• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam konteks Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No.10 tahun 1992, bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup material dan spritual yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Martinez et al (2003) menyatakan bahwa keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang kuat dan sukses (strong and successful families) dalam mengatasi berbagai masalah, yaitu : 1) kesehatan, indikatornya keluarga merasa sehat secara fisik, mental, emosional dan spiritual yang maksimal; 2) ekonomi, indikatornya keluarga memiliki sumberdaya ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (a living wage) melalui kesempatan bekerja, kepemilikan aset dalam jumlah tertentu dan sebagainya; 3) kehidupan keluarga yang sehat, indikatornya bagaimana keluarga terampil dalam mengelola resiko, kesempatan, konflik dan pengasuhan untuk mencapai kepuasan hidup; 4) pendidikan, indikatornya kesiapan anak untuk belajar di rumah dan sekolah sampai mencapai tingkat pendidikan yang diinginkan dengan keterlibatan dan dukungan peran orang tua hingga anak mencapai kesuksesan. 5) kehidupan bermasyarakat, indikatornya jika keluarga memiliki dukungan seimbang antara yang bersifat formal ataupun informal dari anggota lain dalam masyarakatnya, seperti hubungan pro-sosial antar anggota masyarakat, dukungan teman, keluarga dan sebagainya.; dan 6) perbedaan budaya dalam masyarakat yang ada dapat diterima melalui keterampilan interaksi personal dengan berbagai budaya.

Keterbatasan-keterbatasan tercapainya kesejahteraan berasal dari faktor internal, seperti kesakitan, kebodohan, ketidaktahuan, ketidakterampilan, ketidakpemilikan teknologi dan ketidakpemilikan modal; serta faktor eksternal seperti, terbatasnya akses fasilitas pembangunan, kondisi alam yang kurang mendukung dan struktur ekonomi yang kurang mendukung peluang berusaha (Mongid 1995 dalam

Mayangsari 2005). Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (Sukirno 1985 dalam Rambe 2004). Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasaan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi

pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasaan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut (Sawidak 1985).

Dimensi kesejahteraan keluarga sangat luas dan kompleks. Taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang terlihat (fisik dan kesehatan) tapi juga yang tidak dapat dilihat (spiritual). Oleh karena itu, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Puspitawati 2005), sebagai berikut:

1. Economical well-being: indikator yang digunakan pendapatan (GNP, GDP, keluarga) & aset nasional (anggaran, devisa).

2. Social well-being: indikator yang digunakan tingkat pendidikan (SD-SMP-SMA-PT) dan pekerjaan (white collar = elit/prof., sarjana & blue collar = proletar/buruh pekerja)

3. Physical well-being: indikator yang digunakan status gizi, status kesehatan, tingkat mortalitas

4. Psychological/spiritual mental: indikator yang digunakan sakit jiwa, stres, bunuh diri, perceraian, aborsi.

Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh:

1. Faktor ekonomi

Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pengembangan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi. Strategi pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata ditujukan untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mampu menciptakan kondisi yang baik dalam mengatasi masalah kemiskinan. 2. Faktor budaya

Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan budaya yang dicerminkan dengan penghayatan dan pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini dimaksudkan untuk menetralisir akibat dari adanya pengaruh budaya luar. Adanya kemantapan budaya diharapkan akan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya.

3. Faktor teknologi

Peningkatan kesejahteraan keluarga juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan dan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan modal.

4. Faktor keamanan

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan pula oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin. Hal ini dimaksudkan agar program-program pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik dan hasil-hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kesejateraan masyarakat.

5. Faktor kehidupan Agama

Kesejahteraan keluarga akan menyangkut masalah kesejahteraan spiritual, seperti ketakwaan. Oleh karenanya, program peningkatan kesejahteraan keluarga harus didukung oleh kehidupan beragama yang baik. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lainnya. Sehingga pemahaman keagamaan dan pelaksanaan syariat akan mampu meningkatkan kesejahteraan spiritualnya.

6. Faktor kepastian Hukum

Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum. Sebagai contoh : suatu keluarga akan mampu mengusahakan lahannya dengan baik, kalau kepastian akan hak milik lahan tersebut terjamin. Kepastian hukum atas berlakunya peraturan upah minimum yang diterima oleh pekerja pabrik hal ini akan memperbesar kemungkinan pekerja atau keluarga dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Keluarga

Ferguson, Horwood dan Beutrais, diacu dalam Sumarwan dan Hira (1993), menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga dapat dibedakan kedalam kesejahteraan ekonomi (family economic well-being) dan kesejahteraan material (family material well-being). Kesejahteraan ekonomi keluarga, diukur dalam pemenuhan akan input

keluarga (pendapatan, upah, aset dan pengeluaran), sementara kesejahteraan material diukur dari berbagai bentuk barang dan jasa yang diakses oleh keluarga.

Kesejahteraan keluarga pada hakekatnya mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material dan spritual. Pengukuran kesejahteraan material relatif lebih mudah

dan akan menyangkut pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik sandang, pangan, dan papan, serta kebutuhan lainnya yang dapat diukur dengan materi. Secara umum, pengukuran kesejahteraan material ini dapat dilakukan dengan mengukur tingkat pendapatan keluarga (Syarief dan Hartoyo 1993)

Cara mengukur kesejahteraan dapat dilihat dari dua pendekatan (Suandi 2007), yakni :

1. Kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif. Pendekatan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu, baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku, contohnya ukuran kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Menurut Milligan

et al (2006), ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan dan lain-lain.

2. Kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan subjektif. Milligan et al (2006) mengatakan kesejahteraan denga pendekatan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain. Hasil penelitian Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat sangat dirasakan menurut ukuran tingkat kepuasn finansial yang dimiliki dan dikuasai.

Kesejahteraan Objektif

Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan, yaitu yang dilakukan oleh BPS dan BKKBN. BPS mengukur kesejahteraan dilihat dari konsep kebutuhan minimun (kalori) proxy pengeluaran. Sedangkan BKKBN mengukur kesejahteraan dengan mengambil keluarga batih/inti sebagai unit pengertian. BKKBN membagi kesejahteraan keluarga ke dalam tiga kebutuhan yakni :

1. Kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari variabel pangan, sandang, papan, dan kesehatan.

2. Kebutuhan sosial psikologis (social psychological needs) yang terdiri dari variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, intrraksi sosial internal dan eksternal

3. Kebutuhan pengembangan (developmental needs) yang terdiri dari variabel tabungan, pendidikan khusus, akses terhadap informasi.

Berdasarkan indikator tersebut, BKKBN mempunyai kriteria khusus dalam mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga di seluruh Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori, yaitu keluarga : (1) Pra Sejahtera; (2). Sejahtera I; (3) Sejahtera II; (4) Sejahtera III ; dan (5) Sejahtera III plus. Dari kelima kategori tersebut, keluarga yang memiliki tingkat paling minim (disebut keluarga miskin) adalah keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS-I). Sedangkan keluarga yang memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik (tidak miskin) adalah Keluarga Sejahtera (KS) II, III, dan III plus.

Menurut definisi yang dibuat BKKBN (2001), masing-masing tahapan keluarga sejahtera berturut-turut adalah sebagai berikut :

1. Keluarga Pra-Sejahtera (Pra-KS) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan agama, pangan, sandang, papan, kesehatan dan KB, atau keluarga yang belum memenuhi salah satu atau lebih indikator-indikator Keluarga Sejahtera I, yaitu:

Alasan ekonomi :

a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.

b. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian berbeda di rumah, bekerja, sekolah dan bepergian.

c. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

d. Bila anak sakit dan atau pasangan usia subur ingin ber-KB, dibawa ke sarana kesehatan.

Bukan alasan ekonomi :

e. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga. 2. Keluarga Sejahtera Tahap I (KS-I)adalah keluarga yang telah dapat memenuhi

kebutuhan dasarnya secara maksimal (a s/d e), tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan psikologisnya.

f. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur

g. Paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan daging/telur/ikan

h. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun

i. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni rumah j. Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir dalam kondisi sehat

l. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa baca tulis huruf latin. m. Seluruh anak berusia 5-15 tahun bersekolah pada saat ini

n. Bila anak hidup dua atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil).

3. Keluarga Sejahtera Tahap II (KS–II) adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (a s/d m), tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti :

o. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama

p. Sebagian dari penghasilannya dapat disishkan untuk tabungan keluarganya. q. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dapat

dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.

r. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

s. Mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang 1 sampai dengan 6 bulan sekali.

t. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/radio/TV/majalah.

u. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi sesuai kondisi daerah.

4. Keluarga Sejahtera Tahap III (KS-III)adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan pengembangannya (a s/d t), namun kepedulian sosialnya belum terpenuhi, yaitu :

v. Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk material.

w. Kepala keluarganya atau anggota keluarganya berperan secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan-yayasan sosial keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan dan sebagainya.

5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus (KS-III Plus) adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat (a s/d w).

Kesejahteraan Subjektif

Pendekatan yang digunakan seseorang mengenai kesejahteraan subjektif adalah kebahagiaan dan kepuasan. Namun secara operasional, menurut Campbell, Converse dan Rodgers dalam Sumarwan dan Hira (1993), variabel kepuasan merupakan

indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan, karena dapat lebih mudah melihat gap antara aspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan sebjektif dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarwan dan Hira (1993) pada delapan negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat kepuasan (kesejahteraan) finansial keluarga pedesaan dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan keluarga, aset, sikap (perceived locus of control) dan kecukupan pendapatan.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Menurut Handoko (2000) yang dimaksud dengan tingkat kepuasan adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dirasakan seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu yang diperolehnya, atau dengan kata lain tingkat kepuasan merupakan gambaran perasaan yang diperoleh dari suatu tindakan yang telah diperbuat (Prasetyo 2004).

Menurut Guhardja et al (1992), puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dengan nilai yang dianut oleh orang tersebut dan tujuan yang diinginkan. Apabila tujuan yang dicapai sesuai dengan nilai yang dianut maka diharapkan kepuasan akan terpenuhi. Kepuasan merupakan output yang telah diperoleh akibat kegiatan suatu manajemen. Ukuran kepuasan ini dapat berbeda-beda untuk setiap individu atau berdifat subjektif.

Bryant (1990) mengatakan bahwa kegiatan rumah tangga yang dapat diartikan sebagai penggunaan sumberdaya keluarga baik sumberdaya manusia maupun fisik, dimana kedua sumberdaya tersebut dapat memberikan kepuasan bagi rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya, bekerja akan memberikan kepuasan secara tidak langsung sedangkan konsumsi dan hiburan dapat memberikan kepuasan secara langsung. Ditambahkannya pula bahwa rumah tangga memperoleh kepuasan dari konsumsi barang dan jasa serta menggunakan sumberdaya yang terbatas itu untuk memperoleh akses bagi mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rumah tangga atau keluarga dengan melalui segala pengorbanan (cost) dari segala keputusan yang diambil . Kegiatan yang dilakukan tujuan akhirnya adalah mencapai kepuasan minimal sama dengan pengorbanan yang dilakukan.

Rice dan Tucker (1976) mengemukakan bahwa dalam studi tentang keluarga, analisis tentang konsep kepuasan terhadap perkawinan atau rumah tangga banyak berhubungan dengan bagaimana pola pengambilan keputusan yang berlaku dalam keluarga tersebut. Konsep kepuasan dalam perkawinan berhubungan dengan dua aspek

utama yaitu tentang pelaku yang membuat keputusan dalam keluarga dan pola kesepakatan tentang bagaimana sebaiknya keputusan dalam keluarga itu tersebut.

Konsep kepuasan berumah tangga berdasarkan pola pengambilan keputusan yang berlaku ini juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan kelompok sosial dimana individu pembentuk keluarga itu berasal. Perbedaan ini pada tahap selanjutnya dapat mengakibatkan tekanan emosional (stress) dalam proses pengambilan keputusan di keluarga. Kondisi perbedaan pemahaman terhadap harapan peran dalam berumah tangga yang tidak diusahakan untuk diperjelas dasar masalahnya, untuk kemudian diselesaikan, diprediksi akan meningkatkan intensitas dan kekerapan konflik dalam proses pengambilan keputusan di keluarga tersebut (Rice dan Tucker 1976).

Sumarti (1999) menjelaskan bahwa keluarga berupaya menjaga (mempertahankan) keseimbangan agar dapat mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Keseimbangan yang dimaksud adalah: 1) Keseimbangan fisik. Adanya pembagian kerja dalam keluarga; bapak menjadi buruh tani, ibu menjadi pengrajin bata, anak menjadi buruh pabrik atau buruh bangunan. Artinya untuk mensejahterakan keluarga, mereka memerlukan sumberdaya untuk beragam pekerjaan; hasil buruh tani untuk mencapai status (tanah), hasil membuat bata untuk pendidikan (drajat) dan harta benda (sepeda motor), hasil buruh pabrik/bangunan untuk makan dan menabung (bahan bangunan) rumah; 2) Keseimbangan sosial: menjalin keguyuban (rukun) dengan tetangga dan rasa hormat pada pemimpin (pelindung); dan 3) Keseimbangan batin: menjalani hidup sesuai perannya (rasa tenteram).

Strategi Koping

Aspek ekonomi merupakan salah satu fungsi keluarga yang sangat vital bagi kehidupan keluarga, yang sekaligus akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan seseorang. Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga diantaranya pengalokasian sumberdaya untuk pelayanan kesejahteraan dengan memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi produk diantara anggota keluarga (Soelaeman dalam Tati 2004).

Masalah ekonomi timbul dari hilangnya kontrol terhadap pengeluaran. Keluarga dengan pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan mereka dapat mengurangi kebutuhan atau tuntutan mereka dengan menghemat konsumsi dana atau dengan meningkatkan pendpaatan keluarga. Dengan melakukan penyesuaian ini, keluarga dapat melakukan kontrol terhadap pengeluaran. Hasil penelitian pada keluarga di Iowa tahun 1989 menunjukkan bahwa keluarga dengan pendapatan rendah

akan mengalami masalah ekonomi yang lebih sulit. Keluarga yang mengalami tekanan ekonomi yang lebih sulit harus melakukan usaha yang lebih besar untuk beradaptasi dengan kesulitan tersebut (Conger dan Elder 1994; Elder, Roberston dan Alderlt 1994).

Tekanan ekonomi merupakan cara pandang seseorang dalam menanggapi dan menerima keadaan ekonomi keluarga yang dirasakannya, terutama dalam mempersepsi pengaturan keuangan (belanja), pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan materi keluarga. Tekanan ekonomi merupakan konsep yang mengacu pada aspek kehidupan ekonomi sebagai pemicu stres yang potensial bagi individu dan keluarga. Ketidakstabilan ekonomi dan ketegangan ekonomi merupakan indikator subjektif dari hal yang dirasakan individu terhadap situasi finansial (Voydanoff 1984).

Adaptasi keluarga menggambarkan tindakan yang diambil sebagai respon terhadap keterbatasan ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kesulitan ekonomi meningkatkan tekanan dan kebutuhan akan penyesuaian terhadap kehidupan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Conger dan Elder (1994) dan Elder, Roberston dan Ardelt (1994) menemukan bahwa kondisi ekonomi yang meliputi rendahnya pendapatan per kapita, pekerjaan yang tidak tetap, rasio hutang dan aset yang tidak seimbang, dan kehilangan pendapatan, berhubungan secara signifikan dengan tekanan ekonomi.

Dalam menghadapi kemiskinan, keluarga menerapkan strategi koping. Koping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres (Achir Yani 1997). Menurut Sarafino (2002), koping adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Dalam pandangan Haber dan Runyon (1984), koping adalah semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif dan positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stres.

McCubbin dan Patterson (1980) mengembangkan model adaptasi keluarga dalam menghadapi tekanan. Dalam model ABCX T ganda (Gambar 1), beberapa stressor utama yang bertumpuk menjadi stessor keluarga (AA) ini berpengaruh penting dalam tingkat adaptasi keluarga, karena krisis keluarga berkembang dan berubah dalam satu kurun waktu, penumpukan stressor (AA) juga diakibatkan oleh perubahan siklus hidup dan ketegangan yang tidak terselesaikan. Persepsi keluarga terhadap stressor (CC) pada dasarnya menyangkut penilaian keluarga terhadap stres yang dialami. Penilaian dan adanya tuntutan keluarga secara sadar atau tidak sadar memunculkan

interpretasi dari pengalaman sebelumnya. Untuk memenuhi berbagai tuntutan, keluarga memiliki potensi yaitu sumberdaya dan kemampuan. Dalam model ABCX T ganda, sumberdaya dan kemampuan keluarga terdiri dari sumberdaya pribadi anggota keluarga dan sumber-sumber internal dalam sistem keluarga (faktor BB), yang mencakup semua karakteristik, kompetensi dan makna personal termasuk pendidikan, kesehatan, karakteristik kepribadian dan dukungan masyarakat yang merupakan lembaga di luar keluarga yang dapat diakses untuk memenuhi tuntutan keluarga (faktor BBB).

Dalam model ini, faktor tipologi keluarga (faktor T) menjadi suatu hal yang penting karena tipologi keluarga merupakan suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi bagaimana penyesuaian dan adaptasi keluarga dilakukan, karena keluarga memegang teguh kepercayaan atau asumsi-asumsi yang disebut skema keluarga, yakni hubungan satu sama lain dan hubungan keluarga dengan masyarakat dan sistem. Untuk mengatasi berbagai stressor dan krisis, keluarga melakukan koping adaptif (PSC). Dalam proses koping, keluarga mengalokasikan sumberdaya dan kemampuan semua anggota keluarganya untuk memenuhi berbagai tuntutan yang dihadapi keluarga.Adaptasi keluarga (faktor XX) merupakan hasil dari upaya keluarga untuk mencapai tingkatan baru dari keseimbangan dan penyesuaian setelah krisis keluarga.

CC X R T CCC PSC XX BB BBB AA Keterangan :

X : Krisis keluarga / masalah keluarga R : Tingkat regeneratif keluarga T : Tipologi keluarga

AA : Setumpuk stressor keluarga BB : Sumberdaya koping keluarga CC : Persepsi keluarga terhadap stressor CCC : Skema keluarga

XX : Adaptasi keluarga

Gambar 1 Model ABCX T ganda (McCubbin & Patterson, 1987).

Menurut Friedman (1998), terdapat dua tipe strategi koping keluarga, yaitu internal atau intrafamilial dan eksternal atau ekstrafamilial. Ada tujuh strategi koping internal, yaitu :

1. Mengandalkan kemampuan sendiri dan keluarga. Untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, keluarga seringkali melakukan upaya untuk menggali dan mengandalkan sumberdaya yang dimiliki.

2. Penggunaan humor. Menurut Hott (dalam Friedman 1998), perasaan humor merupakan aset yang penting dalam keluarga karena dapat memberikan perubahan sikap keluarga terhadap masalah yang dihadapi. Humor juga diakui sebagai suatu cara bagi seseorang untuk menghilangkan rasa cemas dan stress.

3. Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga). Cara seperti ini dapat membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta dapat mengatasi tingkat stres, ikut serta dengan aktivitas setiap anggota keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat dalam sebuah keluarga.

4. Memahami suatu masalah. Menurut Folkman et al (1985), keluarga yang menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian penyebab stress.

5. Pemecahan masalah bersama. 6. Fleksibilitas peran.

7. Normalisasi. Salah satu strategi koping keluarga yang biasa dilakukan untuk menormalkan keadaan sehingga suatu keluarga dapat melakukan coping terhadap sebuah stressor jangka panjang yang dapat merusak kehidupan dan kegiatan keluarga. Knafl dan Deatrick (Friedman 1998) mengatakan bahwa normalisasi merupakan cara untuk mengkonseptualisasikan bagaimana keluarga mengelola ketidakmampuan seorang anggota keluarga, sehingga dapat menggambarkan respons keluarga terhadap stress.

Sedangkan strategi koping eksternal ada empat, yaitu :

1. Mencari informasi. Keluarga yang mengalami masalah memberikan respon secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan stressor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga menilai stressor secara lebih akurat.

2. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas.

3. Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi koping keluarga eksternal yang utama. Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan bersama. 4. Mencari dukungan spiritual. Beberapa studi mengatakan keluarga berusaha

mencari dukungan spiritual untuk mengatasi masalah. Kepercayaan pada Tuhan dan berdoa merupakan cara paling penting bagi keluarga dalam mengatasi stres. Strategi Ekonomi

Dalam konteks bertahan hidup dalam tekanan ekonomi, strategi koping

Dokumen terkait