• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan (landform) dan

proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya (Zuidam,1985; Asriningrum, 2002). Sejalan dengan pemahaman ini Tjahjono et al. (2001) memaparkan bahwa geomorfologi

merupakan suatu pemerian dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek- aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses geomorfik endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu), serta struktur dan litologi penyusunnya. Dalam hal ini lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yaitu dari aspek morfometri.

Lereng dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal (Das, 1985). Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan kereta api, dan sebagainya.

Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan sebagai faktor penentu dalam analisis. Sebagai contoh dalam Keppres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kemiringan lereng digunakan sebagai salah satu penentu kriteria kawasan lindung, yaitu jika kemiringan lereng >40% maka kawasan tersebut layak di jadikan kawasan lidung. Dalam penelitian Silviana (2013), kemiringan lereng juga dianggap sebagai faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor, hal ini dikarenakan kestabilan lereng terletak pada kemiringannya (kendali utama proses longsor adalah gaya gravitasi).

38

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan verifikasi lapang dan perbandingan 3 hasil pemetaan, terlihat bahwa hasil pemetaan kemiringan lereng bersumber dari metode digital

dengan data SRTM memiliki ketelitian yang lebih baik, yaitu 80,9%, yang diikuti oleh metode manual dari data RBI cetak (76,2%), dan metode digital

dari data RBI digital (66,7%). Besarnya angka-angka tersebut tampak lebih

disebabkan oleh sifat keaslian sumber data, dimana sumber data SRTM 30m masih asli atau belum mengalami konversi sebelumnya, sedangkan untuk metode RBI digital data telah mengalami konversi, yaitu dari vektor ke raster.

Adapun rendahnya nilai Peta lereng dari Peta RBI cetak lebih disebabkan oleh kurangnya pengalaman, ketekunan, dan ketelitian penafsir. Berdasarkan kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini sumber data SRTM 30m dinilai paling baik dan konversi data berpengaruh terhadap tingkat ketelitian hasil yang diperoleh (bersifat mengurangi ketelitian).

2. Bentuklahan morfografi lembah dicirikan secara dominan oleh kelas lereng

A; untuk morfografi dataran dicirikan oleh kelas lereng A dan B; untuk

morfografi perbukitan dicirikan oleh kelas lereng B dan C; dan untuk

morfografi pegunungan dicirikan secara dominan oleh kelas lereng B, C dan

D. Untuk bentuklahan di wilayah hulu (perbukitan atau pegunungan), secara lebih spesifik, terdapat meningkatnya kemiringan lereng diikuti oleh meningkatnya torehan.

Saran

1. Untuk membuat peta kemiringan lereng disarankan tidak memakai data hasil konversi, namun memakai sumber data elevasi yang masih asli (raster atau vektor) agar mendapat tingkat ketelitian yang baik.

2. Perlu adanya kajian lebih lanjut :

a. mengenai analisis kelas lereng dengan pembagian kelas kemiringan lereng yang lebih detil dan dengan skala yang lebih besar, agar hasilnya lebih mendekati dengan kondisi aktual. Selain itu data lapangan perlu diperbanyak untuk mendapatkan hasil perbandingan yang lebih baik. b. mengenai hubungan kemiringan lereng dengan bentuklahan di wilayah lain

yang mempunyai bentuklahan yang lebih bervariasi, sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian ini.

2

DAS Cileungsi merupakan salah satu DAS yang ada di Kabupaten Bogor. DAS ini dikenal banyak mengalami proses perubahan penggunaan lahan dikarenakan disamping DAS ini terdapat kawasan Sentul, yaitu areal yang dikembangkan untuk kawasan hunian dan wisata. Oleh karena itu, DAS ini perlu mendapat perhatian dan perlu banyak diteliti agar perubahan kondisi lingkungan yang terjadi di dalamnya dapat segera diketahui dan segera dapat dicarikan upaya- upaya untuk pencegahan jika terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka DAS Cileungsi dipilih untuk lokasi penelitian, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan pemetaan kemiringan lereng dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dengan metode manual/visual dan metode digital melalui sistem

informasi geografis (SIG), serta pemetaan lereng secara digital dari data SRTM

untuk pembanding.

2. Pemetaan bentuklahan (landform) dan analisis hubungan antara bentuklahan

dengan kemiringan lereng.

TINJAUAN PUSTAKA

Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan (landform) dan

proses-proses geomorfik yang menghasilkan bentuklahan, serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya (Zuidam,1985; Asriningrum, 2002). Sejalan dengan pemahaman ini Tjahjono et al. (2001) memaparkan bahwa geomorfologi

merupakan suatu pemerian dan penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek- aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis (proses geomorfik endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu), serta struktur dan litologi penyusunnya. Dalam hal ini lereng adalah bagian dari morfologi bentuklahan yaitu dari aspek morfometri.

Lereng dapat difahami sebagai suatu permukaan tanah yang miring dan yang membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal (Das, 1985). Lereng secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu lereng alami dan lereng buatan. Lereng alami terbentuk secara alamiah yang biasanya terdapat di daerah pegunungan, sedangkan lereng buatan dibentuk oleh manusia dan biasanya untuk keperluan konstruksi, seperti tanggul sungai, bendungan tanah, tanggul jalan kereta api, dan sebagainya.

Dalam aplikasinya, faktor lereng sering digunakan sebagai faktor penentu dalam analisis. Sebagai contoh dalam Keppres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kemiringan lereng digunakan sebagai salah satu penentu kriteria kawasan lindung, yaitu jika kemiringan lereng >40% maka kawasan tersebut layak di jadikan kawasan lidung. Dalam penelitian Silviana (2013), kemiringan lereng juga dianggap sebagai faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor, hal ini dikarenakan kestabilan lereng terletak pada kemiringannya (kendali utama proses longsor adalah gaya gravitasi).

3 Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor sangat kecil untuk dapat terjadi. Dengan kata lain semakin besar kemiringan lereng, maka semakin besar potensinya untuk melahirkan longsor yang disebabkan oleh kestabilan lereng yang semakin kecil.

Lereng juga berpengaruh besar terhadap proses erosi. Lahan dengan kemiringan lereng yang curam (30-45%) memiliki pengaruh gaya berat (gravity)

yang lebih besar dibandingkan dengan lahan dengan kemiringan lereng agak curam (15-30%) atau landai (8-15%). Hal ini disebabkan gaya berat berbanding lurus dengan kemiringan permukaan tanah. Adapun gaya berat merupakan persyaratan mutlak untuk terjadinya proses pengikisan (detachment),

pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra,

2002).

Menurut hasil penelitian Ariza (2014) dari analisis pohon keputusan didapatkan bahwa parameter “kemiringan lereng” menjadi paling penting dalam pembentukan erosi parit karena parameter ini berada pada node paling atas.

Parameter lain, seperti “NDVI” menjadi parameter terpenting kedua. sedangkan “arah lereng” mejadi parameter terakhir.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai dengan bulan Mei 2014 di DAS Cileungsi yang meliputi di wilayah-wilayah Kecamatan Cileungsi Citeureup, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, dan Babakan Madang, Kabupetan Bogor (Gambar 1). Lokasi penelitian secara geografis terletak di antara koordinat 6º 30’ 30” – 6º 41’ 00” LS dan 106º 43’ 30” – 106º 51’ 00” BT. Analisis data dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi citra IKONOS tahun 2010, citra satelit SRTM resolusi 30 m, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital dan cetak edisi 1998 (skala 1:25.000), yang meliputi Lembar : Cileungsi, Tajur, dan Cisarua, serta Peta Geologis digital, skala 1:250.000 (PPPG, 1996). Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, klinometer, alat tulis, kamera, dan piranti lunak: ArcGIS 9.3, Global Mapper v12, dan Microsoft Office 2010.