• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Internal dan Eksternal

Modal Manusia

Dari berbagai hasil penelitian terdahulu, maupun berangkat dari beberapa konsep bahwa baik modal manusia, modal sosial dan modal lainnya semakin diakui sebagai faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara. Modal manusia ini meliputi potensi yakni keterampilan atau kemampuan yang dimiliki orang untuk melakukan tugas tertentu (Suharto, 2005).

Harbison dan Myers (Rucbini, 2001) menyebutkan bahwa pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, keahlian dan keterampilan, serta kemampuan orang-orang dalam suatu masyarakat. Secara politis pengembangan sumberdaya manusia dimaksudkan untuk mempersiapkan partisipasi masyarakat dalam proses kehidupan politik, khususnya dalam kehidupan demokrasi. Sementara itu, ditinjau dari sudut budaya dan sosial pengembangan sumberdaya manusia akan membantu kehidupan yang tenteram, kaya tradisi dan kehidupan yang penuh arti bagi masyarakat. Pendek kata, pembangunan sumberdaya manusia akan membuka pintu dan kunci bagi modernisasi.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa jalan untuk mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia dalam pembangunan. Pertama, yang sangat jelas dan konvensional adalah dengan pendidikan formal baik di sekolah umum maupun sekolah kejuruan. Kedua, pembangunan kualitas manusia bisa dibangun di lingkungan kerja (on the job training) yang dilakukan secara formal maupun informal, serta melalui berbagai organisasi profesi. Ketiga, ini bisa dilakukan dengan pembangunan diri sendiri melalui pencaharian pengetahuan dan keahlian, kursus dan lainnya.

Sejalan dengan yang dikemukakan di atas, menurut para pakar ”Human Capital Theory” Becker et al bahwa modal manusia merupakan stok dari kemampuan (skill) dan berpengetahuan produktif (productive knowledge) yang terdapat pada orang-orang di masyarakat.

Dari beberapa definisi dan pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa modal manusia adalah aset yang berhubungan dengan intelektualitas dan pengalaman yang dimiliki seseorang melalui pendidikan formal, informal

sehingga dapat melahirkan kemampuan untuk bertindak secara tepat dapat efektif dalam berbagai situasi dan kondisi menguntungkan serta berkelanjutan.

Modal Sosial

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat yang bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial petama kalinya dengan sebuah tulisan yang berjudul The Rural School Community Centre tahun 1916 (Syahra, 2003).

Syahra (2003) menyebutkan teori Hanifan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Kemudian teori Hanifan ini dikembangkan oleh di dunia akademis sejak akhir 1980-an oleh Pierre Bourdieu, dalam tulisan yang berjudul ”The Forns of Capital”, tahun 1986. Disusul oleh penelitian yang dilakukan Coleman dan tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh Putnam dan Fukuyama.

Dua tokoh utama yang mengembangkan modal sosial, Putnam dan Fukuyama memberikan definisi modal sosial yang penting, walaupun berbeda tetapi mempunyai kaitan yang erat (Spellerbergh, 1997), terutama menyangkut konsep kepercayaan (trust). Putnam mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Fukuyama mengemukakan bahwa modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Selanjutnya dikemukakan bahwa modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama antar para anggota suatu kelompok

yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Sebagai contoh bahwa kalau di antara anggota kelompok itu mengharapkan bahwa anggota- anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan itu ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien (Fukuyama, 2000). Modal sosial dapat juga diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas.

Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaan- perbedaan. Modal sosial ini mirip dengan modal-modal lainnya, dalam arti bersifat produktif. Sehingga modal sosial dapat dijelaskan pula sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjukan pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Modal sosial dapat melalui perubahan-perubahan dan interaksi antar anggota masyarakat atau pelaku-pelaku sosial.

Menurut Prusak (2001), modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia, seperti; rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam suatu jaringan kerja dan komunitas yang memungkin adanya kerjasama.

Nilai merupakan unsur pokok dan fundamental dalam masyarakat, serta menjadi tonggok bangunan struktur sosial. Nilai berada lebih tinggi dibandingkan norma, karena norma diturunkan dari nilai-nilai. Norma merupakan aturan sosial, patokan berprilaku yang pantas atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan.

Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan, yakni: (1) cara, (2) kebiasan, (3) tata kelakuan, dan (4) adat istiadat (Syahyuti, 2003).

Norma bersumber dari nilai, serta berwujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Nilai dan norma pada akhirnya melahirkan kepribadian, yaitu organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku, sehingga melahirkan kebiasaan.

Coleman (1999) menyatakan bahwa alat-alat atau mesin-mesin dan alat-alat produksi, modal ini dapat digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan pada material untuk membangun atau membentuk fasilitas produksi.

Modal Finansial

Modal finansial ini terdiri dari tingkat pendapatan keluarga, sumber modal usaha dan akses dengan lembaga keuangan.

Modal Alami

Modal Alami ini merupakan potensi-potensi sumberdaya alam, flora, fauna, tanah, air dan udara yang dapat didayagunakan dengan menerapkan ilmu dan teknologi yang tidak mengganggu kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem namun berhasil dan berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat (Coleman, 1999).

Karakteristik Individu

Rakhmat (2007) menyatakan bahwa karakteristik manusia terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan faktor-faktor sosiopsikologis. Faktor biologis mencakup genetik, sistem syaraf dan sistem hormonal. Faktor sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen konatif (intelektual) yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif (faktor emosional).

Tanggapan peternak dalam memanfaatkan media sebagai sumber informasi, maka dilihat dari karakteristik peternak merupakan salah satu faktor yang paling penting. Karakteristik ini dibangun berdasarkan unsur-unsur demografis, perilaku, psikografis dan geografis. Unsur demografis merupakan salah satu peubah yang sering digunakan untuk melihat kemampuan berkomunikasi seseorang dan juga kemampuan untuk memilih media. Hasil penelitian Wardhani (1994) menunjukkan bahwa karakteristik demografis berhubungan dengan sumber- sumber informasi tentang usaha peternakan. Faktor-faktor tersebut merupakan perilaku internal dan merupakan ciri input untuk dapat dikembangkan dalam proses sebagai upaya untuk pengembangan usaha.

Salah satu faktor yang turut menunjang perilaku seseroang untuk seterusnya dikembangkan adalah pengalaman yang juga diukur dalam karakteristik individu, bahwa pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan

pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan, bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat, 2007). Seseorang yang bekerja dalam bidang tertentu pada waktu relatif lama akan semakin banyak memperoleh pengalaman. Pengalaman berupa keahlian yang dibarengi dengan lebih banyak belajar (membaca), maka pengetahuan yang diperoleh akan semakin tinggi dan hal ini akan meningkatkan kepekaan dalam menyerap sumber-sumber informasi yang dibutuhkan.

Menurut Gagne (Wardhani, 1994), pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar mengajar yang dialami oleh seseorang. Kecenderungan seseorang untuk berbuat tergantung dari pengalamannya, karena menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakan.

Hasil penelitian Murtiyeni (2002) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengalaman dan status usaha peternak sapi perah, semakin tinggi pula respon responden pada saluran interpersonal.

Soehadji (Saragih, 2003) mengatakan bahwa status usaha atau tipologi

usaha dari bidang peternakan rakyat ke industri peternakan dibagi menjadi empat tipe usaha, yakni: (1) usaha sambilan (pendapatan kurang dari 30 %), (2) cabang usaha (pendapatan berkisar 30–70 %), (3) usaha pokok (pendapatan berkisar 70 – 100 %), dan (4) industri peternakan (pendapatan 100 % dari usaha peternakan).

Pendapat ini sama dengan Rahardi dan Hartono (2003) bahwa usaha peternakan dapat dikelola secara sambilan. Artinya, bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan lain, tujuan usaha adalah membantu pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha ternak sambilan ini di bawah 30 % dari total pendapatan. Usaha peternakan dapat dijadikan sebagai salah satu cabang usaha lain. Tujuan usaha peternakan sebagai cabang usaha tidak hanya sekedar membantu pendapatan, tetapi sudah berperan sebagai salah satu sumber pendapatan. Tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30–70 %. Usaha peternakan yang dijadikan sebagai

usaha pokok, usaha ternak ini sudah menjadi sumber pendapatan. Tingkat Pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar 70–100 %.

Kompetensi Peternak Kompetensi

Kompetensi ialah suatu karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinnya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran atau situasi tetentu (Boulter, et al. 2003). Kompetensi dapat meliputi keterampilan, pengetahuan, potensi sosial, citra diri. Keterampilan dan pengetahuan merupakan puncak, tengahnya pengendalian perilaku, bawahnya adalah peran sosial dan citra diri pada tingkat sadar. Pengetahuan adalah apa yang diketahui seseorang tentang sesuatu. Keterampilan adalah hal-hal yang orang bisa lakukan dengan baik.

Potensi sosial adalah cara yang ditunjukan oleh seseorang di masyarakat. Peran sosial mewakili apa yang dianggap orang itu penting.

Citra diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri. Citra diri mencerminkan identitas orang itu; misalnya: memandang diri sendiri sebagai seorang pakar atau seorang yang mempunyai kemampuan.

Watak adalah karakteristik yang mengakar pada diri seseorang. Watak mencerminkan bagaimana kita cenderung menggambarkan orang-orang. Atau dapat mengenali orang-oarang.

Motif adalah pikiran-pikiran dan preferensi-preferensi tak sadar yang mendorong perilaku karena perilaku-perilaku adalah sumber kepuasan (dorongan berprestasi, ingin bekerja lebih baik).

Kompetensi, menurut Spencer dan Signe (1993), adalah merupakan karakteristik dasar seseorang yang menyebabkan orang masuk dalam kriteria kinerja efektif dan superior atau unggul dibandingkan dengan lainnya dalam suatu pekerjaan atau situasi. Karakteristik dasar tersebut meliputi; motif, sifat, konsep diri, pengetahuan dan keterampilan.

Menurut Suparno (2001), kompentensi adalah kecakapan yang memadai dalam melakukan suatu tugas, atau sebagai suatu yang memiliki keterampilan

yang diisyaratkan. Sehingga kompetensi dipandang sebagai perbuatan (performance) yang rasional dan memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Untuk melakukan kompetensi, maka seseorang memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses dan sikap.

Konsep yang dapat dipergunakan dalam menelaah kompetensi sehingga relevan, yakni; konsep kemampuan (ability) dan keterampilan (skill). Konsep kemampuan menggambarkan suatu sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental dan fisik. Konsep keterampilan yang berkaitan dengan tugas dan merupakan kemampuan untuk melaksanakan suatu sistem dengan perilaku guna mencapai tujuan (Boyatzis, 1982).

Menurut Susanto dan Amri Jahi (2006), unsur penting dari revitalisasi penyuluhan pertanian yang masih kurang mendapat tekanan adalah unsur kompetensi penyuluh dan kompetensi petani, serta bagaimana kompetensi baru itu dapat dimiliki oleh subyek-subyek bersangkutan. Proses pencapaian kompetensi para petani pada gilirannya dapat memberikan pemahaman dan kemampuan mengidentifikasi.

Kewirausahaan

Kewirausahaan merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris

entrepreneurship. Menurut Robbins dan Coulter (Daryanto, 2007) mendefinisikan kewirausahaan sebagai proses yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang berani mengambil resiko waktu dan finansial secara berorganisasi dalam mengejar peluang untuk menciptakan nilai dan pertumbuhan melalui inovasi dan keunikan, tanpa memandang sumberdaya yang sekarang dikendalikannya. Tiga tema penting dalam definisi ini adalah (1) pengejaran peluang, (2) inovasi dan (3) pertumbuhan. Sedangkan istilah wirausaha (entrepreneur) didefinisikan sebagai seseorang yang berani mengambil resiko bisnis secara terorganisasi untuk mengejar keuntungan bisnis.

Menurut Suryana (2003), kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang untuk menuju sukses. Intinya adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru

dan berbeda (creatif new and different) melalui berpikir kreaktif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang.

Hakikat dari kewirausahaan pada umumnya merujuk pada sifat, watak dan ciri-ciri yang melekat pada seseorang dengan mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan gagasan yang inovatif ke dalam dunia usaha nyata dan tepat mengembangkannya dengan tangguh (Drucker, 1994). Selanjutnya dikemukakan bahwa kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different thing).

Menurut Soemanto (1984) dan Meredith (1996), ciri-ciri dari kewirausahaan adalah sebagai berikut: (1) keinginan yang kuat untuk berdiri

sendiri, (2) kemauan untuk mengambil resiko, (3) memotivasi diri sendiri (4) kemampuan untuk belajar dari pengalaman, (5) semangat untuk bersaing, (6) orientasi pada kerja keras, (7) percaya pada diri sendiri, (8) dorongan untuk

berprestasi, (9) tingkat energi yang tinggi, (10) tegas, (11) yakin pada kemampuan sendiri, (12) tidak suka uluran tangan dari pemerintah/pihak lain di masyarakat,

(13) tidak bergantung pada alam dan berusaha tidak menyerah pada alam, (14) kepemimpinan, (15) keorisinilan, dan (16) berorientasi ke masa depan dan

penuh gagasan.

Jiwa dan sikap kewirausahaan, proses kreaktif dan inovatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan, yaitu orang percaya diri (yakni: optimis, penuh komitmen), berinisiatif (energik dan percaya diri), memiliki motif berprestasi (berorientasi hasil dan berwawasan ke depan), memiliki jiwa kepemimpinan (berani tampil berbeda) dan berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan (karena itu suka akan tantangan).

Proses kewirausahaan: kewirausahaan diawali dengan proses imitasi dan duplikasi, kemudian berkembang menjadi proses pengembangan, berakhir pada proses penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda (inovasi). Faktor-faktor pribadi yang memicu kewirausahaan adalah motif berprestasi, nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman.

Kompetensi Kewirausahaan

Kompetensi kewirausahan, menurut Harris (Suryana, 2003) wirausaha yang sukses pada umumnya ialah mereka yang memiliki kompetensi, yaitu seorang

yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan kualitas meliputi sikap, motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjan atau kegiatan (are underlying bodies of knowledge, abilities, experiences, and other requirement necessary to get successful performance perform of the job).

Keterampilan-keterampilan tersebut adalah keterampilan manajerial, keterampilan konseptual, keterampilan memahami, mengerti, berkomunikasi dan berelasi, keterampilan merumuskan masalah dan mengambil keputusan.

Intellectual Capital = competence x commitment, artinya meskipun ia memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi apabila tidak disertai dengan komitmen yang tinggi, maka wirausaha tersebut tidak akan dapat menggunakan modal intelektualnya. Demikian pula, Competence = Capability x Authority, artinya bahwa wirausaha yang kompeten adalah wirausaha yang memiliki kemampuan dan wewenang sendiri dalam pengelolaan usahanya (kemandirian). Wirausaha selalu bebas menentukan usahanya, tidak tergantung pada orang lain. Selanjutnya

Capability = Skill x Knowledge, artinya bahwa kapabilitas wirausaha sangat ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan atau kecakapan. Pengetahuan, keterampilan atau kecakapan yang dilengkapi dengan sikap motivasi untuk selalu berprestasi membentuk kepribadian wirausaha.

Dalam dunia bisnis, yang disebut kompetensi inti (core competency) adalah kreativitas dan inovasi guna menciptakan nilai tambah untuk meraih keunggulan, yang tercipta melalui pengembangan pengetahuan, keteramplan dan kemampuan. Pengetahuan, keterampilan dan kemampuan merupakan kompetensi inti wirausaha untuk menciptakan dayasaing khusus agar memiliki posisi tawar- menawar yang kuat dalam persaingan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, kewirausahaan mempelajari tentang nilai, kemampuan dan perilaku seseorang dalam berkreasi dan berinovasi. Oleh sebab itu objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan (ability) seseorang yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Menurut Soeparman Soemahamidjaja (Suryana, 2003), kemampuan dari seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meluputi:

(1) Kemampuan merumuskan tujuan hidup/usaha. Dalam merumuskan

berulang-ulang dibaca dan diamati sampai memahami apa yang menjadi kemauannya.

(2) Kemampuan memotivasi diri untuk melahirkan suatu tekad kemauan yang menyala-nyala.

(3) Kemampuan untuk berinisiatif, yaitumengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu perintah orang lain, yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan berinisiatif.

(4) Kemampuan berinovasi, yang melahirkan kreativitas (dayacipta) setelah dibiasakan berulang-ulang akan melahirkan motivasi. Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri untuk selalu mencari berbagai kemungkinan baru atau kombinasi baru apa saja yang dapat dijadikan peranti dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran masyarakat.

(5) Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal (capital goods).

(6) Kemampuan untuk mengatur waktu dan membiasakan diri untuk selalu tepat waktu dalam segala tindakan melalui kebiasaan yang selalu tidak menunda pekerjaan.

(7) Kemampuan mental yang dilandasi dengan agama.

(8) Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari

pengalaman yang baik maupun yang menyakitkan.

Menurut Nangoi (1996), karakteristik penting yang melekat pada diri seorang wirausahawan yang menunjukkan kemampuan dasar yang diperlukan dalam manajemen untuk melakukan kegiatan, yakni:

(1) Semangat dan wawasan untuk menciptakan hal-hal baru (2) Kemampuan untuk merealisir potensi ekonomi

(3) Naluri bisnis yang tajam

(4) Keberanian untuk mengambil rseiko (5) Kemandirian yang kuat

Sistem sosial budaya merupakan suatu ciri dari daya cipta, aset dan karya yang merupakan wujud dari unsur budaya suatu masyarakat. Wujud budaya yaitu wujud idiil, wujud aktivitas dan wujud fisik. Unsur budaya itu sendiri yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi, organisasi sosial, sistem ekonomi, sistem religius, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1987). Selanjutnya dikatakan sistem nilai budaya dapat dijelaskan dalam kerangka Kluckhohn yang

menyebutkan bahwa semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia menyangkut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu (a) hakekat hidup, (b) hakekat karya manusia, (c) kedudukan manusia dalam

ruang waktu, (d) hakekat manusia dengan alam sekitarnya, dan (e) hakekat hubungan manusia dengan sesamanya.

Mardikanto (1993) menyebutkan bahwa perubahan alami terjadi tanpa adanya campur tangan manusia dan bersifat lamban. SeBaliknya perubahan terencana bersifat aktif, disengaja keberadaannya oleh perilaku manusia.

Terjadinya perubahan terencana tersebut, disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu:

(5) Adanya keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dirasakan, dengan memodifikasi sumberdaya dan lingkungan hidupnya melalui penerapan ilmu pengetahuan atau teknologi yang dikuasainya.

(6) Ditemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang bagi setiap manusia untuk memenuhi kebutuhannya atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus menganggu lingkungan aslinya.

Menurut Mardikanto (1993), kedua alasan tersebut dapat menumbuhkan motivasi pada seseorang untuk melakukan upaya-upaya tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Tanpa melakukan upaya apapun akan menyebabkan seseorang menjadi terbelakang.

Mencermati beberapa penjabaran mengenai perubahan terencana tersebut dapat dikemukakan beberapa hal kunci, yaitu rencana tersebut dapat dikemukakan perubahan sosial yang termasuk ke dalam direct contact change. Artinya, sumber perubahan menyangkut inovasi maupun pemahaman atas kebutuhan perubahan dari luar sistem sosial. Kebutuhan maupun motivasi perubahan berasal dari

individu yang akan diubah. Sementara itu perilaku perubahan adalah orang-orang dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Pendidik atau penyuluh merupakan orang dari luar sistem sosial yang melakukan perubahan. Warga belajar adalah pelaku perubahan dari dalam sistem sosial. Berkaitan dengan warga belajar, maka adanya upaya individu untuk mengubah perilaku diri sendiri secara aktif merupakan tujuan dari penyuluhan. Upaya mengubah perilaku diri sendiri secara aktif ini disebut pula sebagai pengembangan individual. Dalam konteks perubahan sosial disebut sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat individual.

Ada dua tingkat terjadinya perubahan, yaitu perubahan yang terjadi pada tingkat individual dan perubahan yang terjadi di tingkat sistem sosial. Perubahan pada tingkat individu artinya individu merupakan penerima atau penolak inovasi. Perubahan pada tingkat ini sering disebut dengan berbagai istilah, misalnya adopsi modernisasi, akulturasi, atau sosialisasi. Pendekatan seperti ini dapat disebut pendekatan mikroanalisis dalam arti fokus perhatian dalam menganalisis perubahan adalah pada perubahan perilaku individual. Sementara itu perubahan di tingkat sistem sosial terfokus pada proses perubahan yang ada di tingkat sistem sosial. Dengan demikian pendekatannya adalah makroanalisis. Sebagaimana perubahan di tingkat individual, perubahan di tingkat sistem sosial memiliki berbagai istilah pula seperti: difusi, pembangunan, spesialisasi, integrasi atau adaptasi (Rogers dan Shoemaker, 1995).

Sehubungan dengan perkembangan individual yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi guna meningkatkan perilaku, Gilley dan Eggland, 1989 mengemukakan tujuh prinsip dalam pengembangan tersebut, yakni:

(1) Seorang learning specialist (ahli pendidikan) perlu mengetahui program, mata ajaran, subyek, keterampilan atau kebenaran yang akan diajarkan.

(2) Seorang warga belajar harus memiliki kecenderungan untuk memperhatikan program, mata ajaran atau subyek.

(3) Bahasa yang digunakan sebagai media antara ahli pendidikan dan warga belajar harus yang dikenal oleh keduanya.

(4) Informasi, kebenaran atau keterampilan yang akan dikuasai harus telah dikenal oleh warga belajar. Informasi, kebenaran atau keterampilan yang belum dikenal harus dijelaskan melalui hal-hal yang telah diketahuinya. (5) Proses mengajar harus merangsang pikiran warga belajar agar berkeinginan

untuk berpikir dan menguasai keterampilan.

(6) Proses mendidik harus mengarahkan pemahaman seseorang atas ide atau kebenaran baru ke arah kebiasaan nyata yang menunjukkan adanya kesadaran baru.

(7) Fakta-fakta pengembangan individual harus terefleksi melalui suatu peninjauan ulang, berpikir kemBali, reproduksi dan penerapan bahan informasi, kebenaran atau keterampilan yang telah dikomunikasikan.

Dalam peranan tersebut terkandung harapan-harapan yang berhubungan

Dokumen terkait