluaran pangan lebih dari 1%, sedangkan untuk keluarga dengan jumlah anggota lebih besar pengeluaran pangan hanya meningkat 0.8%-0.9% (Sanjur 1982).

Jumlah anggota keluarga mempengaruhi jumlah dan keragaman pangan yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982).

(9)

bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989).

Konsumsi Pangan Anak Sekolah

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sediaoetama 1996).

Kebiasaan makan anak dipengaruhi oleh peranan orang tua terutama ibu, untuk memperhatikan pola makan dan kebiasaaan makan anaknya agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat terawasi dengan baik. Seorang ibu dapat memberikan perhatiaan khusus terhadap makanan yang disukai anak dan keluarga sehingga tetap dapat memberikan makanan yang sehat terutama pada anak yang sedang dalam puncak pertumbuhan dan perkembangan (Roedjito 1989).

Pada anak usia sekolah terjadi perubahan pola makan yang besar. Anak usia sekolah lebih banyak melewatkan waktu makan mereka di sekolah dibandingkan di rumah bersama orang tua. Hal tersebut menyebabkan asupan energi dan zat-zat gizi anak setiap hari menjadi lebih sulit untuk dikontrol. Peran orang tua sangat penting untuk dapat memantau asupan energi dan zat-zat gizi anak setiap hari agar anak dapat menjalani proses belajarnya dengan baik dan tetap tumbuh dan berkembang optimal (Damayanti 2010).

Kebutuhan Zat Gizi Anak

Angka kecukupan Gizi dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 memuat daftar energi dan zat-zat gizi lainnya yang dianjurkan untuk diberikan pada anak dan orang dewasa bagi tiap golongan umur. Kebutuhan setiap anak berbeda sesuai dengan golongan umur mereka. Makanan yang dijadikan harus berfungsi sebagai energi untuk aktivitas otot-ototnya, membentuk jaringan baru, akan tetapi juga memberikan rasa enak dan puas. Selain itu, makanan anak sekolah perlu mendapatkan perhatian mengingat masih dalam

(10)

masa pertumbuhan, maka keseimbangan gizinya harus dipertahankan supaya tetap sehat (Pudjiadi 1990).

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengatur suhu dan kegiatan fisik. Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh metabolisme basal, umur, dan aktivitas fisik, suhu lingkungan, serta kesehatannya. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Kecukupan energi dianjurkan diperoleh dari karbohidrat 50-60%, lemak, 25-35%, sedangkan selebihnya protein 10-15% (Pudjiadi 1990). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 menetapkan kecukupan energi untuk usia 10-12 tahun baik laki-laki dan perempuan sebesar 2050 Kal, sedangkan usia 13-15 tahun sebesar 2400 (laki-laki) dan 2350 (perempuan).

Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif sehingga terjadi penurunan berat badan. Bila terjadi pada anak-anak akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2001).

Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separuhnya dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit. Protein memiliki beberapa fungsi yaitu untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi,

(11)

mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi (Almatsier 2001). Menurut WNPG (2004) angka kecukupan protein untuk usia 10-12 tahun untuk laki-laki dan perempuan sebesar 50 gram, sedangkan usia 13-15 tahun sebesar 60 gram (laki-laki) dan 57 gram (perempuan).

Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2001). Protein hewani termasuk kualitas lengkap dan protein nabati mempunyai nilai kualitas setengah sempurna atau protein tidak lengkap (Sediaoetama 1996).

Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah dan sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan marasmus. Marasmus adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak di antara kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar negara sedang berkembang. Gejalanya adalah pertumbuhan terhambat, lemak di bawah kulit berkurang serta otot-otot berkurang dan melemah, sering terjadi gastoenteristis yang diikuti dehidrasi, infeksi saluran penasapan, tuberkulosis, cacingan berat dan penyakit kronis lain (Almatsier 2001).

Zat besi (Fe)

Zat besi memiliki peranan penting dalam metabolisme tubuh. Sekitar dua pertiga zat besi tubuh berperan sebagai zat besi fungsional seperti hemoglobin (60%), mioglobin (15%), dan terikat dalam berbagai jenis enzim (5%). Adapun sepertiga lainnya zat besi disimpan dalam bentuk feritin (20%) dan hemosiderin (10%) (Gibney et al. 2002). Beberapa fungsi essensial zat besi di dalam tubuh, sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan berbagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2001).

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi nonhem dalam makanan nabati. Sumber besi dari makanan hewani yaitu seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber lainnya yaitu telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Kualitas besi (bioavailability) merupakan hal penting diperhatikan selain kuantitas besi dalam makanan (Almatsier 2001).

(12)

Tanda dan gejala anemia defisiensi besi biasanya tidak khas dan tidak jelas, seperti pucat, mudah lelah, berdebar, dan sesak nafas. Kepucatan bisa diperiksa pada telapak tangan, kuku, dan konjungtiva palpebra (Arisman 2004).

Vitamin C

Vitamin C merupakan kofaktor enzim yang larut dalam air dan sebagai antioksidan. Fungsi vitamin C dalam tubuh antara lain sintesis kolagen, carnitin, katekolamin, dan neurotransmiter, membantu metabolisme asam folat dan tirosin (Wolinsky & Driskell 1997). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat, vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2001).

Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan gangguan pada fungsi sistem kolagen dan akan terlihat perdarahan terutama pada jaringan lunak, seperti gusi. Gejala ini disebut scurvy. Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka. Asupan vitamin C yang tinggi dapat meningkatkan risiko timbulnya batu ginjal karena meningkatnya produksi oksalat,

rebound scurvy akibat penurunan yang mendadak. Dosis tinggi juga dilaporkan mengakibatkan gangguan lambung dan diare pada beberapa individu (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Kecukupan zat besi (fe) dan vitamin C terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kecukupan zat besi dan vitamin C untuk usia 10-13 tahun

Zat Gizi Perempuan Laki-laki

10-12 tahun 13 tahun 10-12 tahun 13 tahun

Vitamin C (mg) 50 65 50 75

Besi (mg) 20 26 13 19

*Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Status Gizi Anak

Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Penilaian status gizi seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk mengetahui baik buruknya status gizi (Riyadi 2003). Beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu dengan pengukuran antropometri, klinik, dan laboratorium.

Pengukuran antropometri merupakan suatu metode untuk mengukur dimensi tubuh dan komposisi tubuh. Pengukuran ini berbeda sesuai dengan

(13)

umur (jenis kelamin, dan ras) dan tingkatan gizi individu (Gibson 2005). Indeks antropometri dapat dinyatakan salah satunya dalam bentuk Z-skor. Z-skor (atau skor standar deviasi) adalah deviasi (simpangan) nilai seseorang dari nilai median populasi referensi, dibagi dengan standar deviasi populasi referensi (Riyadi 2003):

Z-skor = ( ) ( )

Status gizi dalam ilmu gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna tersendiri. Misalnya kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”, kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U atau “TB/U”, dan kombinasi antara BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau “BB/TB” (Soekirman 2000).

Indikator BB/U

Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, maka nafsu makan atau jumlah makanan yang dikonsumsi akan berkurang yang mengakibatkan menurunnya berat badan. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Berdasarkan CDC (2000) indikator BB/U meliputi kurang (Z skor< -2.0), normal (Z skor≥ -2.0 s/d < -2.0), dan lebih (Z skor ≥ -2.0)

Indikator TB/U:

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan dalam keadaan normal tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan tinggi badan relatif tidak terlihat terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau (Soekirman 2000). Berdasarkan WHO (2007), indikator TB/U meliputi sangat pendek (Z skor< -3.0), pendek (Z skor≥-3.0 s/d < -2.0), dan normal (Z skor ≥ -2.0).

(14)

Indikator IMT/U

Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score (WHO 2007). Indeks IMT/U ini dihitung dengan cara berat badan dalam satuan kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam satuan meter yang telah dikuadratkan, kemudian hasilnya dibandingkan dengan referensi IMT pada umur yang sama dengan anak yang dinilai status gizinya (Riyadi 2003).

IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. Selain itu, indikator IMT/U juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan indikator ini sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa (Riskesdas 2010). Berdasarkan WHO (2007) kategori indikator IMT/U terdiri dari sangat kurus (Z skor< -3.0), kurus (Z skor≥3.0 s/d < -2.0), normal (Z skor≥2.0 s/d ≤ -2.0), dan gemuk (Z skor > 2.0).

Sarapan

Melewatkan makan pagi atau sarapan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa sehingga tubuh lemah karena tidak adanya suplai energi. Jika hal ini terjadi, maka tubuh akan membongkar persediaan tenaga yang ada di jaringan lemak tubuh. Tidak sarapan pagi menyebabkan kekosongan lambung selama 10-11 jam karena mungkin makanan terakhir yang masuk ke dalam tubuh adalah makan malam yang berkisar antara pukul 18.00- 20.00. Sarapan pagi akan menyumbangkan gizi sekitar 25% kebutuhan gizi ideal (Khomsan 2005), sedangkan menurut Depkes (1995), sarapan pagi sebaiknya menyediakan 20-30% kebutuhan gizi sehari.

(15)

seimbang (Depkes 1995). Penelitian Harahap et al. (1998) menunjukan bahwa jenis hidangan yang biasa dikonsumsi untuk sarapan pagi oleh anak sekolah pada umumnya terbatas pada makanan pokok saja dan jenis hidangan lainnya adalah makanan jajanan. Makanan seperti pisang goreng, singkong, atau ubi terkadang dikonsumsi sebagai pengganti sarapan pagi. Makanan ringan seperti itu hanya menyumbangkan energi sebesar 5% dari kebutuhan dan proteinnya hanya cukup untuk memenuhi 2% dari kebutuhan sehari (Khomsan 2005).

Secara kuantitas sarapan harus dapat memenuhi kecukupan setiap individu serta memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi tersebut mempunyai waktu metabolisme yang berbeda-beda. Pemecahan atau pembakaran karbohidrat akan berlangsung terlebih dahulu sampai 4 jam pertama, kemudian protein dan terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme tersebut. Jadi sarapan harus merupakan kombinasi yang baik diantara zat gizi yang di dalam makanan (Khomsan 2005).

Sarapan pagi kadang-kadang merupakan kegiatan yang tidak menggairahkan. Nafsu makan belum ada, menu di meja makan tidak menarik, dan waktu yang terbatas menyebabkan anak-anak tidak merasa bersalah meninggalkan sarapan. Peranan ibu dalam pembentukan kebiasaan makan pagi pada anak sangat menentukan, karena ibu terlibat langsung dalam penyediaan makanan rumah tangga. Faktor kesibukan ibu, khususnya yang bekerja, seringkali mengakibatkan ibu tidak sempat menyediakan sarapan. Membiasakan sarapan pada anak-anak memang tidak mudah (Khomsan 2005).

Pada dekade terakhir, makin banyak anak-anak di negara berkembang yang bersekolah dan tingkat prestasi mereka di sekolah masih mengecewakan. Kesehatan dan gizi yang buruk menjadi faktor yang menghalangi kemampuan mereka untuk belajar. Salah satu contoh adalah kejadian kelaparan di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Powell et al. (1998) terhadap anak usia sekolah di Jamaika menunjukkan tidak sarapan menghalangi kecerdasan kognitif anak dan cenderung terjadi pada anak-anak kurang gizi.

Studi mengenai kebiasaan sarapan anak usia sekolah 10-15 tahun di Andhra Pradesh, India menunjukkan bahwa hanya 42.8% anak usia sekolah yang sarapan secara teratur. Lebih dari separuh anak melewatkan sarapan dengan rentang waktu sarapan yaitu satu sampai dua kali dalam seminggu. Komposisi energi dan protein yang didapatkan apabila seorang anak sarapan adalah seperempat atau sepertiga dari kebutuhan energi dan protein mereka

(16)

dalam sehari. Ketidakcukupan energi dan protein akibat tidak sarapan menyebabkan tinggi persentase kekurangan gizi pada anak usia sekolah di India yaitu sebesar 40% pada siswa laki-laki sedangkan siswa perempuan sebesar 32.1% (Chitra & Reddy 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Hernawati (2003) pada siswi SLTP di kota Bogor menunjukan siswi yang sarapan pagi memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak sarapan pagi. Penelitian lain pada siswa sekolah dasar di kota Bogor menunjukan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan kadar glukosa darah namun tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kosentrasi belajar siswa (Faridi 2002).

Intervensi sarapan selama satu tahun pada siswa sekolah dasar di Jamaika menunjukan adanya perbaikan kecil yang signifikan terhadap kehadiran dan status gizi anak pada kelompok sarapan dibandingkan kelompok kontrol. Sarapan mengakibatkan peningkatan tingkat kehadiran anak di sekolah. Anak-anak dalam kelompok sarapan juga mengalami pertambahan berat badan serta peningkatan tinggi badan dan BMI (Body Mass Index) secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Kelompok dengan status gizi kurang mengalami peningkatan status gizi ketika mereka diberikan sarapan. Hasil lain dari penelitian ini adalah terdapat manfaat yang signifikan dari sarapan terhadap prestasi aritmatika terutama pada siswa kelas dua dan tiga, sedangkan pada siswa kelas empat dan lima terjadi peningkatan prestasi membaca dan mengeja (Powell et al.

1998).

Olahraga

Berolahraga berarti melakukan aktivitas fisik. Olahraga adalah segala aktivitas fisik yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial (Mutohir & Maksum 2007). Berbagai gerakan dilakukan manusia kemudian diformulasikan sebagai olahraga, seperti olahraga jalan kaki, olahraga bela diri, bulu tangkis, sepak bola, jogging, lari, berenang, mendayung, dan angkat besi (Kusmana 1997) .

Olahraga dapat digolongkan ke dalam bentuk statis dan dinamis. Olahraga statis lebih bersifat anerobik dan bertujuan untuk memperbesar dan memperkuat otot, salah satu contohnya angkat besi. Olahraga dinamis selalu bersifat aerobik dan mampu meningkatkan aliran darah sehingga sangat menunjang pemeliharaan jantung dan sistem pernapasan (Kusmana 1997).

(17)

Contoh dari olahraga dinamis, antara lain jalan kaki, jogging, lari, berenang, sepak bola, dan bulu tangkis (Kusmana 1997).

Pola olahraga terdiri dari tiga hal yaitu frekuensi, intensitas, dan tempo. Frekuensi adalah berapa kali seminggu olahraga dilakukan agar memberi efek latihan bagi kesehatan. Intensitas menunjukkan berat beban latihan yang diberikan agar memberikan efek latihan tanpa membahayakan. Sedangkan tempo mengandung arti jangka waktu atau lamanya latihan yang diberikan agar memberikan manfaat (Kusmana 1997).

Olahraga yang baik dan benar memiliki beberapa syarat antara lain olahraga dilakukan secara bertahap dimulai dari pemanasan 5-10 menit, diikuti dengan latihan inti minimal 20 menit dan diakhiri dengan pendinginan selama 5-10 menit. Seseorang untuk meningkatkan daya tahan tubuh (endurence) perlu waktu latihan atau olahraga antara ½-1 jam tiap harinya (Karim 2002). Menurut Irianto (2001) tahapan olahraga yang baik adalah:

1. Pemanasan (warming up)

Pemanasan dilakukan sebelum latihan bertujuan untuk menyiapkan fungsi organ tubuh agar mampu menerima pembebanan yang lebih berat pada saat latihan sebenarnya. Pemanasan yang dilakukan dengan benar akan mengurangi terjadinya cedera atau kelelahan yang berlebihan.

2. Kondisioning

Setelah pemanasan cukup diteruskan tahap kondisioning, yaitu melakukan berbagai rangkaian gerak dengan model latihan yang sesuai dengan tujuan program latihan, misalnya jogging untuk meningkatkan daya tahan paru-paru jantung. Takaran latihan terutama intensitas pada tahap ini dipertahankan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tingkat keterlatihan hingga menuju tahap penenangan.

3. Penenangan (cooling down)

Tahap ini bertujuan untuk mengembalikan kondisi tubuh seperti sebelum berlatih dengan melakukan serangkaian gerak berupa stretching dan aerobik ringan misalnya jalan di tempat atau jogging ringan. Tahapan ini ditandai dengan menurunnya frekuensi detak jantung, menurunnya suhu tubuh, dan semakin berkurangnya keringat.

(18)

Olahraga teratur dapat membantu proses pencernaan, meningkatkan pernyimpanan kalsium tulang, serta menguatkan jantung sehingga zat gizi dapat diantarkan ke sel-sel dengan efisien (Bredbenner et al. 2009). Selain itu, kombinasi olahraga dan diet yang tepat sangat bermanfaat untuk pertumbuhan anak karena merangsang tubuh untuk mengaktifkan hormon pertumbuhan sehingga anak bisa mencapai potensi maksimal yang dimilikinya (Kurniasih et al. 2011).

Daya Tahan Paru-Jantung

Kebugaran fisik (physical fitness) adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kerja sehari-hari secara efisien tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan sehingga masih dapat melakukan aktivitas fisik lainnya. Seseorang yang merasa sehat belum tentu bugar sebab untuk dapat mengerjakan tugas sehari-hari seseorang tidak hanya bebas dari penyakit saja tetapi juga dituntut memiliki kebugaran (Irianto 2001). Berikut ini merupakan Tabel komponen physical fitness.

Tabel 2 Komponen physical fitness

Komponen Uraian

Kekuatan otot (muscular strength)

Kemampuan otot untuk menghasilkan tenaga selama kontraksi

Daya otot

(muscular power)

Kemampuan otot untuk menghasilkan tenaga selama kontraksi cepat

Daya tahan otot (muscular endurance)

Kemampuan otot rangka untuk mempertahankan kontraksi berulang dalam waktu yang lama.

Daya tahan paru-jantung (cardiorespiratory

endurance)

Kemampuan paru-jantung menyuplai oksigen untuk kerja otot dalam jangka waktu yang lama.

Kelentukan (flexibility) Kemampuan persendian untuk bergerak secara leluasa

Komposisi tubuh Perbandingan berat tubuh berupa lemak dengan berat tubuh tanpa lemak (protein, mineral, dan air) yang dinyatakan dalam persentase lemak tubuh. Kecekatan (agility) Kemampuan untuk mengubah arah gerak tubuh

secara cepat dan tepat

*Sumber: Robergs & Roberts (2000)

(19)

dalam tubuhnya mampu mengambil oksigen dari udara secara optimal, mendistribusikannya ke seluruh tubuh dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan tubuh pada saat tersebut (Departmen of Health and Human Service 2006).

Daya tahan paru-jantung yang baik dapat diperoleh dengan takaran latihan yang sesuai meliputi frekuensi latihan, intensitas latihan, dan durasi latihan. Untuk mendapatkan kebugaran paru jantung diperlukan latihan teratur 3-5 kali/minggu, intensitas latihan yang ditingkatkan secara bertahap, dan melakukan latihan selama 20-60 menit tanpa berhenti (Irianto 2001).

VO2 Max

Kualitas daya tahan paru-jantung dinyatakan dengan VO2 max. VO2 max adalah volume maksimal O2 yang diproses oleh tubuh manusia pada saat melakukan kegiatan yang intensif. VO2 max ini adalah suatu tingkatan kemampuan tubuh yang dinyatakan dalam ml/menit/kg berat badan. Pada saat olahraga konsumsi oksigen otot meningkat. Peningkatan kebutuhan ini dipenuhi oleh meningkatnya CO dan ekstraksi oksigen dalam darah (Colan 1992).

Menurut Kuntaraf dan Kuntaraf (2006), terdapat lima faktor yang menentukan VO2 max seseorang yaitu jenis kelamin, usia, keturunan, komposisi tubuh, dan latihan.

1. Jenis kelamin

Setelah masa pubertas, wanita dalam usianya yang sama dengan pria umumnya mempunyai konsumsi oksigen maksimal yang lebih rendah dari pria.

2. Usia

VO2 maksimal meningkat secara linear dari 1 ½ menit pada usia 6 tahun sampai 3 ½ menit pada remaja 13 tahun.

3. Keturunan

Terdapat bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa variasi genetik berbeda dalam hal respon terhadap kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan. Seseorang mungkin saja mempunyai potensi untuk mengkonsumsi oksigen lebih tinggi dibandingkan orang lain.

4. Komposisi tubuh

Seseorang yang mempunyai lemak dengan persentase yang tinggi cenderung memiliki konsumsi oksigen yang lebih rendah, sedangkan mereka yang berotot kuat memiliki VO2 max yang lebih tinggi.

(20)

5. Latihan/olahraga

Latihan dan olahraga yang sistematik dapat memperbaiki konsumsi oksigen maksimal dari 5%-25% .

Berikut ini adalah Tabel VO2 max menurut kategori usia dan jenis kelamin. Tabel 3 VO2 max ideal menurut kategori usia dan jenis kelamin

Usia (tahun) VO2 max (ml/kg/menit)

Laki-laki Perempuan

10-19 47-56 38-46

20-29 43-52 33-42

30-39 39-48 30-38

40-49 36-44 26-35

50-59 34-41 24-33

60-69 31-38 22-30

70-79 28-35 20-27

*Sumber: Wilmore dan Costill (2005)

VO2 max memberikan indikasi bagaimana kemampuan tubuh menggunakan oksigen pada saat melakukan pekerjaan, misalnya sewaktu berolahraga, otot harus menghasilkan energi, satu proses dimana oksigen memegang peranan penting. Semakin banyak oksigen yang digunakan berarti semakin besar kapasitas untuk menghasilkan energi dan kerja. Seseorang yang mempunyai VO2 max tinggi dapat melakukan lebih banyak pekerjaan sebelum merasa lelah dibandingkan dengan mereka yang mempunyai VO2 max lebih rendah (Kuntaraf & Kuntaraf 2006). Pada saat istirahat, konsumsi oksigen sekitar 3-5 ml/lg/menit, dapat meningkat sampai 30 ml/kg/menit pada anak sehat setelah melakukan olahraga berat (Bernstein 2003).

Tes Cooper 12 menit

Tes lari 12 menit yang dirancang oleh Cooper merupakan tes lapangan yang relatif mudah dan murah, sebab cukup memerlukan lintasan lari atau dapat pula menggunakan jalan umum dan alat ukur waktu (jam tangan atau stopwatch). Tes cooper 12 menit dipergunakan untuk mengetahui daya tahan paru-jantung. Tes ini merupakan tes lapangan yang baik dan sering digunakan untuk tes kebugaran (Irianto 2001). Berikut ini Tabel kategori kebugaran berdasarkan tes Cooper.

(21)

Tabel 4 Kategori kebugaran (10-12 tahun) Kategori Kebugaran Jarak Yang Ditempuh (meter)

Laki-Laki Perempuan

Sangat Kurang Kurang Dari 1.608 Kurang Dari 1.528

Kurang 1.609 s/d 2.011 1.529 s/d 1.850

Sedang 2.212 s/d 2.413 1.851 s/d 2.252

Baik 2.414 s/d 2.815 2.253 s/d 2.654

Baik Sekali Lebih Dari 2.815 Lebih Dari 2.654

*Sumber: Kuntaraf & Kuntaraf (2006)

(22)

KERANGKA PEMIKIRAN

Anak sekolah adalah kelompok usia 6-12 tahun yang memiliki ciri-ciri masa pertumbuhan yang masih cepat, sangat aktif, mengalami masa belajar sehingga harus mendapatkan makanan yang bergizi dalam kuantitas dan kualitas yang tepat. Setiap anak usia sekolah memiliki perbedaan pola konsumsi yang dipengaruhi karakteristik individu (usia, jenis kelamin, besar uang jajan) dan sosial ekonomi keluarga (pendidikan, pendapatan, pekerjaan orangtua, dan besar keluarga) mereka masing-masing. Berdasarkan peneltian yang dilakukan Muniarti (2010) menyatakan bahwa Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2 memiliki rata-rata pendapatan orangtua yang tergolong miskin.

Pola konsumsi pangan anak-anak berdasarkan studi PMT AS tahun 1998 menunjukkan adanya pola kebiasaan makan dua kali sehari yaitu makan siang dan makan malam sehingga cenderung melewatkan sarapan atau makan pagi (Puslitbang Gizi et al. 1998). Salah satu faktor yang membentuk pola konsumsi anak tersebut adalah pola asuh keluarga yang dilatarbelakangi karakteristik sosial ekonomi keluarga masing-masing.

Sarapan memberikan beberapa manfaat penting yang dapat diperoleh oleh anak usia sekolah. Pertama, sarapan pagi menyumbangkan karbohidrat yang berguna untuk meningkatkan kadar gula darah. Kedua, pada dasarnya sarapan pagi dapat memberikan konstribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses fisiologis dalam tubuh (Khomsan 2005).

(23)

Gambar 1 Kerangka pemikiran kebiasaan sarapan dan olahraga kaitannya terhadap daya tahan paru-jantung pada anak Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2 Bogor

Keterangan:

= variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti

Prestasi Belajar

Kebugaran

Daya Tahan Paru-Jantung

Konsumsi Pangan

Kebiasaan Sarapan Kebiasaan Makan lain

Karakteristik Sosial Ekonomi

Karakteristik Contoh Karakteristik orang tua Kebiasaan Olahraga

(24)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah case study. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2, Kota Bogor. Penentuan lokasi SDN Kebon Kopi 2 ini dengan alasan sekolah ini memiliki rata-rata siswa berasal dari keluarga yang tergolong miskin. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2011.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2 sebesar 212 orang. Cara pengambilan calon contoh dengan purposive sampling yaitu siswa kelas 5 dan 6, kemudian menggunakan kriteria inklusi dengan pertimbangan yaitu siswa telah dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan baik, tidak memiliki riwayat penyakit kronik atau turunan (penyakit jantung, asma, dan lain-lain), tidak sedang dalam keadaan sakit selama penelitian dilakukan. Jumlah contoh yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 50 contoh (25 contoh laki-laki dan 25 contoh perempuan). Sistematika pengambilan contoh dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh

Purposive

siswa kelas 5 & 6

Penyaringan kriteria inklusi

Contoh perempuan

n=25 Pemilihan SDN Kebon Kopi 2 Bogor

Contoh laki-laki n=25 Siswa laki-laki

(25)

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, konsumsi pangan, kebiasaan sarapan, status gizi, kebiasaan olahraga, dan tingkat kebugaran. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan alat bantu kuesioner. Rincian jenis dan cara pengambilan data primer dapat dilihat pada Tabel 3. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah gambaran umum sekolah meliputi sejarah sekolah, jumlah guru dan pegawai sekolah, jumlah siswa (kelas 5 dan 6), fasilitas yang terdapat di SDN Kebon Kopi 2. Tabel 5 menunjukkan jenis dan cara pengumpulan data primer.

Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data primer

No. Variabel Jenis data Cara pengumpulan

data

1. Karakteristik contoh 1. Usia Menggunakan alat

kuesioner 2. Jenis kelamin

3. Besar uang jajan

2. Karakteristik sosial

ekonomi

1. Pendidikan orang tua 2. Pekerjaan orang tua 3. Pendapatan keluarga 4. Besar Keluarga

Menggunakan alat kuesioner

3. Konsumsi pangan 1. Sumbangan energi dan zat

gizi

Menggunakan metode food record

2. Kecukupan energi dan

protein

3. Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi

4. Kebiasaan sarapan 1. Frekuensi sarapan Menggunakan metode

food record 2. Waktu sarapan

3. Jenis makanan sarapan 4. Sumbangan terhadap energi dan zat gizi

5. Kebiasaan olahraga 1. Frekuensi olahraga

2. Jenis Olahraga

3. Durasi atau lama olahraga

Menggunakan alat kuesioner

5. Status gizi

antropometrik

1. Berat badan (kg) Berat badan diukur

dengan timbangan injak dengan ketelitian 0.1 kg dengan kapasitas 150 kg serta tinggi badan

dengan microtoise

dengan 0.1 cm dan kapasitas 200 cm 2. Tinggi badan(meter)

6. Daya tahan

paru-jantung

Jarak tempuh lari (meter) Menggunakan metode

tes cooper

(26)

Daya tahan paru-jantung diukur dengan menggunakan metode tes Cooper. Contoh yang akan dites diminta untuk menempuh jarak sejauh mungkin dalam waktu 12 menit, dengan cara berlari atau jalan, subjek tidak boleh berhenti diam atau istirahat di lintasan. Persiapan sebelum tes atau sehari sebelum tes yaitu contoh tidak boleh melakukan aktivitas fisik yang melelahkan, harus cukup tidur, makan teratur, tidak boleh minum kopi, coklat, minuman bersoda, makanan atau minuman yang mengandung antihistamin, diazepam seperti obat flu atau obat sakit badan (Budiman 2007).

Pada hari akan tes, persiapan yang dilakukan adalah tes dilakukan minimal 2 jam setelah makan ringan atau 4 jam setelah makan banyak, tidak boleh merokok, pakaian tidak ketat, cukup longgar, enak dipakai dan tidak mengganggu gerakan tubuh, untuk laki-laki memakai celana pendek (Budiman 2007). Prosedur tes Cooper yaitu:

1. Contoh berlari mengelilingi lintasan selama 12 menit, secepat mungkin.

2. Contoh selama 12 menit itu tidak boleh berhenti, tetapi harus berlari atau jalan.

3. Ukur jarak yang ditempuh oleh contoh selama 12 menit itu, dari jarak itu

dapat dihitung berapa VO2 max nya dalam ml O2/kg BB/menit (Budiman 2007).

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul. Coding adalah pemberiaan angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Cleaning yaitu melakukan pengecekan terhadap isian data yang di luar pilihan jawaban yang disediakan kuesioner atau isian data yang diluar kewajaran. Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk Tabel dan gambar serta dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia menggunakan program Microsoft Excel dan

SPSS 16 for Windows. Pengkategorian variabel penelitian dapat dilihat pada lampiran 7.

(27)

kecukupan zat gizi yang digunakan mengacu pada angka kecukupan gizi yang dianjurkan menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII tahun 2004. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah:

KGij = (Bj) x Gij x (BDD/100) Keterangan:

KGij = penjumlahan zat gizi dari setiap bahan makanan/golongan yang dikonsumsi

Bj = berat bahan makanan j (gram)

Gij = kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = % bahan makanan j yang dapat digunakan

(Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994)

Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap lanjutan dari perhitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase konsumsi aktual siswa dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut:

TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i

AKG = Kecukupan zat gizi iyang dianjurkan

(sumber: Hardinsyah & Briawan 1994)

Sumbangan konsumsi energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap konsumsi zat gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari makanan sarapan terhadap konsumsi pangan dalam sehari. Energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap kecukupan gizi diperoleh berdasarkan perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi dari makanan sarapan dengan kecukupan gizi.

Analisa data yang dilakukan adalah: 1. Deskriptif:

a. Karakteristik contoh dan sosial ekonomi keluarga, meliputi: usia, jenis kelamin, besar uang jajan, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga.

(28)

b. Kebiasaan sarapan, meliputi: frekuensi sarapan, waktu sarapan, jenis makanan sarapan, dan kontribusi zat gizi makanan sarapan.

c. Konsumsi dan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan vitamin C. d. Status gizi siswa

e. Kebiasaan olahraga f. Daya tahan paru-jantung

2. Uji beda t test dan mann-whitney U untuk mengetahui perbedaan variabel pada contoh laki-laki dan perempuan.

3. Uji korelasi Spearman untuk melihat hubungan antar variabel, yaitu:

a. Menganalisis hubungan antara kebiasaan sarapan dengan daya tahan paru-jantung.

b. Menganalisis hubungan antara kebiasaan olahraga dengan daya tahan paru-jantung.

Definisi Operasional

Contoh adalah siswa dan siswi kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar Negeri Kebon Kopi 2 Bogor .

Karakteristik contoh adalah kondisi contoh yang dapat mempengaruhi kebiasaan sarapan, meliputi umur, jenis kelamin, dan besar uang jajan

Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah kondisi keluarga contoh yang mempengaruhi kebiasaan sarapan, meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga.

Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh dari ayah dan ibu.

Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan utama dan tambahan yang dimiliki oleh ayah dan ibu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Pendapatan keluarga adalah pendapatan rata-rata per bulan yang dihasilkan dari pekerjaan utama atau tambahan kepala keluarga atau anggota keluarga lain yang dinilai dengan rupiah.

Besar keluarga adalah jumlah orang yang tinggal bersama dalam satu rumah dan makan dari sumber penghasilan yang sama.

Status gizi anak adalah keadaan tubuh contoh yang ditentukan berdasarkan perhitungan Berat Badan menurut Umur (BB/U) mengacu pada CDC (2000), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) dengan mengacu pada WHO (2007).

(29)

Penilaian konsumsi pangan adalah menilai kualitas konsumsi makanan serta kandungan zat gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi oleh contoh dengan menggunakan metode food record.

Kebutuhan zat gizi anak adalah kebutuhan zat gizi anak yang dianjurkan untuk dipenuhi oleh seorang anak berdasarkan Angka kecukupan Gizi dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004

Sarapan adalah kegiatan makan yang dilakukan contoh pada pagi hari dengan susunan hidangan minimal terdiri dari makanan pokok, lauk hewani atau nabati, dan minuman.

Olahraga adalah aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, berulang dan bertujuan memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani meliputi frekuensi olahraga, jenis olahraga, dan durasi atau lama olahraga.

Keluhan 5L adalah keluhan contoh sering merasakan lelah, lemah, letih, lesu,

atau lalai (5L) selama proses belajar.

Keluhan mengantuk adalah keluhan contoh sering merasakan mengantuk selama proses belajar.

Daya tahan paru-jantung adalah kemampuan tubuh contoh memakai oksigen untuk memproduksi energi selama proses belajar tanpa menimbulkan rasa lelah.

Tes cooper 12 menit adalah tes kebugaran untuk mengukur daya tahan paru-jantung dengan cara contoh berlari atau berjalan tanpa berhenti atau beristirahat di tempat selama 12 menit mengelilingi lintasan.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah

SDN Kebon Kopi 2 merupakan sekolah negeri dengan status akreditasi B yang terletak di jalan Kebon Kopi RT 04/09 Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1973 dan memperoleh perubahan status akreditasi B pada tahun 2007. Bangunan sekolah terbagi menjadi ruang kepala sekolah, enam ruang kelas, ruang guru, UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), rumah penjaga sekolah, mushola, WC, dan halaman sekolah. Fasilitas air dan listrik masing-masing berasal dari PDAM dan PLN.

Tenaga pengajar di SDN Kebon Kopi 2 terdiri dari guru tetap dan guru honorer yang berjumlah 10 orang yaitu 3 orang S1, 4 orang D2, 1 orang D1, 2 orang SPG, sedangkan untuk tenaga pendukung sebanyak 3 orang. Pada tahun pelajaran 2010/2011 sekolah memiliki 212 siswa yaitu 32 siswa kelas 1, 39 siswa kelas 2, 34 siswa kelas 3, 43 siswa kelas 4, 32 siswa kelas 5, dan 32 siswa kelas 6. Kegiatan belajar mengajar dilakukan pada pagi hari dimulai pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul 10.00 WIB untuk kelas 1-2 dan pukul 12.30 WIB untuk kelas 3-6.

Karakteristik Contoh Jenis Kelamin dan Usia

(31)

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan usia

Besar Uang Jajan

Besar uang jajan adalah sejumlah uang dalam rupiah yang diterima anak sekolah per hari untuk membeli jajanan. Perolehan uang jajan menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang jajan yang dimiliki (Napitu 1994). Sebaran contoh berdasarkan uang jajan terdapat pada Gambar 4. Lebih dari separuh contoh (52%) memiliki besar uang jajan contoh <Rp 3.000,00. Rata-rata besar uang jajan contoh laki-laki dan perempuan sebesar Rp 3.404,00±1838,0. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar uang saku contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan uang jajan

Hasil ini berbeda dengan penelitian di salah satu sekolah dasar di kota Bogor. Rata-rata besar uang saku siswa pada penelitian tersebut berkisar antara Rp 3.100,00-8.700,00 dengan persentase alokasi untuk jajan sebesar 40,9% (Rodiah 2010). Besar uang jajan pada hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Rodiah (2010). Hal ini mungkin disebabkan

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

96

88 92

4 12 8

P e rs e n ta se ( %

) 10-12 t ahun

13 t ahun

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

68 36 52 20 36 28 12 28 20 P e rs e n ta se ( % )

< Rp 3000

Rp 3000-5000

> Rp 5000

(32)

pendapatan keluarga pada penelitian ini hampir keseluruhan miskin sehingga berpengaruh terhadap besar uang jajan contoh yang lebih rendah.

Orang tua cenderung akan memberikan uang jajan untuk anaknya karena kesibukan mereka. Hal ini menyebabkan kebiasaan yang timbul adalah orang tua kurang memperhatikan asupan gizi anaknya, misalnya anak-anak tidak dibiasakan untuk sarapan pagi, anak hanya diberi uang jajan untuk membeli makanan di sekolah, membiasakan membeli makanan yang dijual di warung, sementara keseimbangan gizi dan kebersihannya kurang diperhatikan (Muasyaroh 2006).

Karakteristik Sosial Ekonomi Pendidikan Orang Tua

Salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga adalah pendidikan orang tua. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua terdapat pada Gambar 5 dan 6. Gambar 5 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah. Persentase pendidikan ayah contoh lebih besar (46%) pada tingkat SMA. Contoh laki-laki memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dibandingkan contoh perempuan. Hal tesebut terlihat dari persentase ayah contoh laki-laki (57%) dengan tingkat pendidikan SMA lebih banyak dibandingkan persentase ayah contoh perempuan (33%). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidkan ayah contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Salimar et al. (2010) menyebutkan sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga (ayah) di perkotaan minimal SLTP. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil Riskesdas (2010) karena masih ada ayah contoh yang tidak bersekolah. Hal ini diduga disebabkan kondisi sosial ekonomi yang rendah turut berpengaruh terhadap tingkat pendidikan orang tua.

(33)

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah

Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu terdapat pada Gambar 6. Persentase pendidikan ibu contoh lebih besar (36%) pada tingkat SD. Contoh laki-laki memiliki tingkat pendidikan ibu lebih baik dibandingkan contoh perempuan. Hal tesebut terlihat dari persentase ibu contoh laki-laki (33%) dengan tingkat pendidikan SMA lebih banyak dibandingkan persentase ibu contoh perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ibu contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu

Hasil penelitian ini berbeda dengan Salimar et al. (2010) yang menyebutkan sebagian besar tingkat pendidikan ibu di perkotaan minimal SLTP. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil Riskesdas (2010) karena masih ada ibu contoh yang tidak bersekolah. Sama halnya dengan pendidikan ayah contoh, hal ini diduga disebabkan kondisi sosial ekonomi yang rendah turut berpengaruh terhadap tingkat pendidikan orang tua. Manadijah

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

5 2

30 33 32

13 29 21 57 33 46 P e rs e n ta se ( % )

t idak sekolah

SD SM P SM A 0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

4 2

333333 3930 3632

26 30 P e rs e n ta se ( % )

t idak sekolah

SD

SM P

SM A

(34)

(2006) menyebutkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik

Pekerjaan Orang tua

Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu terdapat pada Gambar 7 dan 8. Gambar 7 menunjukkan persentase sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah. Persentase pekerjaan ayah contoh lebih besar pada jenis pekerjaan seperti pedagang keliling (25%), supir angkut, ojek (23%), dan pegawai swasta (23%). Hasil ini serupa dengan penelitian Salimar et al. (2010), yang menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan ayah sebagai pedagang atau wiraswasta. Pedagang keliling memiliki persentase lebih besar (30%) untuk jenis pekerjaan contoh laki-laki sedangkan persentase pekerjaan ayah contoh perempuan lebih besar (29%) pada supir angkut dan pegawai swasta. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan ibu contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05) .

Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah

Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu terdapat pada Gambar 8. Sebagian besar (79%) ibu contoh hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Persentase terbesar pekerjaan ibu baik contoh laki-laki (75%) dan perempuan (83%) adalah ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan ibu contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

0 10 20 30

laki-laki perem puan t ot al

13

5

9

17 19 18

30

19

25

17

29

23

17

29

23

4

2

t idak bekerja buruh bangunan, angkut

Pedagang keliling Supir angkut ,ojek

Pegaw ai sw ast a PNS

(35)

Hasil ini berbeda dengan penelitian Salimar et al. (2010). Salimar et al.

(2010) menyebutkan bahwa persentase ibu yang bekerja di Indonesia lebih besar dibandingkan yang tidak bekerja, sedangkan pada penelitian ini berbanding terbalik. Sebagian besar ibu contoh tidak bekerja kemungkinan yang menyebabkan kondisi ekonomi contoh sebagian besar miskin.

Gambar 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu

Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama (Sanjur 1982). Gambar 9 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan besar keluarga. Persentase tertinggi contoh laki-laki dan perempuan (46%) memiliki besar keluarga yang tergolong kecil (≤ 4 orang), sedangkan persentase terendah (4%) adalah besar keluarga dengan jumlah anggota lebih dari enam orang. Rata-rata besar keluarga contoh adalah 4,9±1,5 orang. Hasil ini hampir serupa dengan Riskesdas (2010) yang menunjukkan rata-rata besar keluarga anak usia sekolah di daerah perkotaan sebesar 4,8±1,4 orang. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara besar keluarga contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

4 9 6

17

4 11

4 4 4

75 83 79

pegaw ai sw ast a pedagang keliling

(36)

Gambar 9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang di antara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan kurang relatif tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989)

Pendapatan

Pendapatan adalah pendapatan rata-rata per bulan yang dihasilkan dari pekerjaan utama atau tambahan kepala keluarga atau anggota keluarga lain yang dinilai dengan rupiah. Pendapatan pada suatu keluarga dapat dikategori menjadi miskin dan tidak miskin dengan menggunakan garis kemiskinan menurut kabupaten/kota. Batas garis kemiskinan untuk kota Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 278.530,00 (BPS 2010). Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga terdapat pada Gambar 10.

Sebagian besar contoh laki-laki (76%) dan perempuan (88%) memiliki pendapatan keluarga yang termasuk dalam kategori miskin. Persentase pendapatan keluarga miskin untuk keseluruhan contoh sebesar 82%. Rata-rata pendapatan keluarga contoh sebesar Rp 165.637,00 ± 105.765,00. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

48 44 46

36 44 40

16 12 14

P

e

rs

e

n

ta

se

(

%

)

kecil (< 4 orang)

sedang (4-6 orang)

besar (> 6 orang)

(37)

Gambar 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan

Rata-rata pendapatan keluarga yang didapatkan dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Syafitri pada tahun 2010 di salah satu sekolah dasar negeri di Kota Bogor. Menurut Syafitri (2010), rata-rata pendapatan keluarga di sekolah dasar tersebut di atas Rp 3.000.000,00 atau termasuk dalam kategori cukup tinggi. Hal ini menunjukkan tidak semua keluarga di daerah perkotaan memiliki pendapatan yang homogen.

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas atau miskin akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Syafiq 2007). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Status Gizi Anak

Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan, dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik buruknya status gizinya (Riyadi 2003). Status gizi anak dapat diukur menggunakan indikator anthropometri seperti BB/U, TB/U, dan IMT/U.

BB/U

Indikator BB/U merupakan kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”. Indikator BB/U membagi status gizi menjadi tiga kategori yaitu gizi kurang, normal, dan lebih.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

76

88

82

24

12 18

p

e

rs

e

n

ta

se

(

%

)

m iskin

t idak m iskin

(38)

Sebaran contoh berdasarkan BB/U dapat dilihat pada Gambar 11. Lebih dari separuh contoh laki-laki (56%) memiliki status gizi kurang. Contoh perempuan yang memiliki persentase status gizi baik (64%) lebih besar dibandingkan contoh laki-laki (44%). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi BB/U contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Persentase status gizi normal pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian Hastuti (2003). Menurut Hastuti (2003) persentase status gizi berdasarkan indeks BB/U siswa sekolah dasar di kabupaten Sukaharjo sebagian besar normal (73%) dan sisanya (27%) berstatus gizi kurang. Hal ini kemungkinan disebabkan hampir seluruh contoh memiliki kondisi ekonomi yang miskin serta kuantitas dan kualitas konsumsi zat gizi contoh belum cukup baik sehingga berdampak pada status gizi kurang pada contoh. Menurut Supariasa et al. (2001), mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).

Gambar 11 Sebaran contoh berdasarkan BB/U

TB/U

Tinggi badan dalam keadaan normal tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Indikator TB/U merupakan kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengan “TB/U”. Indikator TB/U membagi status gizi menjadi tiga kategori yaitu sangat pendek, pendek, dan normal (WHO 2007). Sebaran contoh berdasarkan TB/U dapat dilihat pada Gambar 12.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perem puan t ot al

56

36

46 44

64

54

P

e

rs

e

n

ta

se

(

%

)

kurang

norm al

(39)

Gambar 12 Sebaran contoh berdasarkan TB/U

Lebih dari separuh (68%) contoh memiliki status gizi normal menurut TB/U. Persentase contoh laki-laki (32%) dan perempuan (28%) dengan status gizi pendek juga cukup besar, sedangkan untuk kategori sangat pendek hanya terdapat pada contoh perempuan sebesar 4%. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau (Soekirman 2000). Persentase status gizi pendek cukup besar pada contoh menunjukkan status gizi yang buruk pula pada masa lampau. Riskesdas (2010) menunjukkan prevalensi kependekan pada anak laki laki lebih tinggi yaitu 36,5% daripada anak perempuan yaitu 34,5%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian kemungkinan disebabkan karena jumlah contoh yang lebih sedikit dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2010. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi TB/U contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05)..

IMT/U

IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. Selain itu

Gambar

Tabel 4 Kategori kebugaran (10-12 tahun)  Kategori Kebugaran  Jarak Yang Ditempuh (meter)
Gambar  1    Kerangka  pemikiran  kebiasaan  sarapan  dan  olahraga  kaitannya  terhadap daya tahan paru-jantung pada anak Sekolah Dasar Negeri  Kebon Kopi 2 Bogor
Gambar 2 Sistematika pengambilan contoh Purposive
Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data primer
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum digunakan sebagai template untuk proses amplifikasi, sampel DNA yang telah diisolasi selanjutnya diukur konsentrasi DNA-nya menggunakan alat spektrofotometer

Pada penelitian yang berlangsung selama bulan April 2013 di kedua lokasi tersebut, ditemukan perilaku pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar aturan lalu lintas dan

Setiawan, Tjee Yeni, 2005, “Perencanaan Persediaan Bahan Baku Ikan Tuna (Studi Kasus di PT jui Fa International Foods)”, Skripsi di Program Studi Teknik Industri, Fakultas

[r]

I.Otlihat dari prcstasinya dt SMU karakteristik mahasiswa S-1 Statistika dapat dikelompokkan mcnjadi dua Kelompok pcrtama yaitu kclompok yang mcmpunyai nilai

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada maka penyusun tertarik untuk melakukan penelitian lapangan sekaligus dijadikan skripsi dengan judul: Tinjauan Hukum

Merupakan batuan hasil malihan dari batuan yang sudah ada (Beku, sedimen maupun metamorf) akibat pengaruh Tekanan dan Panas sehingga merubah stuktur ,tekstur. dan komposisi

Sutrisno (2015:109) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali