• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jarak Pagar (Ja t r oph a cu r ca s Lin n .) Se ca r a Um u m

Menurut Prihandana dan Hendroko (2006) jarak pagar (Jatropha curcas

Linn.) masih satu keluarga dengan tanaman karet dan kemiri. Adapun klasifikasi jarak pagar adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Family : Euphorbiaceae Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas Linn.

Jarak pagar berbentuk pohon perdu dengan tinggi tanaman 1 - 7 m dan bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka akan mengeluarkan getah. Daunnya berwarna hijau dengan permukaan bagian bawah lebih pucat dibanding bagian atas. Bunga berwarna kuning kehijauan yang berupa bunga majemuk berbentuk malai, berumah satu, dan bunga uniseksual. Buah berbentuk bulat telur dengan diameter 2 - 4 cm, berwarna hijau ketika masih muda, dan berwarna kuning jika masak. Buah jarak terbagi menjadi tiga ruang, yang masing-masing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat kehitaman (Prihandana dan Hendroko, 2006).

Menurut Bramasto (2006), produktivitas biji jarak berkisar antara 3,5 - 4,5 kg biji/pohon/tahun dan produksinya akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari 1 tahun, sedangkan menurut Hambali (2006) produksinya stabil setelah berumur lebih dari 5 tahun. Selanjutnya Hambali (2006) menyatakan bahwa produktivitasnya akan mencapai 5 - 10 ton biji/ha, apabila tingkat populasi tanaman 2500 pohon/ha.

Biji jarak pagar yang baik untuk dijadikan benih harus memiliki kriteria, yaitu diambil dari kapsul yang berwarna kuning dan biji yang diambil adalah yang berwarna hitam dengan fisik utuh, tidak cacat dan tidak tergores, tidak berjamur

ataupun mengandung patogen. Benih harus berasal dari induk yang memiliki produktivitas tinggi dan telah berumur minimal 4 tahun. Kadar air yang baik untuk benih yang diedarkan yaitu 5 - 7% dan tidak dikeringkan di bawah sinar matahari langsung (Prawitasari, 2006a)

Tanaman ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah, dan dibawa ke Indonesia pada saat pemerintahan Jepang untuk dijadikan bahan bakar minyak oleh tentara Jepang. Menurut Prawitasari (2006b), jarak pagar di Indonesia sudah beradaptasi secara alami dengan rentang penyebaran yang luas, mulai kawasan barat sampai dengan timur (Aceh sampai dengan Papua). Banyak masyarakat yang belum mengetahui potensi jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel. Selama ini masyarakat hanya mengetahui manfaat jarak pagar sebagai tanaman obat tradisional dan dapat dimanfaatkan sebagai pagar hidup, sehingga penanamannya belum dilakukan secara komersial dalam skala besar.

Tanaman jarak pagar mampu tumbuh pada lahan kritis atau marjinal dan beriklim panas, dari dataran rendah sampai dengan ketinggian 800 m dpl dan dengan tingkat keasaman tanah berkisar 5 - 7. Curah hujan optimal untuk daerah penanaman jarak berkisar antara 700 - 1200 mm/tahun dan kisaran suhu yang cocok untuk tanaman jarak adalah 20 - 26 oC (Heyne, 1987). Berdasarkan daerah tempat tumbuhnya, tanaman jarak pagar dapat dijadikan salah satu jenis tanaman pada kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan kritis (Bramasto, 2006).

Salah sat u aspek yang kurang m endapat kan perhat ian ser ius pada t anam an j arak pagar adalah serangan organism e pengganggu t um buhan ( OPT) . Banyak orang m enganggap bahw a t anam an ini adalah t anam an yang beracun, sehingga t idak per lu dikhawat irkan adanya serangan OPT, nam un dar i hasil lapor an dik et ahui adanya beberapa ham a dan penyakit yang m enim bulkan kerusakan, yang secara ekonom i m erugikan bagi perkebunan j ar ak pagar ( Anonim ous, 2007) .

Penyakit pada tanaman adalah suatu kondisi dimana tanaman tidak dapat melakukan fungsinya akibat adanya serangan patogen dan ini berlangsung terus menerus. Ada beberapa patogen yang sudah diketahui menyerang tanaman jarak pagar diantaranya menyebabkan penyakit embun tepung, busuk Botrytis, busuk Rhizoctonia, busuk fusarium, Witche’s Broom, dan bercak daun bakteri (Suastika, 2006).

Perkecambahan benih merupakan proses pertumbuhan yang dimulai dari benih sampai menjadi kecambah. Kamil (1980) menyatakan bahwa secara visual dan morfologi suatu benih yang berkecambah umumnya ditandai dengan terlihatnya akar atau daun yang menonjol keluar dari benih. Byrd (1983), mendefinisikan perkecambahan sebagai mekar dan berkembangnya stuktur-struktur penting dari embrio benih yang menunjukkan kemampuannya untuk menghasilkan tanaman normal pada keadaan yang menguntungkan. Menurut Schmidt (2000) perkecambahan merupakan mata rantai terakhir dalam proses penanganan benih. Hal ini didasari dari pengertian bahwa perkecambahan merupakan batas antara benih yang masih tergantung pada sumber makanan dari induknya dengan tanaman yang mampu berdiri sendiri dalam mengambil hara.

Tipe perkecambahan pada jarak pagar merupakan tipe epigeal. Ciri-ciri perkecambahan epigeal, yaitu hipokotil berkembang dan kemudian mendorong kotiledon ke atas permukaan tanah, kadang-kadang bersamaan dengan kulit benih dan sisa endosperma (Schmidt, 2000). Sutopo (2002) mengemukakan bahwa sebelum daun dapat berfungsi sebagai organ fotosintesis, maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada kotiledon (bagian dari benih yang merupakan jaringan penyimpanan cadangan makanan).

Umumnya perkecambahan tanaman memerlukan beberapa syarat khusus untuk memulai proses ini. Menurut Schmidt (2000) perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih (vigor dan kemampuan berkecambah), perlakuan awal (pematahan dormansi), dan kondisi perkecambahan seperti air, suhu, media, cahaya, dan bebas dari hama penyakit.

Mutu fisiologis benih dapat diketahui dengan melakukan uji perkecambahan (Kurniaty et al., 2005). Tujuan utama uji perkecambahan adalah untuk mendapatkan informasi perkiraan daya tumbuh benih di lapangan dan menyediakan nilai relatif suatu lot terhadap lot benih lainnya (Anonimous, 2005). Menurut Copeland dan McDonald (2001) uji ini memiliki keterbatasan dalam menentukan mutu benih. Iriantono et al. (2000) menambahkan bahwa kemampuan benih untuk tumbuh di lapangan lebih kecil dibandingkan apabila dikecambahkan di laboratorium. Hal ini disebabkan karena perkecambahan di laboratorium berlangsung dalam kondisi terkontrol baik dalam suhu, kelembaban, dan media

tumbuh, sedangkan kondisi di lapangan, banyak dipengaruhi oleh faktor luar yang sulit dikendalikan. Faktor luar ini merupakan faktor pembatas bagi benih untuk melakukan aktivitas metabolisme dengan sempurna dan membentuk kecambah yang normal.

Kurniaty et al. (2005) menyatakan bahwa ciri/kriteria terpenting yang harus ada dan diketahui dalam pengujian perkecambahan adalah batasan tentang kecambah normal dan kecambah abnormal. Batasan yang jelas akan mempermudah penguji untuk menentukan mutu fisiologis benih, karena kecambah yang memiliki mutu fisiologis yang baik akan berpotensi untuk tumbuh menjadi tanaman sempurna jika ditanam di lapang.

Struktur penting kecambah seperti struktur perakaran (radikula), daun (plumula), hipokotil, dan kotiledon merupakan suatu hal yang mutlak digunakan untuk menilai kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang di lapangan. Menurut Kamil (1980) pertumbuhan akar adalah sangat penting, semakin cepat semakin baik untuk pertumbuhan bibit atau tanaman tersebut. Bramasto et al. (2006) menyatakan bahwa untuk mengetahui sejauh mana pembentukan struktur penting itu sempurna dan mampu berkembang menjadi semai bibit dan anakan yang vigor di lapangan, perlu adanya suatu penelitian yang nantinya dapat menghasilkan suatu kriteria kecambah normal yang juga bisa diuji pada tingkat semai atau bibit, hingga ditanam di lapangan. Penelitian Bramasto et al. (2006) memperoleh hasil bahwa penyapihan benih suren dapat dilakukan pada saat semua struktur penting kecambah telah berkembang dan bentuknya telah sempurna, yaitu adanya tunas, kotiledon yang telah terbuka, perakaran yang berkembang sempurna, serta telah munculnya daun primer. Perkembangan seluruh stuktur kecambah tersebut akan mendukung pertumbuhan bibit selanjutnya.

Kriteria kecambah/bibit normal adalah kecambah yang memperlihatkan kemampuan berkembang terus hingga menjadi tanaman normal jika ditumbuhkan dalam kondisi yang optimum; perakaran berkembang baik dan diikuti perkembangan hipokotil, plumula (daun), epikotil, dan kotiledon yang tumbuh sehat; atau ada kerusakan sedikit pada struktur tumbuhnya tetapi secara umum masih menunjukkan pertumbuhan yang kuat dan seimbang antara pertumbuhan

struktur satu dengan yang lainnya (Sadjad, 1980). Kecambah yang akan menghasilkan bibit yang vigor adalah kecambah yang memiliki panjang hipokotil dan akar primer tiga sampai empat kali panjang benih (Anonimous, 1986).

Menurut Iriantono dan Nurhasybi (1996) pengujian mutu fisiologis benih dilaksanakan untuk menentukan kriteria kuantitatif dan kualitatif kecambah normal. Kriteria kuantitatif didasarkan pada panjang hipokotil, epikotil, dan radikula, sedangkan kriteria kualitatif didasarkan pada klasifikasi struktur tumbuh kecambah. Penelitian Iriantono dan Nurhasybi (1996) pada tanaman tusam menghasilkan 9 kelas kecambah, yaitu kulit benih telah terbuka sempurna, kulit benih hampir lepas dari kotiledon, kotiledon telah muncul hingga setengahnya, batas antara hipokotil dan kotiledon mulai terlihat, kotiledon belum muncul, radikula mulai tumbuh, benih tidak berkecambah, kulit benih telah retak tetapi gagal berkecambah, dan kecambah abnormal. Kelas kecambah ini diperoleh berdasarkan kriteria kualitatif dan diamati pada hari ke-10 sampai hari ke-14.

Chen dan Chen (1989) dalam menguji vigor kecambah Chinese fir pada wadah vertikal, memperoleh 5 kelas kecambah, yaitu kecambah dengan kulit benih telah terbuka sempurna, kecambah dengan kulit benih hampir terlepas, munculnya radikula dan hipokotil dengan kulit benih masih melekat, radikula dan hipokotil muncul dengan kulit benih yang masih melekat dan kotiledon belum terlihat, dan radikula muncul lebih panjang dari setengah ukuran benih. Pengujian klasifikasi tanaman Chinese fir ini berakhir pada hari ke-20, karena lebih dari hari ke-20, kelima kelas kecambah sudah tidak berkorelasi dengan penampilan tanaman di persemaian.

Kriteria Bibit Tanaman Tahunan

Menurut Salisbury dan Ross (1995), pertumbuhan adalah pertambahan sel yang pada tumbuhan berlangsung terbatas pada beberapa bagian tertentu, yang terdiri dari sejumlah sel yang baru saja dihasilkan melalui proses pembelahan sel meristem. Pembelahan sel itu sendiri tidak menyebabkan pertambahan ukuran, namun produk pembelahan sel itulah yang tumbuh dan menyebabkan pertumbuhan. Ujung akar dan ujung tajuk (apeks) adalah bagian tanaman yang memiliki meristem. Proses pertumbuhan ini dipengaruhi oleh faktor dalam

(genetik) dan faktor luar (lingkungan) yang mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bibit adalah bahan tanaman vegetatif yang bukan benih atau benih yang sudah tumbuh, namun belum mencapai stadium kemandirian tanaman (Sadjad, 1999). Mutu bibit dapat dievaluasi oleh ciri fisik, fisiologi, dan genetikanya. Ciri fisik yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi mutu bibit diantaranya tinggi total, diameter pangkal batang, nisbah tinggi/diameter, nisbah bagian tunas/akar, kelurusan dan jumlah batang, pangkal batang berkayu, keadaan tajuk dan kekompakan akar. Ciri fisiologi bibit dapat dievaluasi dengan mengukur kandungan unsur hara pada tanaman, karbohidrat, ketahanan terhadap stres, potensi pertumbuhan akar dan kesehatan bibit (Hendromono, 2003). Mutu genetika bibit dapat dilihat dari keseragaman genotipe dan wujud fenotipenya (Sadjad, 1993).

Duryea dalam Kartika (1994) berpendapat bahwa karakteristik morfologi yang merupakan salah satu kriteria kualitas bibit adalah bentuk fisik atau penampilan bibit yang dapat dilihat. Umumnya di Indonesia untuk pengujian bibit dilakukan dengan uji morfologi, namun menurut Hawkins dalam Nurhasybi dan Sudrajat (2006), uji ini tidak selalu berhasil dalam memprediksi penampilan bibit setelah penanaman, karena morfologi tidak mengindikasikan vitalitas saat itu, sehingga diperlukan uji fisiologis untuk menilai keseluruhan pengaruh perlakuan di persemaian terhadap kesehatan dan vigor bibit. Menurut Nurhasybi dan Sudrajat (2006) beberapa parameter yang menentukan kriteria mutu bibit sebaiknya distandarisasi dengan metode pengujian mutu bibit yang merupakan kombinasi dari beberapa uji agar standar mutu bibit yang dihasilkan dapat diaplikasikan untuk jenis tertentu yang ditanam pada tempat tertentu.

Kartika (1994) menyatakan bahwa bibit yang normal kuat jika dipelihara selama sebulan di pembibitan akan tumbuh dengan kuat sehingga tetap normal kuat dan yang berkembangnya agak lambat akan menjadi bibit normal kurang kuat pula. Pada bibit normal kuat tidak ada yang berubah menjadi abnormal, karena bibit sudah vigor, sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Hawkins dalam Nurhasybi dan Sudrajat (2006) menambahkan bahwa penanaman dengan bibit yang sehat dan vigor akan menjamin tanaman memiliki kemampuan

terbaik untuk membentuk perakaran baru secara cepat dan membangun akses yang baik terhadap tanah, air, dan cadangan hara, sehingga mampu bertahan pada tekanan lingkungan tempat tumbuh.

Mutu bibit tanaman untuk siap ditanam di lapang berbeda-beda, selain itu kondisi lingkungan juga mempengaruhi. Ukuran bibit dalam wadah yang umumnya dianggap siap tanam, yaitu bibit dengan tinggi total 25 - 50 cm, diameter pangkal batang 3 - 5 mm, nisbah bagian tunas/akar 2 - 5, nisbah tinggi/diameter 6.5 - 10, kecuali jenis tertentu lebih rendah (Hendromono, 2003). Prawitasari (2006a) menyatakan bahwa bibit jarak pagar yang bermutu baik memiliki ciri-ciri antara lain pertumbuhan bibit seragam, bibit tidak terserang hama dan penyakit, dan bibit tumbuh vigor dan baik dengan ukuran daun yang lebar berwarna hijau dan memiliki tunas yang besar dan kokoh.

Dokumen terkait