1 Komposisi dehidran metode paraplas 45 2 Metode pewarnaan ganda safranin 2% dan fast green 1%
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Sagu
Sagu merupakan tumbuhan Palmae asli Indonesia yang diduga berasal dari sekitar daerah Sentani Papua. Sagu dikenal hampir oleh seluruh masyarakat Indonesia, tetapi nama atau sebutannya berbeda di setiap daerah. Sagu dikenal dengan nama rumpia di Minangkabau; kirai di Jawa Barat; bulung, rembulu, ambulung atau kresula di Jawa Tengah; lapia atau nampia di Ambon; bak sagee di Aceh dan sebutan lainnya (Haryanto & Pangloli 1992).
Nama Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu metra dan xylon. Metra berarti isi batang atau empulur dan xylon berarti xilem (Flach 1997). Sagu dari genus Metroxylon terbagi menjadi dua yaitu tumbuhan yang berbuah atau berbunga dua kali (pleonanthic) dan tumbuhan yang berbunga atau berbuah hanya sekali (hepaxanthic). Hepaxanthic memiliki nilai ekonomis penting karena kandungan karbohidratnya lebih banyak daripada pleonanthic. Metroxylon sagu Rottb atau dikenal dengan sagu Tuni tergolong dalam hepaxanthic (Haryanto & Pangloli 1992).
Metroxylon sagu Rottb banyak ditemui di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua dengan ciri-ciri: tinggi batang sekitar 10-14 meter, berbentuk silinder dengan diameter 40-60 cm atau bahkan 80 cm dan bobot batang mencapai 1,2 ton atau lebih. Ukuran batang sagu sebenarnya berbeda-beda tergantung dari jenis, umur dan lingkungan atau tempat tumbuhnya. Umumnya diameter batang bagian bawah lebih besar daripada bagian atas. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam mengandung empulur yang berserat. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm. Lapisan kulit paling luar berupa lapisan sisa-sisa daun dari sebagian pelepah daun yang terlepas (Haryanto & Pangloli 1992; Flach 1997).
Sagu memiliki daun sirip dengan ujung panjang meruncing. Letak daun berjauhan, panjang tangkai daun 4,5 meter, panjang lembaran daun 1,5 meter dengan lebar 7 cm. Setiap bulan tumbuhan sagu membentuk satu tangkai daun dan berumur rata-rata 18 bulan, kemudian akan gugur. Daun sagu muda berwarna hijau muda yang berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua kemudian berubah
5
menjadi coklat kemerah-merahan apabila sudah matang atau tua (Gambar 1) (Haryanto & Pangloli 1992; Flach 1997).
Gambar 1 Populasi sagu di alam (Sumaryono 2007)
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pucuk sagu berwarna merah kecoklatan. Bunga sagu bercabang banyak, terdiri dari cabang primer, sekunder dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan betina. Bunga jantan mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina terbuka. Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur tetapi hanya satu yang dapat berkecambah dan dua lainnya bersifat rudimenter (Haryanto & Pangloli 1992; Flach 1997).
Habitat Sagu
Sagu memiliki daya adaptasi yang tinggi pada lahan marginal dan kritis yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tumbuhan pangan dan perkebunan lain (Suryana 2007). Sagu banyak dijumpai di daerah-daerah dataran rendah dengan ketinggian 0-700 m di atas permukaan air laut, suhu di atas 25 °C dan kelembaban udara lebih dari 70%. Sagu tumbuh di daerah rawa berair tawar atau daerah bergambut, di sepanjang aliran sungai atau daerah tropis basah yang banyak digenangi air (Flach 1997).
Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah berlumpur tapi akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air berwarna coklat dan agak asam (Flach 1993 diacu dalam Haryanto & Pangloli 1992).
Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan sagu. Selain itu pertumbuhan sagu dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai oleh air tawar terutama unsur kalium, fosfat, kalsium dan magnesium (Haryanto & Pangloli 1992). Di beberapa daerah Melanesia, penduduk menanam sagu di tanah rawa, aluvial dan gambut tanpa drainase dan pengolahan tanah terlebih dahulu (Ehara et al. 2007). Namun berdasarkan penelitian Yamamoto et al. (2003b), sagu dapat tumbuh dengan baik di tanah gambut yang memiliki karakteristik tanah ber pH rendah, tergenang air sepanjang tahun dan miskin hara mineral.
Pertumbuhan dan Siklus Hidup Sagu
Sagu adalah tumbuhan tahunan yang dapat berkembang biak atau dikembangbiakkan dengan tunas anakan dan biji. Tunas anakan muncul pada pangkal batang induk dan mulai membentuk batang pada umur 3 tahun. Anakan sagu memperoleh nutrisi dari batang induk sampai akar-akarnya mampu untuk menyerap unsur hara sendiri dan daunnya mampu melakukan fotosintesis (Flach 1997). Dalam setiap rumpun sagu terdiri dari beberapa tingkat pertumbuhan yaitu: 1) tingkat semai atau anakan berukuran 0-0,5 m; 2) tingkat sapih (apling) berukuran 0,5-1,5 m; 3) tingkat tiang (pole) berukuran 1,5-5 dan 4) tingkat pohon berukuran di atas 5 m (Gambar 2). Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu didasarkan pada tinggi batang sagu tanpa daun atau pelepah (BPP Teknologi 1982, diacu dalam Haryanto & Pangloli 1992).
Gambar 2 Skema pola tumbuh sagu membentuk rumpun 1.batang induk; 2-5 batang atau tunas anakan ( Haryanto & Pangloli 1992).
7
Gambar 3 Siklus hidup sagu (Flach 1997).
Sagu memiliki siklus hidup dengan waktu relatif panjang yaitu sekitar 11- 12 tahun. Sagu tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahap atau fase (Gambar 3). Tahap awal, tumbuhan membentuk roset daun (rossette stage), belum membentuk batang dan daun melebar (Flach 1997). Tinggi rata rata tumbuhan 6,7-8,5 meter dengan umur tumbuhan sekitar 2-6 tahun. Rata-rata jumlah daun pada tahap ini adalah 5,5 dan 6,7 (Ando et al. 2007). Daun sagu memiliki jumlah stomata sekitar 1000 stomata per mm2 luas daun sehingga sagu memiliki kemampuan fotosintesis yang tinggi. Tumbuhan sagu memfiksasi CO2 secara terus menerus dalam siklus hidupnya dengan jumlah besar dan menghasilkan karbohidrat yang akan diubah dan disimpan dalam bentuk pati di batang sagu (Jong 2006).
1
2 3
Tahap kedua, tumbuhan membentuk batang (bole formation stage) dan daun terus tumbuh di pucuk batang. Kandungan karbohidrat pada batang sangat tinggi sehingga batang ditebang untuk dimanfaatkan dan diolah menjadi aci sagu (Flach 1997). Proses akumulasi karbohidrat pada empulur sagu dimulai dari bawah ke atas, bagian pusat ke tepi empulur atau secara longitudinal dan radial pada batang (Yamamoto et al. 2003a). Bobot kulit batang sagu berkisar 17-25% sedangkan bobot empulurnya 75-83%. Kandungan empulur batang sagu berbeda- beda tergantung pada umur, jenis dan lingkungan tempat tumbuh. Makin tua umur tumbuhan sagu kandungan pati dalam empulur makin besar dan pada umur tertentu kandungan aci akan menurun. Peningkatan kadar pati terjadi sampai fase pembentukan primordia bunga. Setelah lewat fase primordia kandungan pati mulai menurun karena dipergunakan sebagai energi untuk proses pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi gabug atau kosong kemudian sagu akan mati (Haryanto & Pangloli 1992).
Tahap ketiga, tumbuhan mengalami pembungaan (inflorescence stage). Munculnya bunga menandakan bahwa sagu mendekati akhir fase pertumbuhannya. Fase ini di dahului dengan munculnya daun bendera yang berukuran lebih pendek dari daun yang lain dan tahap keempat adalah pematangan buah (fruit ripening stage) yang merupakan masa akhir pertumbuhannya (Flach 1997).
Potensi dan Manfaat Sagu
Sagu banyak dimanfaatkan karena kandungan karbohidrat atau pati yang terkandung dalam batang. Cara mendapatkan karbohidrat dari sagu adalah dengan cara ekstraksi sehingga hasil yang berupa bubuk disebut aci bukan tepung. Batang sagu memiliki empulur berwarna putih sehingga aci yang dihasilkan berwarna putih dan memiliki rasa enak yang khas yang disukai oleh masyarakat. Batang sagu ditebang sebelum atau menjelang tumbuhan berbunga karena pada fase ini kandungan pati dalam batang paling tinggi. Setelah pohon ditebang, empulur batang diolah untuk menjadi aci sagu. Aci sagu mengandung amilosa 27% dan
9
amilopektin 73%. Kandungan kalori, karbohidrat, protein dan lemak sagu setara dengan tepung tumbuhan penghasil karbohidrat lainnya (Tarigans 2001).
Hampir seluruh bagian tumbuhan sagu telah dimanfaatkan untuk bahan non pangan secara tradisional oleh masyarakat. Pelepah pohon dimanfaatkan sebagai dinding dan pagar rumah, daun sebagai atap, kulit dan batang digunakan sebagai kayu bakar, serat sagu dimanfaatkan sebagai hardboard atau briket bangunan bila dicampur semen. Selain itu, aci sagu diolah menjadi perekat atau lem, bahan bakar atau bioetanol dan lain sebagainya (Prihatman 2000).
Kandungan karbohidrat sagu lebih tinggi daripada tumbuhan penghasil karbohidrat lainnya. Karena kandungan karbohidratnya, sagu dimanfaatkan sebagai bahan pangan utama oleh masyarakat di beberapa daerah, misalnya Papua dan Maluku. Pemanfaatan aci sagu dalam industri makanan sangat luas. Sagu dapat diolah menjadi sirup, campuran penyedap rasa, biskuit, cracker dan makanan pelengkap seperti kerupuk dan jajanan tradisional lainnya, seperti papeda, soun dan ongol-ongol. Sebagian besar jenis makanan yang berbahan baku sagu berasal dari wilayah Indonesia bagian Timur seperti Maluku dan Papua (Tarigans 2001). Sagu merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan (Djoefrie 1999).
Kultur In vitro Sagu
Kemampuan satu sel tumbuhan menjadi tumbuhan yang lengkap atau totipotensi dapat dimanfaatkan untuk melakukan regenerasi tumbuhan secara in vitro dari sumber yang berupa protoplas, sel, jaringan maupun organ. Secara umum sumber yang digunakan dalam perbanyakan mikro (micropropagation) untuk menghasilkan planlet yaitu meristem, apeks dan nodus. Eksplan dapat ditumbuhkan sebagai kalus yang selanjutnya diinduksi sehingga terbentuk tunas adventif atau embrio somatik (Yuwono 2006).
Kultur in vitro sagu telah berhasil dilakukan di Indonesia. Tahardi et al. (2002) berhasil melakukan kultur in vitro sagu dengan eksplan berasal dari pucuk tunas anakan dalam medium MS (Murashige & Skoog 1962) yang telah dimodifikasi. Selanjutnya Riyadi et al. (2005) meneliti perkembangan embrio somatik sagu pada tahap embriogenesis sampai terbentuk planlet. Hasil penelitian
tersebut membuktikan bahwa embrio berkembang menjadi planlet pada medium kultur dengan setengah unsur hara makro tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Kasi dan Sumaryono (2006) mengamati bahwa ukuran embrio tidak berubah secara signifikan selama masa kultur. Jumlah embrio meningkat tetapi komposisi warna embrio mengalami perubahan selama masa kultur. Dalam penelitian selanjutnya, embrio berhasil berkembang menjadi kotiledon dan beberapa menjadi kecambah (Kasi & Sumaryono 2007).
Peranan Karbohidrat dalam Kultur In Vitro
Medium kultur in vitro dapat berupa medium padat atau cair. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber karbon yaitu karbohidrat, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik. Karbohidrat yang digunakan dapat berupa glukosa, fruktosa, maltosa atau sukrosa. Sumber karbon yang umum digunakan dalam kultur in vitro tumbuhan adalah sukrosa (Pierik 1997; Yuwono 2007).
Karbohidrat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tingkat dan jenis diferensiasi dan morfologi dalam kultur in vitro. Ketersediaan karbohidrat dalam medium tidak hanya berperan sebagai sumber karbon dan energi tetapi juga sebagai osmoregulator (osmotic agent) selama organogenesis (Huang & Liu 2002). Karbohidrat bersama dengan protein, lipid dan asam nukleat merupakan bahan pembangun dasar sel organisme, karbohidrat dimetabolismekan melalui respirasi selular. Selain itu karbohidrat juga berperan dalam mengatur ekspresi gen tumbuhan dan hubungannya dengan metabolisme serta perkembangan (Koch 1996). Ketersediaan karbohidrat yang terus menerus sangat penting dalam kultur in vitro tumbuhan karena aktivitas fotosintesis tumbuhan kultur in vitro sangat rendah sebagai akibat dari intensitas cahaya rendah, kelembaban tinggi dan terbatasnya pertukaran gas (Kozai & Kobuta 2005b).
Glukosa dan fruktosa merupakan monosakarida yang memiliki enam atom karbon dalam rantai kimianya. Glukosa dan fruktosa ekstraseluler diangkut melalui membran plasma ke dalam sel tumbuhan. Glukosa intraseluler kemudian difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat. Fruktosa difosforilasi oleh fruktokinase menjadi fruktosa-6-fosfat yang dimetabolismekan oleh sel tumbuhan sebagai
11
energi. Di dalam sel tumbuhan fruktosa dan glukosa dapat dengan mudah diubah menjadi sukrosa melalui reaksi enzimatis dalam sitoplasma (Wang 2006).
Maltosa dan sukrosa tergolong dalam disakarida yang memiliki 2 unit enam atom karbon (Dwidjoseputro 1984). Sukrosa sering ditambahkan pada medium kultur in vitro sebagai sumber karbon atau energi. Penggunaan sukrosa di atas 3% menyebabkan terjadinya penebalan dinding sel. Pemilihan karbohidrat dan konsentrasi tergantung dari jaringan tumbuhan yang akan dikulturkan dan tujuan yang ingin dicapai (Hendaryono & Ari 1994; Dodds & Lorin 1995). Organogenesis dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat media. Organogenesis akan terjadi secara optimal seiring dengan ketersediaan karbohidrat yang optimal dan cahaya hanya sebagai regulator (George 1993). Inisiasi akar dan pertumbuhan membutuhkan sumber karbon yang besar (Al- Khateeb 2001).
Intensitas Cahaya dalam Kultur In Vitro
Cahaya didefinisikan sebagai radiasi elektromagnetik yang dapat dilihat oleh mata manusia dengan panjang gelombang 380-780 nm. Cahaya didefinisikan sebagai radiasi elektromagnetik yang menyebabkan reaksi fotokimia pada tumbuhan yaitu fotosintesis dan fotomorfogenesis yang meliputi, perkecambahan, inisiasi akar dan pucuk, perpanjangan batang dan sebagainya. Reaksi fotosintesis pada tumbuhan terjadi karena adanya cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm yang disebut sebagai photosynthetically active radiation (PAR). Cahaya sebagai partikel kecil disebut foton dengan satuan unit µmol/m2/detik (Kozai & Kubota 2005a).
Kultur in vitro merupakan suatu lingkungan buatan yang membutuhkan banyak materi dalam jumlah tertentu untuk memenuhi kebutuhan tumbuhan yang hidup di dalamnya. Kebutuhan tumbuhan akan cahaya dalam kultur in vitro tidak sama dengan kondisi alami. Tiga kualitas cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis secara in vitro adalah panjang gelombang, intensitas dan fotoperiode. Ruangan untuk mikropropagasi pada umumnya dilengkapi dengan sumber cahaya putih dingin (cool white) atau putih panas (warm white) dan tabung grolux atau campuran keduanya (George 1993).
Perkembangan batang atau planlet dapat terjadi pada intensitas cahaya sebesar 40-75 µmol/m2/detik dengan fotoperiode 16 jam. Intensitas cahaya yang tinggi juga dapat diberikan untuk tujuan khusus misalnya dalam proses perkecambahan embrio somatik (George 1993). Intensitas yang lebih rendah akan menghasilkan planlet yang mengalami etiolasi (Armini et al. 1992). Intensitas cahaya menentukan total energi yang diterima oleh jaringan atau sel.