• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultur Daun Dan Pangkal Batang In Vitro Anggrek Bulan Raksasa (Phalaenopsis gigantea J.J.Smith) pada Beberapa Media Kultur Jaringan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kultur Daun Dan Pangkal Batang In Vitro Anggrek Bulan Raksasa (Phalaenopsis gigantea J.J.Smith) pada Beberapa Media Kultur Jaringan."

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

KULTUR DAUN DAN PANGKAL BATANG

IN VITRO ANGGREK BULAN RAKSASA

(Phalaenopsis gigantea J.J.Smith)

PADA BEBERAPA MEDIA KULTUR JARINGAN

RAMDAN

A24062710

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RAMDAN. Kultur Daun Dan Pangkal Batang In Vitro Anggrek Bulan Raksasa (Phalaenopsis gigantea J.J.Smith) pada Beberapa Media Kultur Jaringan. (Dibimbing oleh DEWI SUKMA dan YUPI ISNAINI)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi zat pengatur

tumbuh yang tepat untuk induksi organogenesis P. gigantea dan mengetahui

media yang cocok untuk pertumbuhan pangkal batang anggrek P. gigantea.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Maret 2011 di

Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya Bogor.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas in vitro anggrek

Phalaenopsis gigantea berumur 5 tahun dengan 4-5 daun dari Laboratorium

Kultur Jaringan Tanaman, Kebun Raya Bogor. Eksplan yang digunakan adalah

eksplan daun dan pangkal batang.

Penelitian ini terdiri dari empat percobaan yaitu percobaan kultur daun dan

pangkal batang P. gigantea masing-masing dua tahap. Rancangan yang digunakan

pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan kultur

daun P. gigantea (Tahap I) terdiri atas sembilan taraf perlakuan media dengan

kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP. Percobaan kultur pangkal batang

P. gigantea (Tahap I) terdiri atas empat taraf perlakuan kombinasi media dengan

bahan organik.

Percobaan kultur daun P. gigantea (Tahap II) terdiri atas tujuh taraf

perlakuan media ditambah zat pengatur tumbuh BAP dan TDZ. Percobaan kultur

pangkal batang P. gigantea (Tahap II) terdiri atas lima taraf perlakuan media

ditambah kitosan. Media yang digunakan pada percobaan kultur daun (Tahap I

dan II) dan kultur pangkal batang (Tahap II) yaitu media Murashige dan Skoog

yang berkonsentrasi 50% (½ MS), sedangkan percobaan kultur pangkal batang

P. gigantea (Tahap I) menggunakan media Knudson C (KC).

Hasil percobaan kultur daun (Tahap I) menunjukan bahwa perlakuan

belum berhasil menginduksi organogenesis dan kalus P. gigantea. Percobaan

kultur daun (Tahap II) berhasil menginduksi PLBs pada media A4 (½ MS +

(3)

iii

Bahan organik pada kultur pangkal batang (Tahap I) berpengaruh positif

bagi pertumbuhan eksplan. Media G10 (KC + air kelapa + ekstrak taoge)

merupakan media terbaik pada peubah pengamatan persentase hidup eksplan

(100%), waktu muncul daun (7,5 MSI), jumlah daun (8,2 daun/eksplan), waktu

muncul tunas (9,2 MSI), jumlah tunas (3,8 tunas/eksplan), dan jumlah akar (1,7

akar/eksplan). Waktu muncul akar (8 MSI) dan panjang akar (4 mm) terbaik pada

perlakuan media G12 (KC + air kelapa + ekstrak taoge + ekstrak pisang).

Percobaan kultur pangkal batang P. gigantea (Tahap II) cukup optimal.

Perlakuan media A10 (½ MS) dan A13 (½ MS + 15 ppm kitosan) merupakan

media terbaik pada peubah pengamatan persentase hidup eksplan yaitu 71%.

Perlakuan A10 (½ MS) dan A12 (½ MS + 10 ppm kitosan) merupakan media

terbaik pada peubah pengamatan waktu muncul daun yaitu 5 MSI. Jumlah daun

(1,9 daun/eksplan), waktu muncul tunas (5 MSI), dan jumlah tunas (0,9

tunas/eksplan) terbaik pada perlakuan media A14 (½ MS + 20 ppm kitosan).

(4)

(Phalaenopsis gigantea J.J.Smith)

PADA BEBERAPA MEDIA KULTUR JARINGAN

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

RAMDAN

A24062710

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul

:

KULTUR DAUN DAN PANGKAL BATANG

IN VITRO

ANGGREK BULAN RAKSASA (Phalaenopsis gigantea

J.J.Smith)

PADA

BEBERAPA

MEDIA

KULTUR

JARINGAN

Nama

:

RAMDAN

NRP

:

A24062710

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Dr. Dewi Sukma, S.P, M.Si. Yupi Isnaini, S.Si, M.Si.

NIP. 19700404 199702 2001 NIP. 19711227 200604 2002

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr NIP. 19611101 198703 1 003

(6)

Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Anwar Nahdi dan Ibu Ati

Suhati. Penulis dilahirkan di Karawang, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 30

Desember 1988.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Nagasari IX Karawang

pada tahun 2000. Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTPN 1

Karawang dan lulus dari SMAN 1 Karawang pada tahun 2006. Tahun 2006

penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan

Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

Tahun 2007 penulis aktif di HIMAGRON (Himpunan Mahasiswa

Agronomi) sebagai staf Divisi Klub Pecinta Tanaman Hias dan Bunga. Penulis

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Kultur Daun Dan Pangkal Batang In Vitro Anggrek Bulan Raksasa (Phalaenopsis gigantea J.J.Smith) pada Beberapa Media Kultur Jaringan”.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan terhadap semua pihak yang membantu menyusun skripsi ini,

terutama:

1. Ibu, Bapak (alm) dan kakak saya tercinta yang telah memberikan doa,

semangat, dan dorongan secara lahir dan batin.

2. Dr. Dewi Sukma, S.P, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan masukan dan saran untuk penyusunan skripsi ini.

3. Yupi Isnaini, S.Si, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang telah

memberikan masukan dan saran untuk penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Winarso P. Widodo, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang

telah membimbing penulis selama menjalani studi.

5. Staf pengajar dan staf komisi pendidikan Departemen Agronomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

6. Peneliti dan staf Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya

Bogor yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian.

7. Teman-teman AGH 43 yang telah memberikan motivasi dan masukan.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan bagi yang

memerlukanya.

Bogor, Agustus 2011

(8)

KATA PENGANTAR ... vii

Morfologi Phalaenopsis gigantea ... 5

Akar ... 5

Habitat Tumbuh Phalaenopsis gigantea ... 8

Kultur Jaringan ... 8

Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 15

Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap I) ... 16

Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap 1) ... 17

Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap II) ... 17

Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap II) ... 18

Pelaksanaan Penelitian ... 18

Sterilisasi Botol dan Alat Tanam ... 18

(9)

ix

Kultur Daun (Tahap I) ... 23

Kultur Pangkal Batang (Tahap I)... 23

Kultur Daun (Tahap II) ... 27

Kultur Pangkal Batang (Tahap II) ... 27

Pembahasan ... 31

Kultur Daun ... 31

Kultur Pangkal Batang ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

(10)

Nomor Halaman

1. Pengaruh Kombinasi NAA dan BAP Terhadap Induksi Organogenesis daun Phalaenopsis gigantea ... 24

2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Bahan Organik Terhadap

Pertumbuhan Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea ... 25

3. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan Pangkal Batang

Phalaenopsis gigantea ... 25

4. Pengaruh BAP dan TDZ Terhadap Induksi Organogenesis daun

Phalaenopsis gigantea... 28

5. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Kitosan Terhadap Pertumbuhan Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea ... 29

6. Pengaruh Kitosan Terhadap Peubah Pertumbuhan Pangkal Batang

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Anggrek Phalaenopsis gigantea ... 5

2. Bunga Phalaenopsis gigantea. ... 7

3. Alur Percobaaan ... 16

4. Kultur Daun (Tahap I) Phalaenopsis gigantea. ... 24

5. Morofologi Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap I) .... 26

6. Eksplan dengan Jumlah Daun dan Tunas Terbanyak pada Perlakuan Bahan Organik ... 26

7. Eksplan Membentuk Akar pada Perlakuan Bahan Organik ... 27

8. Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap II) . ... 28

9. Morfologi Eksplan Phalaenopsis gigantea pada Perlakuan Kitosan ... 30

(12)

Nomor Halaman

1. Komposisi Setengah Konsentrasi Media Murashige dan Skoog

(½ MS) dan New Dogashima Medium (NDM) ... 44

2. Komposisi Media Knudson C. ... 45

3. Planlet Awal Phalaenopsis gigantea. ... 45

4. Kematian Eksplan Daun Phalaenopsis gigantea akibat Toksin ... 46

5. Tunas Multipel Phalaenopsis gigantea ... 46

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Phalaenopsis gigantea merupakan salah satu jenis anggrek dari genus

Phalaenopsis (golongan anggrek bulan) dan penyebarannya terbatas hanya di

Kalimantan dan Sabah (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Phalaenopsis

gigantea merupakan salah satu spesies prioritas untuk konservasi tumbuhan

Indonesia pada tahun 2010 (Risna et al., 2010). Perdagangan P. gigantea sudah

diatur dan dibatasi oleh kuota karena sudah termasuk dalam Appendix II CITES

(CITES, 2011) dan diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7/1999, serta Peraturan

Menteri Kehutanan No P.57/Menhut II/ 2008 (Risna et al., 2010). Namun status

kelangkaan spesies ini belum dieavaluasi dalam IUCN red list (WCMC, 2011).

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor telah melakukan upaya

konservasi spesies ini, salah satunya dengan cara perbanyakan secara kultur

jaringan atau in vitro.

Perbanyakan P. gigantea secara vegetatif sulit dilakukan karena

Phalaenopsis merupakan anggrek monopodial. Pertumbuhan P. gigantea sangat

lambat di alam maupun pada media kultur jaringan. Pada media kultur jaringan P.

gigantea memerlukan waktu hingga 5 tahun untuk siap aklimatisasi. Informasi

mengenai perbanyakan P. gigantea masih sangat terbatas.

Penelitian mengenai kultur in vitro P. gigantea sudah pernah dilakukan

oleh [Kartiman (2004); Murdad et al., (2010) ; dan Latip et al., (2010)], namun

ketiganya menggunakan Protocorm Like Bodies (PLBs) sebagai sumber eksplan.

Protocorm Like Bodies didapatkan dari perbanyakan melalui biji secara in vitro,

namun sekarang ini sangat sulit untuk mendapatkan buah dan biji P. gigantea.

Oleh karena itu, perlu mencari alternatif eksplan lainnya untuk pembentukan

PLBs, salah satunya adalah melalui kultur daun. Publikasi hasil penelitian

mengenai kultur daun P. gigantea sampai saat ini belum ditemukan.

Hasil Penelitian Kartiman (2004) menunjukan bahwa kombinasi IBA

0,5 mg/l dengan BAP 1 mg/l pada media ½ MS dapat meningkatkan jumlah PLBs

terbanyak pada kultur PLBs P. gigantea. Hasil penelitian Handini dan Isnaini

(14)

anggrek P. sumatrana dijumpai pada media ½ MS dengan penambahan kombinasi

2 mg/l BAP dengan 0,01 mg/l NAA. Latip et al., (2010) menambahkan bahwa

penambahan 0,5 – 2 mg/l BAP dan 0,1 – 0,3 mg/l Thidiazuron (TDZ) dapat meningkatkan jumlah PLBs yang terbentuk pada kultur PLBs P. gigantea.

Mengacu pada penelitian diatas, maka kultur daun P. gigantea dilakukan dengan

kombinasi media yang hampir sama.

Pada kultur daun P. gigantea perlu diperhatikan pula sisa pangkal batang

setelah pemotongan daun. Oleh karena itu, penyelamatan pangkal batang

dilakukan dengan mengkulturkannya kembali secara in vitro.

Kultur in vitro anggrek P. gigantea pada media Hyponex sudah pernah

dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Bogor, namun

pertumbuhannya masih kurang optimal (Widyastuti, 2003). Hasil penelitian

Widyastuti (2003) menunjukan bahwa hasil terbaik dalam pertumbuhan kecambah

P. gigantea dijumpai pada media KC dengan penambahan ekstrak pisang atau ubi.

Menurut Gunawan (2002), ekstrak pisang merupakan komponen tambahan yang

sangat popular pada media anggrek. Akan tetapi, kultur in vitro spesies

Phalaenopsis lain pada media Knudson C (KC) ditambah bahan organik air

kelapa dan ekstrak taoge menunjukan hasil yang cukup optimal. Air kelapa telah

diketahui sebagai sumber zat pengatur tumbuh yang dapat digunakan untuk

perkembangan embrio, diantaranya adalah sitokinin endogen (Wattimena, et al.,

2003).

Hasil penelitian Pornpeanpakdee et al., (2006) menunjukan bahwa

pertumbuhan PLBs Dendrobium Sonia Jo ‘Eiskul’ meningkat secara signifikan

pada media dengan penambahan 10-20 mg/l kitosan. Kitosan merupakan

polisakarida alami yang dibentuk oleh polimer N-asetil-D-glukosamin dan

D-glukosamin. Pada bidang pertanian, kitosan biasa digunakan untuk pupuk,

proteksi tanaman dan stimulasi pertumbuhan (Sukwattanasinitt et al.,2001). Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kultur daun dan

(15)

3

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan kombinasi zat pengatur tumbuh yang tepat untuk induksi

organogenesis P. gigantea.

2. Mengetahui media yang cocok untuk pertumbuhan pangkal batang

anggrek P. gigantea.

Hipotesis

1. Terdapat komposisi media kultur yang optimum untuk kultur daun dan

pangkal batang anggrek P. gigantea.

2. Senyawa organik kompleks dapat meningkatkan pertumbuhan pangkal

batang anggrek P. gigantea.

3. Kitosan dapat meningkatkan pertumbuhan pangkal batang anggrek

(16)

Botani Anggrek

Tanaman anggrek merupakan famili yang memiliki jumlah

keanekaragaman sangat besar yaitu terdiri dari 700 genus dan 35 000 spesies yang

tersebar di seluruh dunia (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Contoh dari

genus anggrek yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Renanthera, Vanda, Cattleya,

Bulbophylum, dan masih banyak genus lain. Anggrek umumnya hidup secara

epifit di batang-batang pohon di hutan tropis namun ada pula yang hidup secara

terestrial di atas permukaan tanah, saprofit atau lithofit (dipermukaan batu). Genus

Phalaenopsis merupakan anggrek yang hidup secara epifit.

Tipe perkembangan anggrek dibedakan menjadi dua yaitu monopodial dan

simpodial. Monopodial merupakan tipe pertumbuhan yang terus tumbuh ke atas

dan tidak akan berhenti. Tipe ini hanya memiliki satu titik tumbuh (tidak

bercabang), ia akan bercabang apabila titik tumbuhnya dihilangkan atau dirusak.

Tipe simpodial merupakan pertumbuhan yang dapat berhenti apabila bulb (batang

semu) telah mencapai ukuran maksimal dan kembali membentuk bulb.

Phalaenopsis dan Renanthera termasuk anggrek dengan tipe perkembangan

monopodial. (Iswanto, 2005)

Anggrek memiliki permukaan daun yang dilapisi kutikula (lapisan lilin)

yang dapat melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Kedudukan

daun tersusun secara berjajar berseling. Batang anggrek yang menebal merupakan

batang semu yang dikenal dengan istilah pseudobulb (pseudo-semu, bulb-batang

yang menggembung), berfungsi sebagai penyimpan air dan makanan untuk

bertahan dalam keadaan kering (Sastrapradja, 1980). Batang dan daun anggrek

mengandung klorofil, hal ini sangat membantunya memaksimalkan penyerapan

sinar matahari untuk fotosintesis dalam habitatnya di hutan yang minim cahaya.

Klorofil pada batang anggrek tidak mudah hilang atau terdegradasi walaupun

daun-daunnya telah gugur, oleh sebab itu anggrek juga memiliki julukan

evergreen.

Akar tanaman anggrek berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi akar

(17)

5

tubuh tanaman pada media, sedangkan akar udara berfungsi untuk mengambil air

dan unsur hara dari media tempat tumbuhnya. Contoh akar lekat dapat di jumpai

pada anggrek jenis simpodial seperti Dendrobium, Bulbophyllum, maupun

Cattleya, sedangkan akar udara dimiliki oleh anggrek monopodial seperti

Phalaenopsis dan Renanthera (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999).

Morfologi Phalaenopsis gigantea

Setiap jenis anggrek memiliki karakter morfologi yang berbeda. Hal

tersebut dapat dilihat dari bentuk daun, letak daun, batang, akar, bunga, dan buah.

Phalaenopsis gigantea memiliki keunggulan bentuk daunnya lebar dan jumlah

bunganya yang banyak (Gambar 1). Berdasarkan karakter morfologi tersebut

maka Phalaenopsis gigantea mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Gambar 1. Anggrek Phalaenopsis gigantea.

Akar

Akar anggrek Phalaenopsis memiliki ciri khas yaitu adanya

perkembangan akar udara atau akar aerial. Akar aerial merupakan akar yang

(18)

hijau keputihan atau kuning kecoklatan, licin dan mengkilat. Akar aerial ini

mempunyai lapisan sel atau jaringan yang disebut velamen yang bersifat spongy

(berongga). Jaringan tersebut berfungsi untuk memudahkan akar menyerap air

hujan yang jatuh pada kulit pohon inang dan membasahi akar udara.

Batang

Batang anggrek Phalaenopsis gigantea berbentuk tunggal dengan ujung

batang tumbuh lurus tidak terbatas dan terdiri dari satu batang utama yang

ukurannya pendek, hanya 3-5 cm, bahkan nyaris tidak tampak karena tertutup oleh

pelepah daun (Iswanto, 2005). Apabila daun-daun tua pada batang sebelah bawah

telah gugur, maka batang tampak seperti mati, pola pertumbuhan ini disebut

monopodial.

Daun

Daun anggrek Phalaenopsis gigantea berjumlah 5-6 helai, dengan panjang

daun mencapai 50-68,5 cm dan lebar 20-25,5 cm (O’Byrne, 2001). Daun tebal, tegar, membengkok membentuk busur dan menggantung ke bawah (menjuntai)

sebagai tempat penyimpanan air karena anggrek Phalaenopsis bersifat

monopodial dan tidak mempunyai pseudobulb (Iswanto, 2005).

Bunga

Bunga anggrek bulan raksasa (Phalaenopsis gigantea) tersusun dalam

tandan yang tumbuh dari ketiak daun paling bawah dengan tangkai menjuntai

sepanjang 40 cm. Jumlah bunga tiap tandan sekitar 20-30 kuntum dan masing

masing bunga bergaris tengah 5 cm (O’Byrne, 2001). Menurut Iswanto (2005),

bunga tersebut tersusun menurut pola baku, yaitu terdiri atas tiga buah kelopak

bunga (sepal) dan tiga buah mahkota bunga (petal) (Gambar 2). Satu buah

kelopak bunga terletak di punggung dinamakan kelopak punggung (sepalum

dorsalum), sedangkan dua lainnya dinamakan daun kelopak samping (sepalum

lateraria). Mahkota bunga ada tiga buah, posisinya berseling dengan kelopak

(19)

7

Gambar 2. Bunga Phalaenopsis gigantea.

Pada pusat bunga terdapat alat kelamin jantan dan betina yang menjadi

satu disebut gynostemium, yang berasal dari kata gynaecium atau putik dan

stemona yang berarti benang sari. Ukuran kelopak bunga rata-rata lebih kecil atau

sama dengan tajuk bunganya. Bibir bunga memiliki tiga penutup tengah yang

terkadang berbulu halus. Bagian dalamnya berwarna ungu atau putih berbintik

coklat kehitaman dengan tepung sari yang berbentuk dua bulatan kecil berwarna

kuning dan bersayap, sedangkan bunganya berwarna hijau keputihan dengan

bintik-bintik dan garis-garis kecil coklat kehitaman, yang mekar dalam periode

7-30 hari.

Buah

Phalaenopsis gigantea memiliki buah yang berbentuk jorong bergaris

garis dengan panjang 10 cm atau lebih (O’Byrne, 2001). Apabila buah tua dibelah,

akan terlihat lapisan menyerupai kapas yang dipenuhi beribu-ribu biji anggrek.

Biji

Biji Phalaenopsis gigantea menyerupai tepung dan berwarna kekuning

kuningan atau kecoklat-coklatan. Bentuk mikroskopik biji Phalaenopsis

(20)

Habitat Tumbuh Phalaenopsis gigantea

Phalaenopsis gigantea umumnya tumbuh di dataran rendah hingga tinggi,

yaitu berkisar 1 - 1 000 meter di atas permukaan laut (Puspitaningtyas dan

Mursidawati, 1999). Suhu optimum yang dibutuhkan anggrek Phalaenopsis untuk

fotosintesis dan respirasi ialah 21-26oC. Anggrek Phalaenopsis menyukai suhu

minimum 16-18oC pada malam hari dengan suhu siang 24oC (Setiawan dan

Setiawan, 2008).Phalaenopsis gigantea menyukai kelembaban pada siang hari

yaitu 50-70%., namun menyukai kelembaban yang lebih besar dari 70% di sekitar

perakarannya sepanjang waktu (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999).

Intensitas cahaya ideal untuk Phalaenopsis adalah 1 000-1 500 foot candles atau

semi teduh (ternaungi) dengan intensitas cahaya matahari 20-50% (Gunawan,

1992).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan secara luas dapat didefinisikan sebagai usaha mengisolasi,

menumbuhkan, memperbanyak, dan meregenerasikan protoplas, sel utuh atau

bagian tanaman seperti; meristem, tunas, daun muda, ujung akar, kepala sari, dan

bakal buah dalam suatu lingkungan aseptik terkendali (Gunawan, 1992). Kultur

jaringan ini berawal dari suatu konsep yang disebut konsep totipotensi sel yaitu

tiap bagian dari tumbuhan tingkat tinggi dipisahkan dan dari setiap bagian-bagian

yang dipisahkan itu dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap (Arditti dan Ernst,

1993).

Kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan

dengan metode perbanyakan tanaman lainnya, diantaranya adalah dapat

menghasilkan bibit yang seragam dalam waktu singkat dan dengan produksi

tinggi, sifat tanaman yang sama seperti induknya, kecepatan tumbuh bibit yang

lebih cepat dibandingkan bibit hasil perbanyakan konvensional, serta tanaman

yang relatif lebih sehat

Armini et al., (1992) menyatakan bahwa keberhasilan perbanyakan

tanaman kultur jaringan dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman, karakteristik

(21)

9

lingkungan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan kultur

tanaman tertentu.

Kultur Jaringan Anggrek

Kultur jaringan anggrek pertama kali dicoba oleh Haberlandt pada tahun

1902, karena adanya sifat tanaman yang disebut totipotensi. Kemudian disusul

oleh penelitian Morel tahun 1960 yang dipublikasikan mengenai perbanyakan

tanaman anggrek secara kultur jaringan. Penemuan ini didukung oleh Wimber

tahun 1963 yang berhasil mengadakan perbanyakan klon-klon anggrek

Cymbidium secara kultur jaringan.

Kultur jaringan anggrek yang sering digunakan adalah kultur tunas

dibandingkan dengan kultur biji. Perbanyakan melalui biji jarang dilakukan

karena dikhawatirkan adanya perbedaan genetik, sehingga planlet yang dihasilkan

tidak seragam. Kultur tunas yaitu menumbuhkan meristem tunas, tunas apikal

yang mengandung meristem apikal beserta dua atau lebih primodia daun dan juga

dari kuncup lateral. Pertumbuhan kultur tunas anggrek dibutuhkan suhu antara

21-24o dan pemberian cahaya terus-menerus dengan intensitas 500-700 lumen.

(Gunawan, 1992)

Media yang sering digunakan pada kultur jaringan anggrek adalah media

Vacin and Went dan KC. Namun media ini tidak mempunyai komposisi yang

lengkap, sehingga dibutuhkan media yang komponennya lengkap untuk

pertumbuhan yang optimal. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman

Phalaenopsis direalisasikan menggunakan medium ½ konsentrasi nutrisi

Murashige dan Skoog (½ MS) yang ditambahkan thidiazuron 0-1 mg/l dan 2,4-

dichloropenoxyacetic acid (2,4-D) 0-10 mg/l, sedangkan PLBs dapat dibentuk dari

kalus tersebut pada medium ½ MS yang ditambah thidiazuron saja sebanyak 0,1-1

mg/l (Ying-Chun et al., 2000).

(22)

Bahan Organik

Keberhasilan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang

digunakan. Media kultur jaringan harus menyediakan unsur makro dan mikro

tanaman selain karbohidrat yang biasa diberikan berupa gula. Gula berfungsi

sebagai pengganti karbon yang biasa diperoleh dari atmosfer melalui fotosintesis.

Hasil yang lebih baik akan diperoleh apabila ke dalam media kultur jaringan

ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Walaupun

penggunaan senyawa organik kompleks seperti juice, yeast extract, dan casein

hydrolysate disarankan untuk dihindari, tapi terkadang hasil yang lebih tinggi

diperoleh dengan adanya penambahan bahan-bahan tersebut. Ekstrak pisang

merupakan komponen tambahan yang sangat populer pada media anggrek

(Gunawan,1992).

Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai bahan untuk media kultur

jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar

150-200 g/l. Kandungan pada buah pisang adalah vitamin A, tiamin (vitamin B1),

riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C),

sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4,6% dextrosa, 3,6% levulosa,

dan 2% sukrosa (PKBT, 2007).

Penggunaan ekstrak ubi sering digunakan pada kultur jaringan

Phalaenopsis. Media dengan penambahan ekstrak ubi dapat memacu

pertumbuhan eksplan Phalaenopsis fuscata (Rahayu et al., 2010). Kandungan gizi

pada 100 g ubi jalar yaitu karbohidrat, lemak, protein, mineral, kalsium, vitamin

A, dan vitamin C. (Soeprapto, 1992)

Ekstrak taoge sering digunakan dalam kultur jaringan anggrek. Komposisi

dan nilai gizi pada 100 gram taoge yaitu kalori, protein, lemak, hidrat arang,

kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan air. Asam amino

esensial yang terkandung dalam protein kacang hijau antara lain triptofan 1,35 %,

treonin 4,50 %, fenilalanin 7,07 %, metionin 0,84 %, lisin 7,94 %, leusin 12,90 %,

isoleusin 6,95 % dan valin 6,25 % (Soeprapto, 1992).

Air kelapa dapat digunakan sebagai pelengkap dalam media kultur

jaringan. Air kelapa telah diketahui sebagi sumber yang dapat digunakan untuk

(23)

11

2003). Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang terdapat dalam air

kelapa disamping senyawa lainnya. Zat pengatur tumbuh umumnya mendorong

terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sehingga terjadi perubahan dan

penampilan tanaman (Prihatmanti, 2002). Sitokinin penting peranannya dalam

pembelahan dan diferensiasi sel. Air kelapa mengandung gula dan gula alkohol

yang selalu diberikan karena dapat memperbaiki pertumbuhan in vitro (Wattimena,

1991). Di dalam air kelapa juga terkandung sitokinin karena di dalamnya terdapat

1.3-difenilurea, zeatin, zeatin glukosida dan zeatin ribosida (Armini et. al., 1992).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi

rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gunawan (1988) mengatakan bahwa

dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting

adalah sitokinin dan auksin. Fungsi sitokinin dalam kultur jaringan adalah

mendorong pembelahan sel-sel.

Perbandingan konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin akan

merangsang pertumbuhan dan pembentukan tunas, akan tetapi jika auksin lebih

tinggi daripada sitokinin akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar.

Bila sitokinin dan auksin memiliki konsentrasi yang sama, maka akan merangsang

pertumbuhan dan pembentukan kalus.

Sitokinin

Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi dan

mendorong pembelahan sel dan memperlambat proses penghancuran butir-buitr

klorofil pada daun yang terlepas dari tanaman. Sitokinin juga berperan sebagai

perkembangan dominasi apikal, perkembangan tunas adventif dan diferensial

tunas . Sitokinin merupakan turunan adenine yang terdiri dari sitokinin alami yaitu

zeatin dan 2-iP, dan sitokinin sitentik yang terdiri dari kinetin, Benzyl Amino

Purine (BAP), PBA, 2Ci-4PU, dan 2,6Ci-4PU. Benzyl Amino Purine (BAP)

merupakan satu kelompok sitokinin selain dari kinetin yang berfungsi untuk

(24)

Auksin

Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon baik alamiah maupun

sinetik, yang dapat menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus

pembelahan sel. Auksin mempunyai peran fisiologis yang dapat mempengaruhi

tanaman yaitu, mendorong perpanjangan sel dan organ, mendorong pembentukan

akar, mendorong gerakan trofisme, mendorong dominasi apikal, mencegah

imbibisi, mendorong pembentukan kalus dan mendorong pembungaan

(Gunawan, 1992). Auksin sintetik antara lain Napthalene Acetic Acid (NAA),

IAA, IBA dan 2,4 D.

Napthalene Acetic Acid (NAA) termasuk dalam auksin eksogen sehingga

dapat menggantikan hormon IAA (auksin endogen). NAA berfungsi untuk

meningkatkan pertumbuhan perakaran dan mendorong pertumbuhan stek dari

tanaman berkayu dan tanaman berbatang lunak. Penambahan auksin pada

konsentrasi yang rendah pada media akan mendorong pembentukan akar adventif,

sedangkan pada konsentrasi tinggi cenderung membentuk kalus.

Kitosan

Kitosan adalah salah satu polimer alam yang dapat diperoleh dari berbagai

jenis mahluk hidup. Kitosan ditemukan pada kulit ari dari serangga serta dalam

dinding sel jamur dan ganggang (Sanford, 2002). Kitosan adalah polisakarida

yang terdiri dari d-glukosamin dan N-asetil-d-glukosamin.

Kitosan memiliki muatan positif yang kuat dan menarik molekul

bermuatan negatif. Fisiologis yang unik dan sifat biologi kitosan telah

menyebabkan penggunaannya dalam variabel industri untuk menghilangkan ion

logam dari air limbah, penghapusan pewarna, penambahan untuk pakan ternak

dan pencegahan kontaminan dalam industri makanan, kontrol kolesterol darah,

dan sebagai aditif untuk kosmetik produk seperti pelembab, lotion mandi, dan

krim wajah, tangan dan tubuh (Shahidi et al., 2001). Kitosan telah digunakan pula

sebagai bahan pelapis untuk buah-buahan, biji-bijian dan sayuran (Photchanachai

(25)

13

Chandrkrachang (2002) melaporkan bahwa kitosan semprot (10 mg/l)

meningkatkan pertumbuhan tanaman anggrek muda. Limpanavech et al. (2003)

mempelajari pengaruh konsentrasi, derajat deasetilasi dan polimerisasi kitosan,

terhadap pertumbuhan dan perkembangan Dendrobium Sonia Jo 'Eiskul'.

Oligomer dan polimer kitosan dengan 70, 80, dan 90% deasetilasi (% DD) pada

konsentrasi 1, 10, 50 dan 100 mg/l tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan

vegetatif, tetapi kitosan menginduksi pembungaan awal pada Dendrobium Sonia

Jo 'Eiskul'.

Chandrkrachang (2002) melaporkan bahwa penyemprotan kitosan dengan

konsentrasi 2,5-40 mg/l dapat meningkatkan panjang daun anggrek

Paphiopedilum. Kliangkeaw et al. (2003) menambahkan bahwa kitosan dapat

meningkatkan pertumbuhan Paph. bellatulum x Paph. angthong dalam kultur

jaringan.

Regenerasi Tanaman

Metode kultur daun spesies Phalaenopsis sudah banyak dipublikasikan,

namun masih terdapat kendala dalam proses regenerasi eksplan. Regenerasi

tanaman anggrek pada kultur in vitro dapat membentuk embriogenesis dan

organogenesis. Embriogenesis somatik atau embriogenesis aseksual adalah proses

dimana sel-sel somatik berkembang menjadi embrio melalui tahap-tahap

morfologi yang khas tanpa melalui fusi gamet. Organogenesis merupakan proses

pembetukan organ-organ tanaman seperti tunas dan akar.

Ciri utama dari proses embriogenesis somatik adalah pembentukan

struktur bipolar dari eksplan somatik yang akhirnya membentuk kecambah dengan

titik tumbuh akar dan daun pada masing-masing ujungnya secara serempak.

Sedangkan proses organogenesis ditandai dengan pembentukan struktur unipolar

yaitu hanya pembentukan titik tumbuh daun atau akar secara terpisah. Karena

prosesnya mirip dengan perkembangan pada biji, tanaman klonal yang dihasilkan

dengan teknik embriogenesis somatik secara morfologi sangat mirip dengan

tanaman asal dari biji, sedangkan tanaman dari proses organogenesis bentuk

(26)

Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung

maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila

kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang

berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung

butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus,

namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya kadang-kadang

dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang

berasal dari kalus primer. (Wiendi et al., 1991)

Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah

pertumbuhan suatu kultur. Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang

paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain

auksin, zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel

dalam proses embriogenesis somatik. Setiap genotip atau jaringan mempunyai

respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam medium dan

memiliki kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda. Oleh karena itu

dalam embriogenesis somatik kadang-kadang hanya dibutuhkan auksin, sitokinin

secara sendiri-sendiri atau campuran auksin dan sitokinin. (Wattimena, 1991)

(27)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun

Raya Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas in vitro anggrek

Phalaenopsis gigantea berumur 5 tahun dengan 4-5 daun dari Laboratorium

Kultur Jaringan Tanaman, Kebun Raya Bogor. Eksplan yang digunakan adalah

eksplan daun dan pangkal batang. Eksplan daun P. gigantea (Tahap 1) ditanam

dalam media dasar Murashige and Skoog dengan konsentrasi 50% (½ MS)

ditambah gula (20 g/l), pepton (2 g/l), gelrite (2 g/l), dan kombinasi BAP dan

NAA sebagai perlakuan. Eksplan daun P. gigantea (Tahap 2) ditanam dalam

media dasar Murashige and Skoog dengan konsentrasi 50% (½ MS) ditambah

gula (20 g/l), gelrite (2 g/l), dan BAP atau Thidiazuron (TDZ) sebagai perlakuan.

Eksplan pangkal batang P. gigantea (Tahap 1) ditanam dalam media

Knudson C (KC) ditambah gula (20 g/l), gelrite (2 g/l), arang aktif (2 g/l) dan

bahan organik yaitu air kelapa (150 ml/l), taoge (30 g/l), ubi (30 g/l), dan pisang

(30 g/l). Eksplan pangkal batang P. gigantea (Tahap 2) ditanam dalam media

Murashige and Skoog dengan konsentrasi 50% (½ MS) ditambah gula (20 g/l),

pepton (2 g/l), gelrite (2 g/l) dan kitosan. Bahan-bahan lain yang digunakan air

destilata, betadine, alkohol 70% dan alkohol 95%.

Alat yang digunakan adalah autoklaf, kompor gas, timbangan analitik,

Laminar Air Flow Cabinet (LAF), botol kultur, petridish, pinset, pisau scapel,

kertas tissue, lampu spirtus, labu ukur, gelas ukur, Erlenmeyer, dan label.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat percobaan, yaitu percobaan kultur daun

dan pangkal batang P. gigantea masing-masing dua tahap. Alur percobaan dapat

(28)

Media Hyponex

Tahap 1

Tahap 2

Gambar 3. Alur Percobaaan

Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap I)

Percobaan kultur daun P. gigantea menggunakan sembilan taraf perlakuan

yaitu media ditambah kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dengan BAP. Eksplan

yang digunakan adalah daun P. gigantea. Setiap perlakuan terdiri dari tiga

ulangan, dengan tiap ulangan terdiri dari 10 botol kultur dan setiap botol ditanami

satu eksplan. Adapun kombinasi media yang digunakan dalam percobaan kultur

daun adalah:

G1 = ½ MS

G2 = ½ MS + 0,01 mg/l NAA

G3 = ½ MS + 0,02 mg/l NAA

G4 = ½ MS + 1 mg/l BAP

Stok Kultur Tunas P. gigantea

Kultur Daun Kultur Pangkal Batang

Kultur Daun Kultur Pangkal Batang

Media:

½ MS + NAA + BAP

Media:

KC + kombinasi bahan organik

Media:

½ MS + Kitosan Media:

(29)

17

Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap 1)

Percobaan ini terdiri atas empat taraf perlakuan yaitu kombinasi media

dengan ditambah bahan organik. Eksplan yang digunakan pangkal batang

P. gigantea. Setiap perlakukan terdiri dari tiga ulangan, dengan setiap ulangan

terdiri dari 10 botol kultur dan setiap botol ditanami satu eksplan. Adapun

kombinasi media yang digunakan dalam percobaan kultur pangkal batang adalah:

G10 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge

G11 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge dan Ubi

G12 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge dan Pisang

G13 = Knudson C + Air Kelapa + Ekstrak Taoge, Ubi, dan Pisang.

Kultur Daun Phalaenopsis gigantea (Tahap II)

Percobaan kultur daun P. gigantea menggunakan tujuh taraf perlakuan

yaitu media ditambah zat pengatur tumbuh BAP atau Thydiazuron (TDZ).

Eksplan yang digunakan adalah daun P. gigantea. Setiap perlakuan terdiri dari

tiga ulangan, dengan tiap ulangan terdiri dari lima botol kultur dan setiap botol

ditanami satu eksplan. Adapun kombinasi media yang digunakan dalam

(30)

Kultur Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea (Tahap II)

Percobaan ini terdiri atas lima taraf perlakuan yaitu kombinasi media

dengan ditambah kitosan. Eksplan yang digunakan tunas P. gigantea. Setiap

perlakuan terdiri dari tujuh ulangan, dengan setiap ulangan terdiri dari satu botol

kultur dan setiap botol ditanami satu eksplan. Adapun kombinasi media yang

digunakan dalam percobaan kultur pangkal batang adalah:

A10 = ½ MS

A11 = ½ MS + 5 ppm kitosan

A12 = ½ MS + 10 ppm kitosan

A13 = ½ MS + 15 ppm kitosan

A14 = ½ MS + 20 ppm kitosan

Pelaksanaan Penelitian

Sterilisasi Botol dan Alat Tanam

Alat-alat yang digunakan dalam penanaman harus dalam keadaan steril.

Alat-alat logam dan gelas dapat disterilisasikan dengan menggunakan autoklaf.

Alat-alat dan kertas saring dibungkus rapi dengan kertas tebal sebelum dimasukan

ke dalam autoklaf. Temperatur yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121oC

pada tekanan 17,5 psi selama satu jam. Alat tanam seperti pinset dan gunting

dapat disterilkan dengan dicelupkan dalam alkohol 95% dan dibakar. Media dan

aquades juga disterilkan dalam autoklaf.

Sterilisasi Lingkungan Kerja

Lampu ultraviolet pada LAF cabinet dinyalakan selama 30-60 menit, agar

kontaminan pada laminar dapat hilang. Sebelum memulai kerja, permukaan LAF

cabinet dilap dengan menggunakan tisu yang telah disemprotkan alkohol 70%.

Setelah melakukan kerja, permukaan LAF cabinet dibersihkan kembali dengan

(31)

19

Pembuatan Media

Media yang digunakan dalam percobaan kultur daun P. gigantea (Tahap I)

adalah media dasar ½ MS (Lampiran 1). Pembuatan media dilakukan dengan

pemipetan stok media MS lengkap masing-masing 25 ml, kecuali vitamin 50 ml.

Kemudian ditambah gula 20 g/l, pepton 2 g/l, gelrite 2 g/l, aquades, dan ditambah

kombinasi NAA dan BAP untuk perlakuan kultur daun P. gigantea.

Percobaan kultur pangkal batang P. gigantea (Tahap I) menggunakan

media Knudson C. Pembuatan media dilakuan dengan pemipetan stok lengkap

masing-masing. Media ditambah gula (20 g/l), arang aktif (2 g/l), dan bahan

organik air kelapa (150 ml/l), ekstrak taoge (30 ml/l), ubi (30 g/l), dan pisang (30

g/l) sebagai perlakuan.

Ekstrak taoge didapatkan dengan merebus taoge (30 g) yang sudah

ditambah air 250 ml, kemudian air rebusan ditambahkan pada media. Ekstak ubi

dan pisang didapatkan dengan menambahkan pisang (30 g) atau ubi (30 g) dengan

air, kemudian dilakukan penghalusan dengan blender. Setelah pisang dan ubi

menjadi halus, kemudian dilakukan penyaringan ekstrak dengan menggunakan

kain saring.

Percobaan kultur daun P. gigantea (Tahap II) menggunakan media ½ MS.

Pembuatan media dilakukan dengan pemipetan stok lengkap masing masing

25 ml, kecuali vitamin 50 ml, kemudian ditambah gula 20 g/l, aquades, dan

ditambah BAP atau TDZ sebagai perlakuan.

Percobaan kultur pangkal batang P. gigantea (Tahap II) menggunakan

media ½ MS. Pembuatan dilakuan dengan pemipetan stok lengkap masing

masing. Media ditambah gula (20 g/l), arang aktif (2 g/l), dan bahan organik air

kelapa (150 ml/l), taoge (30 g/l), ubi (30 g/l), dan pisang (30 g/l) sebagai

perlakuan.

Setiap perlakuan ditambahkan aquades hingga volume larutan 500 ml,

kemudian pH larutan dihitung hingga pH 5,6. Larutan tersebut kemudian

ditambahkan gelrite (2 g/l) dan dipanaskan di kompor gas hingga mendidih.

Larutan media yang sudah dipanaskan dimasukan ke dalam botol kultur steril dan

(32)

dengan autoklaf selama kurang lebih 15 menit dengan suhu 121oC dan tekanan

17,5 psi. Setelah sterilisasi, media disimpan di ruang penyimpanan.

Persiapan Eksplan

Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplan steril.

Sebelum penanaman dilakukan, eksplan dipilah menjadi beberapa golongan, yaitu

tunas muda, sedang dan tua. Ketiga golongan tunas dibagi sama rata, sehingga

tunas pada setiap perlakuan lebih seragam. Pada percobaan kultur daun

P. gigantea (Tahap I), bagian daun pada masing-masing tunas dipotong dan sisa

batangnya dipisahkan. Potongan daun tersebut kemudian dimasukan ke dalam

larutan betadine, agak kontaminan yang ada pada eksplan dapat hilang.

Sedangkan pangkal batangnya ditanam langsung pada media Knudson C.

Percobaan kultur daun P. gigantea (Tahap II) menggunakan eksplan steril.

Kultur daun menggunakan potongan daun yang berasal dari tunas muda

P. gigantea hasil tahap pertama, sedangkan sisa batang ditanam dalam media

½ MS tanpa atau dengan penambahan kitosan (kultur pangkal batang tahap II).

Penanaman

Penanaman dilakukan di Laminar Air Flow cabinet. Eksplan steril

diletakan di atas petridish steril, selanjutnya dipotong menggunakan pisau skapel

dan pinset sebanyak satu daun atau pangkal batang pada setiap botol media.

Setelah penanaman selesai, botol media ditutup dengan menggunakan plastik dan

diikat dengan karet gelang. Botol tanam kemudian disimpan di ruang

penyimpanan.

Pengamatan

Variabel yang diamati pada percobaan kultur daun P. gigantea adalah

sebagai berikut:

1. Persen Kontaminasi

Jumlah eksplan yang terkontaminasi oleh bakteri atau cendawan dihitung

(33)

21

2. Waktu Tumbuh PLBs

Waktu munculnya PLBs yang dihitung sejak eksplan ditanam.

3. Jumlah PLBs

Jumlah PLBs yang terbentuk yang dihitung setiap minggu setelah muncul.

4. Jumlah PLBs yang Berkecambah

Jumlah PLBs yang berkecambah yang dihitung pada akhir pengamatan.

5. Waktu Muncul Kalus

Waktu munculnya kalus yang dihitung sejak eksplan ditanam.

6. Jumlah Eksplan Berkalus

Jumlah eksplan yang berkalus pada akhir pengamatan.

Variabel yang diamati pada percobaan kultur pangkal batang P. gigantea

adalah sebagai berikut:

1. Persentase Hidup Eksplan

Jumlah eksplan yang hidup pada akhir pengamatan.

2. Jumlah Daun Baru

Jumlah daun yang terbentuk dihitung setiap minggu.

3. Waktu Muncul Daun baru

Waktu daun yang muncul sejak pangkal batang ditanam.

4. Jumlah Tunas Baru

Jumlah tunas baru yang terbentuk pada saat pengamatan.

5. Waktu Muncul Tunas Baru

Waktu muncul tunas pertama sejak pangkal batang ditanam.

6. Jumlah Akar

Jumlah akar yang terbentuk pada saat pengamatan.

7. Waktu Muncul Akar

Waktu akar yang muncul sejak pangkal batang ditanam.

8. Panjang akar

(34)

Analisis Data

Percobaan-percobaan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan komposisi media.

Model aditif yang digunakan adalah:

Yij= µ + τi+ εij Keterangan:

i = 1,2,…..,t dan j= 1,2,…..,r

Yij = Respon pertumbuhan terhadap komposisi media ke-i dan ulangan ke-j.

µ = Rataan umum respon pertumbuhan.

τi = Pengaruh komposisi media ke-i.

εij = Pengaruh galat dari komposi media ke-i dan ulangan ke-j.

Analisis data pengamatan kuantitatif menggunakan uji F untuk melihat

perbedaaan antara percobaan perlakuan terhadap pengamatan kuantitatif yang

diamati. Uji lanjut dengan menggunakan uji perbandingan berganda Duncan

(DMRT, Duncan Multiple Range Test) untuk menganalisis perlakuan mana yang

berbeda nyata. Analisis data dengan menggunakan software Statistical Analysis

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kultur Daun (Tahap I)

Tingkat kontaminasi pada percobaan kultur daun adalah 0%. Hasil

pengamatan pada masing-masing perlakuan terhadap peubah yang diamati

menunjukan bahwa kultur daun P. gigantea tidak berhasil menginduksi PLBs dan

kalus setelah 24 MSI (Tabel 1). Kalus muncul pada 12 MSI di media G6 (½ MS+

1 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA), namun kalus mati pada 20 MSI. Selain itu, PLBs

muncul pada 12 MSI pada media G8 (½ MS + 2 mg/l BAP + 0,01 mg/l NAA),

namun PLBs kemudian mati pada 15 MSI.

Respon daun anggrek P. gigantea terhadap kombinasi BAP dan NAA

seletah 24 MSI tidak terjadi. Morfologi daun P. gigantea setelah 24 MSI

menunjukan bahwa sebagian eksplan masih berwarna hijau, sedangkan yang lain

mengalami kematian (Gambar 4)

Kultur Pangkal Batang (Tahap I)

Kombinasi media ditambah dengan bahan organik memberikan pengaruh

yang berbeda terhadap peubah yang diamati. Hasil analisis sidik ragam

menunjukan bahwa perlakuan bahan organik berpengaruh nyata terhadap

persentase hidup eksplan, dan berpengaruh sangat nyata terhadap waktu muncul

akar dan panjang akar (Tabel 2).

Hasil pengamatan pada masing-masing perlakuan terhadap peubah yang

diamati menunjukan bahwa perlakuan G10 (KC + air kelapa + ekstrak taoge)

merupakan perlakuan terbaik pada sebagian besar peubah pengamatan (Tabel 3).

Respon pertumbuhan anggrek P. gigantea terhadap kombinasi media dengan

bahan organik dapat dilihat dari morfologi eksplannya. Morfologi eksplan pada 24

MSI menunjukan bahwa eksplan pangkal batang tumbuh dengan baik (Gambar

(36)

Tabel 1. Pengaruh NAA dan BAP Terhadap Induksi Organogenesis Daun

Phalaenopsis gigantea pada 12 dan 24 MSI.

Kode kelapa + ekstrak taoge dan pisang, G13 = KC + air kelapa + ekstrak taoge, ubi, dan pisang.

G1 G2 G3

G4 G6

G7 G8 G9

(37)

25

Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Bahan Organik Terhadap Beberapa Peubah Pertumbuhan Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea pada 24 MSI.

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji F 5% * = berbeda nyata pada taraf uji F 5%

Phalaenopsis gigantea pada 24 MSI.

Peubah Perlakuan berdasarkan uji DMRT pada tingkat kepercayaan.

G10= KC + air kelapa + ekstrak taoge, G11= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan ubi, G12= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan pisang, G13= KC + air kelapa + ekstrak taoge, ubi, dan pisang.

Pertumbuhan pangkal batang anggrek P. gigantea dapat dilihat

berdasarkan jumlah daun dan tunasnya. Eksplan yang memiliki jumlah daun dan

tunas terbanyak adalah perlakuan G13 (KC + air kelapa + ekstrak taoge + ekstrak

ubi + ekstrak pisang) yaitu 30 daun dan 22 tunas (Gambar 6). Pertumbuhan akar

diawali dengan benjolan kecil pada batang bagian atas, dan kemudian memanjang

membentuk akar (Gambar 7).

Peubah Pr> F KK Uji F

Persentase hidup eksplan 0,0244 20,14 *

(38)

Gambar 5. Morfologi kultur pangkal batang anggrek Phalaenopsis gigantea

pada beberapa perlakuan bahan organik setelah 24 MSI. G10= KC + air kelapa + ekstrak taoge, G11= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan ubi, G12= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan pisang, G13= KC + air kelapa + ekstrak taoge, ubi, dan pisang.

Gambar 6. Kultur Phalaenopsis gigantea dengan jumlah daun dan tunas terbanyak pada beberapa perlakuan bahan organik setelah 24 MSI. G10= KC + air kelapa + ekstrak taoge, G11= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan ubi, G12= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan pisang, G13= KC + air kelapa + ekstrak taoge, ubi, dan pisang

G11 G12

G12 G13

G10

G13

(39)

27

Gambar 7. Eksplan Anggrek P. gigantea yang Membentuk Akar pada beberapa

perlakuan bahan organik setelah 24 MSI. G10= KC + air kelapa + ekstrak taoge, G11= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan ubi, G12= KC + air kelapa + ekstrak taoge dan pisang, G13= KC + air kelapa + ekstrak taoge, ubi, dan pisang.

Kultur Daun (Tahap II)

Tingkat kontaminasi pada percobaan ini adalah 0%. Hasil pengamatan

pada masing-masing perlakuan terhadap peubah yang diamati menunjukan bahwa

PLBs berhasil diinduksi pada media A4 (½ MS+ 2 mg/l BAP) setelah 14 MSI

(Tabel 4). Morfologi kondisi daun setelah 16 MSI menunjukan jaringan pada

ujung daun yang dipotong mengalami kematian pada setiap perlakuan

(Gambar 8).

Kultur Pangkal Batang (Tahap II)

Kombinasi media ditambah dengan bahan kitosan memberikan pengaruh

yang berbeda terhadap peubah yang diamati. Hasil analisis sidik ragam

menunjukan bahwa perlakuan kitosan berpengaruh sangat nyata terhadap waktu

muncul tunas (Tabel 5). Hasil pengamatan pada masing-masing perlakuan

terhadap peubah yang diamati menunjukan bahwa perlakuan A14 (½ MS + 20

ppm kitosan) memberikan hasil terbaik untuk pertumbuhan tunas dan daun (Tabel

6).

Morfologi eksplan pada 8 MSI menunjukan bahwa respon pertumbuhan

eksplan sudah baik, namun daun pada beberapa perlakuan terlihat menguning

(Gambar 9). Pertumbuhan pangkal batang anggrek P. gigantea dapat dilihat

berdasarkan jumlah daun dan tunasnya. Eksplan yang memiliki jumlah daun dan

tunas terbanyak adalah perlakuan A14 (½ MS + 20 ppm kitosan) dengan 5 daun

dan 6 tunas (Gambar 10).

G12 G11

(40)

Tabel 4. Pengaruh BAP dan TDZ Terhadap Induksi Organogenesis Daun

Phalaenopsis gigantea pada 8 MSI.

Kode Media

(41)

29

Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Kitosan Terhadap Beberapa Peubah Pertumbuhan Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea pada 8 MSI.

Peubah Pr>F KK Perlakuan

Persentase hidup eksplan 0,8246 25,92x) tn

Waktu muncul daun 0,5284 23,27 tn

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata pada taraf uji F 5% * = berbeda nyata pada taraf uji F 5%

Tabel 6. Pengaruh Kitosan Terhadap Beberapa Peubah Pertumbuhan Pangkal Batang Phalaenopsis gigantea pada 8 MSI.

Peubah Perlakuan berdasarkan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 5%.

(42)

Gambar 9. Morfologi eksplan Phalaenopsis gigantea pada beberapa perlakuan kitosan setelah 8 MSI. A10 = ½ MS, A11= ½ MS + 5 ppm kitosan, A12 = ½ MS + 10 ppm kitosan, A13 = ½ MS + 15 ppm kitosan, A14 = ½ MS + 20 ppm kitosan.

Gambar 10. Eksplan Phalaenopsis gigantea dengan Jumlah Daun dan Tunas Terbanyak pada beberapa perlakuan kitosan setelah 8 MSI. A10 = ½ MS, A11= ½ MS + 5 ppm kitosan, A12 = ½ MS + 10 ppm kitosan, A13 = ½ MS + 15 ppm kitosan, A14 = ½ MS + 20 ppm kitosan.

A14 A13

A12 A11

A10

A10 A11 A12

(43)

31

Pembahasan

Kultur Daun

Kultur daun P. gigantea (Tahap I) tidak berhasil membentuk kalus atau

PLBs sampai 24 MSI. Kalus dan PLBs sempat terbentuk, namun kemudian mati.

Media yang kurang cocok dan browning atau pencoklatan diduga sebagai faktor

penyebab kematian eksplan. Proses pencoklatan eksplan dimulai dari bagian daun

yang dilukai, yang kemudian diduga mengeluarkan fenol. Fenol tersebut

menyebar pada media dan menyebabkan kematian eksplan. Kematian eksplan

akibat browning dan fenol sulit dikendalikan.

Kalus terbentuk pada media G6 (½ MS+ 1 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA),

namun kalus kemudian menghitam dan mati. Hal tersebut juga dilaporkan pada

hasil penelitian Rianawati et al., (2009) tentang kultur daun pada tiga hybrid

Phalaenopsis, dimana eksplan daun berubah warna menjadi kuning kecoklatan

dan kemudian menghitam pada hampir seluruh media perlakuan. Kematian

jaringan diduga dikarenakan eksplan gagal beregenerasi dan umur daun yang

sudah tua.

Hasil kultur daun menunjukan bahwa PLBs dapat terbentuk pada media

G8 ( ½ MS + 2 mg/l BAP + 0,01 mg/l NAA), walaupun PLBs kemudian mati.

Hasil penelitian ini tidak optimal bila dibandingkan dengan hasil penelitian

Handini dan Isnaini (2009) pada kultur daun P. sumatrana, meskipun media yang

digunakan untuk menginduksi PLBs terbanyak merupakan media yang sama

dengan penelitian ini. Isnaini (2011, komunikasi pribadi) menyatakan bahwa

jumlah PLBs terbanyak dijumpai pada media ½ MS dengan penambahan 2 mg/l

BAP dan 0,1 mg/l NAA pada kultur daun P. cornucervi.

Percobaan kultur daun P. gigantea (Tahap II) berhasil menginduksi PLBs

setelah 14 MSI. Sebagian besar daun masih berwarna hijau pada 8 MSI, kemudian

beberapa daun mati setelah 10 MS . Kematian daun pada beberapa eksplan diduga

karena adanya luka akibat pemotongan yang mengeluarkan senyawa fenol,

sehingga menganggu penyerapan unsur hara.

Hasil penelitian Latip et al., (2010) menunjukan bahwa penambahan

(44)

tertinggi (66%) pada kultur PLBs P. gigantea setelah 80 hari inkubasi (± 11 MSI).

Hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini, walaupun perlakuan yang

digunakan sama. Perbedaan hasil tersebut diduga dikarenakan perbedaan spesies

dan umur eksplan.

Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Tokuhara dan

Mii (1993), dimana penambahan 0,1 mg/l NAA dan 1 mg/l BAP pada media New

Dogashima Medium (NDM) memiliki persentase eksplan yang membentuk PLBs

terbanyak (71,4%) pada hibrid Phalaenopsis (P. gigantea x Doritaenopsis

odoriko). Tokuhara dan Mii (2001) menambahkan bahwa persentase eksplan

membentuk PLBs terbanyak (44%) dijumpai pada media NDM dengan

penambahan 0.1 mg/l NAA dan 1 mg/l BAP pada kultur tunas anggrek

Phalaenopsis hybrid. Media NDM memiliki unsur makro yang lebih rendah bila

dibandingkan dengan media ½ MS (Lampiran 1), sehingga media NDM lebih

baik untuk pertumbuhan P. gigantea yang biasa hidup ditempat yang kurang

unsur hara.

Hasil Penelitian Kartiman (2004) menunjukan bahwa kombinasi 0,5 mg/l

IBA dengan 1 mg/l BAP pada media ½ MS dapat meningkatkan jumlah PLBs

terbanyak (10 PLBs/eksplan) pada kultur PLBs P. gigantea. Selanjutnya, hasil

penelitian Latip et al., (2010) menunjukan bahwa penambahan 0,5 mg/l BAP pada

media NDM menghasilkan jumlah PLBs (3-46 PLBs/eksplan) dan PLBs

berkecambah (37,85%) terbanyak pada kultur PLBs P. gigantea. Penelitian

Kartiman (2004) dan Latip et al., (2010) menggunakan eksplan PLBs, sedangkan

penelitian ini menggunakan daun. Kultur daun masih lebih sulit bila dibandingkan

kultur PLBs dalam menginduksi PLBs P. gigantea. Hal tersebut dikarenakan

PLBs memiliki jaringan yang lebih muda bila dibandingan daun, sehingga respon

yang dihasilkan menjadi lebih baik.

Di lain pihak, Lee dan Lee (2003) melaporkan bahwa penambahan 0,1 - 1

mg/l TDZ pada media ½ MS, tidak dapat menginduksi kalus pada kultur PLBs

anggrek Cypripedium formosanum setelah 8 MSI. Selanjutnya, Peneliti tersebut

melaporkan bahwa kombinasi TDZ dengan 2,4 D berhasil menginduksi kalus

(45)

33

sebaliknya, perlakuan TDZ tunggal lebih baik daripada perlakuan kombinasi TDZ

dengan 1 mg/l NAA untuk membentuk kalus pada kultur kalus Kigela piñata.

Hasil penelitian Chen dan Chang (2004) menunjukan bahwa penambahan

3 mg/l TDZ pada media ½ MS memacu jumlah PLBs terbanyak (59,5

PLBs/petridish) pada kultur biji P. amabilis var Formosa Shimadzo. Selanjutnya

Chen dan Chang (2006) melaporkan bahwa penambahan 3 mg/l TDZ pada media

MS memiliki persentase eksplan embriogenesis (93,8%) dan jumlah embrio

terbanyak (19,4 embrio/eksplan) pada kultur daun P. amabilis. Gow et al., (2008)

melaporkan bahwa jumlah embrio terbanyak (7,8 embrio/eksplan) dapat terbentuk

pada media ½ MS ditambah 3 mg/l TDZ pada kultur daun P. amabilis.

Hasil penelitian Chen et al., (2000) menunjukan bahwa penambahan 0,1

mg/l TDZ memacu persentase eksplan membetuk PLBs (10,68%) dengan jumlah

PLBs (74 PLBs/eksplan) dan PLBs berkecambah (13 kecambah/eksplan) pada

kultur kalus Phalaenopsis hibrid. Perbedaan hasil penelitian ini diduga

dikarenakan oleh perbedaan media dasar, konsentrasi ZPT dan eksplan yang

digunakan. Selain itu, perbedaan spesies dapat menghasilkan respon yang berbeda

pula.

Kultur Pangkal Batang

Hasil pengamatan pada percobaan kultur pangkal batang (Tahap I)

menunjukan bahwa pertumbuhan eksplan memiliki respon yang beragam terhadap

media perlakuan. Pada umumnya eksplan masih berwarna hijau pada 10 MSI,

namun setelah 12 MSI banyak eksplan yang mengalami kematian. Kematian

eksplan paling banyak disebabkan oleh stress akibat pemotongan daun dan akar,

sehingga eksplan menjadi coklat dan kering. Selain itu, air kelapa, ekstrak ubi,

dan pisang merupakan bahan organik yang mengandung gula, sehingga

penambahan bahan bahan organik tersebut ke dalam media dapat menyebabkan

tekanan osmosis pada media semakin besar. Tekanan osmosis yang besar dapat

menyebabkan cairan pada eksplan keluar, sehingga eksplan akan mengering dan

mati.

Pengamatan pada keempat media menunjukan bahwa kematian eksplan

(46)

pisang). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Rahayu et al., (2010)

tentang pembesaran kecambah anggrek P. fuscata. Hasil penelitian tersebut

menunjukan bahwa persentase hidup eksplan tertinggi (100%) dijumpai pada

media KC ditambah air kelapa dan ekstrak pisang. Perbedaan tersebut diduga

disebabkan oleh berbedanya eksplan dan media yang digunakan. Eksplan

kecambah memiliki tingkat regenerasi lebih baik bila dibandingkan pangkal

batang, sehingga adaptasi eksplan terhadap media menjadi lebih baik.

Perlakuan G10 (KC + air kelapa + ekstrak taoge) merupakan perlakuan

terbaik untuk pembentukan daun, tunas, dan akar. Hasil penelitian ini berbeda

dengan hasil penelitian Widyastuti (2003) pada pembesaran kecambah

P. gigantea. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan daun (5,1

daun/eksplan) dan tunas (2,3 tunas/eksplan) terbaik dijumpai pada media KC

dengan penambahan ekstrak ubi.

Jumlah daun P. gigantea setelah 24 MSI tidak dipengaruhi oleh

kandungan bahan organik pada media. Hasil uji sidik ragam menunjukan bahwa

jumlah daun pada keempat perlakuan tidak nyata. Perlakuan G10 (KC + air kelapa

+ ekstrak taoge) memiliki jumlah daun tertinggi, namun ketika dikombinasikan

dengan ekstrak bahan organik lainnya menghasilkan jumlah daun yang lebih

rendah. Seperti halnya dengan penelitian Rahayu et al., (2010) menunjukan bahwa

penambahan air kelapa dan ekstrak taoge pada media KC memiliki rataan jumlah

daun tertinggi (4,38 daun/eksplan) pada kultur kecambah P. fuscata, namun ketika

dikombinasikan dengan ubi atau pisang menghasilkan jumlah daun yang lebih

rendah. Spesies Phalaenopsis diduga tidak tumbuh dengan baik pada media

dengan bahan organik yang komplek.

Perlakuan media G12 (KC + air kelapa + ekstrak taoge + ekstrak pisang)

kurang optimal dalam pertumbuhan daun. Untari dan Puspitaningtyas (2006)

melaporkan bahwa penambahan ekstrak pisang pada media kultur anggrek hitam

(Coelogyne pandurata Lindl.), tidak lebih baik pertumbuhannya bila

dibandingkan pada media kultur tanpa bahan organik. Hasil penelitian ini

berbanding terbalik dengan hasil penelitian Widiastoety dan Purbadi (2003) yang

(47)

35

dengan penambahan pisang. Spesies anggrek diduga memiliki respon yang

berbeda-beda terhadap bahan organik yang sama.

Penambahan ekstrak pisang pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap

pertumbuhan tunas P. gigantea. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian

Untari dan Puspitaningtyas (2006) pada kultur kecambah anggrek hitam

(Coelogyne pandurata Lindl.), dimana penambahan ekstrak pisang memberikan

hasil terbaik dalam jumlah tunas (4,1 tunas/eksplan). Demikian pula hasil

penelitian Rahayu et al., (2010) yang menunjukan bahwa penambahan ekstrak

pisang pada kultur in vitro P. fuscata memiliki pertumbuhan eksplan yang lebih

baik. Akan tetapi, kombinasi ekstrak ubi dan pisang pada P. fuscata memiliki

pertumbuhan yang kurang baik. Bahan organik kompleks seperti air kelapa,

ekstrak nanas dan kentang dilaporkan kaya akan energi dan mengandung vitamin

dan hormon tanaman (Arditti dan Abdul Karim, 2000). Pemberian bahan organik

yang berlebihan diduga dapat mengakibatkan toksis bagi eksplan.

Penurunan hasil akibat bahan organik yang terlalu kompleks dilaporkan

pula oleh Murdad et al., (2010) pada kultur PLBs anggrek P. gigantea, dimana

penambahan ekstrak kentang atau sukrosa saja pada media XER menghasilkan

indeks pertumbuhan terbaik (537). Akan tetapi pada media dengan penambahan

kentang dan gula menyebabkan pertumbuhan menjadi lebih lambat. Hal ini

menunjukan bahwa P. gigantea memiliki kebutuhan nutrisi yang sedikit untuk

memacu pertumbuhannya.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penambahan air kelapa, ekstrak

taoge dan pisang (G12) memberikan hasil yang cukup baik untuk pertumbuhan

akar P. gigantea. Widyastuti (2003) melaporkan bahwa penambahan ekstrak

pisang pada media Vacin and Went (VW) dan ½ MS memberikan hasil terbaik

bagi pertumbuhan akar anggrek P. gigantea yaitu 3,1 akar/eksplan. Selanjutnya,

Rahayu et al., (2010) melaporkan bahwa penambahan ekstrak pisang pada media

KC memberikan hasil terbaik bagi pertumbuhan akar P. fuscata yaitu 4,15

akar/eksplan. Hasil penelitian Untari dan Puspitaningtyas (2006) justru

sebaliknya, dimana penambahan ekstrak pisang tidak optimal bagi pertumbuhan

Gambar

Gambar 1. Anggrek Phalaenopsis gigantea.
Gambar 2. Bunga Phalaenopsis gigantea.
Gambar 3.  Alur Percobaaan
Gambar 1. Anggrek Phalaenopsis gigantea.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan Interaksi konsentrasi POC Nasa dan berbagai media tanam memberikan pengaruh nyata terhadap parameter Jumlah anakan dan Total luas daun tanaman