• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Ekonomi Sumber Daya Air

Air merupakan sumber kebutuhan dasar manusia karena semua segi kehidupan manusia membutuhkan air. Air dipandang sebagai sumber daya semata yang tidak memiliki nilai. Kecenderungan memanfaatkan air secara berlebihan namun dicari ketika langka. Kecenderungan itu terjadi karena manusia menganggap air sebagai barang publik yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun dan memiliki property right yang lemah, sehingga air diperlakukan sebagai sumber daya dengan kepemilikan bersama, yaitu sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan.

Air adalah bagian dari alam yang secara instrinsik memiliki nilai tersendiri (tidak hanya nilai ekonomi pasar) dihadapan keseluruhan konfigurasi sistem ekologi alam semesta. Air memiliki fungsi ekologis yang tidak dapat diabaikan selain pentingnya fungsi ekonomi bagi manusia. Oleh karenanya, konservasi sumber daya air menjadi bagian penting yang integral dari analisis kebijakan ekonomi sumber daya air (Sanim, 2011).

Ekonomi sumber daya air membahas tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya air dengan sebaik-baiknya. Air memiliki nilai instrinsik dan pemanfaatannya memiliki nilai tambah karena dari ekstraksi sampai pemanfaatan langsung untuk konsumsi menimbulkan biaya yang cukup substansial. Karena itu, selain menyangkut ekstraksi yang optimal, pengelolaan sumber daya air juga menyangkut alokasi yang optimal yang kemudian didekati dengan berbagai mekanisme, seperti water pricing. Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Alokasi air diarahkan dengan tujuan penawaran air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Dengan kata lain, alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi,

2.2 Permintaan dan Penawaran Sumber Daya Air

Jumlah penduduk meningkat secara eksponensial. Peningkatan jumlah penduduk dan kualitas hidup membutuhkan sumber daya air dalam jumlah besar. Semakin meningkatnya aktivitas manusia, akan memerlukan lebih banyak air, yang akhirnya akan menghasilkan limbah yang lebih banyak. Pencemaran air semakin meningkat. Akibatnya, air tersedia namun tidak dapat dikonsumsi. Hal ini menimbulkan kelangkaan sumberdaya air.

Kelangkaan sumber daya air tersebut berasal dari sisi permintaan karena meningkatnya kebutuhan air oleh masyarakat dan dari sisi penawaran sumber daya air telah menyusut persediannya yang ditentukan oleh berbagai faktor. Penyusutan persediaan sumber daya air disebabkan oleh terjadinya kerusakan-kerusakan pada sistem perlindungan air, terutama rusaknya vegetasi penutup tanah yang dapat mempertahankan aliran-aliran air secara mantap akibat penggundulan hutan dan pendirian bangunan-bangunan yang menghalangi peresapan dan penyimpanan air secara alami dengan baik (Arsyad dan Rustiadi, 2008).

Hasil analisis statistik air minum yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (1997) menunjukkan bahwa kuantitas penyediaan air bersih terus meningkat dari tahun ke tahun. Meski demikian belum cukup untuk memasok kebutuhan penduduk kota, terutama di kota-kota sebagai akibat laju urbanisasi dan aktivitas ekonomi yang meningkat. Kemampuan untuk menyediakan kebutuhan air bersih yang cukup, terlebih-lebih untuk keperluan kota, dibatasi oleh kendala alam dan dana. Masalah yang banyak muncul terletak pada bagaimana manajemen sumber daya air harus dioptimalkan dengan terbatasnya segala sumber daya yang ada. Masalah lainnya yang sering muncul ialah distribusi kuantitas, kualitas, dan modus pemakaian yang sangat bervariasi dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dengan demikian sering terjadi di suatu lokasi terdapat kelebihan air, sedangkan di lokasi lain menderita kekurangan air (Sanim, 2011).

Kebutuhan air bersih di perkotaan berbeda dengan di pedesaan. Di perkotaan kebutuhan akan air bersih terus meningkat, setara dengan semakin meningkatnya urbanisasi ke kota. Sebagai contoh, dalam tahun 1970 apabila diasumsikan kebutuhan orang akan air bersih di kota sebanyak 150 liter per orang

per hari, maka dibutuhkan air bersih dari 17.884.500 m3 per hari pada tahun 1970, naik menjadi 26.879.180 m3 per hari pada tahun 1990. Ini berarti dalam 20 tahun, kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Peningkatan kebutuhan air bersih ini akan tampak lagi apabila dilihat kemampuan produksi PAM dalam melayani kebutuhan air bersih semakin terbatas. Kebutuhan air bersih di pedesaan tidak sebesar angka-angka tersebut di perkotaan. Kebutuhan terbesar di pedesaan adalah untuk keperluan pertanian, yaitu sebesar 4.000 m3 per detik (Sanim, 2011).

2.3 Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)

Pasal 40 ayat (8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan penyelenggara pengembangan SPAM. Koperasi, Badan Usaha Swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM. Pengaturan terhadap pengembangan SPAM bertujuan untuk terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan, serta meningkatkan efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah berdasarkan pasal 40 ayat (8) UU RI Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Poin mendasar dari peraturan pemerintah ini yaitu peraturan pengembangan SPAM yang harus diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan sarana dan prasarana sanitasi yang berkaitan dengan air minum, sehingga pengelolaan sistem air minum harus terintegrasi dengan sistem sanitasi dan persampahan.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 18/PRT/M/2012 tentang Pedoman Pembinaan Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum perlu ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (4)

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

2.4 Unit Pengolahan Air (Water Treatment Plant)

Menurut Kodoatie dan Sjarief (2008), fungsi Water Treatment Plant

adalah untuk mengolah air baku dari sungai atau sumber lainnya menjadi air bersih yang layak untuk didistribusikan kepada pelanggan. Bila air baku berasal dari sungai, danau, bendungan atau waduk maka ada beberapa hal yang harus diketahui menyangkut kualitas air. Bangunan pengolahan air diperlukan untuk mengubah air baku menjadi air bersih. Air (yang biasanya keruh) dalam proses di

Water Treatment Plant dialirkan ke dalam bak pengendapan awal (pre-settling tank) untuk melakukan pengendapan awal. Dalam proses pengendapan ini larutan khlorin (Cl2) dimasukkan ke dalam air untuk membunuh unsur-unsur organik yang berbahaya. Material padat termasuk lumpur akan terendapkan di dasar bak ini. Air yang sudah agak bersih selanjutnya dialirkan ke bak klarifikasi. Tawas atau alumunium sulfat (Al2SO4) dimasukkan ke dalam bak ini sehingga terjadi penggumpalan (koagulasi), air menjadi lebih bersih dan endapan hasil dari gumpalan akan terkumpul di dasar bak pengendapan.

Air selanjutnya dialirkan ke bak penyaringan. Bahan untuk menyaring air adalah ijuk, pasir dan kerikil, serta dapat ditambah arang. Kotoran yang masih ada akan terpisah dari air. Walaupun demikian, volume air yang diproses cukup banyak menyebabkan masih ada sisa kotoran. Endapan semakin banyak dengan semakin banyaknya air yang diproses. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencucian mulai dari bak pengendapan, bak klarifikasi dan bak penyaringan. Proses pencucian dilakukan secara kontinyu sehingga komponen-komponen yang ada dalam setiap bak akan selalu relatif bersih.

Air bersih selanjutnya dialirkan ke penampungan air bersih dan ditambahkan larutan kapur (CaOH) untuk pengontrolan keasaman air yang biasanya 8 pH. Air yang mempunyai pH rendah akan bersifat asam dan mempunyai sifat korosif untuk pipa-pipa pengaliran, sebaliknya air dengan pH yang tinggi juga kurang baik karena bila digunakan untuk mencuci dengan sabun, busa yang dihasilkan sedikit.

2.5 Penelitian Terdahulu

Arianti (1999) melakukan penelitian mengenai analisis pilihan sumber air bersih dan keinginan membayar bagi perbaikan kualitas dan kuantitas air PDAM Kodya Bengkulu. Analisis perbandingan peluang terpilihnya sumber air bersih yaitu PDAM, sumur, PDAM dan sumur, dilakukan dengan menggunakan fungsi pilihan kualitatif (Models of Qualitative Choice) yang disusun dalam persamaan regresi perbandingan peluang pilihan multinomial (multinomial logit) terhadap berbagai sumber air bersih dengan berbagai variabel bebas penentu pilihan tersebut. Rendahnya kualitas dan kuantitas air PDAM menyebabkan menurunnya kepuasan berupa ketidaknyamanan dalam mengkonsumsi air PDAM. Pelanggan yang mengalami ketidaknyamanan berhak menerima kompensasi yang ditentukan melalui penilaian pelanggan berupa kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay, WTP) sejumlah uang untuk mengembalikan mereka kepada kondisi kepuasan berupa kenyamanan mengkonsumsi air PDAM dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. WTP pelanggan diperoleh berdasarkan teknik survei atas kesediaan pelanggan untuk membayar apabila air PDAM diperbaiki kualitas dan kuantitasnya dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM). Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP pelanggan dilakukan analisis regresi atas variabel bebas penentu WTP pelanggan.

Penelitian yang dilakukan oleh Oktavianus (2003) adalah analisis keinginan membayar penduduk perkotaan terhadap pelayanan air bersih PDAM Tirtamusi Kota Palembang. Penelitian ini menggunakan analisis metode harga hedonik dengan pendekatan regresi linier berganda. Hasil menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya keinginan membayar penduduk perkotaan terhadap pelayanan air bersih dari PDAM Tirtamusi adalah jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, kelancaran aliran air bersih, dan keluhan atas aliran air bersih dari PDAM Tirtamusi.

Irfanti (2010) melakukan penelitian mengenai perbandingan biaya dan kerugian ekonomi non-pelanggan dan pelanggan air bersih PT. Palyja di Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Penelitian yang dilakukan adalah membandingkan sumber air yang digunakan setiap rumah tangga pelanggan dan non-pelanggan PAM dan berapa

volume pemakaiannya melalui metode analisis deskriptif, mengestimasi kerugian ekonomi rumah tangga non-pelanggan bila dibandingkan dengan pelanggan langsung dan tidak langsung melalui metode Opportunity Cost dan Cost of Illness, serta mengidentifikasi persepsi masyarakat non-pelanggan PAM untuk pemenuhan kebutuhan air di masa depan melalui metode analisis deskriptif. Kerugian yang dirasakan oleh rumah tangga non-pelanggan dan pelanggan tidak langsung layanan air bersih perpipaan PT. Palyja di Kelurahan Kamal Muara RW 01 dan RW 04 dan Kelurahan Kapuk Muara RW 09 adalah berupa biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan air bersih. Pemakaian air bagi rumah tangga non-pelanggan bersumber dari air pikulan, air sumur bor, dan air gallon, sedangkan rumah tangga pelanggan menggunakan sumber air bersih tunggal yaitu air PAM. Rata-rata volume pemakaian air rumah tangga non-pelanggan adalah yang terendah, sedangkan volume pemakaian air tertinggi adalah rumah tangga pelanggan langsung. Namun dalam hal pembiayaan, rumah tangga non-pelanggan mengeluarkan biaya tertinggi bila dibandingkan dengan rumah tangga pelanggan. Kerugian ekonomi rumah tangga yang dialami rumah tangga non-pelanggan dan pelanggan tidak langsung tercermin dari besarnya cost of illness dan opportunity cost. Persepsi responden terhadap usaha pemenuhan kebutuhan air dimasa depan berdasarkan kebutuhan warga yang tertinggi adalah pembangunan jaringan air bersih perpipaan di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Sunarko (2004) menganalisa mengenai penyediaan air bersih di kawasan perumahan di Kecamatan Rawa Lumbu Kota Bekasi dengan studi kasus di Perumahan Bumi Bekasi Baru dan Kemang Pratama. Variabel-variabel yang dianalisis adalah bentuk pelayanan, pembiayaan penyediaan prasarana air bersih, tanggung jawab penentuan harga, perolehan hasil penyediaan air bersih, dan hubungan antara produsen dan konsumen. Penelitian ini menghasilkan informasi bahwa penyediaan air bersih di kawasan perumahan diprakarsai oleh pihak pengelola perumahan dan bukan dari pemerintah daerah. Mekanisme pembiayaan penyediaan prasarana air bersih tercakup dalam komponen harga rumah dan lahan. Hubungan antara produsen dan konsumen bersifat langsung karena mereka membentuk unit pengelola air bersih sendiri. Kesimpulan yang dapat diambil dari

penelitian ini adalah tidak ada kerjasama antara pemerintah kota dengan pengelola perumahan dalam hal penyediaan air bersih di kawasan perumahan di Kecamatan Rawa Lumbu dan pengelolaan air bersifat eksklusif yaitu hanya untuk warga perumahan.

2.6 Kebaruan Penelitian

Penelitian mengenai pola konsumsi, pengeluaran, dan willingness to pay

rumah tangga terhadap layanan air bersih merupakan penelitian lanjutan mengenai layanan air bersih sebelumnya. Adapun kebaruan dari penelitian ditunjukkan pada perbandingan pengeluaran untuk konsumsi air bersih terhadap pendapatan antara rumah tangga yang telah memiliki jaringan air perpipaan dan rumah tangga yang belum memiliki jaringan air perpipaan.

Perbedaan penelitian dengan penelitian Arianti (1999) yaitu penelitian Arianti (1999) mengkaji keinginan membayar bagi perbaikan kualitas dan kuantitas air PDAM yang telah ada dan menggunakan persamaan regresi untuk mengetahui variabel bebas penentu pilihan sumber air bersih, sedangkan penelitian ini mengkaji keinginan membayar masyarakat yang belum memiliki jaringan air perpipaan jika diadakan perbaikan kualitas lingkungan dengan adanya jaringan air perpipaan PDAM dan peneliti hanya mengidentifikasi sumber air bersih yang digunakan tanpa meneliti variabel apa saja yang menentukan responden memilih sumber air bersih yang digunakan. Perbedaan dengan penelitian Oktavianus (2003) yaitu penelitian ini tidak hanya mengestimasi nilai keinginan membayar responden terhadap pelayananan air bersih PDAM, namun peneliti juga mengidentifikasi sumber air bersih yang digunakan masyarakat, pola konsumsi dan pengeluaran untuk konsumsi air terhadap pendapatan, serta surplus konsumen yang dirasakan oleh masyarakat jika mendapatkan pelayananan air bersih PDAM.

Perbedaan dengan penelitian Irfanti (2010) yaitu penelitian ini mengkaji perbandingan biaya untuk konsumsi air yang dikeluarkan oleh rumah tangga yang telah memiliki jaringan air perpipaan, yaitu Water Treatment Plant dan rumah tangga yang belum memiliki jaringan air perpipaan PDAM maupun Water Treatment Plant, sedangkan Irfanti (2010) mengkaji perbandingan biaya untuk

konsumsi air yang dikeluarkan oleh rumah tangga pelanggan dan non-pelanggan air bersih PT. Palyja. Penelitian ini juga mengestimasi keuntungan atau nilai surplus konsumen yang dirasakan masyarakat jika mendapatkan jaringan air perpipaan PDAM, sedangkan penelitian Irfanti (2010) mengestimasi kerugian ekonomi rumah tangga non-pelanggan bila dibandingkan dengan pelanggan melalui metode Opportunity Cost dan Cost of Illness. Perbedaan dengan penelitian Sunarko (2004) yaitu penelitian ini menganalisa tentang pola konsumsi, pengeluaran, dan Willingness to Pay rumah tangga terhadap layanan air bersih, sedangkan penelitian Sunarko (2004) menganalisa mengenai penyediaan air bersih dengan menggunakan beberapa variabel. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sunarko (2004) adalah penyediaan air bersih di kawasan perumahan diprakarsai oleh pihak pengelola perumahan dan bukan dari pemerintah daerah.

Dokumen terkait