• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetik teh merupakan tulang punggung produksi teh nasional. Para pemetik teh biasanya bekerja dari jam enam pagi sampai menjelang sore. Seperti petani dan juga nelayan, kemapanan ekonomi keluarga pemeik teh tidak pernah baik. Rata-rata pendidikan mereka adalah hanya lulusan sekolah dasar dan penghasilan para wanita pemetik teh ini digunakan untuk membantu keluarga (Sinamo 2007).

Umummnya pekerja pemetik daun teh adalah perempuan. Penghasilan sebagai pemetik teh dihitung dari banyaknya daun teh yang bisa dipetik (Rizal 2007). Satu kilogram daun teh dihargai dengan uang senilai Rp 505. Selama satu bulan pemetik bisa mengumpulkan pucuk daun teh sebanyak dua sampai tiga kuintal. Artinya, dalam satu bulan pemetik bisa membawa pulang uang sebesar Rp 101.000 sampai Rp 151.500. Ditambah upah pikul yang nilainya tidak lebih dari Rp 50 per kilogram, sehingga total penghasilannya tidak lebih dari Rp 200.000 per bulan.

Menggantungkan hidup dari mata pencaharian sebagai pemetik teh terlebih di perkebunan rakyat bukanlah pilihan yang tepat untuk mempertahankan hidup. Oleh karena itu, selain menjadi pemetik teh, para pemetik bekerja menjadi buruh tani di perkebunan sayuran ataupun pekerjaan lainnya yang ada di sekitar rumahnya. Harga kebutuhan pokok di daerah perkebunan tidak jauh berbeda seperti di perkotaan dan cenderung lebih mahal karena faktor biaya transportasi. Penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar sangat jarang dilakukan oleh keluarga. Pendidikan sampai tingkat SMP adalah hal yang istimewa bagi anak-anak di tempat tersebut. Keadaan ekonomi dan kesadaran akan pendidikan membuat anak-anak hanya disekolahkan sampai tingkat SD saja (Nursanti 2007).

Karakteristik Keluarga Pengertian Keluarga

Menurut Undang Undang Nomor 10 tahun 1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Depnakertrans 2008). Definisi keluarga berbeda-beda di setiap tempat, tergantung budaya dan norma

5

yang berlaku di masyarakat setempat (Orthner 1981, diacu dalam Desmarita 2004).

Suami, Istri dan anak yang belum berkeluarga disebut sebagai keluarga inti atau nuclear family (Koencaraningrat 1974, diacu dalam Effendi 1995). Selain keluarga inti ada yang disebut sebagai keluarga luas yaitu keluarga inti dan anggota keluarga lainnya terkait dalam hubungan darah dan hubungan perkawinan. Ada delapan fungsi keluarga yang utama seperti disebutkan dalam Undang-Undang No 10 tahun 1992 yaitu fungsi keagaman, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan , fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan (Suyono 2005).

Keluarga adalah tempat terpenting bagi seseorang karena merupakan tempat pendidikan yang pertama kali, dan di dalam keluarga pula seseorang paling banyak bergaul serta mengenal kehidupan (Zalbawi & Handayani 2004) Menurut Guhardja et al. (1992) keluarga adalah suatu sistem yang seperti sistem lainnya terdiri dari elemen-elemen yang saling berhubungan. Hubungan antar- elemen untuk mewujudkan suatu fungsi tertentu terjadi, tidak saja bersifat alami, tetapi juga dibentuk oleh berbagai faktor atau kekuatan yang ada disekitar keluarga yaitu oleh adanya nilai-nilai, norma serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat.

Pendapatan

Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya untuk mencari nafkah. Pendapatan umumnya diterima dalam bentuk uang. Pencatatan pendapatan dari semua anggota keluarga menjadi semakin penting ketika diketahui bahwa rumah tangga tersebut memiliki lebih dari satu orang yang bekerja. Pendapatan yang diterima oleh seseorang yang memiliki status pekerjaan sebagai pegawai, karyawan, buruh atau pegawai negeri biasanya terdiri atas gaji pokok, tunjangan, bonus dan pendapatan lainnya (Sumarwan 2004).

Kegiatan ekonomi yang merupakan usaha yang dilakukan oleh setiap manusia dengan menggunakan faktor-faktor produksi dimaksudkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain maupun bagi diri sendiri dapat berupa imbalan atau balas jasa atau disebut pula pendapatan, karena dengan pendapatan

6

inilah dapat dipergunakan kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dapat digunakan kembali untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pendapatan seseorang itu bisa berupa barang, bisa juga berupa uang yang diperoleh dari jasa (pekerjaan) dan penggunaan kekayaannya seperti usaha atau investasi (Karim 2002).

Menurut Berg (1986), diacu dalam Djamaludin (2002) tingkat pendapatan menentukan pola makanan seseorang atau keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kualitas dan kuntitas makanan. Besarnya pendapatan dipengaruhi oleh faktor-faktor karakteristik pelaku ekonomi keluarga, tingkat upah, aset produksi, akses pemasaran dan pengeluaran total keluarga serta pendapatan bukan dari mencari nafkah. Setiap anggota keluarga yang yang termasuk angkatan kerja akan memperoleh pendapatan dari berbagai sumber (Mangkuprawira 2002).

Pengeluaran

Mengetahui pola pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui tingkat kehidupan masyarakat. Berbagai karakateristik pribadi dan situasi yang menyertainya akan mempengaruhi bagaimana seseorang membelanjakan uangnya (Raines 1994, diacu dalam Kartini 2005). Permintaan terhadap konsumsi barang dan jasa pada dasarnya bisa berbeda antara golongan masyarakat yang memiliki pendapatan yang tinggi dan golongan masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. Dalam kondisi pendapatan yang relatif terbatas kebutuhan terhadap makanan akan mendapatkan prioritas, sehingga pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah akan terlihat bahwa sebagian pendapatnya digunakan untuk konsumsi bahan makanan (Tagur dan Sading, diacu dalam Roswita 2005).

Pengeluaran total keluarga secara umum dialokasikan untuk kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Porsi pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (Mangkuprawira 2002). Studi kuantitatif tentang anggaran/ pengeluaran keluarga pertama kali dilaksanakan oleh Engel, hasil studi empirisnya adalah: (1) kategori/ proporsi terbesar dari anggaran keluarga adalah untuk makanan (2) proporsi pengeluaran total untuk makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan, (3) proporsi pengeluaran total untuk pakaian dan perumahan diperkirakan konstan, sementara proporsi pengeluaran

7

untuk barang-barang mewah bertambah ketika pendapatan mulai meningkat (Rambe 2008)

Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar, berlangsung terus menerus, sistematis dan terarah, yang bertujuan mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada setiap individu yang terlibat didalamnya. Pendidikan formal merupakan segala sesuatu (proses belajar mengajar) yang diupayakan untuk mengubah segenap perilaku seseorang (Gunarsa & Gunarsa 2004, diacu dalam Nuryani 2007). Orang yang berpendidikan tinggi biasanya diidentikkan dengan orang yang memiliki sumberdaya manusia yang tinggi. Umumnya orang yang berpndidikan tinggi mendapat upah yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang yang bermutu pendidikan rendah (Guhardja et al 1992).

Tekanan Ekonomi Keluarga

Faktor ekonomi merupakan faktor penting dalam kehidupan keluarga, karena ekonomi merupakan salah satu tiang utama penyangga keseimbangan hidup keluarga. Keadaan ekonomi merupakan salah satu indikator kesejahteraan hidup. Disisi lain, faktor ini dapat menjadi faktor yang menimbulkan tekanan tersendiri dalam kehidupan keluarga sebagai dampak krisis yang berkepanjangan sehingga menimbulkan tidak sedikit keluarga yang mengalami tekanan ekonomi. Tekanan tersebut diakibatkan karena PHK atau kehilangan pekerjaan, pendapatan rendah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, serta tidak seimbangya aset dan utang. Kebutuhan hidup yang cukup bervariasi dan daya beli yang rendah dapat menimbulkan tekanan baik fisik maupun mental kepada anggota keluarga (Tati 2004).

Tekanan ekonomi keluarga meliputi kesulitan ekonomi objektif (objective economic pressure) dan kesulitan ekonomi subjektif yang dirasakan (perceived of economic pressure) keluarga. Karakteristik kesulitan ekonomi keluarga objektif meliputi pendapatan per kapita, rasio utang dengan aset, status pekerjaan, kehilangan pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif antara tekanan ekonomi dengan kualitas perkawinan, pengasuhan anak, kecerdasan emosi anak, dan prestasi belajar anak. Semakin tinggi tekanan

8

ekonomi keluarga, semakin rendah kualitas perkawinan, pengasuhan anak, kecerdasan ekonomi anak, dan prestasi belajar anak (Sunarti 2005). Untuk itu, tekanan ekonomi mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia.

Persoalan-persoalan ekonomi muncul dari penggunaan sumberdaya yang langka untuk memuaskan keinginan manusia yang terbatas. Kelangkaan tidak dapat dihindari dan merupakan inti persoalan ekonomi (Lipsey et al 1986 dalam Noorhaisna 2003). Menurut Lorenz et al (1994), diacu dalam Puspita (2003), konsep kesulitan ekonomi didapat dari beberapa penelitian yang mencakup kemiskinan pekerjaan (pendapatan perkapita), tekanan ekonomi pedesaan (rasio antara hutang dengan aset), tingkat penurunan kehidupan (kehilangan pendapatan), dan gangguan pekerjaan (pekerjaan tidak tetap).

Manajemen Keuangan Keluarga

Manajemen merupakan salah satu turunan dari ilmu ekonomi. Walaupun manajemen tidak membuat sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk pilihan yang disetujui oleh anggota keluarga. Uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus merupakan alat pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya yang dimilikinya. Sumberdaya yang dimiliki keluarga umumnya terbatas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas (Guhardja et al 1992).

Kebutuhan dari setiap keluarga sangat relatif dan tidak terbatas. Akan tetapi, penghasilan yang diperoleh keluarga bersifat terbatas. Agar kebutuhan dan pendapatan seimbang diperlukan perencanaan anggaran rumah tangga (Effendi 1995). Manajemen keuangan keluarga termasuk pendapatan merupakan hal yang mutlak dilakukan suatu keluarga (Putri 2005). Individu dan keluarga berpendapatan rendah biasanya mempunyai orientasi untuk masa sekarang atau kini saja daripada untuk masa depannya dalam perspektif waktu (Guhardja et al 1992).

Rice dan Tucker (1986), diacu dalam Kartini 2005 mengungkapkan 12 prinsip dalam manajemen keuangan yang dapat membantu memaksimalkan hasil atau kepuasan dengan sumberdaya yang dimiliki. Kedua belas prinsip itu adalah

9

memprioritaskan tujuan dan menetapkan standar; menganalisa sumberdaya keuangan; menetapkan manajemen keuangan sistematis; membuat anggaran untuk mengontrol pengeluaran dan tabungan; menyimpan catatan-catatan; menetapkan batasan kredit dan menggunakannya dengan tanggung jawab; menggunakan waktu untuk melipatgandakan tabungan; membangun kesehatan lebih awal dan sistematis; melindungi aset secara cukup dan beralasan; menggunakan keuntungan dari pajak untuk membangun masa pensiun; memeriksa dan menyesuaikan secara teratur; dan merencanakan untuk mentransfer pada kesehatan.

Perencanaan dalam kegiatan manajemen keuangan senantiasa berkaitan dengan tujuan masa depan, mengingat masa depan penuh dengan ketidakpastian dan senantiasa berubah dengan cepat maka suatu perencanaan harus disusun secara cermat dan matang (Yuliawan 2002, diacu dalam Murih 2004). Menurut Guhardja et al (1992), pembuatan rencana keuangan keluarga memerlukan kemampuan, yaitu: 1) memperkirakan perubahan situasi (yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran) di waktu yang akan datang; 2) mempertimbangkan alternatif dan pengambilan keputusan; 3) mendiskusikan rencana keuangan antar anggota keluarga. Rencana Keuangan yang tertulis pada dasarnya dibuat untuk melindungi dari resiko keuangan dan mengakumulasikan modal/ kekayaan.

Mengatur keuangan bukanlah pekerjaan yang mudah, untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang bagaimana membeli barang dan jasa yang akan memberikan kepuasan terbesar, bagaimana menginvestasikan uang yang dimiliki dengan bijaksana serta bagaimana menggunakan kredit dengan hati-hati. Sebuah rencana keuangan akan sangat membantu untuk mengontrol bagaimana, kapan, dan untuk tujuan apa uang yang ada seharusnya digunakan. Dalam membuat rencana keuangan yang tepat ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu tetapkan tujuan yang akan dicapai, ketahui jumlah pendapatan yang dimiliki, gunakan catatan pengeluaran dan perhitungkan juga tabungan untuk masa depan (Raines 1964, diacu dalam Kartini 2005).

Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah proses dimana individu dan keluarga menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mengimbangi permintaan dari kesulitan ekonomi. Perilaku koping meliputi suatu usaha untuk memecahkan

10

permasalahan dan ketidakteraturan emosi yang dihubungkan dengan kesulitan ekonomi. Beberapa perilaku koping yang mempengaruhi tingkat kesulitan ekonomi dapat dilakukan oleh individu atau keluarga adalah keluarga berusaha bekerja, berpartisipasi dalam ekonomi informal, manajemen keuangan keluarga, dan dukungan sosial (Voydanoff 1987).

Mekanisme koping dilakukan jika dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan barang dan jasa lebih tinggi dibandingkan dengan dana yang tersedia. Tindakan yang bisa dilakukan adalah meningkatkan pendapatan atau mengurangi pengeluaran. Mengurangi pengeluaran adalah tindakan yang lebih mudah dilakukan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh suatu keluarga untuk mengurangi pengeluaran seperti menghilangkan pengeluaran yang bukan merupakan prioritas utama, membeli barang atau jasa pengganti yang harganya lebih murah, atau mengurangi kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang dibeli (Deacon dan Firebough 1998, diacu dalam Kartini 2005).

Individu dan keluarga berpendapatan rendah biasanya mempunyai orientasi untuk masa sekarang atau kini saja daripada orientasi untuk masa depannya dalam perspektif waktu. Strategi pengambilan keputusan keluarga atau individu yang berpenghasilan rendah adalah keputusan dengan resiko yang sekecil mungkin (Guhardja et al 1992). Pilihan strategi koping tergantung pada faktor luar dan dalam rumah tangga. Struktur demografis rumah tangga, status sosial ekonomi, jaringan sosial, dinamika dalam rumah tangga, dan strategi koping krisis terdahulu adalah termasuk faktor dalam keluarga ( Adam et al 1998, diacu dalam Usfar 2002). Kekuatan politik dan ekonomi, iklim, ekonomi, budaya, institusi, dan infrastruktur adalah di antara faktor luar rumah tangga (Usfar 2002).

Beberapa faktor berpengaruh terhadap pengambilan bentuk koping yang dilaksanakan oleh keluarga untuk menghadapi kesulitan ekonomi. Strategi yang paling efektif dipilih keluarga dalam menyikapi dampak krisis adalah mengurangi pengeluaran untuk makanan dan nonmakanan dan meningkatkan produktivitas usaha. Faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap strategi yang dipilih keluarga dalam menyikapi dampak krisis adalah jumlah anggota keluarga dan tingkat pendapatan (Mardiharini 2001).

11

Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan keluarga menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memberikan kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, selaras dan seimbang antara anggota, antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan (Depnakertrans 2008). Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan per bidang saja, tetapi menyangkut berbagai kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu, diperlukan pengetahuan integrasi berbagai bidang disiplin ilmu disamping penelitian dan atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (Rambe 2004)

Menurut Syarif & Hartoyo (1993), diacu dalam Suryana (2007), kesejahteraan keluarga pada hakekatnya mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material dan spiritual. Pengukuran kesejahteraan material relatif lebih mudah dan menyangkut pemenuhan kebutuhan keluarga yang berkaitan dengan materi, baik sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lainnya yang dapat diukur dengan materi. Kesejahteraan spiritual suatu keluarga dapat diukur dengan kualitas kehidupan non fisik, antara lain ketaqwaan, keselarasan, keserasian, daya juang dan aspek non fisik lainnya. Sementara itu, Zarida (2000) menyatakan bahwa ukuran kesejahtraan adalah nutrisi, pendapatan dan makanan.

Menurut Mardinus (1995), diacu dalam Ratih (2007), untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara materil atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa juga disebut garis kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non makanan). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi

12

kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material.

Keluarga memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan kesejahteraan. Hal ini juga berkaitan dengan persepsi keluarga dalam mengartikan kesejahteraan tersebut. Persepsi tentang kesejahteraan akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (keluarga, kelompok dan masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup. Terbentuknya persepsi kesejahteraan tersebut selanjutnya akan mendorong manusia dalam usaha mencapai kesejahteraan sesuai dengan konsepsi yang dimilikinya dan terwujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Persepsi kesejahteraan pada setiap keluarga akan berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini disebabkan karena setiap keluarga memiliki pengalaman hidup dilingkungan yang berbeda (Rambe 2004).

BKKBN merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokkan secara bertahap menjadi keluarga prasejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, serta keluarga sejahtera tahap III plus. Batasan operasional dari keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan pengembangan, dan kepedulian sosial.

Keluarga Pra-KS adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar, yaitu:

1. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota

keluarga

2. Pada umumnya seluruh anggota makan 2 x sehari atau lebih

3. Seluruh anggota memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja,

sekolah, bepergian

4. Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah

5. Bila anak sakit dan atau Pasangan Usia Subur (PUS) ingin ber-KB dibawa

ke sarana kesehatan

Keluarga KS-I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu:

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur

13

3. Seluruh anggota keluarga minimal memperoleh satu stel pakaian baru per

tahun

4. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni 5. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir sehat

6. Minimal 1 anggota keluarga yang berumur lebih dari 15 tahun

berpenghasilan tetap

7. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa baca tulis huruf

latin

8. Seluruh anak berusia antara 5-15 tahun bersekolah saat ini

9. Bila anak hidup dua orang atau lebih, keluarga yang masih PUS memakai

kontrasepsi (kecuali sedang hamil).

Keluarga KS-II adalah keluarga yang memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, dan kebutuhan psikologis, tetapi belum memenuhi kebutuhan pengembangan yaitu:

1. Memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan

2. Sebagian dari penghasilan dapat disisihkan untuk tabungan keluarga 3. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu

dimanfaatkan untuk berkomunikasi

4. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat dilingkungan tempat tinggal

5. Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali dalam 6

bulan

6. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/ radio/ TV/ majalah

7. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi sesuai kondisi

daerah

Keluarga KS III adalah keluarga yang telah memenuhi kebutuhan fisik, sosial, psikologis, dan pengembangan, namun belum memenuhi kepedulian sosial yaitu:

1. Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi

2. Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus

14

Keluarga KS-III Plus adalah keluarga yang telah mampu memenuhi semua kebutuhan fisik, sosial, psikologis, pengembangan, serta dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan (BKKBN 2006).

15

Dokumen terkait