• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Tanaman dan Teknologi Budidaya Lada

2.1.1. Tanaman Lada

Lada menjadi salah satu jenis rempah-rempah yang paling tua dan penting

di dunia, sehingga lada juga seringkali disebut King of Spices. Tanaman Lada

adalah tanaman asli dari daerah Ghats bagian barat di India. Berdasarkan sejarah, lada adalah salah satu komoditi yang pertama kali diperdagangkan antara “Dunia Barat” dan “Dunia Timur” (IPC dan FAO 2005). Pada abad pertengahan dan zaman Renaissance, dalam sejarah penjelajahan, rempah-rempah (termasuk di dalamnya lada), mempunyai kedudukan yang tinggi dan sangat spesial. Bahkan pada zaman kuno dan medieval, nilainya seringkali disetarakan dengan emas dan batu permata. Produk utama komoditi lada yang diperdagangkan secara

internasional dewasa ini adalah lada putih (white pepper) dan lada hitam (black

pepper). Lada putih dan lada hitam sebenarnya berasal dari buah lada yang sama. Lada putih merupakan olahan dari buah lada yang telah matang di pohon, dipanen, dan dikelupas kulitnya, serta dikeringkan. Sedangkan lada hitam merupakan buah tanaman lada yang dipanen sebelum buah matang dan masih berwarna hijau, serta langsung dikeringkan tanpa pengelupasan kulit.

Budidaya lada di Indonesia sendiri sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lampau. Tanaman lada kemungkinan dibawa koloni Hindu ke Jawa antara tahun 100 SM (Sebelum Masehi) sampai 600 M (Masehi). Marcopolo dalam riwayat hidupnya pada tahun 1298, menguatkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa pada tahun 1280 di Jawa telah terdapat pengusahaan tanaman lada. Pada tahun 1720 sepertiga bagian dari seluruh keuntungan yang diperoleh VOC, semasa menduduki Indonesia, berasal dari komoditi lada. Pada tahun 1772, kontribusi lada semakin besar terhadap seluruh keuntungan VOC tersebut, yaitu mencapai dua per tiga bagiannya (Ditjenbun Deptan 2009). Bahkan sebelum perang dunia kedua, Indonesia memasok 80 persen kebutuhan lada dunia (Edizal 1998). Tanaman lada di Indonesia memiliki banyak nama daerah, diantaranya lada (Aceh, Batak, Lampung, Buru, dan Nias), raro (Mentawai), lado (Minangkabau), merico (Jawa), maica (Bali), ngguru (Flores), malita lo dawa (Gorontalo), marica

13 (Bima), dan mboko saah (Ende).

Lada (Piper nigrum Linn) termasuk dalam famili Piperaceae. Famili

tersebut terdiri dari 10-12 genus dan 1.400 spesies, yang bentuknya beragam, seperti herba, semak, tanaman menjalar, hingga pohon-pohonan. Lada dari genus Piper merupakan spesies tanaman yang berasal dari Ghats, Malabar India (Rismunandar 2007). Ciri morfologi dari tanaman lada antara lain 1) berakar tunggang (dikotil); 2) perakarannya terdiri atas dua jenis, yaitu akar yang tumbuh dari buku di atas tanah (untuk menopang batang pokok dan menjalar atau memanjat pada tiang panjat atau inangnya) dan akar yang tumbuh dari buku di

dalam tanah (sebagai penghisap makanan atau feeding roots); 3) memiliki satu

batang pokok dengan dua macam cabang (orthotropis atau vertikal dan plagiotropis atau horizontal), yang menyebabkan lada memiliki cabang yang banyak; 4) buku-buku batang agak membengkak, dimana dari buku-buku tersebut keluar daun, tunas, dan perbungaan; 5) berdaun tunggal, letaknya berselang-seling pada cabang, berwarna hijau gelap, lembaran daun sebelah atas agak mengkilap dan sebelah bawahnya pucat dan berkelenjar; 6) perbungaannya berbentuk bulir yang tumbuh di seberang daun, bunganya berukuran kecil, dan tanpa perhiasan bunga; 7) buahnya buni tak bertangkai, berbiji satu, berkulit keras, dibalut oleh daging buah yang tebal; serta 8) memiliki tinggi antara 5-15 m.

Tanaman lada dikenal sebagai tanaman tahunan dan perkebunan, yang pada dasarnya merupakan tanaman tropis, serta membutuhkan curah hujan dan suhu yang tinggi, yang banyak dan merata. Lada dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian mencapai 1.500 m di atas permukaan laut (dpl), tetapi tumbuh lebih subur di daerah pada ketinggian 500 m dpl atau kurang, dengan curah hujan 2.200-5.000 mm dalam setahun, suhu antara 18°C-35°C, kelembaban udara berkisar antara 50-100 persen, serta perubahan musim yang cukup baik (musim kemarau yang cukup panjang, sekitar 2-3 bulan untuk menumbuhkan bunga dan buah).

Indonesia memiliki daerah-daerah yang cocok dengan kriteria (persyaratan) budidaya tanaman lada tersebut. Daerah-daerah produsen lada di

14 Indonesia antara lain Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Barat, Papua, dan Maluku Utara (Deptan 2009)7. Daerah utama produksi

lada di Indonesia adalah Provinsi Bangka Belitung, untuk lada putih (Muntok

White Pepper) dan Provinsi Lampung, untuk lada hitam (Lampong Black Pepper). Budidaya lada di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh rakyat atau

smallholders, bukan oleh pemerintah ataupun swasta dalam skala yang besar, sehingga produsen utama lada adalah petani. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada di Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2008 (Angka sementara)

No Pengusahaan Produksi (Ton) Luas Areal (Ha)

1. Perkebunan Rakyat 79.725 190.773

2. Perkebunan Pemerintah (Negara) - -

3. Perkebunan Swasta 1 4

Total 79.726 190.777

Keterangan: -) Tidak mengusahakan

Sumber: Ditjenbun Deptan (Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian) (2009) (Diolah)8

Tabel 3 menunjukkan bahwa sekitar 99,9 persen produksi lada Indonesia dihasilkan dari perkebunan lada yang dikelola oleh rakyat (petani) atau

smallholders. Demikian juga di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Kabupaten Bangka.

Jenis komoditi lada yang diproduksi di Bangka Belitung, khususnya

Kabupaten Bangka, adalah lada putih, yang di dunia dikenal dengan nama Muntok

7

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produksi Lada Level Provinsi. http://www.deptan.go.id. [Diakses tanggal 8 Desember 2009]

8

[Ditjenbun Deptan] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2009. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 1967-2009. http://www.ditjenbun.deptan.go.id. [Diakses tanggal 8 Desember 2009]

15 internasional (diekspor) melalui pelabuhan Muntok di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat (setelah pemekaran). Produksi lada siap jual di tingkat

petani, umumnya sudah dalam bentuk lada putih. Roosgandha E (2003)9,

menyebutkan bahwa petani lada di Kabupaten Bangka, melakukan panen lada saat buah lada sudah masak yang ditandai dengan warna kuning sampai merah. Panen umumnya dilakukan dengan pemetikan mempergunakan tangan. Kemudian diolah dengan cara memasukkan lada yang telah dipanen tersebut ke dalam karung plastik. Setelah itu direndam dalam air (umumnya air mengalir) selama 7-14 hari, setelah itu dicuci untuk menghilangkan kulitnya. Dilanjutkan dengan menjemurnya dibawah sinar matahari selama 2-3 hari. Dari hasil pengolahan tersebut akan diperoleh lada putih kering dengan rendemen berkisar antara 15-45 persen atau rata-rata 24 persen. Oleh karena itu, jika berbicara mengenai produksi lada di Bangka Belitung, khususnya di Kabupaten Bangka, maka yang dimaksud adalah produksi lada putih.

2.1.2. Teknologi Budidaya Lada

Menteri Pertanian Republik Indonesia, Siswono (Anonim 2010), mengatakan bahwa dukungan inovasi teknologi, seperti pembibitan, obat-obatan, pupuk, serta alat dan mesin pertanian, juga sarana pascapanen, sangat diperlukan, untuk membangun pertanian di Indonesia. Begitu pula komoditi lada yang merupakan salah satu komoditi perkebunan (pertanian dalam arti luas) penghasil devisa bagi Indonesia, yang membutuhkan dukungan inovasi teknologi untuk

pengembangannya. Teknologi budidaya lada merupakan pengetahuan

(keterampilan pokok) teknis petani dalam membudidayakan lada. Menurut Sukirno (1985), permasalahan pokok dalam ekonomi yang berkaitan dengan produksi diantaranya cara memproduksi (teknologi yang digunakan) barang-barang atau jasa-jasa tersebut.

9

Roosgandha Elizabeth. 2003. Keragaan komoditas lada di Indonesia studi kasus di Kabupaten Bangka. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. http://ejournal.unud.ac.id. [Diakses tanggal 11 September 2009]

16 Cara berproduksi (teknologi) budidaya perkebunan (usahatani) lada, meliputi persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan junjung, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta panen. Menurut Sudarlin (2008), pengelolaan perkebunan lada di Bangka Belitung masih diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dengan teknis budidaya (teknologi budidaya) belum intensif, sehingga menjadi hambatan melakukan produksi. Deptan (1985) mengatakan bahwa produksi lada di Indonesia yang rata-rata rendah, yaitu antara 500 kg/ha sampai dengan 2.400 kg/ha, dapat diperbaiki apabila pemeliharaan dilakukan dengan baik, sesuai dengan teknis perkebunan, yaitu dilakukan pemupukan, pengobatan, pemangkasan, pembuatan saluran atau rorakan, dan lain-lain, sehingga hasilnya dapat meningkat sampai 4.000 kg/ha. Begitu pula dengan cara untuk memperbaiki produksi lada di Bangka Belitung.

Menurut Rismunandar (2007), ada beberapa aspek (dimensi) yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teknologi budidaya lada yang baik, yaitu persiapan lahan, penyediaan bibit, persiapan junjung, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta panen.

1. Persiapan lahan

Teknis persiapan lahan untuk budidaya lada berbeda-beda, sesuai dengan topografi dan jenis tanahnya. Menurut Rismunandar (2007), pembukaan lahan baru dan peremajaan tanaman memiliki cara persiapan lahan yang berbeda. Persyaratan dan cara-cara persiapan lahan yang baik dilakukan melalui beberapa proses tahapan, mulai dari pembersihan lahan, pengolahan tanah pertama, pengolahan tanah kedua, pembuatan bedengan, dan pembuatan lubang tanam.

a. Pembersihan lahan

Pembersihan lahan umumnya dilakukan pada musim kemarau. Pembersihan dilakukan terhadap segala jenis gulma, semak, alang-alang, dan pepohonan (kecil ataupun besar). Pembersihan dilakukan hingga ke akar-akarnya (tunggulnya). Selain cara manual, cara kimiawi pun dapat dilakukan, yaitu dengan herbisida sistemik, terutama bagi lahan yang hanya ditumbuhi alang-alang dengan vegetasi yang cukup luas.

17 pertama, yaitu:

i. Setelah bersih dari gulma, semak, dan pepohonan, tanah diolah dengan

cara dicangkul, ditraktor, atau dibajak (sesuai kondisi lahan). Lahan bervegetasi alang-alang dan pepohonan kecil diolah dua kali dalam sebulan, sedangkan lahan bervegetasi hutan sekunder diolah tiga kali dalam sebulan. Kemudian, tanah dibiarkan selama dua minggu, lalu digaru.

ii. Setelah diolah, tanah diratakan dan dibagi menjadi beberapa petakan

(misalnya ukuran 5 x 5 m2), dengan derajat kemiringan optimum tanah

15°. Petakan dibuat agar pengelolaan tanaman lada menjadi lebih mudah. Setiap petakan dikelilingi oleh jalan dengan lebar kurang lebih 1 m. Perlu juga dibuat parit untuk drainase dengan kedalaman 30-60 cm dan lebar 20-50 cm, dengan posisi melintang terhadap kemiringan tanah, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya genangan dan memudahkan peresapan air ke dalam tanah.

iii. Untuk lahan dengan kemiringan lebih dari 15°, dibuatkan teras yang

disesuaikan dengan kemiringan lahan tersebut (untuk mencegah erosi). Umumnya teras dibuat selebar 200 cm, tergantung topografi lahannya.

Beberapa jenis teras yang dapat dibuat yaitu teras individu (pada lahan

lereng dengan ukuran 2 x 2 m2 dan dibuat miring ke arah berlawanan

dengan arah kemiringan lereng) dan teras bersambung (dibuat

bersambung, sesuai garis kontur atau tinggi).

iv. Pada lahan miring juga dibuat lubang penampung air (rorakan), yang

terletak di bawah teras. Rorakan dibuat setiap 12-24 cm dengan panjang 2-4 m, lebar 20 cm, dan kedalaman 20 cm. Fungsi-fungsinya adalah menampung air, memudahkan air hujan meresap ke dalam tanah, menghindarkan genangan air, dan mencegah erosi.

c. Pengolahan tanah kedua

Setelah dilakukan pengolahan tanah pertama, maka dilakukan pengolahan tanah kedua. Pengolahan tanah kedua ini bertujuan untuk

18 membuat lapisan kondisi lahan kaya bahan organik, cukup mengandung zat fosfat, gembur, tidak mudah mengalami erosi, tidak mudah tergenang air, dan tingkat keasamannya baik, dimana sangat menguntungkan dan mendukung bagi pertumbuhan tanaman lada dan produksi buah lada. Adapun yang dilakukan pada pengolahan tanah kedua ini, yaitu:

i. Pencangkulan tanah lapisan atas (lapisan pertama) sedalam 15-20 cm

dan lebar 50 cm lalu disisihkan ke samping.

ii. Tanah lapisan berikutnya (lapisan kedua), setelah tanah lapisan atas

disisihkan sementara ke samping, dicangkul hingga gembur.

iii. Setelah gembur, dimasukkan pupuk organik atau fosfat (pupuk dasar)

pada tanah lapisan kedua tersebut. Fosfat alam berfungsi untuk menyediakan zat fosfat dalam jangka panjang, dan memperbaiki keasaman tanah.

iv. Tanah lapisan atas (lapisan pertama) dikembalikan ke atas tanah

lapisan kedua.

d. Pembuatan bedengan

Setelah melakukan pengolahan tanah kedua, lahan dibuat bedengan, khususnya hanya dibuat pada lahan datar atau agak miring. Pada lahan yang miring tidak perlu dibuat bedengan karena sudah berupa

teras. Bedengan dibentuk dengan membuat guludan-guludan, dengan jarak

antar guludan sekitar 2 m dan ketinggian sekitar 30 cm. Guludan dan sela

antar guludan juga berfungsi sebagai saluran pembuangan air.

e. Pembuatan lubang tanam

Pembuatan lubang tanam dilakukan terakhir, setelah pembuatan bedengan. Adapun persyaratan dan cara-cara dalam membuat lubang tanam ini, diantaranya:

i. Lubang tanam dibuat di tengah bedengan.

ii. Ukuran lubang tanam bagian atas 35 x 35 cm2 sampai 40 x 40 cm2,

sementara bagian lubang tanam bagian bawah menyempit, atau

berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 45 x 45 x 45 cm3

19 tanam antar lubang cukup 2 m.

iv. Setelah lubang dibuat, tanah hasil galian (saat membuat lubang tanam

tadi) dicampurkan dengan pupuk kandang, lalu ditimbunkan kembali ke dalam lubang.

v. Tanah pada lubang tanam yang telah dibuat dibiarkan sekitar 30-40

hari, sebelum dilakukan penanaman bibit tanaman lada.

2. Penyediaan bibit

Bibit yang dipilih harus baik kualitasnya, murah, dan tepat, sehingga dapat mendukung produksi lada. Cara yang praktis dan efisien untuk menyediakan bibit lada adalah dengan cara setek. Keunggulan lain pembibitan dengan cara setek adalah, sifat bibit yang dihasilkan, sama dengan sifat indukannya. Persyaratan dan cara-cara yang perlu dipenuhi dalam proses penyediaan bibit lada yang baik, dengan cara setek, adalah dengan memenuhi kriteria-kriteria (Rismunandar 2007):

a. Kemurnian tanaman terjamin

Bibit yang disetek harus diambil langsung dari induk asli tanaman lada dari varietas (jenis) yang sesuai dengan karakteristik wilayah setempat, diusahakan setek pertama dari induk tersebut, dan berasal dari sulur panjat (bukan sulur gantung atau cacing), sehingga kemurnian tanaman terjamin. Untuk menghasilkan setek dalam jumlah banyak sebaiknya disiapkan dan disediakan beberapa pohon lada khusus untuk dijadikan indukan. Ada beberapa varietas tanaman lada yang tumbuh di Indonesia, yaitu Bulok Belantung, Jambi, Kerinci, Lampung Daun Lebar (LDL), Bangka (Muntok), dan Lampung Daun Kecil (LDK). Kemudian dikembangkan lagi varietas-varietas yang memberikan hasil yang tinggi untuk ditanam di setiap area tanam lada di Indonesia, atau untuk lokasi-lokasi penanaman yang spesifik. Jenis-jenis tanaman lada tersebut yaitu Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Cunuk, LDK, dan Bengkayang. Hanya varietas Natar 1 yang toleran terhadap penyakit busuk pangkal batang, serangan hama penggerek batang, dan nematoda. Varietas-varietas

20 lainnya peka terhadap salah satu penyakit atau hama saja (IPC dan FAO

2005). Berdasarkan penelitian Roosgandha E (2003)10, varietas bibit lada

yang sering digunakan petani di Kabupaten Bangka, adalah varietas Merapin, Lampung Daun Lebar (LDL), dan Jambi. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa varietas Petaling 1 dan Petaling 2 belum dikenal oleh petani.

b. Kesehatan induk bibit yang disetek

Setekan bibit harus diperoleh dari induk yang sehat (tidak terserang penyakit), berbentuk kekar, berdaun hijau mulus (tidak ada tanda-tanda menguning), berbuku mulus, dan tidak berlubang bekas serangan serangga. Pohon induk terbaik yang disetek minimal sudah berumur dua tahun (tetapi kurang dari tiga tahun) dan telah mengalami pemangkasan pertama pada saat umur 8-10 bulan, kemudian pemangkasan kedua pada umur 18-20 bulan, serta kondisinya subur.

c. Memilih ukuran setek

Ada beberapa ukuran setek, yaitu setek satu ruas dan tujuh ruas (Rismunandar 2007). Setek satu ruas disebut juga setek daun, yang diperoleh dengan kriteria-kriteria, yaitu buku-buku batang dan cabang memiliki akar pelekat dan berdaun; setek diambil dari cabang yang sehat, masih hijau, tetapi sudah mulai berwarna agak merah, dan sudah cukup keras; pemotongan setek dilakukan dengan pisau tajam agar lukanya rata, kemudian segera dimasukkan ke dalam air bersih selama beberapa saat agar tetap segar; selanjutnya dicelup ke dalam hormon untuk mempercepat pertumbuhan akar; kemudian ditanam ke media persemaian.

Setek tujuh ruas diambil (dipotong) dari pohon induk sebanyak tujuh ruas, dengan persyaratan yang baik adalah diambil menjelang waktu tanam; diambil dari batang induk yang kuat, berumur dua tahun, serta sudah pernah dipangkas pertama dan kedua; memotong bagian ujungnya dengan membuang percabangan pada ruas ketiga sampai keempat; dan tidak memerlukan media persemaian, atau dapat langsung ditanam dengan tiang panjat. Jika tidak segera ditanam, bibit dapat disimpan dengan

10

21 dengan tanah dengan membiarkan tiga ruas teratas berdaun tetap berada di atas tanah, dan disiram secukupnya.

Berdasarkan panduan dan anjuran pembibitan dari Balai Penelitian

Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri)11, bibit lada yang

siap tanam di kebun adalah bibit lada yang telah berukuran 5-7 ruas. Untuk bibit setek satu ruas, bibit tersebut harus dibibitkan terlebih dahulu pada media persemaian hingga berukuran 5-7 ruas, baru ditanam di kebun. Bibit yang diperoleh dengan cara setek tujuh ruas, dapat langsung ditanam di kebun.

d. Bibit dari persemaian bibit

Untuk bibit satu ruas (setek daun), setelah dicelupkan ke dalam

hormon (Rootone atau Rhizophon), setek daun dapat disemai pada media

persemaian. Persyaratan media persemaian yang baik adalah media tanah tidak terlalu cerul (terlalu banyak mengandung pasir) dan tidak terlalu kaya bahan organik, lingkungan persemaian harus lembab, penyiraman harus teratur dan kelebihan air di sekitar lingkungan persemaian harus dibuang, dan membuat perlindungan berupa atap atau dari daun-daunan

(misalnya daun paku-pakuan dari jenis Gleichnia sp).

3. Persiapan panjatan (junjung)

Cara membuat dan pengadaan tiang panjat (panjatan) berhubungan dengan tingkat kesuburan, perkembangan, dan produksi lada. Tanaman lada adalah tanaman menjalar dan memanjat, sehingga perlu dibuatkan tempat menjalarnya, agar dapat tumbuh cabang, daun, bunga, dan buah secara baik dan leluasa. Baik atau tidaknya persiapan panjatan, dapat dilihat dari beberapa persyaratan atau kriteria sebagai berikut:

a. Pemilihan jenis panjatan

Ada dua jenis panjatan yang secara umum dipakai, yaitu tiang panjatan hidup dan mati. Panjatan hidup adalah tanaman yang dijadikan sebagai media menempel dan memanjat tanaman lada. Menurut

11

[Balittri] Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka tanaman Industri. 2010. Booklet Lada. http://balittri.litbang.deptan.go.id. [Diakses 17 April 2010]

22 Rismunandar (2007), tanaman panjatan hidup yang dapat digunakan adalah tingginya sekitar 60-75 cm (atau dapat pula 1-2 m) dengan diameter sekitar 5 cm.

Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai panjatan

hidup, antara lain dadap (Erythrina fuscca), lamtoro gung, kapok (Ceiba

pentandra), dan kalikiria (Glyricidia maculata). Selain itu ada juga tanaman buah-buahan. Tetapi yang umum digunakan petani lada adalah dadap, karena pertumbuhannya cepat, mudah diperoleh, murah, dan dapat ditanam bersamaan dengan penanaman bibit lada.

Keuntungan penggunaan panjatan hidup untuk budidaya lada, diantaranya:

i. Kadar nitrogen meningkat, khususnya pada tanaman panjat dari

keluarga Leguminoseae, sehingga kesuburan tanah meningkat.

ii. Dedaunan dan ranting dari hasil pemangkasan dapat dimanfaatkan

sebagai mulsa, di pangkal batang lada, sehingga dapat berfungsi pula sebagai pupuk kompos.

iii. Harga lebih murah dibanding panjatan mati (seperti kayu ulin atau

tiang beton) dan mudah didapat karena banyak sumbernya.

iv. Mudah dibentuk menjadi batang tunggal (sentral), dengan ketinggian

yang bisa disesuaikan sesuai kebutuhan perkembangan tanaman lada yang diinginkan.

v. Pergantian atau peremajaan panjatan lebih mudah dan lebih cepat

dilakukan.

vi. Dapat berfungsi sebagai tanaman pelindung bagi tanaman lada.

Selain itu terdapat juga beberapa kekurangan, diantaranya adalah sebagai berikut:

i. Persaingan antar tanaman panjatan dan tanaman lada dalam

memperoleh makanan dari unsur hara tanah, karena perakaran kedua tanaman sangat dekat, bahkan di dalam tanah bersentuhan dan tumpang tindih, sehingga dapat mengurangi kesuburan tanaman lada, termasuk tingkat pembuahan.

23 pemangkasan tanaman panjatan pada musim menjelang lada mulai berbunga dapat mengakibatkan kemunduran produksi buah.

iii. Tanaman panjatan dapat diserang hama dan penyakit, yang dapat

menular pada tanaman lada, atau mengakibatkan tanaman lada tidak mempunyai panjatan yang sempurna bagi kesuburan pertumbuhannya.

iv. Apabila tanaman panjatan sudah besar dan berumur atau tanaman mati

atau rusak, maka penggantian panjatan tidak mudah dilakukan. Apalagi jika tanaman lada sudah berumur dan tumbuh subur.

Sementara itu panjatan mati adalah panjatan yang terbuat dari kayu atau tiang beton, tetapi umumnya berasal dari bahan kayu. Jenis-jenis kayu yang banyak digunakan sebagai panjatan mati antara lain kayu mendaru, kayu melangir, kayu gelam, dan kayu belian (kayu ulin atau kayu besi). Panjatan mati yang digunakan terdiri dari dua tahap, yaitu panjatan sementara dan panjatan permanen. Panjatan sementara tingginya sekitar 2 m di atas tanah (atau panjang panjatan keseluruhan dapat sekitar 1,5-2 m saja) dan diameter sekitar 10-15 cm. Difungsikan paling lama enam bulan, setelahnya diganti dengan panjatan permanen. Tinggi kayu panjatan permanen di atas tanah sekitar 2,5-3 m (atau panjang panjatan keseluruhan dapat sekitar 2,5-3 m saja) dan diameter sekitar 15-20 cm, sedangkan jika panjatan permanen menggunakan beton, maka ketinggiannya sekitar 2 m di atas tanah.

Beberapa keuntungan penggunaan panjatan mati adalah:

i. Dapat didirikan tepat pada waktunya, dapat diatur agar memiliki

ukuran relatif sama, dan tidak memerlukan pemangkasan.

ii. Tidak terjadi persaingan pengambilan makanan dari tanah dengan

tanaman lada, tidak lembab, sehingga mendukung kesehatan tanaman lada (tanaman lada terhindar dari penyakit).

Disamping itu terdapat beberapa kekurangan dari penggunaan panjatan mati, yaitu antara lain:

24

i. Harga kayu untuk panjatan mati cukup mahal dan makin sulit

mendapatkan jenis kayu yang baik, yang diharapkan sesuai dari sisi jumlah, ukuran, dan tinggi kayu, karena terbatasnya sumber perolehan kayu (hutan).

ii. Tidak dapat berfungsi menyuburkan tanah.

iii. Tidak dapat berfungsi sebagai pelindung bagi tanaman lada yang baru

ditanam, sehingga memerlukan pelindung lain.

iv. Kayu dapat cepat rusak diterpa panas dan hujan yang silih berganti

dan pembusukan di pangkal.

b. Penanaman panjatan (junjung)

Panjatan hidup dapat ditanam sebelum atau bersamaan dengan tanaman lada, tergantung dari jenis tanaman yang digunakan sebagai panjatan, serta kecepatan pertumbuhannya. Untuk tanaman panjatan yang pertumbuhannya lama dan lambat membesar, sebaiknya ditanam sebelum bibit lada ditanam, sedangkan untuk tanaman yang cepat tumbuh dan besar, dapat ditanam bersamaan dengan penanaman bibit lada. Panjatan hidup dengan tinggi sekitar 60-75 cm atau 1-2 m dengan diameter sekitar 5

Dokumen terkait