Botani Kedelai
Kedelai termasuk tanaman kacang-kacangan dengan klasifikasi sebagai berikut : divisi Spermatophyta, kelas Dikotiledon, ordo Polypetales, famili
Leguminoseae, sub famili Papilioniodeae, genus Glycine, spesies Glycine max.
Buah kedelai berbentuk polong dengan jumlah biji rata-rata dua dengan kisaran satu sampai empat biji tiap polong. Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endosperm (Sumarno & Hartono 1983).
Warna kulit biji kedelai bervariasi dari kuning, hijau, coklat, hitam hingga kombinasi berbagai warna atau campuran. Kotiledon pada embrio yang sudah tua berwarna hijau, kuning atau kuning tua, namun umumnya berwarna kuning (Adie & Krisnawati 2007). Suhartina (2005) mengemukakan bahwa biji kedelai varietas Anjasmoro berwarna kuning, berbentuk oval, hilum berwarna kuning kecoklatan, dan bobot 100 biji berkisar 14.8 sampai 15.3 g. Biji kedelai varietas Tanggamus berwarna kuning, berbentuk oval, hilum berwarna coklat tua, dan bobot 100 biji 11.0 g. Biji kedelai varietas Wilis berwarna kuning, berbentuk oval agak pipih, hilum berwarna coklat tua, dan bobot 100 biji 10.0 g. Balitkabi (2010) pada tahun 2008 telah melepas kedelai varietas Detam-1 dengan biji berwarna hitam, berbentuk agak bulat, hilum berwarna putih, dan bobot 100 biji 14.84 g.
Struktur biji kedelai terluar terdiri atas kulit, hilum, mikrofil, dan kalaza. Kulit benih (testa) merupakan karakter morfologi yang penting bagi benih kedelai karena menentukan proses fisiologis embrio, sekaligus menjadi penutup dan pelindung embrio. Biji kedelai yang ada di Indonesia memiliki ketebalan kulit yang berbeda-beda. Ketebalan lapisan epidermis berkisar antara 0.040 mm (genotipe MLG 2759 dan MLG 3311) hingga 0.070 mm (MLG 3051). Ketebalan total kulit berkisar antara 0.245 mm (genotipe MLG 2648) hingga 0.445 mm (MLG 2989) (Adie & Krisnawati 2007).
Biji kedelai mengandung protein sekitar 46%, karbohidrat 28%, lemak 19% dan beberapa zat gizi esensial lainnya (Widowati 2007). Kandungan protein beberapa varietas kedelai dalam negeri berkisar antara 36.9 sampai 45.6% lebih tinggi dibandingkan kedelai impor yang mengandung protein hanya 36.8%.
Kandungan lemak kedelai sebaliknya lebih tinggi kedelai impor yang mencapai 21.7%, sedangkan kedelai dalam negeri antara 13.0 sampai 19.6% (Ginting & Tastra 2007).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Simpan Benih
Sadjad et al. (1999) mendefinisikan daya simpan (DS) benih sebagai kemampuan lamanya benih disimpan, sehingga DS merupakan perkiraan waktu benih mampu untuk disimpan. Daya simpan merupakan parameter viabilitas benih dalam satuan waktu untuk suatu periode simpan, sehingga memiliki peran yang penting dalam kaitannya dengan penyimpanan benih.
Justice dan Bass (1994) menyebutkan 10 faktor yang mempengaruhi daya simpan benih yaitu pengaruh genetik, kondisi sebelum panen, sruktur dan komposisi benih, benih keras, kemasakan benih, ukuran benih, dormansi benih, kadar air benih, kerusakan mekanik dan vigor. Kadar air benih selama penyimpanan dan vigor benih sewaktu disimpan merupakan faktor yang paling mempengaruhi masa hidup dan umur simpannya.
Penyimpanan benih berkaitan dengan tempat dan perlakuan atau kondisi yang diberikan terhadap benih tersebut. Justice dan Bass (1994) menyatakan bahwa selain kadar air, suhu penyimpanan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi masa hidup benih. Benih yang disimpan pada suhu dan lingkungan alami kadar airnya akan meningkat seiring dengansemakin lamanya periode simpan dan akan mengalami keseimbangan dengan lingkungan. Benih yang berada dalam kemasan yang terbuat dari bahan kedap uap air yang baik akan menunjukkan perubahan kandungan air yang kecil, sedangkan benih yang berada dalam bahan tidak kedap uap air kadar aimya akan berubah dengan cepat.
Walters (1998) mengemukakan bahwa suhu dan kadar air benih berperan penting dalam penyimpanan jangka panjang. Pola dari suatu kemunduran benih umumnya digambarkan berkenaan dengan kadar air benih tersebut selama penyimpanan.
Bewley dan Black (1985) menyatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi daya simpan dan viabilitas benih selama periode simpan dari aspek perbedaan varietas, yaitu varietas berbeda akan menunjukkan karakteristik viabilitas yang
berbeda pada kondisi simpan yang sama. Krzyzanowski et al. (2008) menyebutkan pengaruh genetik lain dari perbedaan varietas yaitu kandungan lignin pada kulit benih. Kandungan lignin kulit benih dari 12 varietas kedelai yang diteliti menunjukkan perbedaan yang nyata. Perbedaan kandungan lignin mempengaruhi daya simpan benih kedelai, semakin tinggi kandungan lignin maka benih kedelai memiliki daya simpan yang lebih lama. Lignin berperan meningkatkan daya simpan benih diantaranya melalui resistensi terhadap gangguan mikroorganisme. Selama periode simpan 12 bulan pada ruangan dengan suhu 10 0C, ternyata kandungan lignin kulit benih sebanyak 12 varietas tersebut tidak menunjukkan perubahan yang nyata.
Hubungan Kadar Air dengan Daya Simpan Benih
Air yang berada di dalam benih merupakan suatu sistem yang kompleks dan memiliki peran penting dalam aktivasi enzim, translokasi dan penggunaan cadangan bahan simpan. Kadar air yang rendah menyebabkan metabolisme benih dalam kondisi yang relatif tidak aktif (kondisi quiscence), yang memungkinkan benih tetap berada pada tingkatan terendah dari aktivitas metabolisme sehingga menjamin benih tersebut dapat bertahan lama selama penyimpanan (Copeland & McDonald 1995).
Kadar air benih senantiasa berkeseimbangan dengan kelembaban relatif udara lingkungan simpan, sehingga peningkatan kelembaban relatif udara akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar air benih. Benih dengan kadar air tinggi menjadi media yang kondusif bagi pertumbuhan cendawan. Cendawan yang tumbuh dan berkembang pada benih selama penyimpanan akan memproduksi beberapa enzim eksoseluler, diantaranya lipase yang akan mendorong peningkatan konsentrasi asam lemak bebas. Peningkatan asam lemak bebas akan mempercepat kemunduran benih dan mengurangi daya simpan benih (Halloin 1986).
Hubungan kadar air dengan daya simpan benih, dinyatakan dalam kaidah Harrington yaitu setiap penurunan kadar air benih satu persen akan meningkatkan daya simpan benih dua kali lipat, sebaliknya setiap peningkatan kadar air benih satu persen akan menurunkan daya simpan benih menjadi setengahnya. Kaidah ini
berlaku untuk kisaran kadar air 5 sampai 14%. Pada kadar air kurang dari lima persen akan terjadi kerusakan membran yang akan mempercepat kemunduran benih, sedangkan pada kadar air lebih dari 14% akan dapat mempercepat kemunduran benih karena meningkatnya respirasi, suhu dan kemungkinan adanya serangan cendawan (Copeland & McDonald 1995). Kaidah Harrington tersebut secara jelas mengindikasikan bahwa suhu dan kadar air benih merupakan faktor utama yang menentukan viabilitas benih selama penyimpanan (Bewley & Black 1985).
Hasil penelitian Tatipata et al. (2004) menunjukkan bahwa viabilitas benih kedelai dengan kadar air awal 6 sampai 8% tetap tinggi setelah disimpan selama enam bulan. Hasil yang sama ditunjukkan Zahrok (2007), benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 7 dan 9% memiliki viabilitas lebih dari 90% setelah disimpan empat bulan. Yaja et al. (2005) mengemukakan terjadinya penurunan daya berkecambah benih kedelai yang disimpan dengan kadar air enam persen pada suhu 15 0C dari 93% menjadi 76% setelah disimpan 16 minggu. Sadjad (1980) mengemukakan bahwa viabilitas benih kedelai yang disimpan dengan kadar air 14% turun setelah periode simpan tiga bulan.
Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa kadar air merupakan faktor yang paling krusial dalam mempertahankan viabilitas benih selama periode simpan yang lama (Maguire diacu dalam Khan 1977), sehingga menjadi faktor yang paling mempengaruhi kemunduran benih yang terjadi sejalan dengan meningkatnya kadar air (Barton diacu dalam Justice & Bass 1994). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan dan penahanan uap air oleh benih diantaranya ketebalan dan struktur kulit serta komposisi kimia benih. Komposisi kimia benih yang berperan dalam peningkatan kadar air adalah protein karena sifatnya yang higroskopis (mudah menyerap dan menahan uap air), sedangkan karbohidrat kurang higroskopis dan lipida bersifat hidrofobis (daya tarik terhadap air rendah) (Justice & Bass 1994).
Hubungan Suhu dengan Daya Simpan Benih
Pengaruh suhu terhadap mutu benih telah dimulai sejak pembentukan dan perkembangan benih pada pohon induk di lapang. Howell dan Carter diacu dalam
Copeland dan McDonald (1995) menemukan bahwa kandungan minyak benih kedelai dipengaruhi oleh suhu selama proses perkembangan polong. Benih yang selama proses pematangan berada pada suhu 21 OC mengandung minyak sekitar 19.5%, sedangkan benih yang selama proses pematangan berada pada suhu 30 OC mengandung minyak sekitar 22.3%.
Suhu merupakan faktor lingkungan yang juga mempengaruhi daya simpan benih. Pada suhu rendah respirasi berjalan lambat dibanding suhu tinggi, sehingga viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama. Penyimpanan benih kedelai dalam suhu kamar selama 6 sampai 10 bulan aman pada kadar air tidak lebih dari 11%. Suhu di tempat penyimpanan benih dipengaruhi langsung oleh lingkungan di sekitar dan juga oleh kegiatan respirasi oleh benih atau mikroorganisme (Harrington 1972). Semakin tinggi suhu maka laju kemunduran viabilitas benih akan semakin meningkat (Copeland & McDonald 1995).
Hubungan suhu dengan daya simpan benih, dinyatakan dalam kaidah Harrington yaitu untuk setiap kenaikan suhu 5 0C pada tempat penyimpanan maka umur benih akan menjadi setengahnya, demikian juga sebaliknya jika suhu tempat penyimpanan turun 5 OC maka umur benih menjadi dua kalinya. Kaidah tersebut berlaku pada kisaran suhu 0 sampai 50 OC(Copeland & McDonald 1995).
Benih kedelai varietas Mammoth Yellow dengan kadar air 18.1% dan varietas Otootan dengan kadar air 17.9% rendah yang disimpan pada suhu tinggi (30 OC), masing-masing memiliki daya berkecambah 14% dan 0% setelah periode simpan satu bulan. Daya berkecambah kedua varietas dapat dipertahankan tinggi (≥ 80%) selama lima bulan untuk varietas Mammoth Yellow dan tiga bulan untuk Otootan ketika disimpan pada suhu 20 OC. Daya simpan benih kedua varietas semakin lama dengan semakin rendahnya kadar air benih dan suhu ruang simpan (Justice & Bass 1994).
Purwanti (2004) menyimpulkan bahwa penyimpanan benih kedelai hitam varietas Ciwalen dan kedelai kuning varietas wilis pada suhu rendah (21-23 OC) mampu mempertahankan kualitas benih tetap tinggi selama enam bulan disimpan, namun pada suhu tinggi (27-29 OC) viabilitas benih menjadi sangat rendah hanya selama dua bulan penyimpanan.
Yaja et al. (2005) menyampaikan hasil penelitian penyimpanan benih kedelai pada berbagai tingkatan kadar air (6, 8, 10, 12%) dan suhu ruang simpan (15, 20, 25, 30 OC, suhu kamar), bahwa seiring dengan peningkatan suhu ruang simpan pada seluruh tingkatan kadar air benih ditemukan adanya peningkatan infeksi cendawan terhadap benih yang disimpan. Peningkatan suhu ruang simpan juga berkaitan dengan peningkatan nilai pengukuran daya hantar listrik benih yang menunjukkan tingkat kebocoran atau kerusakan membran.
Hubungan Kemasan dengan Daya Simpan Benih
Peran utama kemasan adalah untuk melindungi bahan yang dikemas dari kerusakan dan pengaruh luar, hingga bahan tersebut digunakan sesuai dengan tujuannya (Marsh & Bugusu 2007). Kemasan yang dapat melindungi mutu fisik benih terutama selama penyimpanan adalah kemasan yang cukup kuat, tahan pecah dan tidak sobek. Hal yang penting dalam pengemasan adalah bahwa bahan pengemas dapat menahan masuknya uap air. Sifat permeabilitas bahan pengemas terhadap uap air sangat penting untuk mempertahankan kadar air serta viabilitas benih. Sifat penting lainnya adalah bahwa kemasan harus mudah direkatkan (sealabelity) dan memiliki elastisitas yang baik, harga terjangkau dan mudah diperoleh (Barlian 1990).
Kemasan benih sangat mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan sehingga harus dirancang sedemikian rupa agar dapat melindungi mutu fisik maupun fisiologi benih. Sudikno (1977) mengemukakan bahwa pengaruh kemasan terhadap benih dapat dilihat dari dua aspek yaituaspek fisik dan fisiologis. Pengaruh kemasan terhadap aspek fisik dapat diketahui dari warna, bobot, kadar air, dan kerusakan mekanis yang diperlihatkan benih, sedangkan terhadap aspek fisiologis dapat diketahui dari viabilitas benih.
Benih kedelai yang disimpan dalam kantong plastik dan kaleng pada suhu rendah dan tinggi selama enam bulam, mampu mempertahankan daya tumbuh (>90%) dan vigor serta pertumbuhan bibit yang tinggi (Purwanti 2004). Hutahaean (2008) menyampaikan hasil penelitiannya bahwa benih kedelai varietas Kaba yang disimpan dalam kemasan kantong terigu mengalami kemunduran yang lebih cepat dibandingkan benih dalam kemasan kaleng dan
plastik. Hal tersebut disebabkan kemasan kantong terigu bersifat porous dan tidak dapat menahan uap air dari lingkungan sekitar terhadap benih tersebut
Benih kedelai yang disimpan pada kemasan yang dapat menahan uap air mampu mempertahankan viabilitas yang tinggi dibandingkan kemasan yang permeabel atau porous terhadap uap air (Baciudiacu dalam Arulnandhy & Senanayake 1984).
Penggunaan kemasan simpan untuk benih telah mengikuti perkembangan penggunaan kemasan simpan untuk produk pangan yang lebih maju dengan perhatian utama pada kemampuan kemasan menahan masuknya uap air. Pengaruh jenis kemasan yang ditunjukkan oleh kemampuannya menahan laju transfer uap air baik dari lingkungan ke produk pangan maupun dari produk pangan ke lingkungan disebut permeabilitas. Kerusakan mutu produk pangan kering dapat dihambat melalui penggunaan kemasan yang memiliki permeabilitas rendah terhadap uap air karena penyerapan uap air dapat menurunkan mutu produk pangan (Arpah 2007).
Hubungan Varietas dengan Daya Simpan Benih
Spesies tanaman yang berbeda memiliki daya simpan yang berbeda, beberapa spesies dapat bertahan lebih lama pada kondisi penyimpanan tertentu dibandingkan dengan spesies lainnya (Justice & Bass 1994). Delouche (2005) menyatakan bahwa daya simpan benih merupakan suatu karakteristik yang melekat pada spesies dan atau varietas, misalnya benih kedelai memiliki daya simpan yang lebih pendek dibandingkan benih padi.
Perbedaan daya simpan antar varietas telah ditunjukkan pada beberapa hasil penelitian berdasarkan karakter umum dari varietas yang diuji, diantaranya ukuran benih. Benih kedelai dikelompokkan menjadi tiga ukuran yaitu benih berukuran kecil (bobot 8-10 g/100 benih), sedang (10-13 g/100 benih) dan besar (> 13 g/100 benih) (Susanto & Saneto diacu dalam Ginting & Tastra 2007). Kedelai berbiji sedang atau kecil diantaranya varietas Lokon, Orba, Tidar, Cikuray, Wilis dan Kaba umumnya lebih tahan terhadap kondisi penyimpanan yang kurang optimal dibandingkan varietas yang berbiji besar seperti Anjasmoro (Mugnisyah 1990; Sukarman & Raharjo 2000; Zahrok 2007; Hutahaean 2008). Hal serupa juga
ditunjukkan pada penelitian terhadap 10 varietas kedelai yang menyimpulkan bahwa viabilitas benih berukuran sedang (varietas Malabar, Orba, Raung, dan Galunggung) lebih cepat turun dibandingkan viabilitas benih berukuran kecil (varietas Lokon, Petek, Tidar, Wilis, Kerinci, Merbabu) (Sunardi et al. 1993).
Varietas kedelai berbeda menunjukkan kandungan kimia benih yang berbeda. Benih yang memiliki kandungan lemak tinggi dan karbohidrat rendah lebih cepat menurun viabilitasnya daripada benih yang memiliki kandungan lemak rendah dan karbohidrat tinggi, serta benih dengan ukuran besar lebih cepat menurunviabilitasnya daripada benih yang berukuran kecil karena benih yang berukuran besar memiliki nisbah selaput benih terhadap benih yang lebih rendah daripada benih yang berukuran kecil (Sunardi et al. 1993).
Purwanti (2004) menyatakan bahwa perbedaan warna kulit benih juga mempengaruhi perbedaan ketahanan dalam penyimpanan, yaitu kedelai berkulit hitam lebih tahan disimpan dibandingkan kedelai berkulit kuning. Menurut Marwanto (2004), perbedaan ketahanan selama penyimpanan antara kedelai kuning dengan kedelai hitam disebabkan oleh perbedaan kandungan lignin pada kulit benih. Kedelai hitam seperti varietas Merapi memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi (15.31%) dibandingkan kedelai kuning seperti varietas Lampo- Batang (1.43%) sehingga permeabilitas kedelai hitam terhadap uap air juga lebih rendah. Menurut Krzyzanowski et al. (2008), kandungan lignin pada kulit benih yang dapat meningkatkan daya tahan benih terhadap tekanan udara dan kerusakan mekanik yang mungkin dialami benih adalah > 5.0%. Penampang kulit benih kedelai ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Penampang kulit benih kedelai varietas CD 201, A.lapisan sel palisade, B. lapisan sel hourglass,dan C. parenkim (Menezes diacu dalam Gris & Pinho 2012)
A
B
Lignin adalah suatu polimer fenolik kompleks alami yang terdapat pada dinding sel termasuk pada kulit benih (Krzyzanowski et al. 2008), dan merupakan polimer yang paling banyak ditemukan pada jaringan tanaman setelah selulosa (Gris & Pinho 2012). Pada awal pembentukan sel, lignin berperan menambah kekuatan struktural sel dan sebagai pelindung polisakarida dari hidrolisis enzim selulase (Purwaning 2009). Lignin masuk ke dalam dinding sel melalui lamela tengah dan selanjutnyamenuju ke bagian dalam dari dinding sel, sehingga akhirnya lignin terdapat pada jaringan tanaman dan kulit benih. Kulit benih kedelai terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan palisade (lapisan terluar), lapisan hourglas, dan parenkim (Gambar 1). Lignin terdapat pada lapisan palisade dan lapisan hourglass. Lignin yang terdapat pada lapisan palisade lebih tebal dibandingkan lapisan hourglass, sehinggasifat kaku dan kurang elastis yang dimiliki lignin mengakibatkan kulit benih memiliki resistensi terhadap kerusakan mekanis dan tekanan udara luar, memiliki permeabilitas terhadap uap air dan memberikan perlindungan terhadap gangguan mikroorganisme pada dinding sel (Gris & Pinho 2012).
Karakter lain yang mempengaruhi ketahanan benih dalam penyimpanan adalah ketebalan, struktur dan komposisi kimia kulit benih (Justice & Bass 2004), jenis dan sifat benih (Sutopo 2010). Kulit benih berperan dalam menentukan derajat dan kecepatan penyerapan uap air benih (Krisnawati & Adie 2008).
Viabilitas dan Kemunduran Benih
Penyimpanan benih merupakan upaya mempertahankan viabilitas benih agar tetap tinggi dengan memperlambat proses kemunduran benih. Viabilitas benih menunjukkan daya hidup benih, aktif secara metabolik dan memiliki enzim yang dapat mengkatalisis reaksi metabolik yang diperlukan untuk perkecambahan dan menghasilkan kecambah normal (Copeland & McDonald 1995).
Sadjad (1994) membagi viabilitas benih menjadi viabilitas potensial dan vigor benih. Viabilitas potensial dapat diamati melalui tolok ukur daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal, sedangkan vigor kekuatan tumbuh dapat dicerminkan oleh kecepatan tumbuh (Kct), keserempakan tumbuh (Kst), spontanitas tumbuh atau berbagai uji vigor kekuatan tumbuh yang spesifik.
Barton diacu dalam Justice dan Bass (1994) menyatakan bahwa benih yang berviabilitas awal tinggi lebih tahan terhadap kondisi simpan yang kurang menguntungkan dibandingkan benih yang berviabilitas awal rendah. Hasil-hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa viabilitas awal mempengaruhi daya simpan benih.
Teknologi benih selalu berupaya menghasilkan benih yang mampu melampaui periode simpan (PS) sepanjang mungkin (Sadjad et al. 1999). Vigor benih selama PS yang ditunjukkan oleh persentase kecambah normal setelah benih melampaui deraan atau kondisi lingkungan simpan yang sub optimum disebut Vigor Daya Simpan (VDS) (Sadjad 1994). Variabel yang digunakan untuk
menentukan VDS diantaranya adalah persentase kecambah normal (daya
berkecambah atau fisiologis), daya hantar listrik (DHL) (Sadjad 1994), bobot kering kecambah normal (BKKN) dan keserempakan tumbuh (KST) (Sudjindro
1994).
Kemunduran benih adalah proses mundurnya mutu fisiologis benih secara berangsur-angsur dan kumulatif serta tidak dapat balik (irreversible) akibat perubahan fisiologis dan biokimia (Copeland & McDonald 1995). Indikasi kemunduran benih dapat diketahui secara fisik maupun fisiologis. Benih yang telah mundur secara fisik mengalami perubahan warna dan umumnya terlihat lebih kusam dan keriput dari keadaan awalnya. Kemunduran benih juga dapat diketahui dari gejala fisiologis yang merupakan akibat dari proses biokimia benih, seperti terjadinya perubahan pada struktur protein, berkurangnya cadangan makanan, terbentuknya asam lemak, adanya aktivitas enzim, terjadi perubahan pada kromosom, adanya kerusakan membran dan meningkatnya aktivitas respirasi (Justice & Bass 1994).
Salah satu sebab pemicu laju kemunduran benih ialah kandungan air dalam benih. Kadar air dalam benih dipengaruhi oleh kemampuan benih dalam menyerap dan menahan uap air. Kemampuan menyerap dan menahan uap air setiap benih berbeda, tergantung ketebalan dan struktur kulit benih serta komposisi kimia dalam benih (Justice & Bass 1994).
Benih yang telah mengalami kemunduran baik secara alami (deteriorasi) maupun kemunduran buatan (devigorasi) akan menunjukkan nilai viabilitas yang
rendah, sehingga akan memiliki periode simpan yang lebih pendek. Benih dengan viabilitas awal sebelum simpan yang tinggi, akan menunjukkan nilai Vigor Daya Simpan (VDS) yang tinggi. Daya simpan benih akan semakin tinggi dengan
panjangnya periode simpan dan tingginya VDS. Hubungan antara daya simpan
benih dengan VDS dapat didekati melalui model regresi (Sadjad 1994). Vigor
Daya Simpan merupakan parameter vigor benih yang ditunjukkan oleh kemampuan benih disimpan dalam keadaan sub optimum (Sadjad et al. 1999).
Model Penyimpanan Benih
Penyimpanan benih merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi melalui suatu proses, sehingga mekanisme yang berlangsung cukup rumit untuk dijelaskan dan perlu dilakukan penyederhanaan melalui kegiatan pemodelan. Handoko (2005) menyatakan bahwa suatu sistem yang telah disederhanakan disebut model, yang menjelaskan hanya sebagian proses ataupun komponen sistem. Model sebagai representasi dari suatu masalah merupakan pendekatan yang dibuat berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki dan dibangun dengan menghubungkan faktor-faktor utama yang berperan dalam suatu sistem.
Handoko (2005) menjelaskan bahwa terdapat tiga tujuan dibangunnya suatu model yaitu : (i) untuk memahami suatu proses atau model deskriptif, (ii) untuk mendukung manajemen atau model manajemen, dan (iii) untuk membuat suatu pendugaan atau model prediktif. Model deskriptif dibangun untuk memahami suatu proses, maka harus sedapat mungkin bersifat mekanistik dan yang paling penting adalah mendeskripsikan proses-proses yang mendasari suatu sistem. Model manajemen dibangun dengan tujuan untuk penerapan model yang dapat memberikan keuntungan bagi penggunanya, sehingga model harus dapat memuaskan manajemen dan secara jelas mendiskripsikan proses-proses utama suatu sistem yang digambarkan tersebut serta dapat memberikan pendugaan yang akurat sebagai bahan masukan untuk pengambilan keputusan penting dalam manajemen tersebut. Model prediktif dibangun untuk menduga proses tertentu dari sistem dan hanya dapat dibuat menggunakan model-model numerik.
Pemodelan sebagai penyederhanaan dari suatu sistem memerlukan adanya pembatasan, terutama terkait dengan faktor-faktor yang menjadi variabel dalam model yang dibentuk. Pembatasan tersebut diantaranya dilakukan dengan melakukan perumusan model yang akan dibangun berdasarkan model yang sudah ada atau merumuskan sendiri model setelah melalui percobaan, sehingga model prediktif bisa bersifat teoritis (dibangun berdasarkan teori keilmuan) atau empiris (hasil penelitian yang dikuantifikasi). Model yang saat ini banyak dikembangkan merupakan gabungan dari metode teoritis dan empiris, diantaranya adalah model pendugaan daya simpan benih.
Model pendugaan daya simpan benih dibangun berdasarkan hubungan antara daya simpan dengan faktor yang paling berpengaruh, yaitu kadar air benih dan suhu penyimpanan (Roberts diacu dalam Hong dan Ellis 1996). Kuantifikasi hubungan antara suhu, kadar air dan viabilitas benih selama periode simpan yang dilakukan dengan dua pendekatan (teori dan empiris) telah dinyatakan oleh Roberts dalam bentuk persamaan berikut :
Log p50 = Kv– C1m – C2t ... (persamaan 1)
dimana p50 adalah waktu yang diperlukan hingga benih kehilangan 50%
viabilitasnya (hari), Kv, C1danC2 adalah konstanta spesifik spesies, m adalah kadar
air (%) dan t adalah suhu (OC) (Roberts 1972).
Persamaan tersebut telah dinyatakan memiliki kecocokan yang sangat baik dengan berbagai data observasi, sehingga dapat digunakan untuk menduga