• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Anggrek

Tanaman anggrek merupakan famili yang memiliki jumlah

keanekaragaman sangat besar yaitu terdiri dari 700 genus dan 35 000 spesies yang tersebar di seluruh dunia (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Contoh dari genus anggrek yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Renanthera, Vanda, Cattleya,

Bulbophylum, dan masih banyak genus lain. Anggrek umumnya hidup secara epifit di batang-batang pohon di hutan tropis namun ada pula yang hidup secara terestrial di atas permukaan tanah, saprofit atau lithofit (dipermukaan batu). Genus

Phalaenopsis merupakan anggrek yang hidup secara epifit.

Tipe perkembangan anggrek dibedakan menjadi dua yaitu monopodial dan simpodial. Monopodial merupakan tipe pertumbuhan yang terus tumbuh ke atas dan tidak akan berhenti. Tipe ini hanya memiliki satu titik tumbuh (tidak bercabang), ia akan bercabang apabila titik tumbuhnya dihilangkan atau dirusak. Tipe simpodial merupakan pertumbuhan yang dapat berhenti apabila bulb (batang semu) telah mencapai ukuran maksimal dan kembali membentuk bulb.

Phalaenopsis dan Renanthera termasuk anggrek dengan tipe perkembangan monopodial. (Iswanto, 2005)

Anggrek memiliki permukaan daun yang dilapisi kutikula (lapisan lilin) yang dapat melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Kedudukan daun tersusun secara berjajar berseling. Batang anggrek yang menebal merupakan batang semu yang dikenal dengan istilah pseudobulb (pseudo-semu, bulb-batang yang menggembung), berfungsi sebagai penyimpan air dan makanan untuk bertahan dalam keadaan kering (Sastrapradja, 1980). Batang dan daun anggrek mengandung klorofil, hal ini sangat membantunya memaksimalkan penyerapan sinar matahari untuk fotosintesis dalam habitatnya di hutan yang minim cahaya. Klorofil pada batang anggrek tidak mudah hilang atau terdegradasi walaupun daun-daunnya telah gugur, oleh sebab itu anggrek juga memiliki julukan

evergreen.

Akar tanaman anggrek berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi akar lekat dan akar udara. Akar lekat berfungsi untuk melekatkan dan menguatkan

tubuh tanaman pada media, sedangkan akar udara berfungsi untuk mengambil air dan unsur hara dari media tempat tumbuhnya. Contoh akar lekat dapat di jumpai pada anggrek jenis simpodial seperti Dendrobium, Bulbophyllum, maupun

Cattleya, sedangkan akar udara dimiliki oleh anggrek monopodial seperti

Phalaenopsis dan Renanthera (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999).

Morfologi Phalaenopsis gigantea

Setiap jenis anggrek memiliki karakter morfologi yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk daun, letak daun, batang, akar, bunga, dan buah.

Phalaenopsis gigantea memiliki keunggulan bentuk daunnya lebar dan jumlah bunganya yang banyak (Gambar 1). Berdasarkan karakter morfologi tersebut maka Phalaenopsis gigantea mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Gambar 1. Anggrek Phalaenopsis gigantea.

Akar

Akar anggrek Phalaenopsis memiliki ciri khas yaitu adanya

perkembangan akar udara atau akar aerial. Akar aerial merupakan akar yang keluar dari batang atas. Akar aerial yang masih aktif ujungnya berwarna hijau,

6

hijau keputihan atau kuning kecoklatan, licin dan mengkilat. Akar aerial ini mempunyai lapisan sel atau jaringan yang disebut velamen yang bersifat spongy

(berongga). Jaringan tersebut berfungsi untuk memudahkan akar menyerap air hujan yang jatuh pada kulit pohon inang dan membasahi akar udara.

Batang

Batang anggrek Phalaenopsis gigantea berbentuk tunggal dengan ujung batang tumbuh lurus tidak terbatas dan terdiri dari satu batang utama yang ukurannya pendek, hanya 3-5 cm, bahkan nyaris tidak tampak karena tertutup oleh pelepah daun (Iswanto, 2005). Apabila daun-daun tua pada batang sebelah bawah telah gugur, maka batang tampak seperti mati, pola pertumbuhan ini disebut monopodial.

Daun

Daun anggrek Phalaenopsis gigantea berjumlah 5-6 helai, dengan panjang daun mencapai 50-68,5 cm dan lebar 20-25,5 cm (O’Byrne, 2001). Daun tebal,

tegar, membengkok membentuk busur dan menggantung ke bawah (menjuntai) sebagai tempat penyimpanan air karena anggrek Phalaenopsis bersifat monopodial dan tidak mempunyai pseudobulb (Iswanto, 2005).

Bunga

Bunga anggrek bulan raksasa (Phalaenopsis gigantea) tersusun dalam tandan yang tumbuh dari ketiak daun paling bawah dengan tangkai menjuntai sepanjang 40 cm. Jumlah bunga tiap tandan sekitar 20-30 kuntum dan masing

masing bunga bergaris tengah 5 cm (O’Byrne, 2001). Menurut Iswanto (2005),

bunga tersebut tersusun menurut pola baku, yaitu terdiri atas tiga buah kelopak bunga (sepal) dan tiga buah mahkota bunga (petal) (Gambar 2). Satu buah kelopak bunga terletak di punggung dinamakan kelopak punggung (sepalum dorsalum), sedangkan dua lainnya dinamakan daun kelopak samping (sepalum lateraria). Mahkota bunga ada tiga buah, posisinya berseling dengan kelopak bunga, tetapi salah satu mahkota bunga tersebut berubah menjadi bibir (labellum).

Gambar 2. Bunga Phalaenopsis gigantea.

Pada pusat bunga terdapat alat kelamin jantan dan betina yang menjadi satu disebut gynostemium, yang berasal dari kata gynaecium atau putik dan

stemona yang berarti benang sari. Ukuran kelopak bunga rata-rata lebih kecil atau sama dengan tajuk bunganya. Bibir bunga memiliki tiga penutup tengah yang terkadang berbulu halus. Bagian dalamnya berwarna ungu atau putih berbintik coklat kehitaman dengan tepung sari yang berbentuk dua bulatan kecil berwarna kuning dan bersayap, sedangkan bunganya berwarna hijau keputihan dengan bintik-bintik dan garis-garis kecil coklat kehitaman, yang mekar dalam periode 7-30 hari.

Buah

Phalaenopsis gigantea memiliki buah yang berbentuk jorong bergaris

garis dengan panjang 10 cm atau lebih (O’Byrne, 2001). Apabila buah tua dibelah,

akan terlihat lapisan menyerupai kapas yang dipenuhi beribu-ribu biji anggrek.

Biji

Biji Phalaenopsis gigantea menyerupai tepung dan berwarna kekuning kuningan atau kecoklat-coklatan. Bentuk mikroskopik biji Phalaenopsis

8

Habitat Tumbuh Phalaenopsis gigantea

Phalaenopsis gigantea umumnya tumbuh di dataran rendah hingga tinggi, yaitu berkisar 1 - 1 000 meter di atas permukaan laut (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Suhu optimum yang dibutuhkan anggrek Phalaenopsis untuk fotosintesis dan respirasi ialah 21-26oC. Anggrek Phalaenopsis menyukai suhu minimum 16-18oC pada malam hari dengan suhu siang 24oC (Setiawan dan Setiawan, 2008).Phalaenopsis gigantea menyukai kelembaban pada siang hari yaitu 50-70%., namun menyukai kelembaban yang lebih besar dari 70% di sekitar perakarannya sepanjang waktu (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Intensitas cahaya ideal untuk Phalaenopsis adalah 1 000-1 500 foot candles atau semi teduh (ternaungi) dengan intensitas cahaya matahari 20-50% (Gunawan, 1992).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan secara luas dapat didefinisikan sebagai usaha mengisolasi, menumbuhkan, memperbanyak, dan meregenerasikan protoplas, sel utuh atau bagian tanaman seperti; meristem, tunas, daun muda, ujung akar, kepala sari, dan bakal buah dalam suatu lingkungan aseptik terkendali (Gunawan, 1992). Kultur jaringan ini berawal dari suatu konsep yang disebut konsep totipotensi sel yaitu tiap bagian dari tumbuhan tingkat tinggi dipisahkan dan dari setiap bagian-bagian yang dipisahkan itu dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap (Arditti dan Ernst, 1993).

Kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan metode perbanyakan tanaman lainnya, diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit yang seragam dalam waktu singkat dan dengan produksi tinggi, sifat tanaman yang sama seperti induknya, kecepatan tumbuh bibit yang lebih cepat dibandingkan bibit hasil perbanyakan konvensional, serta tanaman yang relatif lebih sehat

Armini et al., (1992) menyatakan bahwa keberhasilan perbanyakan tanaman kultur jaringan dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman, karakteristik eksplan, komposisi media, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur. Kondisi

lingkungan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan kultur tanaman tertentu.

Kultur Jaringan Anggrek

Kultur jaringan anggrek pertama kali dicoba oleh Haberlandt pada tahun 1902, karena adanya sifat tanaman yang disebut totipotensi. Kemudian disusul oleh penelitian Morel tahun 1960 yang dipublikasikan mengenai perbanyakan tanaman anggrek secara kultur jaringan. Penemuan ini didukung oleh Wimber tahun 1963 yang berhasil mengadakan perbanyakan klon-klon anggrek

Cymbidium secara kultur jaringan.

Kultur jaringan anggrek yang sering digunakan adalah kultur tunas dibandingkan dengan kultur biji. Perbanyakan melalui biji jarang dilakukan karena dikhawatirkan adanya perbedaan genetik, sehingga planlet yang dihasilkan tidak seragam. Kultur tunas yaitu menumbuhkan meristem tunas, tunas apikal yang mengandung meristem apikal beserta dua atau lebih primodia daun dan juga dari kuncup lateral. Pertumbuhan kultur tunas anggrek dibutuhkan suhu antara 21-24o dan pemberian cahaya terus-menerus dengan intensitas 500-700 lumen. (Gunawan, 1992)

Media yang sering digunakan pada kultur jaringan anggrek adalah media

Vacin and Went dan KC. Namun media ini tidak mempunyai komposisi yang lengkap, sehingga dibutuhkan media yang komponennya lengkap untuk pertumbuhan yang optimal. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman

Phalaenopsis direalisasikan menggunakan medium ½ konsentrasi nutrisi Murashige dan Skoog (½ MS) yang ditambahkan thidiazuron 0-1 mg/l dan 2,4- dichloropenoxyacetic acid (2,4-D) 0-10 mg/l, sedangkan PLBs dapat dibentuk dari kalus tersebut pada medium ½ MS yang ditambah thidiazuron saja sebanyak 0,1-1 mg/l (Ying-Chun et al., 2000).

10

Bahan Organik

Keberhasilan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan harus menyediakan unsur makro dan mikro tanaman selain karbohidrat yang biasa diberikan berupa gula. Gula berfungsi sebagai pengganti karbon yang biasa diperoleh dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan diperoleh apabila ke dalam media kultur jaringan ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Walaupun penggunaan senyawa organik kompleks seperti juice, yeast extract, dan casein hydrolysate disarankan untuk dihindari, tapi terkadang hasil yang lebih tinggi diperoleh dengan adanya penambahan bahan-bahan tersebut. Ekstrak pisang merupakan komponen tambahan yang sangat populer pada media anggrek (Gunawan,1992).

Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai bahan untuk media kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar 150-200 g/l. Kandungan pada buah pisang adalah vitamin A, tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C), sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4,6% dextrosa, 3,6% levulosa, dan 2% sukrosa (PKBT, 2007).

Penggunaan ekstrak ubi sering digunakan pada kultur jaringan

Phalaenopsis. Media dengan penambahan ekstrak ubi dapat memacu pertumbuhan eksplan Phalaenopsis fuscata (Rahayu et al., 2010). Kandungan gizi pada 100 g ubi jalar yaitu karbohidrat, lemak, protein, mineral, kalsium, vitamin A, dan vitamin C. (Soeprapto, 1992)

Ekstrak taoge sering digunakan dalam kultur jaringan anggrek. Komposisi dan nilai gizi pada 100 gram taoge yaitu kalori, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan air. Asam amino esensial yang terkandung dalam protein kacang hijau antara lain triptofan 1,35 %, treonin 4,50 %, fenilalanin 7,07 %, metionin 0,84 %, lisin 7,94 %, leusin 12,90 %, isoleusin 6,95 % dan valin 6,25 % (Soeprapto, 1992).

Air kelapa dapat digunakan sebagai pelengkap dalam media kultur jaringan. Air kelapa telah diketahui sebagi sumber yang dapat digunakan untuk perkembangan embrio, diantaranya adalah sitokinin endogen (Wattimena, et al.,

2003). Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang terdapat dalam air kelapa disamping senyawa lainnya. Zat pengatur tumbuh umumnya mendorong terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sehingga terjadi perubahan dan penampilan tanaman (Prihatmanti, 2002). Sitokinin penting peranannya dalam pembelahan dan diferensiasi sel. Air kelapa mengandung gula dan gula alkohol yang selalu diberikan karena dapat memperbaiki pertumbuhan in vitro (Wattimena, 1991). Di dalam air kelapa juga terkandung sitokinin karena di dalamnya terdapat 1.3-difenilurea, zeatin, zeatin glukosida dan zeatin ribosida (Armini et. al., 1992).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gunawan (1988) mengatakan bahwa dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Fungsi sitokinin dalam kultur jaringan adalah mendorong pembelahan sel-sel.

Perbandingan konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan tunas, akan tetapi jika auksin lebih tinggi daripada sitokinin akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar. Bila sitokinin dan auksin memiliki konsentrasi yang sama, maka akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan kalus.

Sitokinin

Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi dan mendorong pembelahan sel dan memperlambat proses penghancuran butir-buitr klorofil pada daun yang terlepas dari tanaman. Sitokinin juga berperan sebagai perkembangan dominasi apikal, perkembangan tunas adventif dan diferensial tunas . Sitokinin merupakan turunan adenine yang terdiri dari sitokinin alami yaitu zeatin dan 2-iP, dan sitokinin sitentik yang terdiri dari kinetin, Benzyl Amino Purine (BAP), PBA, 2Ci-4PU, dan 2,6Ci-4PU. Benzyl Amino Purine (BAP) merupakan satu kelompok sitokinin selain dari kinetin yang berfungsi untuk memacu perkembangan tunas lateral. (Watimmena, 1991)

12

Auksin

Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon baik alamiah maupun sinetik, yang dapat menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus pembelahan sel. Auksin mempunyai peran fisiologis yang dapat mempengaruhi tanaman yaitu, mendorong perpanjangan sel dan organ, mendorong pembentukan akar, mendorong gerakan trofisme, mendorong dominasi apikal, mencegah imbibisi, mendorong pembentukan kalus dan mendorong pembungaan (Gunawan, 1992). Auksin sintetik antara lain Napthalene Acetic Acid (NAA), IAA, IBA dan 2,4 D.

Napthalene Acetic Acid (NAA) termasuk dalam auksin eksogen sehingga dapat menggantikan hormon IAA (auksin endogen). NAA berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan perakaran dan mendorong pertumbuhan stek dari tanaman berkayu dan tanaman berbatang lunak. Penambahan auksin pada konsentrasi yang rendah pada media akan mendorong pembentukan akar adventif, sedangkan pada konsentrasi tinggi cenderung membentuk kalus.

Kitosan

Kitosan adalah salah satu polimer alam yang dapat diperoleh dari berbagai jenis mahluk hidup. Kitosan ditemukan pada kulit ari dari serangga serta dalam dinding sel jamur dan ganggang (Sanford, 2002). Kitosan adalah polisakarida yang terdiri dari d-glukosamin dan N-asetil-d-glukosamin.

Kitosan memiliki muatan positif yang kuat dan menarik molekul bermuatan negatif. Fisiologis yang unik dan sifat biologi kitosan telah menyebabkan penggunaannya dalam variabel industri untuk menghilangkan ion logam dari air limbah, penghapusan pewarna, penambahan untuk pakan ternak dan pencegahan kontaminan dalam industri makanan, kontrol kolesterol darah, dan sebagai aditif untuk kosmetik produk seperti pelembab, lotion mandi, dan krim wajah, tangan dan tubuh (Shahidi et al., 2001). Kitosan telah digunakan pula sebagai bahan pelapis untuk buah-buahan, biji-bijian dan sayuran (Photchanachai

Chandrkrachang (2002) melaporkan bahwa kitosan semprot (10 mg/l) meningkatkan pertumbuhan tanaman anggrek muda. Limpanavech et al. (2003) mempelajari pengaruh konsentrasi, derajat deasetilasi dan polimerisasi kitosan, terhadap pertumbuhan dan perkembangan Dendrobium Sonia Jo 'Eiskul'. Oligomer dan polimer kitosan dengan 70, 80, dan 90% deasetilasi (% DD) pada konsentrasi 1, 10, 50 dan 100 mg/l tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, tetapi kitosan menginduksi pembungaan awal pada Dendrobium Sonia Jo 'Eiskul'.

Chandrkrachang (2002) melaporkan bahwa penyemprotan kitosan dengan

konsentrasi 2,5-40 mg/l dapat meningkatkan panjang daun anggrek

Paphiopedilum. Kliangkeaw et al. (2003) menambahkan bahwa kitosan dapat meningkatkan pertumbuhan Paph. bellatulum x Paph. angthong dalam kultur jaringan.

Regenerasi Tanaman

Metode kultur daun spesies Phalaenopsis sudah banyak dipublikasikan, namun masih terdapat kendala dalam proses regenerasi eksplan. Regenerasi tanaman anggrek pada kultur in vitro dapat membentuk embriogenesis dan organogenesis. Embriogenesis somatik atau embriogenesis aseksual adalah proses dimana sel-sel somatik berkembang menjadi embrio melalui tahap-tahap morfologi yang khas tanpa melalui fusi gamet. Organogenesis merupakan proses pembetukan organ-organ tanaman seperti tunas dan akar.

Ciri utama dari proses embriogenesis somatik adalah pembentukan struktur bipolar dari eksplan somatik yang akhirnya membentuk kecambah dengan titik tumbuh akar dan daun pada masing-masing ujungnya secara serempak. Sedangkan proses organogenesis ditandai dengan pembentukan struktur unipolar yaitu hanya pembentukan titik tumbuh daun atau akar secara terpisah. Karena prosesnya mirip dengan perkembangan pada biji, tanaman klonal yang dihasilkan dengan teknik embriogenesis somatik secara morfologi sangat mirip dengan tanaman asal dari biji, sedangkan tanaman dari proses organogenesis bentuk tanaman mirip dengan tanaman asal stek. (Wiendi et al., 1991)

14

Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya kadang-kadang dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer. (Wiendi et al., 1991)

Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur. Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain auksin, zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik. Setiap genotip atau jaringan mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam medium dan memiliki kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda. Oleh karena itu dalam embriogenesis somatik kadang-kadang hanya dibutuhkan auksin, sitokinin secara sendiri-sendiri atau campuran auksin dan sitokinin. (Wattimena, 1991)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas in vitro anggrek

Phalaenopsis gigantea berumur 5 tahun dengan 4-5 daun dari Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Kebun Raya Bogor. Eksplan yang digunakan adalah eksplan daun dan pangkal batang. Eksplan daun P. gigantea (Tahap 1) ditanam dalam media dasar Murashige and Skoog dengan konsentrasi 50% (½ MS) ditambah gula (20 g/l), pepton (2 g/l), gelrite (2 g/l), dan kombinasi BAP dan NAA sebagai perlakuan. Eksplan daun P. gigantea (Tahap 2) ditanam dalam media dasar Murashige and Skoog dengan konsentrasi 50% (½ MS) ditambah gula (20 g/l), gelrite (2 g/l), dan BAP atau Thidiazuron (TDZ) sebagai perlakuan. Eksplan pangkal batang P. gigantea (Tahap 1) ditanam dalam media Knudson C (KC) ditambah gula (20 g/l), gelrite (2 g/l), arang aktif (2 g/l) dan bahan organik yaitu air kelapa (150 ml/l), taoge (30 g/l), ubi (30 g/l), dan pisang (30 g/l). Eksplan pangkal batang P. gigantea (Tahap 2) ditanam dalam media Murashige and Skoog dengan konsentrasi 50% (½ MS) ditambah gula (20 g/l), pepton (2 g/l), gelrite (2 g/l) dan kitosan. Bahan-bahan lain yang digunakan air destilata, betadine, alkohol 70% dan alkohol 95%.

Alat yang digunakan adalah autoklaf, kompor gas, timbangan analitik,

Laminar Air Flow Cabinet (LAF), botol kultur, petridish, pinset, pisau scapel, kertas tissue, lampu spirtus, labu ukur, gelas ukur, Erlenmeyer, dan label.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat percobaan, yaitu percobaan kultur daun dan pangkal batang P. gigantea masing-masing dua tahap. Alur percobaan dapat dilihat pada gambar 3.

16

Media Hyponex

Tahap 1

Tahap 2

Gambar 3. Alur Percobaaan

Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap I)

Percobaan kultur daun P. gigantea menggunakan sembilan taraf perlakuan yaitu media ditambah kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dengan BAP. Eksplan yang digunakan adalah daun P. gigantea. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan, dengan tiap ulangan terdiri dari 10 botol kultur dan setiap botol ditanami satu eksplan. Adapun kombinasi media yang digunakan dalam percobaan kultur daun adalah:

G1 = ½ MS

G2 = ½ MS + 0,01 mg/l NAA

G3 = ½ MS + 0,02 mg/l NAA

G4 = ½ MS + 1 mg/l BAP

Stok Kultur Tunas P. gigantea

Kultur Daun Kultur Pangkal Batang

Kultur Daun Kultur Pangkal Batang

Media: ½ MS + NAA + BAP Media: KC + kombinasi bahan organik Media: ½ MS + Kitosan Media: ½ MS+ BAP atau TDZ

G5 = ½ MS + 1 mg/l BAP + 0,01 mg/l NAA

G6 = ½ MS + 1 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA

G7 = ½ MS + 2 mg/l BAP

G8 = ½ MS + 2 mg/l BAP + 0,01 mg/l NAA

G9 = ½ MS + 2 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA

Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap 1)

Percobaan ini terdiri atas empat taraf perlakuan yaitu kombinasi media

dengan ditambah bahan organik. Eksplan yang digunakan pangkal batang

P. gigantea. Setiap perlakukan terdiri dari tiga ulangan, dengan setiap ulangan terdiri dari 10 botol kultur dan setiap botol ditanami satu eksplan. Adapun kombinasi media yang digunakan dalam percobaan kultur pangkal batang adalah: G10 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge

G11 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge dan Ubi G12 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge dan Pisang G13 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge, Ubi, dan Pisang.

Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap II)

Percobaan kultur daun P. gigantea menggunakan tujuh taraf perlakuan yaitu media ditambah zat pengatur tumbuh BAP atau Thydiazuron (TDZ). Eksplan yang digunakan adalah daun P. gigantea. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan, dengan tiap ulangan terdiri dari lima botol kultur dan setiap botol ditanami satu eksplan. Adapun kombinasi media yang digunakan dalam percobaan kultur daun adalah:

A1 = ½ MS A2 = ½ MS + 0,5 mg/l BAP A3 = ½ MS + 1 mg/l BAP A4 = ½ MS + 2 mg/l BAP A5 = ½ MS + 0,1 mg/l TDZ A6 = ½ MS + 0,2 mg/l TDZ A7 = ½ MS + 0,3 mg/l TDZ

18

Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap II)

Percobaan ini terdiri atas lima taraf perlakuan yaitu kombinasi media dengan ditambah kitosan. Eksplan yang digunakan tunas P. gigantea. Setiap perlakuan terdiri dari tujuh ulangan, dengan setiap ulangan terdiri dari satu botol kultur dan setiap botol ditanami satu eksplan. Adapun kombinasi media yang digunakan dalam percobaan kultur pangkal batang adalah:

A10 = ½ MS A11 = ½ MS + 5 ppm kitosan A12 = ½ MS + 10 ppm kitosan A13 = ½ MS + 15 ppm kitosan A14 = ½ MS + 20 ppm kitosan Pelaksanaan Penelitian

Sterilisasi Botol dan Alat Tanam

Alat-alat yang digunakan dalam penanaman harus dalam keadaan steril. Alat-alat logam dan gelas dapat disterilisasikan dengan menggunakan autoklaf. Alat-alat dan kertas saring dibungkus rapi dengan kertas tebal sebelum dimasukan ke dalam autoklaf. Temperatur yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121oC pada tekanan 17,5 psi selama satu jam. Alat tanam seperti pinset dan gunting dapat disterilkan dengan dicelupkan dalam alkohol 95% dan dibakar. Media dan aquades juga disterilkan dalam autoklaf.

Sterilisasi Lingkungan Kerja

Lampu ultraviolet pada LAF cabinet dinyalakan selama 30-60 menit, agar kontaminan pada laminar dapat hilang. Sebelum memulai kerja, permukaan LAF

cabinet dilap dengan menggunakan tisu yang telah disemprotkan alkohol 70%. Setelah melakukan kerja, permukaan LAF cabinet dibersihkan kembali dengan alkohol 70% atau dengan lampu ultra violet selama 30-60 menit.

Pembuatan Media

Media yang digunakan dalam percobaan kultur daun P. gigantea (Tahap I) adalah media dasar ½ MS (Lampiran 1). Pembuatan media dilakukan dengan pemipetan stok media MS lengkap masing-masing 25 ml, kecuali vitamin 50 ml. Kemudian ditambah gula 20 g/l, pepton 2 g/l, gelrite 2 g/l, aquades, dan ditambah kombinasi NAA dan BAP untuk perlakuan kultur daun P. gigantea.

Dokumen terkait