• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metafora EMOSI STATIF dalam Bahasa Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Metafora EMOSI STATIF dalam Bahasa Batak Toba"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

METAFORA ‘EMOSI STATIF’ DALAM BAHASA BATAK TOBA

SKRIPSI

Oleh:

MEI DITAWATY SIMANJUNTAK

NIM : 110701053

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

METAFORA ‘EMOSI STATIF’ DALAM BAHASA BATAK TOBA

SKRIPSI

Oleh

MEI DITAWATY SIMANJUNTAK NIM 110701053

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling. Dra. Sugihana br.Sembiring,M.Hum.

NIP 19541024 198203 1 002 NIP 19600307 198601 1 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

(3)

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan dalam memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang diacuh secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sangsi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Agustus 2015

(4)

ii

METAFORA ‘EMOSI STATIF’ DALAM BAHASA

BATAK TOBA

Mei Ditawaty Simanjuntak

(Fakultas Ilmu Budaya USU)

ABSTRAK

Skripsi ini mendeskripsikan makna dan pemetaan konseptual metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba dengan kajian Sematik. Data yang digunakan adalah data lisan, data tulis, dan data intuitif yang dikumpulkan dengan metode simak dan metode cakap. Teori yang digunakan adalah teori metafora konseptual. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan dengan teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, bahwa makna metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba merupakan suatu bentuk ekspresi emosi Masyarakat Batak Toba yang mempunyai hubungan sebab-akibat antara situasi sosial dengan pemahamannya terhadap situasi tersebut yang disampaikan melalui bahasa Batak Toba. Pemetaan konseptual metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba ada 15 yang mengandung hubungan sebab-akibat, hubungan itu dapat dilihat dari pemetaan konseptual antara ranah sasarang dan ranah sumber pada pemetaan konseptual.

(5)

iii

PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dimana atas segala Kasih dan berkat-Nya yang telah menuntun peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Metafora EMOSI STATIF dalam Bahasa Batak Toba”.

Peneliti banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, berupa bantuan moral seperti doa, dukungan, nasihat, dan petunjuk praktis, maupun bantuan material.

Peneliti tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, demikian juga peneliti ucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnah Lubis, M.A. selaku wakil Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan selaku wakil Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku wakil Dekan III.

(6)

iv

3. Drs. Haris Sultan Lubis, M.SP., sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan motivasi serta memberikan informasi terkait perkuliahan kepada peneliti.

4. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling. selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing peneliti dengan penuh tanggung jawab dan mengarahkan peneliti dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih juga karena telah bersedia memeriksa keseluruhan skripsi ini sampai bagian-bagian terkecil.

5. Dra. Sugihana br. Sembiring, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing peneliti, memberikan masukan dan saran serta mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi.

6. Dr. Ida Basaria, M.Hum. selaku penguji skripsi, yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun kepada peneliti.

7. Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. selaku penguji skripsi, yang telah memberikan kritik dan saran yang mengenai diksi dalam penulisan skripsi. 8. Dra., Keristiana, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah

(7)

v

9. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama peneliti menjalani masa perkuliahan, serta pegawai administrasi, Bapak Slamet yang membantu peneliti dalam menyelesaikan segala urusan administrasidi perkuliahan.

10.Bapak Junios Lumbantobing, selaku Kepala Desa Aek Siansimun, yang telah memberikan izin kepada peneliti dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.

11.Ibu Benita Simatupang, Ibu Rospita Lumbantobing, Bapak Kasmin Sinaga, Ibu Sihot Meri Panjaitan, Ibu Evi Hutagalung, Ibu Nuryati Lumbantobing, Ibu Lidya Lumbantobing, dan Bapak Togar Simanullang, yang telah membantu dan melengkapi data peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

12.Secara khusus peneliti ucapkan teristimewa kepada Ayahanda Pendy

Simanjuntak, BA. dan Ibunda tercinta Rosnita Simanullang, yang selalu

hadir dalam setiap kehidupan, mengajari berbagai hal, motivasi setiap waktu, mendukung baik dari segi moril, materi dan doa, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Kakakku Jerry Corry Simanjuntak, AmK. serta abangku Horas Parnasipan Simanjuntak, SH. Serta adekku Josua

Simanjuntak, yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan doa kepada

(8)

vi

13.Kepada seluruh Teman-teman stambuk 2011 di departemen sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara, teristimewa kepada Relin Tinambunan yang selalu memotivasi peneliti dan selalu ada tiap peneliti senang maupun sedih, terima kasih telah menjadi sahabat yang sangat baik dan setia mendukung peneliti. Serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

14.Teman spesialku, Josua Sinambela yang telah banyak membantu peneliti dan memberikan dukungan, semangat dan doanya untukku dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan penelitian lebih lanjut. Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini, dapat bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan wawasan kita semua. Terima kasih.

Medan, Agustus 2015 Peneliti,

(9)

vii

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

‘…’ : Makna

1TG : Pronomina orang pertama tunggal 2TG : Pronomina orang kedua tunggal 3TG : Pronomina orang ketiga tunggal 1JMK : Pronomina orang pertama jamak 3JMK : Pronomina orang ketiga jamak AKT : Pemarkah aktif

DET : Determinan dsb : dan sebagainya Ha : Hektare

KON : Konfiks KONJ : Konjungsi PART : Partikel

(10)

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN………..i

ABSTRAK………..ii

PRAKATA……….iii

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN………..vii

DAFTAR ISI ………...………viii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ………..xii

BAB I PENDAHULUAN……….……….1

1.1 Latar Belakang ……….1

1.2 Rumusan Masalah……….5

1.3 Batasan Masalah………...5

1.4 Tujuan Penelitian……….………...6

1.5 Manfaat Penelitian…...….….………...6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA…..…..8

2.1 Konsep……….………...…8

2.1.1 Metafora...………..8

2.1.2 Metafora Konseptual……….9

2.1.3 Emosi....………..………….………..9

2.1.4 EMOSI STATIF……….……….………...…..11

2.2 Landasan Teori.………..……....11

(11)

ix

BAB III METODE PENELITIAN……….………24

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………...……...24

3.1.1 Lokasi Penelitian………... 24

3.1.2 Waktu Penelitian...……….…..……….…...27

3.2 Sumber Data……….27

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data…………...………28

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data……….…..………...29

BAB IV PEMBAHASAN...33

4.1 Makna Metafora EMOSI STATIF dalam Bahasa Batak Toba……….33

4.1.1 Makna Metafora Sogo Roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan………..34

4.1.2 Makna Metafora Muruk ‘Marah’ sebagai Api………..34

4.1.3 Makna Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Perlawanan…………...35

4.1.4 Makna Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan………...36

4.1.5 Makna Metafora Late ‘Dengki’ sebagai Tumbuhan………..36

4.1.6 Makna Metafora Lungun (Roha) ‘Sedih’ sebagai Benda Tajam...37

4.1.7 Makna Metafora Marsak ‘Susah’ sebagai Benda Tajam………..38

4.1.8 Makna Metafora Hancit Roha ‘Sakit Hati’ sebagai Tali……….38

4.1.9 Makna Metafora Hancit Roha ‘Sakit Hati’ sebagai Makanan…39 4.1.10 Makna Metafora Biar ‘Takut’ sebagai Cairan……….40

4.1.11 Makna Metafora Hosom ‘Dendam’ sebagai Perkelahian………41

4.1.12 Makna Metafora Lomos ‘Bimbang’ sebagai Perjalanan……….41

(12)

x

4.1.14 Makna Metafora Busisaon ‘Gelisah’ sebagai Matahari……….42

4.1.15 Makna Metafora Elat ‘Iri’ sebagai Rasa………43

4.2 Pemetaan Konseptual Metafora EMOSI STATIF……….44

4.2.1 Metafora Sogo Roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan………...45

4.2.2 Metafora Muruk ‘Marah’ sebagai Api………47

4.2.3 Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Perlawanan………49

4.2.4 Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan………50

4.2.5 Metafora Late ‘Dengki’ sebagai Tumbuhan………..52

4.2.6 Metafora Lungun (Roha) ‘Sedih’ sebagai Benda Tajam………54

4.2.7 Metafora Marsak ‘Susah’ sebagai Benda Tajam…………...….55

4.2.8 Metafora Hancit Roha ‘Sakit Hati’ sebagai Tali………...57

4.2.9 Metafora Hancit Roha ‘Sakit Hati’ sebagai Makanan……...59

4.2.10 Metafora Biar ‘Takut’ sebagai Cairan………...60

4.2.11 Metafora Hosom ‘Dendam’ sebagai Perkelahian…………...62

4.2.12 Metafora Lomos ‘Bimbang’ sebagai Perjalanan………63

4.2.13 Metafora Asi (Roha) ‘Kasihan’ sebagai Tumbuhan…………..65

4.2.14 Metafora Busisaon ‘Gelisah’ sebagai Matahari………67

4.2.15 Metafora Elat ‘Iri’ sebagai Rasa………...68

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………...69

5.1Simpulan………69

(13)

xi

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN 1: Butir EMOSI STATIF LAMPIRAN 2: Data Penelitian

LAMPIRAN 3: Data Informan

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1.1 Peta Lokasi Penelitian………..26

DAFTAR TABEL

Table 2.1 Pemetaan Metafora CINTA sebagai ALAT TULIS………...………...13

Tabel 3.1 Pemetaan Konseptual Metafora sogo roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan………....31 Tabel 4.2.1 Pemetaan Konseptual Metafora sogo roha ‘Benci’ sebagai

Tumbuhan………46 Tabel 4.2.2 Pemetaan Konseptual Metafora Muruk ‘Marah’ sebagai

Api………...47 Tabel 4.2.3 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai

Perlawanan...49 Tabel 4.2.4 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan...51 Tabel 4.2.5 Pemetaan Konseptual Metafora Late ‘Dengki’ sebagai

Tumbuhan………....52 Tabel 4.2.6 Pemetaan Konseptual Metafora Lungun (roha) ‘Sedih’ sebagai Benda

(15)

xiii

Tabel 4.2.7 Pemetaan Konseptual Metafora Marsak ‘Susah’ sebagai Benda Tajam………...………56 Tabel 4.2.8 Pemetaan Konseptual Metafora hancit roha ‘sakit hati’ sebagai

Tali……..……….57 Tabel 4.2.9 Pemetaan Konseptual Hancit (Roha) ‘Sakit Hati’ sebagai

Makanan………..59 Tabel 4.2.10 Pemetaan Konseptual Metafora Biar ‘Takut’ sebagai Cairan……….61 Tabel 4.2.11 Pemetaan Konseptual Metafora Hosom ‘Dendam’ sebagai

Perkelahian………..………62 Tabel 4.2.12 Pemetaan Konseptual Metafora lomos ‘Bimbang’ sebagai

Perjalanan……….………..64 Tabel 4.2.13 Pemetaan Konseptual Metafora Asi (Roha) ‘Kasihan’ sebagai

Tumbuhan……….……….66 Tabel 4.2.14 Pemetaan Konseptual Metafora Busisaon ‘Gelisah’ sebagai

(16)

ii

METAFORA ‘EMOSI STATIF’ DALAM BAHASA

BATAK TOBA

Mei Ditawaty Simanjuntak

(Fakultas Ilmu Budaya USU)

ABSTRAK

Skripsi ini mendeskripsikan makna dan pemetaan konseptual metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba dengan kajian Sematik. Data yang digunakan adalah data lisan, data tulis, dan data intuitif yang dikumpulkan dengan metode simak dan metode cakap. Teori yang digunakan adalah teori metafora konseptual. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan dengan teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, bahwa makna metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba merupakan suatu bentuk ekspresi emosi Masyarakat Batak Toba yang mempunyai hubungan sebab-akibat antara situasi sosial dengan pemahamannya terhadap situasi tersebut yang disampaikan melalui bahasa Batak Toba. Pemetaan konseptual metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba ada 15 yang mengandung hubungan sebab-akibat, hubungan itu dapat dilihat dari pemetaan konseptual antara ranah sasarang dan ranah sumber pada pemetaan konseptual.

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa digunakan penuturnya untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud hati dan perasaannya dalam berbagai situasi dan tujuan komunikatif. Bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dari penutur bahasa itu sendiri. Salah satu unsur kebudayaan Indonesia, yaitu bahasa daerah yang terdapat di kawasan nusantara. Pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah sangat penting untuk pemerkaya kebudayaan nasional, nilai-nilai kebudayaan tradisional yang diungkapkan ke dalam bahasa-bahasa daerah. Indonesia memiliki ragam bahasa daerah, salah satunya di Tapanuli Utara yang menggunakan bahasa Batak Toba. Hampir semua penduduknya menggunakan bahasa daerah tersebut sebagai alat komunikasi sehari-hari. Pada umumnya setiap suku lebih senang mempergunakan bahasa daerahnya sendiri, sebab bahasa daerah dianggap mempunyai ciri khas tersendiri dalam diri penuturnya.

(18)

2

sebagai ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari predikasi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1998: 65).

Makna metafora berperan di dalam kehidupan sehari-hari manusia, tidak hanya di dalam bahasa, tetapi juga dalam pikiran dan tingkah laku. Lakoff mengatakan bahwa metafora adalah bagian dari sistem kognisi kita sebagai manusia, ia adalah modus kita dalam berpikir dan bertindak. Manusia berpikir dengan melihat kemiripan satu pengalaman dengan pengalaman yang lain. Metafora merupakan dasar mutlak dari pikiran manusia yang terungkap dalam berbahasa.

Konvecses (dalam Nirmala, 2012:4) mengatakan bahwa, metafora memiliki dua komponen, yaitu: target dan sumber. Target biasanya lebih abstrak, dan sumber lebih konkrit. Untuk dapat memahami maksud yang terkandung dalam metafora, ditemukan kesamaan karakteristik yang dimiliki antara sasaran dan sumber. Dengan membandingkan karakteristik yang dimiliki keduanya, akan ditemukan dasar suatu metafora digunakan. Secara formal dan fungsional, konsep metafora muncul bersamaan dengan proses pemikiran manusia, dan sebagian besar tidak disadari. Hal ini merupakan struktur dasar dari penalaran bahwa pikiran digunakan untuk memahami aspek abstrak yang rumit.

(19)

3

aktif dan emosi statif. Emosi aktif adalah emosi gagasan yang disengaja atau dikehendaki oleh pengalam, sedangkan emosi statif yang akan dikaji oleh peneliti adalah emosi yang muncul dan tidak dikehendaki oleh pengalam. Situasi dan kondisi lingkungan seseorang mampu memicu terjadinya perubahan emosi, kadang-kadang emosi yang dirasakan oleh seorang penutur diungkapkan secara verbal dengan cara yang berlebihan, sehingga ungkapan verbal yang dilontarkan secara spontan tersebut, dirasakan memiliki makna lain.

Emosi yang tertanam pada diri manusia itu sendiri cenderung bersifat negatif, tidak diinginkan atau dikehendaki oleh pengalam terjadi pada dirinya ditandai dengan EMOSI STATIF. Dalam bahasa Batak Toba, banyak butir leksikal yang bermakna EMOSI STATIF, yaitu: sogo roha ‘benci’, muruk/rimas ‘marah’,

late ‘dengki’, lungun (roha) ‘sedih’, marsak ‘susah’, hancit roha ‘sakit hati’, biar

‘takut’, hosom ‘dendam’, lomos ‘bimbang’, asi (roha) ‘kasihan’, busisaon ‘gelisah’

dan elat ‘iri’ (Lihat lampiran 1). Di bawah ini, salah satu contoh metafora EMOSI

STATIF yang digunakan oleh penutur bahasa Batak Toba:

Nunga tung marurat sogo ni roha na

Sudah PART. Berakar benci 3TG ‘Sudah berakar rasa bencinya’

Pada contoh di atas, terlihat bahwa metafora yang digunakan adalah metafora

(20)

4

ranah tumbuhan. Kata marurat ‘berakar’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan benci seseorang yang sangat dalam terhadap orang lain.

Manusia dengan muatan emosionalnya dapat menggunakan ungkapan metaforis untuk mewakili apa yang dirasakan, dialami, dan dipikirkan. Peneliti beranggapan bahwa dalam berbahasa, masyarakat Batak Toba tidak selalu memakai lambang yang secara langsung mengacu pada objeknya atau pemakaian bahasa kias yang dikenal dengan metafora.

Penelitian terhadap kajian metafora dan emosi sudah pernah dilakukan oleh para ahli. Misalnya, Siregar (2005) dengan judul artikel “Emosi dan Kebudayaan dalam Metafora”, Hasibuan (2005) dengan judul artikel “Metafora dan Metonimi Konseptual (Data Bahasa Mandailing)”, Silalahi (2005) dengan judul artikelnya “Metafora dalam Bahasa Batak Toba”, Muslich (2007), dengan judul artikel “Makna Emosi dan Norma Budaya dalam Bahasa Indonesia”, Rahardjo (2009) dengan judul skripsinya “Metafora Pengungkapan Cinta pada Pantun Melayu”, Mulyadi (2010) dengan judul artikelnya “Verba Emosi Statif dalam Bahasa Melayu Asahan”, Nirmala (2012) dengan judul artikel “Korespondensi Konseptual antara Ranah Sumber dan Ranah Target dalam Ungkapan Metaforis di surat Pembaca Harian Suara Merdeka”, dan Mulyadi (2014) dengan judul artikel “Konsep Emosi dalam Bahasa Indonesia”.

(21)

5

kurang mendapat perhatian dari ahli bahasa. Dikhawatirkan pada suatu saat, bahasa daerah yang ada di Indonesia satu demi satu akan lenyap, sebagai dampak dari globalisasi saat ini, bila tidak ada linguis yang turun tangan untuk menelitinya, membinanya dan membuat deskripsi tentang bahasa-bahasa tersebut (Suhadi, 2000). Mengingat hal inilah, peneliti tertarik untuk menganalisis Metafora EMOSI STATIF

dalam Bahasa Batak Toba, karena sejauh yang peneliti amati, belum ada yang

mengaji mengenai judul tersebut. Pertimbangan lain juga melatarbelakangi penelitian terhadap EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba, karena peneliti merupakan penutur bahasa Batak Toba sendiri, yang mana memiliki kemampuan berbahasa Batak Toba.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam proposal ini adalah :

1. Apakah makna Metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba? 2. Bagaimanakah pemetaan konseptual Metafora EMOSI STATIF?

1.3 Batasan Masalah

(22)

6

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah memaparkan metafora bahasa penutur Batak Toba, khususnya metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba yang sesuai dengan persepsi dan konsepsi dari penuturnya. Selanjutnya, tujuan khusus penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan makna metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba dan (2) mendeskripsikan pemetaan konseptual Metafora EMOSI STATIF.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini mencakup dua hal, yaitu manfaaat teoretis dan manfaat praktis.

Manfaat teoretis, antara lain:

(1) Menambah khazanah pengetahuan tentang EMOSI STATIF dengan menggunakan teori Metafora Konseptual (MK).

(2) Memperkaya penelitian semantik tentang makna dari metafora EMOSI STATIF pada ranah sumber dan sasaran dalam bahasa Batak Toba.

(23)

7

(1) Sebagai bahan masukan bagi peneliti-peneliti lain, yang ingin membahas Metafora EMOSI STATIF dalam bahasa-bahasa daerah, khususnya di Sumatera Utara.

(24)

8

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007:588), konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Ada beberapa konsep yang relevan dalam penelitian ini, yakni metafora, metafora konseptual, emosi dan EMOSI STATIF. Konsep-konsep tersebut, perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca.

2.1.1 Metafora

(25)

9

Metafora dianggap unsur penting dalam pengkategorisasian duniawi dan proses berpikir manusia, yaitu sebagai gejala yang meresap terhadap bahasa dan pikiran. Paradigma kognitif melihat metafora sebagai alat untuk mengonseptualisasikan ranah-ranah pengalaman yang abstrak ke dalam ranah yang konkrit. Selain itu, metafora merupakan jenis konseptualisasi pengalaman manusia, yang tidak pernah luput dari setiap penggunaan bahasa alamiah (Silalahi, 2005:1).

2.1.2 Metafora Konseptual

Metafora konseptual adalah segala sesuatu yang dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, direalisasikan secara kognitif melalui bahasa. Lakoff (dalam Nirmala, 2012:4), metafora konseptual merupakan poses pemahaman/penyusunan bentuk yang abstrak melalui hubungannya dengan bentuk yang konkrit atau mekanisme kognitif sehingga seseorang dapat memandang/menghubungkan suatu jenis benda sebagai benda lain.

2.1.3 Emosi

(26)

10

situasi tersebut. Emosi bertumpu pada reaksi yang muncul dalam pikiran, emosi dapat dibagi atas dua jenis, yakni: emosi aktif (mis. bangga, gembira, dan lega, dsb) dan emosi statif (misalnya: sedih, marah, dan malu, dsb). Dalam penelitian ini terbatas pada EMOSI STATIF.

Beberapa ahli mengelompokkan emosi ke dalam beberapa golongan, yaitu:

1. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, kebencian.

2. Kesedihan : pedih, sedih, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, depresi berat.

3. Rasa takut : ngeri, gugup, takut, cemas, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, kecut dan panik.

4. Kenikmatan : senang, gembira, bahagia, ringan, puas, senang, terhibur, bangga.

5. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, hormat, kasmaran, mabuk kepayang.

6. Terkejut : terkesiap, takjub, terpana.

7. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka.

(27)

11

2.1.4 EMOSI STATIF

EMOSI STATIF adalah ekspresi afektif yang terjadi tanpa disengaja oleh pengalam (Mulyadi, 2010). Mulyadi dalam penelitiannya terhadap “Verba Emosi Statif dalam Bahasa Melayu Asahan (BMA)” mengatakan bahwa: Verba emosi statif, yaitu bertolak dari makna ke bentuk, dengan menyajikan bukti-bukti dari suatu bahasa yang mengimplikasikan hilangnya gagasan kendali dan kesengajaan pada maknanya. Goleman mengatakan, EMOSI STATIF adalah perasaan individu yang dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang berlebihan dapat membuat individu tidak rasional atau diluar kontrol.

2.2 Landasan Teori

(28)

12

ranah konseptual di dalam sistem konseptual yang memiliki hakikat dan struktur metafora.

Barcelona (dalam Silalahi, 2005:2) mengatakan bahwa metafora adalah mekanisme kognitif di mana satu ranah pengalaman (sumber) sebagian dipetakan, yaitu ditayangkan kepada ranah pengalaman yang lain (sasaran) sehingga ranah yang kedua sebagian dipahami dari segi ranah yang pertama. Model metafora konseptual memiliki ciri-ciri berikut:

(a) Terdapat konsep “sasaran”, A perlu dipahami untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu;

(b) Terdapat struktur konseptual yang mengandung A dan konsep lainnya B; (c) B berhubungan dengan A atau berbeda dengan A dalam struktur konseptual. (d) Dibandingkan dengan A, B dapat lebih mudah dipahami, lebih mudah diingat, lebih mudah dikenali, atau lebih langsung bermanfaat untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu.

Model metafora merupakan model bagaimana B dipetakan kepada A dalam struktur konseptual; hubungan ini ditegaskan oleh fungsi B sebagai A, dengan pola X adalah Y; X sebagai Y.

(29)

13

pengungkapan cinta. Salah satu contoh yang dikaji dalam skripsinya, sebagai berikut:

Metafora CINTA sebagai ALAT TULIS

 Adik cantik abang pun cantik, Bagai dawat dengan kertas.

 Bagai dawat dengan kertas,

Sudah berjumpa dengan jodohnya.

Pada klausa tersebut, terdapat kata-kata yang mewakili pengonseptualisasian pengungkapan cinta, yaitu dawat dan kertas. Kata-kata tersebut termasuk ke dalam ranah alat tulis. Oleh karena itu, ALAT TULIS menjadi ranah SUMBER. Pemetaan konseptual struktur metafora itu dijabarkan pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Pemetaan Metafora CINTA sebagai ALAT TULIS

SASARAN SUMBER

Pelaku dalam pelaku percintaan adalah orang yang mencintai dan orang yang dicintai.

Alat tulis dapat berupa pena, pensil, dawat/tinta, kertas, penghapus.

Dalam cinta terdapat pelaku yang berpasangan, yaitu orang yang mencintai dengan orang yang dicintai.

Alat tulis selalu digunakan secara berpasangan, seperti pena dengan kertas, pena dengan tinta, atau dawat dengan kertasnya.

Dalam cinta, para pelakunya merasa memiliki sifat yang saling melengkapi

(30)

14 dan diyakini dapat melanggengkan hubungan cinta.

tinta yang digunakan untuk mengisi pena.

Dalam percintaan, pasangan kekasih merasa sebagai kesatuan dan merasa memiliki sifat yang mirip. Misalnya, bila pasangannya memiliki sifat cantik maka ia pun merasa memiliki sifat tampan.

Alat tulis merupakan satu-kesatuan dan memiliki kedudukan yang sama.

Pasangan kekasih merasa tak dapat dipisahkan.

Alat tulis tidak dapat digunakan hanya dengan salah satunya.

Objek adalah orang yang dicintai. Objek adalah alat tulis yang dikenai oleh alat tulis lain.

Subjek adalah orang yang mencintai. Subjek adalah alat tulis yang mengenakan pada alat tulis lain, seperti pena yang menggores kertas.

Kertas dan dawat adalah kata yang berkelas nomina, digunakan sebagai kata

metaforis karena dapat mengonseptualisasikan hubungan antara pelaku percintaan yang dekat. Kertas dan dawat merupakan bagian dari alat tulis yang penggunaannya tak terpisahkan. Tinta selalu membutuhkan alas, yaitu kertas untuk ditorehkan. Konsep tinta dengan kertas itu terpetakan pada orang yang mencintai dan dicintai. Orang yang mencintai selalu ingin merasa dekat dan tak mau dipisahkan dengan orang yang dicintai (Rahardjo, 2009).

(31)

15

mental kita dengan ranah mental yang lain dalam bahasa. Lakoff dan Johnson berpendapat bahwa untuk dapat menjelaskan metafora konseptual diperlukan analisis pemetaan konseptual. Pemetaan konseptual mampu menjelaskan konsep dan makna dari butir leksikal EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba. Salah satu langkah yang dilakukan pemetaan konseptual adalah mengelompokkan konsep-konsep yang mengonseptualisasikan metafora EMOSI STATIF itu sendiri.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap metafora dan EMOSI STATIF sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli. Berikut dijelaskan hasil-hasil penelitian yang relevan dan terkait dengan penelitian ini.

(32)

16

Hasil kajian Mulyadi menunjukkan bahwa verba yang bermakna emosi statif dalam bahasa Melayu Asahan mempunyai empat subkategori, yaitu (1) ‘sesuatu yang buruk telah terjadi’ (“mirip sodih”), (2) ‘sesuatu yang buruk dapat/akan terjadi’ (“mirip takut”), (3)’orang-orang dapat memikirkan sesuatu yang buruk tentang aku’ (“mirip malu”), dan (4)’aku tidak berpikir bahwa hal seperti ini dapat/akan terjadi’ (“mirip heran”). Dalam struktur semantis MSA, tipe ini memiliki ciri komponen ‘X merasakan sesuatu, bukan karena X menginginkannya’. Penelitian Mulyadi mempunyai kelemahan, karena verba emosi statif dalam bahasa Melayu Asahan umumnya tergolong intransitif murni. Sebab itu, tidak semua anggotanya dapat diuji dengan tes kausatif. Kontribusi Mulyadi ini, akan dikembangkan pada penelitian verba emoshi aktif, makna verba emosi, dan peran semantis argumen verba emosi dalam bahasa Melayu Asahan.

(33)

17

Hasil penelitian Silalahi memiliki struktur/pola metafora dalam bahasa Batak Toba dan dapat diformulasikan, seperti: X adalah Y, atau X sebagai Y. Jenis metafora kata yang dibahasnya adalah metafora kata sebagai benda, kata sebagai cairan, kata sebagai hewan, kata sebagai makanan, kata sebagai manusia, kata sebagai perjalanan, kata sebagai senjata dan kata sebagai tumbuhan. Kajiannya mencakup metafora orientasional, ontologikal, metafora dan inferensi. Penelitian Silalahi mempunyai kelemahan, yaitu adakalanya pendengar tidak dapat langsung memahami arti yang dimaksudkan penutur, ketika mengucapkan ujaran dan harus mengandalkan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran/hubungan antarujaran. Kontribusi Silalahi dari penelitiannya akan dikembangkan pada penelitian tentang hubungan makna literal dan makna konteks.

Siregar (2005), dalam artikelnya yang berjudul “Emosi dan Kebudayaan dalam Metafora”, membahas tentang metafora mengonseptualisasikan emosi serta perannya. Teori yang digunakannya adalah linguistik kognitif, teori ini dipakai untuk menganalisis persoalan gagasan, pikiran dan perasaan. Ini dikonseptualisasikan dan diungkapkan ke dalam bahasa. Untuk menganalisis data, dia mengaitkan dengan skenario prototipikal emosi menurut Konvecses, yang memperkenalkan tentang skenario MARAH.

(34)

18

keyakinan dalam kebudayaan karena menurutnya, kebudayaan mempengaruhi bahasa dan bahasa berperan dalam membentuk kebudayaan. Kebudayaan dalam metafora meliputi wujud waktu, ruang, proses mental, emosi, nilai moral, pranata sosial dan politik. Adapun kontribusi Siregar dari penelitiannya, akan dikembangkan pada penelitian tentang kemarahan dengan mengonseptualisasikan emosi ke dalam metafora dari kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis, Minangkabau, Batak, dan Dayak.

(35)

19

Data penelitiannya dianalisis dengan dua cara, yakni yang pertama: bersifat leksikal, dengan liputan: kata dasar dan derivasinya, kata ulang, kata majemuk, dan idiom. Kedua: berupa frasa dan kalimat. Untuk perolehan data yang bersifat leksikal, kamus menjadi sumbernya dan perolehan data berupa frasa dan kalimat bersumber dari buku bacaan berbahasa daerah Mandailing. Sebagai data tambahan, digunakan data lisan yang berasal dari penutur bahasa Mandailing. Dia menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa dalam bahasa Mandailing, oleh masyarakatnya, hal yang menunjukkan NAIK atau tinggi di atas, tidak selalu dipersepsi sebagai sesuatu yang bersifat positif (seperti: na gincat roha ‘orang sombong’; na gincat angan-angan ‘orang pelamun’; gincat rasoki ‘tidak bernasib mujur’, dan sebagainya). Sebaliknya, mereka mempersepsi sesuatu yang TURUN atau di bawah (dan dapat dijangkau itu) sebagai sesuatu yang bersifat positif (seperti: na toruk roha ‘orang ramah’; rondo

rasoki ‘bernasib mujur’). Bentuk metafora dalam bahasa Mandailing bersifat

divisibel. Hubungan antara komponen yang membentuk struktur sintagmatis metafora tidak tetap dan kaku. Artinya, di antara komponen yang membentuk ungkapan metaforis masih dapat disisipi oleh unsur lain.

(36)

20

negatif, seperti: marah, sedih, dan kecewa. Dengan menggunakan ancangan wacana kebudayaan, akan diperlihatkan keteraturan makna emosi dalam bahasa Indonesia dan implikasinya terhadap norma budaya yang berlaku pada masyarakat tersebut.

Teori yang digunakannya adalah teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Teori ini dipakai untuk melihat kategori emosi dari ancangan wacana budayanya. Hasil analisisnya memperlihatkan bahwa konsep emosi dalam bahasa Indonesia terbentuk dalam wacana yang melibatkan komponen semantis, seperti: ‘perasaan’, ‘pikiran’, ‘perkataan’, ‘pengetahuan’, ‘penglihatan’, ‘tindakan’, dan ‘keinginan’. Makna emosi yang terbentuk direpresentasikan dalam kerangka berikut:’ X memikirkan sesuatu seperti ini…..’; ‘karena ini, X merasakan sesuatu……’. Norma umum yang berhubungan dengan konsep emosi diformulasikan dalam komponen ‘aku tidak ingin seseorang merasakan sesuatu yang buruk.

Rahardjo (2009), dalam skripsinya yang berjudul “Metafora Pengungkapan Cinta pada Pantun Melayu”, mengidentifiksi bentuk-bentuk metafora pengungkapan cinta, mendeskripsikan pemetaan konseptual antara ranah sumber dan ranah sasaran. Adapun teori yang digunakannya adalah teori MK (Metafora Konseptual), teori ini dipakai untuk menentukan bentuk-bentuk dan ranah-ranah metafora pengungkapan cinta. Data dianalisis melalui subbab “cinta yang Berjaya” pada buku berjudul

Kumpulan Pantun Melayu. Penelitiannya bersifat deskriktif yang sumber datanya

(37)

21

Hasil dari penelitian Rahardjo, didapat (1) bentuk-bentuk metafora pengungkapan cinta pada pantun Melayu, (2) ranah-ranah yang digunakan untuk mengonseptualisasikan cinta, dan (3) hubungan pemetaan konseptual antarranah tersebut. Hasil analisinya menunjukkan bahwa metafora pengungkapan cinta pada pantun Melayu ditemukan 19 ranah sumber yang mengonseptualisasikan cinta pada bagian maksud pantun, berdasarkan kategori lahiriah bentuk metafora yang ada pada data pantun kebanyakan berkategori nomina. Kategori lahiriah lainnya hanya berupa satu kategori kata berupa verba, yaitu karam; dan tiga kata berkategorisasi adjektiva, yaitu wangi, hangus, dan hangat.

Muslich (2007), dengan judul artikelnya “Makna Emosi dan Norma Budaya dalam Bahasa Indonesia”, menganalisis tentang konsep dan makna emosi, komponen makna dalam wacana kebudayaan, norma budaya Indonesia dan komunikasi verbal dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Selain analisisnya menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan, dia juga mengikuti dan memperkenalkan cara kerja Wierzbicka, serta teori NSM untuk memaparkah konteks leksikon emosi, ungkapan verbal seperti gembira, sedih, marah dengan memparafrasekan kata tersebut. Hasil analisisnya, kombinasi makna melalui mekanisme semacam itu dalam kenyataannya bisa menghasilkan sebuah wacana atau skenario yang merefleksikan keunikan atau kekhasan sebuah kelompok masyarakat.

(38)

22

dengan menggunakan teori itu untuk mendeskripsikan dan membandingkan sikap-sikap, asumsi-asumsi, norma-norma, dan pandangan kebudayaan yang independen, cara ini dilakukan berdasarklan formula sederhana dan dapat dibuktikan secara cermat dan empiris. Kelebihan dari analisis yang dilakukannya ialah istilah wacana kebudayaan pada dasarnya merujuk pada susunan komponen wacana dan skenario, karena susunan komponen ini bisa digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya tanpa menimbulkan bias etnosentris. Kekurangan dari analisnya ialah konsep yang relevan tidak ditemukan dalam kebudayaan yang diteliti.

Nirmala (2012), dalam artikelnya yang berjudul “Korespondensi Konseptual antara Ranah sumber dan Ranah Target dalam Ungkapan Metaforis di surat Pembaca Harian Suara Merdeka”, membahas tentang hubungan kesamaan sifat, ciri, kekuatan antara ranah sumber dan target, dan hubungan atau korespondensi, karena pengalaman yang dirasakan oleh tubuh. Teori metafora yang dijadikan dasar analisis data dalam penelitannya, adalah teori metafora. Penyediaan datanya dilakukan dengan metode simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik catat. Selain itu, metode intuisi juga digunakannya sebagai pendamping penyediaan data.

(39)

23

(40)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Perkembangan bahasa Batak Toba tentunya dipengaruhi oleh jumlah penutur bahasa Batak Toba. Penutur bahasa ini berjumlah 287.166 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, 2013). Secara geografis, penutur bahasa Batak Toba tinggal di Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Tapanuli Utara yang merupakan salah satu Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara dan terletak di wilayah pengembangan dataran tinggi Sumatera Utara, berada pada ketinggian antara 300-1500 meter di atas permukaan laut (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, 2012).

(41)

25

Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, 2012). Letak geografis dan astronomis Kabupaten Tapanuli Utara ini sangat menguntungkan karena berada pada jalur lintas dari beberapa Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara (Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, 2012).

Berdasarkan keempat kabupaten tersebut, penelitian ini dilakukan di Tarutung, tepatnya di Desa Aek siansimun dengan mengumpulkan data dan beberapa narasumber yang berada di lokasi penelitian. Kabupaten Tapanuli Utara mempunyai 15 kecamatan, salah satunya ialah Kecamatan Tarutung. Kecamatan Tarutung mempunyai 53 desa, salah satunya Desa Aek Siansimun. Desa Aek Siansimun, berbatasan dengan Desa Huta Toruan 1 di sebelah Timur, di sebelah Barat adalah Desa Huta Toruan 8, di sebelah Selatan terdapat Desa Parbubu 1, dan di sebelah Utara terdapat Desa Huta Toruan 5. Desa Aek Siansimun memiliki luas sekitar 1.222 km2 (termasuk persawahan, pertanian, pemukiman, dan pekuburan).

(42)

26

interferensi dari bahasa lain kecil. Peneliti memilih lokasi ini karena daerah ini masih tetap mempertahankan dan menjaga bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi antarwarga. Selain itu, peneliti juga berasal dari daerah tersebut, sehingga mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data. Atas pertimbangan inilah Desa Aek Siansimun dipilih sebagai lokasi penelitian.

Lokasi penelitian terlihat pada peta berikut:

(43)

27

3.1.2 Waktu Penelitian

Peneliti melakukan penelitian dari tanggal 29 Juni 2015 sampai tanggal 29 Juli 2015. Pengumpulan data dilakukan selama satu minggu, pengelolahan data dilakukan selama satu minggu, dan pengonsepan skripsi dikerjakan selama dua minggu.

3.2 Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan data lisan. Data lisan diperoleh secara langsung dengan mewawancarai narasumber untuk mengumpulkan data secara mendalam. Adapun kriteria narasumber yang diwawancarai telah memenuhi syarat berikut.

1. Berjenis kelamin pria atau wanita. 2. Berusia 25-65 tahun.

3. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya.

4. Berstatus sosial menengah.

5. Memiliki kebanggan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya. 6. Dapat berbahasa Indonesia.

7. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun, 1995: 106).

(44)

28

Jumat, dan Minggu. Wawancara dilakukan di rumah informan. Peneliti kesulitan menyesuaikan waktu dengan kesediaan informan karena informan bekerja di ladang dari pagi sampai sore. Oleh sebab itu, waktu melakukan wawancara terbatas.

Data intuitif juga digunakan sebagai data pelengkap. Tujuannya untuk melengkapi data yang sudah ada dan menganalisis suatu kalimat yang diungkapkan oleh narasumber.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sudaryanto (1993: 137), metode adalah cara yang dilaksanakan. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah metode yang dilakukan dengan menyimak bahasa yang disampaikan oleh penutur. Dalam penelitian ini, peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam pemakaian metafora pada bahasa Batak Toba. Metode simak memiliki teknik lanjutan, yaitu teknik simak libat cakap, yaitu peneliti terlibat langsung dalam dialog dengan narasumber. Kemudian dilanjutkan dengan teknik catat sebagai teknik lanjutan akhir dari metode simak. Dalam hal ini, peneliti melakukan pencatatan terhadap data relevan dengan sasaran dan tujuan penelitian.

(45)

29

peneliti memancing narasumber untuk memunculkan data yang diinginkan. Penerapan teknik pancing didukung oleh teknik catat. Sebagai penutur bahasa Batak Toba, intuisi peneliti juga dimamfaatkan untuk melengkapi data dan menemukan beberapa metafora EMOSI STATIF, yang digunakan oleh penutur bahasa Batak Toba pada daerah penelitian yang telah dipilih.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan metode padan. Dalam metode padan, alat penentunya adalah di luar dari bahasa itu sendiri dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode ini berguna untuk mengidentifikasi butir-butir leksikal yang bermakna EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba. Teknik dasarnya berupa teknik pilah unsur penentu dengan alat penentu mitra wicara (Sudaryanto, 1995:21). Teknik ini, dilakukan untuk mengetahui makna dari butir leksikal yang mengungkapkan metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba.

Setelah data didapat dan dikategorikan sesuai dengan tipe metaforanya, dilakukanlah pemetaan konseptual, antara ranah sumber dan ranah sasaran. Pengkategorian ranah sumber dilakukan menurut Siregar (dalam Rahardjo, 2009), yang menyimpulkan 4 langkah proses logika yang ditempuh dalam pemetaan konseptual. Keempat proses tersebut adalah sebagai berikut:

(46)

30

2. Pemetaan konseptual antara ranah sumber dan ranah sasaran,

3. Penayangan semua inferensi tentang ranah sumber ke ranah sasaran melalui pemetaan,

4. Menggunakan pengetahuan yang ada tentang ranah sasaran untuk menyesuaikan dan membatasi inferensi yang ditayangkan.

Contoh metafora dalam bahasa Batak Toba :

Nunga tung marurat sogo ni roha na

Sudah PART. Berakar benci 3TG ‘Sudah berakar rasa bencinya’

Contoh di atas merupakan metafora sogo roha ‘benci’ sebagai tumbuhan dalam bahasa Batak Toba. Kata marurat ‘berakar’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan benci seseorang yang sangat dalam terhadap orang lain. Kata marurat ‘berakar’ termasuk ke dalam ranah tumbuhan yang dikategorikan sebagai ranah SUMBER dan sogo roha ‘benci’ dikategorikan sebagai ranah SASARAN. Adapun pemetaan konseptual struktur metafora itu dijabarkan pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Pemetaan Konseptual Metafora Sogo Roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan

(47)

31 Akar dari sebuah sogo ni roha ‘kebencian’, karena ada sebab atau akibatnya.

Tumbuhan mempunyai akar, batang, daun, buah/bunga.

Sogo ni roha ‘kebencian’ tidak akan

membuahkan hasil yang baik.

Jika tumbuhan tidak dirawat dengan baik, maka tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Apabila rasa sogo roha ‘benci’ terlalu lama dipendam, maka akan menimbulkan dampak yang buruk.

Apabila tumbuhan dibiarkan begitu saja tanpa diberi pupuk, maka tumbuhan akan layu ataupun mati.

Sogo ni roha ‘kebencian’ dapat hilang,

jika seseorang yang menjadi objeknya meminta maaf atas kesalahannya dan hasilnya menjadi lebih baik.

Apabila tumbuhan dirawat dengan baik, maka akan menghasilkan buah/bunga yang indah.

Orang yang bersifat parsogo roha ‘pembenci’, akan selalu dijauhi orang.

Jika tumbuhan sudah layu/mati, maka akan dibuang orang.

Orang yang mudah menghilangkan rasa

sogo rohana ‘bencinya’ tentu akan

disenangi orang.

Apabila tumbuhan siap dipanen, maka pemiliknya tentu senang memanennya.

(48)

32

(49)

33

BAB IV

ANALISIS METAFORA ‘EMOSI STATIF’ DALAM BAHASA BATAK TOBA

Dalam masyarakat Batak Toba banyak jenis EMOSI STATIF yang dijumpai sebab perilaku dari masyarakat itu sendiri lebih cenderung bersifat negatif. Hal itu terlihat dari penilaian masyarakat budaya lain terhadap masyarakat Batak Toba. dalam hal ini, masyarakat Batak Toba dikenal dengan budaya yang khas akan ketegasannya dalam berbicara. Masyarakat Batak Toba berbicara dengan suara keras dan suku lain mengungkapnya kasar.

Pemahaman terhadap sebuah metafora dilakukan dengan membandingkan dua hal yang berbeda yang mempunyai kaitan dalam sebuah kalimat yang dianalisis. Hal itu diperoleh dari suatu kondisi yang dihubungkan dengan perasaan yang tertanam dalam batin manusia itu sendiri. Makna metafora EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba merupakan suatu bentuk ekspresi emosi Masyarakat Batak Toba yang mempunyai hubungan sebab-akibat antara situasi sosial dengan pemahamannya terhadap situasi tersebut yang disampaikan melalui bahasa Batak Toba.

4.1 Makna Metafora EMOSI STATIF dalam Bahasa Batak Toba

(50)

34

ungkapan metafora untuk menyampaikan suatu pendapat dalam komunikasi. Makna dari metafora EMOSI STATIF itu sendiri merupakan suatu hubungan sebab-akibat dalam perilaku atau sifat manusia.

4.1.1 Makna Metafora Sogo Roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan

Nunga tung marurat sogo ni roha na

Sudah PART. AKT.akar benci 3TG ‘Sudah berakar rasa bencinya’

Rasa benci merupakan bagian dari sifat manusia. Dalam masyarakat Batak Toba, rasa benci diakibatkan adanya suatu permasalahan yang mengakibatkan seseorang marah terhadap orang lain, sehingga terjadi permusuhan di antara mereka dan saling membenci. Masyarakat Batak Toba tidak akan senang terhadap apa pun yang dilakukan dan diucapkan oleh orang yang dibencinya sebab ia menganggap buruk orang yang dibencinya sampai kepada keturunannya. Kata marurat ‘berakar’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan benci seseorang yang sangat dalam terhadap orang lain.

4.1.2 Makna Metafora Muruk ‘Marah’ sebagai Api

Marrara bohi na alani muruk na

(51)

35

Orang yang sedang sangat marah mukanya cenderung memerah. Memerah dikategorikan sebagai api sebab amarah yang memuncak menyebabkan muka memerah dan keadaan memanas, sehingga orang yang sedang sangat marah cenderung malakukan tindakan yang berlebihan atau di luar batas kewajaran. Keadaan ini tentunya dapat memperburuk suasana karena secara spontan, orang yang sedang marah akan mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakitkan hati. Bagi masyarakat Batak Toba, ucapan dan tindakan seseorang dapat mengundang kemarahan, yang dapat menimbulkan perselisihan. Jika masyarakat Batak Toba sedang marah, akan ditunjukkan dengan suara yang keras, muka memerah, bertindak untuk melakukan sesuatu (seperti membanting suatu barang).

4.1.3 Makna Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Perlawanan

Manghitiri au mangalo rimas hu

Gemetaran 1TG AKT.lawan amarah 1TG ‘Aku gemetaran melawan rasa amarahku’

(52)

36

menyebabkan tubuhnya bergetar serta berkeringat akibat perlawanan dari batinnya untuk menahan amarahnya.

4.1.4 Makna Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan

Naeng mapultak rimashu, mambege hatanai

Mau meledak amarah 1TG AKT.dengar kata 2TG

‘Hampir meledak amarahku dengar perkataannya’

Marah merupakan sifat manusia apabila ia diperlakukan secara tidak adil, dihina, dan sebagainya. Masyarakat Batak Toba akan marah apabila harga dirinya direndahkan sebab harga diri pada masyarakat Batak Toba sangat tinggi. Apabila orang yang sedang emosi dilawan, maka emosinya akan semakin memuncak, bahkan dia bisa berbuat di luar batas kewajaran. Kata mapultak ‘meledak’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan seseorang yang sedang marah besar.

4.1.5 Makna Metafora Late ‘Dengki’ sebagai Tumbuhan

Unang suan late di roha mu

Negasi tanam dengki PRE. Hati 2TG

(53)

37

Dalam masyarakat Batak Toba, jika ada seorang anak yang telah berhasil di perantauan dan kembali ke kampung halaman, tentu masyarakat Batak Toba akan sangat menghargainya, sehingga anak yang tinggal di kampung akan merasa minder, sebab dia merasa seperti anak yang tidak dianggap keberadaannya di kampung tersebut. Orang tua sering merasa dengki terhadap anak tetangga yang sudah sukses, kuliah di luar kota, dan lain sebagainya. Hal seperti itulah, yang membuat seseorang tidak mampu mensyukuri apa yang dia miliki. Ada perkataan masyarakat Batak Toba, Unang suan late di rohamu!, artinya, Jangan biarkan dengki menguasai hatimu. Masyarakat Batak Toba sering berkata, “syukurilah apa yang engkau miliki, jangan melihat apa yang dimiliki oleh orang lain karena setiap orang memiliki takdir dan keberuntungan yang berbeda-beda.

4.1.6 Makna Metafora Lungun (roha) ‘Sedih’ sebagai Benda Tajam

Ditostos ate-ate mambege lungun ni partinaonon na i

PAS.tusuk hati AKT.dengar sedih KONJ. KON.derita 3TG DET.

‘Ungkapan rasa sedihnya menusuk ke dalam hati’

(54)

38

ditusuk oleh sebuah benda tajam. Kata ditostos ate-ate ‘ditusuk’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan sedih yang dirasakan oleh batin seseorang.

4.1.7 Makna Metafora Marsak ‘Susah’ sebagai Benda Tajam

Diseat ate-ate ni inang na ala marsak mamikkiri gelleng na

PAS.iris hati KONJ. ibu 3TG KONJ. susah KON.pikir anak 3TG Hati ibunya terasa diiris, karena anaknya selalu menyusahkannya’

Seorang ibu selalu mengharapkan anaknya dapat berbuat baik. Dalam masyarakat Batak Toba, seorang anak sangat berharga, sehingga orang tua akan berbuat apapun demi kebahagiaan anaknya. Namun, jika kenyataannya seorang anak hanya menyusahkan orangtuanya, maka hati seorang ibu akan terasa diiris dan merasa hancur sebab telah gagal mendidik dan membesarkannya. Kata diseat ‘diiris’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan seorang ibu yang telah hancur dan gagal mendidik anaknya.

4.1.8 Makna Metafora Hancit Roha ‘Sakit Hati’ sebagai Tali

Hancit roha na pas disiranghon hallet na i imana

(55)

39

Orang yang saling mencintai tentunya tidak ingin dipisahkan dari orang yang dicintainya. Apabila seseorang putus hubungan dengan orang yang sangat dicintainya, tentu dia akan sangat merasa sakit hati, bahkan sampai putus asa. Sama halnya dengan sebuah tali yang putus, apabila disambung maka akan menimbulkan bekas. Dalam hal ini, kata sirang ‘putus’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan rasa sakit hati seseorang terhadap orang yang dicintainya.

4.1.9 Makna Metafora Hancit Roha ‘Sakit Hati’ sebagai Makanan

Malala rohang ku alani hancit ni pambaenan mu

Meleleh hati 1TG KONJ. sakit KONJ. KON.buat 2TG ‘Meleleh hatiku karena perbuatanmu yang menyakitiku’

(56)

40

dipojokkan atau dimarahi. Kata malala ‘meleleh’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk mengungkapkan sebuah perasaan yang sudah sering disakiti oleh orang lain, sehingga sakit hati merupakan suatu hal yang biasa baginya.

4.1.10 Makna Metafora Biar ‘Takut’ sebagai Cairan

Tompu gurgur mudar hu alani biar hu mamereng imana

KONJ. didih darah 1TG KONJ. takut 1TG AKT. lihat 3TG ‘Mendidih darahku, karena takut melihatnya’

(57)

41

4.1.11 Makna Metafora Hosom ‘Dendam’ sebagai Perkelahian

Marhosom ni roha do halaki alani parbadaan i

AKT.dendam KONJ. hati PART. 3JMK KONJ. KON.kelahi DET. ‘Mereka jadi saling mendendam akibat perkelahian itu’

Sebuah pertentangan diakibatkan oleh adanya suatu masalah antara seseorang dengan orang lain. Perkelahian timbul karena kurangnya pemahaman antara satu dengan yang lain, sehingga tidak ditemukannya solusi atas permasalahan itu. Dalam perkelahian, akan timbul sebuah dendam dalam hati kedua belah pihak. Kata

parbadaan ‘perkelahian’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan

sebuah perasaan dendam yang timbul akibat adanya suatu permasalahan yang menimbulkan pertentangan.

4.1.12 Makna Metafora Lomos ‘Bimbang’ sebagai perjalanan

Lomos roha ku mardalan di rambing i

Bimbang hati 1TG AKT.jalan PRE. Jembatan gantung DET. ‘Aku bimbang berjalan di jembatan gantung itu’

(58)

42

‘berjalan’ diguanakan sebagai bentuk metafora untuk mengungkapkan makna suatu perasaan bimbang ketika melewati suatu jalan yang membuatnya merasa kurang percaya.

4.1.13 Makna Metafora Asi (Roha) ‘Kasihan’ sebagai Tumbuhan

Pittor tubu do asi ni roha mamereng na pampang

Langsung tumbuh PART. kasihan KONJ. hati AKT.lihat KONJ. pincang ‘Tumbuh rasa kasihan apabila melihat orang pincang’

Rasa kasihan muncul jika melihat sesuatu kekurangan pada orang lain. Masyarakat Batak Toba mempunyai rasa belas kasih yang tinggi terhadap orang lain sebab orang Batak dikenal dengan kebaikan hatinya untuk menolong orang. Seseorang dapat merasa kasihan apabila melihat orang pincang/cacat. Akan tumbuh suatu perasaan iba dalam hatinya untuk menolong orang tersebut, sebab mereka dianggap mempunyai nasib yang kurang beruntung. Kata tubu ‘tumbuh’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan yang tumbuh dalam hati ketika melihat orang yang cacat, pincang, kurang beruntung, dsb.

4.1.14 Makna Metafora Busisaon ‘Gelisah’ sebagai Matahari

Busisaon daging alani mohop ni ari on

(59)

43

Gelisah merupakan suatu perasaan dalam hati yang ditunjukkan oleh gerakan badan yang tidak tenang. Dalam hidup, manusia pasti selalu merasa gelisah tentang perjalanan hidupnya. Dalam masyarakat Batak Toba, orang tua akan selalu gelisah memikirkan anak-anaknya. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang dapat gelisah, salah satunya karena cuaca yang panas akibat teriknya matahari. Cuaca yang panas tentu akan membuat tubuh merasa tidak tenang, resah, dsb. Kata mohop ‘panas’ dikategorikan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan tidak tenang, yang ditunjukkan oleh gerakan tubuh akibat panasnya terik matahari.

4.1.15 Makna Metafora Elat ‘Iri’ sebagai Rasa

Maniak ate-ate mambege elat roha ni hombar jabu tu hita

Pedas hati AKT.dengar iri hati KONJ. tetangga PRE. 1JMK.

‘Hati terasa pedas mendengar tetangga yang iri pada kita’

(60)

44

‘pedas’ digunakan sebagai bentuk metafora untuk menggambarkan perasaan yang kurang menyenangkan akibat perkataan orang lain yang iri.

4.2 Pemetaan Konseptual Metafora EMOSI STATIF

Salah satu langkah yang dilakukan dalam pemetaan konseptual adalah mengelompokkan konsep-konsep yang mengonseptualisasikan metafora EMOSI STATIF itu sendiri. Lakoff (dalam Nirmala, 2012:2) mengatakan bahwa yang penting dalam metafora adalah bagaimana cara kita untuk mengonseptualisasikan suatu ranah mental kita dengan ranah mental yang lain dalam bahasa. Lakoff dan Johnson berpendapat, untuk dapat menjelaskan metafora konseptual dilakukan analisis pemetaan konseptual. Hal demikian disebabkan pemetaan konseptual mampu menjelaskan sistem konsep-konsep yang terwujud dari butir leksikal itu sendiri, dalam hal ini, pemetaan konseptual dilakukan terhadap butir leksikal EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba.

Terkait pengkategorian ranah sumber, Siregar (dalam Rahardjo, 2009) menyimpulkan 4 langkah proses logika yang ditempuh dalam pemetaan konseptual. Keempat proses tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pencarian ranah sumber yang sesuai,

2. Pemetaan konseptual antara ranah sumber dan ranah sasaran,

(61)

45

4. Menggunakan pengetahuan yang ada tentang ranah sasaran untuk menyesuaikan dan membatasi inferensi yang ditayangkan.

Pada bagian analisis selanjutnya, peneliti menggunakan keempat proses yang dikemukakan oleh Siregar. Dalam analisis ditemukan 15 metafora yang mengonseptualisasikan konsep EMOSI STATIF dalam bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba memiliki variasi dari bentuk metafora konseptual. Hal ini dapat diamati dari beberapa contoh berikut, yang berhubungan dengan metafora konseptual tumbuhan, api, perlawanan, ledakan, benda tajam, tali, makanan, cairan, perkelahian, perjalanan, matahari, dan rasa. Berikut ini dijabarkan ke 15 pemetaan konseptual antara ranah sasaran dan ranah sumber.

4.2.1 Metafora sogo roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan

Nunga tung marurat sogo ni roha na

Sudah PART. AKT.akar benci 3TG ‘Sudah berakar rasa bencinya’

(62)

46

Tabel 4.2.1 Pemetaan Konseptual Metafora Sogo Roha ‘Benci’ sebagai Tumbuhan

SASARAN SUMBER

Akar dari sebuah sogo ni roha ‘kebencian’, karena ada sebab atau akibatnya.

Tumbuhan mempunyai akar, batang, daun, buah/bunga.

Sogo ni roha ‘kebencian’ tidak akan

membuahkan hasil yang baik.

Jika tumbuhan tidak dirawat dengan baik, maka tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Apabila rasa sogo roha ‘benci’ terlalu lama dipendam, maka akan

menimbulkan dampak yang buruk.

Apabila tumbuhan dibiarkan begitu saja tanpa diberi pupuk, maka tumbuhan akan layu ataupun mati.

Sogo ni roha ‘kebencian’ dapat hilang,

jika seseorang yang menjadi objeknya meminta maaf atas kesalahannya.

Apabila tumbuhan dirawat dengan baik, maka akan menghasilkan buah/bunga yang indah.

Orang yang bersifat parsogo roha ‘pembenci’, akan selalu dijauhi orang.

Jika tumbuhan sudah layu/mati, maka akan dibuang orang.

Orang yang mudah menghilangkan rasa

sogo rohana ‘bencinya’ tentu akan

disenangi orang.

Apabila tumbuhan siap dipanen, maka pemiliknya tentu senang memanennya.

(63)

47

membuahkan hasil yang baik (misalnya, dia akan disenangi orang). Sogo roha ‘benci’ terpetakan pada tumbuhan, apabila tumbuhan dirawat dengan baik, dia akan membuahkan hasil. Begitu juga sebaliknya, apabila tumbuhan dibiarkan begitu saja, tumbuhan itu akan layu dan mati. Kata marurat ‘berakar’, yang termasuk dalam ranah tumbuhan, digunakan sebagai kata metaforis karena dapat mengonseptualisasikan makna metafora sogo roha ‘benci’ sebagai tumbuhan dalam bahasa Batak Toba.

4.2.2 Metafora Muruk ‘Marah’ sebagai Api

Marrara bohi na alani muruk na

AKT. merah muka 3TG KONJ. amarah 3TG ‘Mukanya memerah karena amarahnya’

Pada klausa tersebut, marrara ‘memerah’ termasuk ke dalam ranah api, yang dikategorikan sebagai ranah SUMBER dan muruk ‘marah’ dikategorikan sebagai ranah SASARAN. Data tersebut mempunyai penamaan metafora muruk ‘marah’ sebagai api. Pemetaan konseptual struktur metafora itu dijabarkan pada tabel berikut

Tabel 4.2.2 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas/Muruk ‘Marah’ sebagai Api

SASARAN SUMBER

Muruk ‘marah’ seseorang yang

berlebihan dapat menimbulkan

(64)

48

wajah/muka memerah. membara).

Muruk ‘marah’ seseorang menimbulkan

emosi yang naik dan suasana menjadi panas.

Api tentunya bersifat panas dan suhu disekitarnya pun menjadi naik.

Jika seseorang yang sedang muruk ‘marah’ dapat berdamai dengan orang yangb dimarahinya, maka akan menjadi kawan. Namun jika tidak, akan menjadi musuh.

Api dapat dipadamkan (setelah siap memasak). Namun, jika kita lalai atau bermain-main dengan api, maka akan sangat membahayakan (kebakaran). Jadi, api dapat menjadi kawan dan lawan/musuh.

Muruk ‘amarah’ seseorang dapat

melukai hati orang yang sedang dimarahi.

Api dapat melukai/membahayakan nyawa seseorang.

Pada pemetaan konseptual dalam ranah SASARAN dan SUMBER yang dipetakan di atas, terlihat dengan jelas hubungan antarmakna dari metafora yang dimaksud, bahwa inferensi logis metafora muruk ‘marah’ sebagai api ialah ucapan orang yang sedang marah dapat melukai hati orang yang sedang dimarahinya. Kata

muruk ‘marah’ terpetakan pada api karena api juga dapat melukai/membahayakan

nyawa seseorang. Kata marrara ‘memerah’, yang termasuk dalam ranah api, digunakan sebagai kata metaforis karena dapat mengonseptualisasikan makna metafora muruk ‘marah’ sebagai api dalam bahasa Batak Toba.

4.2.3 Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Perlawanan

(65)

49

Gemetaran 1TG AKT.lawan amarah 1TG ‘Aku gemetaran melawan rasa amarahku’

Pada klausa tersebut, mangalo ‘melawan’ termasuk ke dalam ranah perlawanan yang dikategorikan sebagai ranah SUMBER dan rimas ‘marah’ dikategorikan sebagai ranah SASARAN. Data tersebut mempunyai penamaan metafora rimas ‘marah’ sebagai perlawanan. Pemetaan konseptual struktur metafora itu dijabarkan pada tabel berikut

Tabel 4.2.3 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Perlawanan

SASARAN SUMBER

Orang yang sedang rimas ‘marah’ akan menolak pendapat orang lain terhadapnya.

Perlawanan ditandai karena adanya penolakan dalam diri terhadap kenyataan.

Rimas ‘amarah’ seseorang dapat

timbul, apabila keadaan disekitarnya tidak sesuai dengan keinginannya.

Perlawanan terjadi karena ketidaksesuaian hati dan pikiranpun bergejolak terhadap kenyataan di depannya.

Seseorang akan rimas ‘marah’ jika kepribadiannya dihina, diperlakukan dengan tidak sepantasnya.

Mendengar penghinaan dari seorang lawan/musuh, akan timbul perlawanan dalam hati dan berniat untuk melakukan suatu tindakan.

Seseorang yang baik hati dapat rimas ‘marah’, karena telah habis kesabaran.

(66)

50

Rimas ‘amarah’ dapat reda, seiring

dengan berjalannya waktu.

Perlawanan dapat dilerai ataupun didamaikan.

Pada pemetaan konseptual dalam ranah SASARAN dan SUMBER yang dipetakan di atas, terlihat dengan jelas hubungan antarmakna dari metafora yang dimaksud, bahwa inferensi logis metafora rimas ‘marah’ sebagai perlawanan ialah rimas ‘amarah’ seseorang dapat timbul, apabila keadaan di sekitarnya tidak sesuai dengan keinginannya. Kata rimas ‘marah’ terpetakan pada perlawanan, bahwa perlawanan dapat terjadi karena ketidaksesuaian hati dan pikiranpun bergejolak terhadap kenyataan di depannya. Kata mangalo ‘melawan’, yang termasuk ke dalam ranah perlawanan, digunakan sebagai kata metaforis karena dapat mengonseptualisasikan makna metafora rimas ‘marah’ sebagai perlawanan dalam bahasa Batak Toba.

4.2.4 Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan

Naeng mapultak rimashu, mambege hatanai Mau meledak amarah 1TG AKT.dengar kata 2TG ‘Hampir meledak amarahku dengar perkataannya’

(67)

51

‘marah’ sebagai ledakan. Pemetaan konseptual struktur metafora itu dijabarkan pada tabel berikut

Tabel 4.2.4 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan

SASARAN SUMBER

Sasaran orang yang sedang rimas ‘marah’ ialah orang yang telah membuatnya rimas ‘marah’.

Sebuah ledakan, seperti bom akan dilemparkan tepat pada sasaran yang diinginkan.

Orang yang sedang sangat rimas ‘marah’ dapat menghancurkan benda\barang disekitarnya (dengan cara dibanting).

Ledakan dapat menghancurkan sebuah gedung, rumah, toko dan lain sebagainya.

Orang yang sedang rimas ‘marah’ biasanya akan mengeluarkan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati.

Ledakan, seperti bom, jika dilemparkan, maka akan mengeluarkan bunyi/suara yang keras dan dapat membunuh siapapun yang mengenainya.

Ucapan dari seorang yang sedang sangat rimas ‘marah’, dapat membahayakan bagi dirinya sendiri.

Ledakan ataupun bom dapat melukai serta membahayakan diri sendiri.

rimas ‘amarah’ seseorang dapat reda,

seiring berjalannya waktu.

Ledakan ataupun bom dapat digagalkan, apabila waktunya dihentikan.

(68)

52

(dengan cara dibanting). Kata rimas ‘marah’ terpetakan pada ledakan, bahwa ledakan juga dapat menghancurkan sebuah gedung, rumah, toko dan lain sebagainya. Ciri yang sama juga dapat dilihat pada pemetaan orang yang sedang rimas ‘marah’, biasanya akan mengeluarkan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati, terpetakan pada ciri ledakan, seperti bom. Jika dilemparkan, akan mengeluarkan bunyi/suara yang keras dan dapat membunuh siapapun yang mengenainya. Kata mapultak ‘meledak’ termasuk ke dalam ranah ledakan/ bom, digunakan sebagai kata metaforis karena dapat mengonseptualisasikan makna metafora rimas ‘marah’ sebagai ledakan dalam bahasa Batak Toba.

4.2.5 Metafora Late ‘Dengki’ sebagai Tumbuhan

Unang suan late di roha mu

Negasi tanam dengki PRE. Hati 2TG ‘Jangan tanam dengki di hatimu’

Pada klausa tersebut, suan ‘tanam’ termasuk ke dalam ranah tumbuhan, yang dikategorikan sebagai ranah SUMBER dan late ‘dengki’ dikategorikan sebagai ranah SASARAN. Data tersebut mempunyai penamaan metafora late ‘dengki’ sebagai tumbuhan. Pemetaan konseptual struktur metafora itu dijabarkan pada tabel berikut

(69)

53

SASARAN SUMBER

Orang yang merasa late ‘dengki’, tentu karena ada sebabnya serta akar permasalahannya.

Tumbuhan ditandai dengan adanya akar, batang, daun, buah/bunga.

Orang yang berhati late ‘dengki’, dapat merusak pergaulannya. Mis: bertambahnya musuh.

Apabila akar tumbuhan menjalar atau tidak dirawat, dapat merusak tembok rumah/pagar rumah.

Orang yang berhati late ‘dengki’, akan menilai sisi baik orang dengan buruk atau selalu berpikiran negatif tentang orang disekitarnya.

Tumbuhan/pohon selalu mempunyai akar yang dapat merusak tumbuhan disekitarnya.

Orang yang selalu menyimpan rasa late ‘dengki’, akan menghambat datangnya kebaikan.

Tumbuhan/pohon yang akarnya menjalar akan menghambat pertumbuhan tanaman disekitarnya.

Apabila orang yang berhati late ‘dengki’ dapat mengubah sifatnya menjadi lebih baik, tentunya akan disenangi orang.

Apabila tumbuhan (cabe, padi, jagung, kacang, dsb) siap dipanen, maka pemiliknya akan merasa senang menuai dan menjualnya.

Gambar

Tabel 4.2.3 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai
Tabel 4.2.4 Pemetaan Konseptual Metafora Rimas ‘Marah’ sebagai Ledakan
Tabel 4.2.7 Pemetaan Konseptual Metafora Marsak ‘Susah’ sebagai Benda
Tabel 4.2.8 Pemetaan Konseptual Metafora hancit roha ‘sakit hati’ sebagai
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan contoh berikut dasar penulis mengatakan metafora kata sebagai hewan adalah karena menggunakan kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan

Metafora dengan unsur terbanding abstrak ranah sumber bernyawa kategori manusia dan metafora dengan unsur terbanding abstrak ranah sumber takbernyawa kategori

(Jumat, 17 Juli 2015. Wawancara dengan Ibu Sihot Meri Panjaitan).. Wawancara dengan Ibu Nuryati Lumbantobing).. Wawancara dengan Ibu Lidya

Pertama, Siregar (2013) dalam penelitian yang berjudul “Metafora Cinta dalam Bahasa Angkola” membahas kategorisasi makna metafora cinta dengan menggunakan teori Metafora

Boleh dikatakan bahwa penelitiannya merupakan penelitian awal tentang metafora politik dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan teori Metafora Konseptual.. Data penelitiannya

Pada contoh pantun (4) telah ditentukan cinta sebagai ranah sasaran dan perhiasan sebagai ranah sumber, maka metafora yang terdapat pada pantun tersebut dapat dinamakan

PIKIRAN ADALAH RUANG sebagai Metafora Konseptual Fundamental Berdasarkan penjelasan metafora konseptual di atas, didapatkan satu metafora struktural, yaitu PIKIRAN ADALAH RUANG; dan

Teori dari Lakoff dan Johnson pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis korespondensi antara ranah sumber dan ranah sasaran dalam gaya bahasa metafora yang menghiasi novel