• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap metafora dan EMOSI STATIF sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli. Berikut dijelaskan hasil-hasil penelitian yang relevan dan terkait dengan penelitian ini.

Mulyadi (2010), dalam artikelnya yang berjudul “Verba Emosi Statif dalam Bahasa Melayu Asahan”, membahas sejumlah komponen semantis untuk menentukan subkategori verba emosi statif dalam bahasa Melayu Asahan, tipe-tipe dan ciri-ciri dari komponennya. Teori yang digunakannya adalah teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Teori ini dipakai untuk menentukan tipe-tipe dan subkategori verba emosi statif dan struktur semantis verba tersebut. Data dikumpulkannya melalui kuisioner, observasi, dan wawancara. Data verba emosi statif dianalisis dengan metode padan, sedangkan untuk penyajian hasil analisis data digunakan dengan metode informal dan formal.

16

Hasil kajian Mulyadi menunjukkan bahwa verba yang bermakna emosi statif dalam bahasa Melayu Asahan mempunyai empat subkategori, yaitu (1) ‘sesuatu yang buruk telah terjadi’ (“mirip sodih”), (2) ‘sesuatu yang buruk dapat/akan terjadi’ (“mirip takut”), (3)’orang-orang dapat memikirkan sesuatu yang buruk tentang aku’ (“mirip malu”), dan (4)’aku tidak berpikir bahwa hal seperti ini dapat/akan terjadi’ (“mirip heran”). Dalam struktur semantis MSA, tipe ini memiliki ciri komponen ‘X merasakan sesuatu, bukan karena X menginginkannya’. Penelitian Mulyadi mempunyai kelemahan, karena verba emosi statif dalam bahasa Melayu Asahan umumnya tergolong intransitif murni. Sebab itu, tidak semua anggotanya dapat diuji dengan tes kausatif. Kontribusi Mulyadi ini, akan dikembangkan pada penelitian verba emoshi aktif, makna verba emosi, dan peran semantis argumen verba emosi dalam bahasa Melayu Asahan.

Selanjutnya, Silalahi (2005), dalam tulisannya yang berjudul “Metafora dalam Bahasa Batak Toba” dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, membahas jenis metafora kata dan struktur/pola metafora dalam bahasa Batak Toba. Teori yang digunakannya adalah teori MK (Metafora Konseptual). Teori ini dipakai untuk menganalisis penyamaan yang bersifat lintas ranah konseptual di dalam sistem konseptual yang memiliki hakikat dan struktur metafora dalam bahasa Batak Toba. Untuk menganalisis data dilakukan pendekatan terhadap semantik kognitif, yang menganggap bahwa makna bahasa merupakan bagian dari persoalan mental.

17

Hasil penelitian Silalahi memiliki struktur/pola metafora dalam bahasa Batak Toba dan dapat diformulasikan, seperti: X adalah Y, atau X sebagai Y. Jenis metafora kata yang dibahasnya adalah metafora kata sebagai benda, kata sebagai cairan, kata sebagai hewan, kata sebagai makanan, kata sebagai manusia, kata sebagai perjalanan, kata sebagai senjata dan kata sebagai tumbuhan. Kajiannya mencakup metafora orientasional, ontologikal, metafora dan inferensi. Penelitian Silalahi mempunyai kelemahan, yaitu adakalanya pendengar tidak dapat langsung memahami arti yang dimaksudkan penutur, ketika mengucapkan ujaran dan harus mengandalkan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran/hubungan antarujaran. Kontribusi Silalahi dari penelitiannya akan dikembangkan pada penelitian tentang hubungan makna literal dan makna konteks.

Siregar (2005), dalam artikelnya yang berjudul “Emosi dan Kebudayaan dalam Metafora”, membahas tentang metafora mengonseptualisasikan emosi serta perannya. Teori yang digunakannya adalah linguistik kognitif, teori ini dipakai untuk menganalisis persoalan gagasan, pikiran dan perasaan. Ini dikonseptualisasikan dan diungkapkan ke dalam bahasa. Untuk menganalisis data, dia mengaitkan dengan skenario prototipikal emosi menurut Konvecses, yang memperkenalkan tentang skenario MARAH.

Hasil penelitian Siregar menyatakan bahwa bahasa adalah refleksi kebudayaan. Penutur bahasa melakukan tindak ujaran yang merefleksikan nilai dan

18

keyakinan dalam kebudayaan karena menurutnya, kebudayaan mempengaruhi bahasa dan bahasa berperan dalam membentuk kebudayaan. Kebudayaan dalam metafora meliputi wujud waktu, ruang, proses mental, emosi, nilai moral, pranata sosial dan politik. Adapun kontribusi Siregar dari penelitiannya, akan dikembangkan pada penelitian tentang kemarahan dengan mengonseptualisasikan emosi ke dalam metafora dari kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis, Minangkabau, Batak, dan Dayak.

Hasibuan (2005), dalam artikelnya yang berjudul “Metafora dan Metonimi Konseptual (Data Bahasa Mandailing)”, menganalisis jenis-jenis daripada metafora konseptual, yakni: metafora orientasional, metafora ontologikal dan metafora struktural. Selain itu, dia juga menjelaskan keterkaitan antara metafora dengan inferensi, dan jenis dari metonimi konseptual, yakni metonimi proposisional dan metonimi referensial. Teori yang digunakannya adalah teori Metafora Konseptual. Teori ini dipakai untuk memaparkan bentuk metafora berorientasi NAIK-TURUN dalam Bahasa Mandailing, yaitu mempersepsikan sesuatu kemaslahatan atau kebaikan apabila dikategorikan NAIK, dan sebaliknya, sesuatu itu merupakan kemudaratan atau keburukan apabila dikategorikan TURUN. Dari hasil penelitiannya ditunjukkan bahwa dalam bahasa Mandailing tidak semua yang menunjukkan arah NAIK atau tinggi itu dipersepsi secara positif, dan demikian juga sebaliknya, tidak semua yang menunjukkan arah TURUN atau di bawah itu dipersepsi secara negatif.

19

Data penelitiannya dianalisis dengan dua cara, yakni yang pertama: bersifat leksikal, dengan liputan: kata dasar dan derivasinya, kata ulang, kata majemuk, dan idiom. Kedua: berupa frasa dan kalimat. Untuk perolehan data yang bersifat leksikal, kamus menjadi sumbernya dan perolehan data berupa frasa dan kalimat bersumber dari buku bacaan berbahasa daerah Mandailing. Sebagai data tambahan, digunakan data lisan yang berasal dari penutur bahasa Mandailing. Dia menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa dalam bahasa Mandailing, oleh masyarakatnya, hal yang menunjukkan NAIK atau tinggi di atas, tidak selalu dipersepsi sebagai sesuatu yang bersifat positif (seperti: na gincat roha ‘orang sombong’; na gincat angan-angan ‘orang pelamun’; gincat rasoki ‘tidak bernasib mujur’, dan sebagainya). Sebaliknya, mereka mempersepsi sesuatu yang TURUN atau di bawah (dan dapat dijangkau itu) sebagai sesuatu yang bersifat positif (seperti: na toruk roha ‘orang ramah’; rondo

rasoki ‘bernasib mujur’). Bentuk metafora dalam bahasa Mandailing bersifat

divisibel. Hubungan antara komponen yang membentuk struktur sintagmatis metafora tidak tetap dan kaku. Artinya, di antara komponen yang membentuk ungkapan metaforis masih dapat disisipi oleh unsur lain.

Mulyadi (2014), dalam artikelnya yang berjudul “Konsep Emosi dalam Bahasa Indonesia”, membahas tentang bagaimana pengungkapan makna emosi dan norma budayanya dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan ancangan wacana kebudayaan, mendeskripsikan kategori emosi positif dan negatif. Kategori emosi yang dibicarakan mencakup emosi positif, seperti: gembira, bangga, lega dan emosi

20

negatif, seperti: marah, sedih, dan kecewa. Dengan menggunakan ancangan wacana kebudayaan, akan diperlihatkan keteraturan makna emosi dalam bahasa Indonesia dan implikasinya terhadap norma budaya yang berlaku pada masyarakat tersebut.

Teori yang digunakannya adalah teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Teori ini dipakai untuk melihat kategori emosi dari ancangan wacana budayanya. Hasil analisisnya memperlihatkan bahwa konsep emosi dalam bahasa Indonesia terbentuk dalam wacana yang melibatkan komponen semantis, seperti: ‘perasaan’, ‘pikiran’, ‘perkataan’, ‘pengetahuan’, ‘penglihatan’, ‘tindakan’, dan ‘keinginan’. Makna emosi yang terbentuk direpresentasikan dalam kerangka berikut:’ X memikirkan sesuatu seperti ini…..’; ‘karena ini, X merasakan sesuatu……’. Norma umum yang berhubungan dengan konsep emosi diformulasikan dalam komponen ‘aku tidak ingin seseorang merasakan sesuatu yang buruk.

Rahardjo (2009), dalam skripsinya yang berjudul “Metafora Pengungkapan Cinta pada Pantun Melayu”, mengidentifiksi bentuk-bentuk metafora pengungkapan cinta, mendeskripsikan pemetaan konseptual antara ranah sumber dan ranah sasaran. Adapun teori yang digunakannya adalah teori MK (Metafora Konseptual), teori ini dipakai untuk menentukan bentuk-bentuk dan ranah-ranah metafora pengungkapan cinta. Data dianalisis melalui subbab “cinta yang Berjaya” pada buku berjudul

Kumpulan Pantun Melayu. Penelitiannya bersifat deskriktif yang sumber datanya

21

Hasil dari penelitian Rahardjo, didapat (1) bentuk-bentuk metafora pengungkapan cinta pada pantun Melayu, (2) ranah-ranah yang digunakan untuk mengonseptualisasikan cinta, dan (3) hubungan pemetaan konseptual antarranah tersebut. Hasil analisinya menunjukkan bahwa metafora pengungkapan cinta pada pantun Melayu ditemukan 19 ranah sumber yang mengonseptualisasikan cinta pada bagian maksud pantun, berdasarkan kategori lahiriah bentuk metafora yang ada pada data pantun kebanyakan berkategori nomina. Kategori lahiriah lainnya hanya berupa satu kategori kata berupa verba, yaitu karam; dan tiga kata berkategorisasi adjektiva, yaitu wangi, hangus, dan hangat.

Muslich (2007), dengan judul artikelnya “Makna Emosi dan Norma Budaya dalam Bahasa Indonesia”, menganalisis tentang konsep dan makna emosi, komponen makna dalam wacana kebudayaan, norma budaya Indonesia dan komunikasi verbal dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Selain analisisnya menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan, dia juga mengikuti dan memperkenalkan cara kerja Wierzbicka, serta teori NSM untuk memaparkah konteks leksikon emosi, ungkapan verbal seperti gembira, sedih, marah dengan memparafrasekan kata tersebut. Hasil analisisnya, kombinasi makna melalui mekanisme semacam itu dalam kenyataannya bisa menghasilkan sebuah wacana atau skenario yang merefleksikan keunikan atau kekhasan sebuah kelompok masyarakat.

Kontribusinya ialah wacana ini diformulasikan dalam makna alamiah metabahasa, berdasarkan satu unit leksikon universal dan pola sintaksis universal,

22

dengan menggunakan teori itu untuk mendeskripsikan dan membandingkan sikap-sikap, asumsi-asumsi, norma-norma, dan pandangan kebudayaan yang independen, cara ini dilakukan berdasarklan formula sederhana dan dapat dibuktikan secara cermat dan empiris. Kelebihan dari analisis yang dilakukannya ialah istilah wacana kebudayaan pada dasarnya merujuk pada susunan komponen wacana dan skenario, karena susunan komponen ini bisa digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya tanpa menimbulkan bias etnosentris. Kekurangan dari analisnya ialah konsep yang relevan tidak ditemukan dalam kebudayaan yang diteliti.

Nirmala (2012), dalam artikelnya yang berjudul “Korespondensi Konseptual antara Ranah sumber dan Ranah Target dalam Ungkapan Metaforis di surat Pembaca Harian Suara Merdeka”, membahas tentang hubungan kesamaan sifat, ciri, kekuatan antara ranah sumber dan target, dan hubungan atau korespondensi, karena pengalaman yang dirasakan oleh tubuh. Teori metafora yang dijadikan dasar analisis data dalam penelitannya, adalah teori metafora. Penyediaan datanya dilakukan dengan metode simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik catat. Selain itu, metode intuisi juga digunakannya sebagai pendamping penyediaan data.

Hasil kajian Nirmala dari teoretis dan analisis data dapat dipresentasikan proses kognitif dan dapat ditunjukkan melalui hubungan atau korespondensi yang terjadi antara ranah sumber dan ranah target yang terdapat dalam ungkapan metaforis yang ada di surat pembaca harian Suara Merdeka. Proses kognitif yang terjadi dalam menghasilkan ungkapan metaforis adalah dengan mengonseptualisasikan kesamaan sifat, ciri, dan kekuatan yang dimiliki sumber dengan yang dimiliki target, dengan

23

tujuan untuk menggambarkan kejadian atau pengalaman yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh penulis surat pembaca tentang segala yang terjadi di masyarakat. Strategi yang digunakannya untuk mengonseptualisasikan adalah dengan strategi asosiatif.

24

Dokumen terkait