• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. PENDEKATAN TEORETIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan

Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra 1981 dalam Sofa 2008). Konservasi juga memiliki makna sebagai bentuk pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny Salim 1991 dalam Sofa 2008) 2. Namun demikian, Purwanti et al.2008 mengatakan bahwa berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, pemerintah pusat juga belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan Taman Nasional yang efektif, karena adanya disharmoni sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan3.

Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan-tindakan strategis dari pengelola kawasan konservasi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan konteks sosial, ekonomi dan politik masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Tindakan tersebut diperlukan dalam koridor menjaga fungsi wilayah konservasi sekaligus memelihara hubungan yang baik dengan masyarakat dalam membangun pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di sekitar kawasan. Dalam memahami konservasi, pemanfaatan berkelanjutan menjadi konsep yang penting karena dapat menyelaraskan kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan pemeliharaan dan perlindungan kawasan konservasi.

      

2 http://massofa.wordpress.com/2008/02/03/konservasi-sumber-daya-alam-dan-buatan/, diakses tanggal 26 Februari 2011 pukul 16.12 WIB

3

Purwanti, Frida, Hadi S. Alikodra, Sambas Basuni, Dedi Soedharma. 2008. Pengembangan Co-management Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 13 (3) : 159 – 166  

Istilah keberlanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun 1987 oleh World Commission On Environment and Development melalui bukunya Our Common Future. Buku ini memperkenalkan gagasan "pembangunan berkelanjutan" beserta konsep-konsepnya yang sangat menarik, termasuk debat mengenai hubungan seperti apakah yang seharusnya ada antara "lingkungan" dan "pembangunan". Tidak ada sistem perputaran sumberdaya dapat berkelanjutan seperti pada awalnya. Perubahan pasti terjadi. Paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan bukan sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, bukan juga tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik mengenai pembangunan dan bagaiman pembangunan itu seharusnya dijalankan (Keraf 2002).

Lebih lanjut lagi, Biasane (2004) mengatakan bahwa konsep pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengandung beberapa aspek yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan konservasi dan kebutuhan sosial ekonomi, antara lain:

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi).

Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama.

2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi).

Pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.

3. Community sustainability (keberlanjutan komunitas).

Mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangun perikanan yang berkelanjutan.

4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan).

Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.

Perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam menjaga pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Menurut Homer-Dixon (1993) dalam Mitchell et al (2007), kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya dalam tiga cara. Pertama, kegiatan manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika jumlah sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Akses yang tidak seimbang biasanya disebabkan oleh hak kepemilikan yang terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan hak kepemilikan bagi kelompok lain (Mitchel et al. 2007).

2.1.2 Konsep Zonasi Kawasan Taman Nasional

Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, penelitian, pengembangan budidaya,rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan taman nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman nasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah taman nasional selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui berbagai kegiatan, antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang lain.

Keterpaduan pengelolaan antara kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan kegiatan konservasi berarti bahwa kegiatan pemanfaatan sumber daya yang ada harus menyesuaikan dengan kegiatan dan pengelolaan konservasi, karena aspek sumber daya bertumpu pada keberhasilan dari usaha konservasi (Maksum 2006). Pengelolaan konservasi juga harus

mengakomodasikan dan mengedepankan kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan pemberdayaan masyarakat nelayan untuk mencapai keberlanjutan sumber daya perikanan.

Taman Nasional Laut atau disebut juga Marine Protected Area (MPA) adalah sebuah kawasan laut yang secara khusus ditujukan sebagai perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati secara alami, pembudidayaan, dan dikelola melalui aturan-aturan (IUCN 2003). MPA diharapkan dapat membantu dalam melindungi habitat-habitat penting contoh-contoh perwakilan kehidupan laut, dan juga dapat membantu dalam memulihkan produktifitas laut dan menghindari kerusakan yang lebih jauh. Prinsip manfaat Kawasan Konservasi Laut adalah dampak limpahan, dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Kawasan Konservasi Laut dapat berfungsi sebagai nursery ground (tempat pembesaran), feeding ground (tempat mencari makan) ataupun spawning ground (tempat memijah) bagi ikan-ikan yang hidup di area sekitar kawasan tersebut 4.

Terkait dengan hal tersebut, Permenhut No: P. 56 /Menhut-II/2006 mengatur tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam Taman Nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Untuk dapat menciptakan tata kelola yang efektif dan optimal seperti yang terkandung dalam Pasal 2 Permenhut Nomor P. 56 /Menhut-II/2006, maka dibutuhkan pembagian zona kawasan menurut fungsinya. Adapaun zonasi seperti yang tercantum dalam Permenhut tersebut adalah sebagai berikut:

1. Zona inti adalah bagian Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh

       4

Maksum, Mochamad Asep. 2006. Analisis Manfaat Ekonomi Sumberdaya Perikanan Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Karimunjawa. Tesis: Istitut Pertanian Bogor.

manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

3. Zona pemanfaatan adalah bagian Taman Nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

4. Zona tradisional adalah bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari Taman Nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

7. Zona khusus adalah bagian dari Taman Nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Penetapan zonasi kawasan melibatkan Staf Balai Taman Nasional, Unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Masyarakat dan Mitra kerja. Adapaun peran serta masyarakat seperti yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56 /Menhut-II/2006 adalah memberi saran, informasi dan pertimbangan, memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi, melakukan pengawasan kegiatan zonasi, dan ikut menjaga dan memelihara zonasi. Zonasi yang ditetapkan harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain:

a. Keanekaragaman hayati, nilai arkeologi, nilai obyek daya tarik wisata, nilai potensi jasa lingkungan

b. Data spatial: tanah, geologi, iklim, topografi, geomorfologi, penggunaan lahan;

c. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat d. Oseanografi untuk wilayah perairan.

Taman Nasional harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik kepentingan dalam penggunaan ruang di dalamnya. Wakil ekosistem-ekosistem yang alami dan khas dapat dilindungi dan dilestarikan jika gangguan-gangguan terhadapnya ditekan sekecil mungkin. Ekosistem yang rapuh harus dibebaskan dari konflik penggunaan lahan. Untuk kepentingan pemanfaatan wisata alam dan rekreasi dapat dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki daya tahan yang cukup (Basuni 1987).

Sistem zonasi yang diterapkan di TNKJ diharapkan dapat menyelaraskan kondisi Karimunjawa sebagai taman nasional dengan kepentingan penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Lebih lanjut, Maksum (2006) mengatakan bahwa penetapan hak pemanfaatan dan penangkapan ikan eksklusif juga perlu diberlakukan di perairan TNKJ pada zona pemanfaatan perikanan tradisional sehingga kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat nelayan setempat dapat terus dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian perikanan dan keberadaan Karimunjawa sebagai sebuah taman nasional.

Dalam konsep pengelolaan Taman Nasional, zona inti merupakan unit dalam Taman Nasional yang memberikan ciri khas kawasan konservasi dan berfungsi sebagai pengatur yang menentukan totalitas ciri Taman Nasional. Pemasukan sumber daya alam ke dalam unit zona inti harus berupa ekosistem atau unsur ekosistem yang unik atau rapuh, tumbuhan atau satwa yang terancam punah atau gejala alam yang memerlukan upaya perlindungan. Sumber daya alam demikian dapat dipandang sebagai obyek konservasi utama. Untuk daerah-daerah yang memiliki tingkat kerentanan kawasan sedang sampai rendah, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan. Bila daerah-daerah dalam zona pemanfaatan merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air atau daerah bahaya erosi, maka sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Semi Intensif. Sedangkan bila daerah-daerah dalam zona pemanfaatan bukan

merupakan daerah perlindungan satwa, daerah tangkapan air dan daerah bahaya erosi, maka bisa diperuntukan sebagai Zona Pemanfaatan Intensif. Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Pemulihan). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan berbatasan dengan batas Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Penyangga (Hutan atau Ekonomi). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan rendah dan tidak berbatasan dengan batas Taman Nasional, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Peruntukan Khusus). Untuk daerah-daerah dimana terdapat aktifitas pemanfaatan lahan yang berada pada tingkat kerentanan sedang, sebaiknya diperuntukan sebagai Zona Lain (Peruntukan Khusus) (Basuni 1987).

Menurut Alikodra (1987), ketergantungan masyarakat dapat dikategorikan menjadi tidak legal dan legal. Ketergantungan tidak legal adalah pengambilan kayu, buah, daun, rumput dan menggembalakan ternak secara liar, dimana menurut peraturan mengenai Taman Nasional, semua kegiatan tersebut dilarang. Jika tidak dilakukan pengaturan, maka akan merusak potensi Taman Nasional. Sedangkan ketergantungan yang legal antara lain menjadi pemandu wisata alam, sopir angkutan dan usaha pelayanan pengunjung. Ketergantungan ini dapat ditingkatkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

2.1.3 Strategi Adaptasi Nafkah Nelayan

Adaptasi merupakan tingkah laku penyesuai yang menunjuk pada tindakan (Bennet dalam Subri 2007). Dalam hal ini, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku yang bersifat strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup. Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2006) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar

“aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Merujuk pada Scoones (1998), dalam penerapan strategi nafkah, rumah tangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat bertahan hidup. Scoones membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: (1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja – selain pertanian- dan mamperoleh pendapatan; (3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan.

Long (1987) dalam Widiyanto et al. (2010) mencirikan bahwa sistem perekonomian desa di Negara-negara dunia ketiga bercorak kombinasi antara non-kapitalis yang “tradisional” dengan non-kapitalis yang emergen. Boeke (1953) dalam Sajogyo (1982) dalam Widiyanto et al. (2010) menyebutnya sebagai teori ekonomi ganda (dualisctic economics) dimana dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat bersangkutan. Dalam konteks pertanian, petani di pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi kepada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi kepada keuntungan yang maksimal. Kedua etika tersebut

“dimainkan” oleh petani sebagai upaya membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan.

Fadjar (2009) dalam Widiyanto et al. (2010) membuktikan bahwa pada petani kakao menerapkan strategi amphibian, dimana walaupun pengeruh kapitalisme telah merembes (masuk sedikit demi sedikit) namun nilai-nilai tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai subsistensi melekat pada aktifitas produksi (on farm) baik pada komoditas padi maupun kakao. Pada sisi yang lain, semangat kapitalisme sangat menonjol pada proses penjualan hasil produksi kebun kakao. Kakao merupakan komoditas yang berorientasi pada pasar yang diperlukan sebagai komoditas baku bagi industri yang berada di luar komunitas petani.

Secara etimologis, makna kata ’livelihood’ itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata ”akses” didefinisikan di sini sebagai ”aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di desa atau komunitas kampung”5. Keberlanjutan mempunyai banyak dimensi yang semuanya penting bagi pendekatan sustainable livelihoods. Penghidupan dikatakan berkelanjutan jika ia:

1. Elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan tekanan-tekanan dari luar;

2. Tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar (atau jika tergantung,bantuan itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus sustainable);

3. Mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam;

4. Tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi orang lain.

Strategi nafkah di sektor perikanan dibedakan menjadi budi daya ikan dan penangkapan ikan. Budi daya ikan dalam pola kerjanya lebih menyerupai

       5

Saragih, Sebastian, Jonatan Lassa, Afan Ramli. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan. Aceh: -.

peternakan karena lebih terkontrol. Di lain pihak, penangkapan ikan lebih bergantung pada ketersediaan sumberdaya bersama (open acces) para nelayan yang mempunyai hak yang sama terhadap sumberdaya (Mulyadi 2005).

Secara mendasar, pekerjaan sebagai nelayan banyak mengandung resiko dan ketidakpastian. Adanya risiko dan ketidakpastian ini disarankan untuk disiasati dengan mengembangkan pola-pola adaptasi berupa perilaku ekonomi yang spesifik yang selanjutnya berpengaruh terjadap pranata ekonominya. Pola-pola adaptasi yang menonjol adalah pembagian resiko dalam bentuk Pola-pola bagi hasil pendapatan dan kepemilikan kolektif serta mengutamakan hubungan patronage dalam aktifitas kerja (Mulyadi 2005). Untuk mengatasi kesulitan modal, masyarakat nelayan disarankan untuk mengembangkan suatu mekanisme tersendiri, yaitu sistem modal bersama, untuk memungkinkan terjadinya “pemerataan resiko” karena kerugian besar yang dapat terjadi setiap saat, seperti perahu hilang atau rusaknya alat tangkap, akan ditanggung bersama.

Lebih lanjut, karaktersitik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dilihat dari berbagai aspek ialah sebagai berikut (Satria 2002):

a. Sistem Pengetahuan, pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus dipertahankan

b. Sistem kepercayaan, secara teologi nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun, seiring berjalannya waktu berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrument stabilitas sosial dan komunitas nelayan.

c. Peran wanita, umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya

peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan.

d. Struktur sosial. Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Konsekuensinya ialah hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri kedua adalah stratifikasi sosial, bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring modernisasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise, dan kekuasaan.

e. Posisi sosial nelayan. Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relative jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan karjinal akibat terbatasnya faktor kapital yang dimilikinya.

2.1.4 Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam

kelompok tersebut6. Paradigma lama memandang bahwa orang miskin disebabkan oleh tidak adanya modal. Dengan tidak ada modal maka produktivitas rendah, dan lalu menyebabkan tabungan rendah. Namun Sachs (2005) dalam Satria (2006) mencoba memodifikasi teori kemiskinan menjadi tidak sesederhana itu. Bagi Sachs, untuk mengakhiri kemiskinan, caranya dengan membuat orang termiskin dapat menapaki tangga pembangunan. Dan untuk mendorong orang miskin tersebut untuk menapaki anak tangga pertama, maka diperlukan sejumlah modal7, yaitu :

1. Modal manusia (human capital) seperti kesehatan, gizi, dan keterampilan yang diperlukan oleh setiap orang untuk produktif secara ekonomi

2. Modal usaha (business capital) seperti mesin, fasilitas, alat transportasi bermotor

3. Modal infrastruktur (infrastructure capital) seperti jalan, tenaga lsitrik, air, dan sanitasi, bandara, pelabuhan, dan sistem telekomunikasi yang menjadi prasyarat penting bagi produktivitas usaha

4. Modal alam (natural capital) seperti suburnya lahan, keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang berfungsi baik

5. Modal kelembagaan publik (public institustional capital) seperti hukum eknomi, sistem peradilan, layanan pemerintah dan kebihjakan yang mendukung terciptanya kemakmuran,

6. Modal pengetahuan seperti pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas usaha dan pemanfaatan sumberdaya alam. Widiyanto et al. (2010) mengatakan bahwa salah satu pendekatan dalam memahami kemiskinan adalah sustainable livelihood. Pendekatan ini tidak hanya

Dokumen terkait