• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Usul dan Botani Tanaman Cabai

Tanaman cabai menurut sejarahnya berasal dari Ancon dan Huaca Prieta di Peru. Dalam perkembangan selanjutnya, cabai menyebar ke daerah tropis Benua Amerika bagian tengah dan selatan, bahkan sampai ke Meksiko. Kapan masuknya cabai ke Indonesia belum ditemukan keterangan yang pasti. Sampai saat ini tanaman cabai merupakan salah satu jenis sayuran yang telah sangat mem-budaya di kalangan petani. Sentra produksi cabai tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga mulai dikembangkan di luar Pulau Jawa (Prajnanta 2007).

Cabai termasuk tanaman semusim, berbentuk perdu atau setengah perdu, mempunyai sistem perakaran agak menyebar, batang utama tumbuh tegak dan pangkalnya berkayu. Daun tumbuh secara tunggal dengan bentuk sangat ber-variasi, yaitu lancip sampai bulat telur dan ujungnya runcing. Bentuk bunga cabai besar, umumnya tunggal, yang keluar dari ketiak-ketiak daun. Daun bunga ber-warna putih atau ungu, dan mempunyai lima benang sari serta satu buah putik. Penyerbukan dapat berlangsung secara silang ataupun menyerbuk sendiri, dan buah yang terbentuk umumnya tunggal. Struktur buah cabai secara umum, terdiri atas kulit, daging buah, dan di dalamnya terdapat sebuah plasenta (tempat biji me-nempel secara tersusun). Cabai kecil termasuk tanaman perdu dan berbunga majemuk dan dapat tumbuh dua sampai tiga tahun. Tiap tandan bunga terdiri atas banyak bunga, dan ukuran buah yang berbentuk kecil, tersusun secara ber-kelompok (Prajnanta 2007).

Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Ketinggian suatu daerah menentukan jenis cabai yang akan ditanam. Cabai ditanam mulai dari ketinggian permukaan laut hingga 13.000 m, peka terhadap bunga es dan memerlukan cuaca panas dan periode pertumbuhan panjang untuk menjadi produktif. Suhu siang rata-rata 20-25oC, pertumbuhan tanaman me-ningkat ketika suhu malam tidak melebihi 20oC (Rubatzky 1999).

Air sangat penting bagi tanaman cabai. Fungsi air adalah sebagai pelarut unsur hara yang terdapat di dalam tanah, sebagai media pengangkut unsur hara ke

organ tanaman, serta pengisi cairan tubuh tanaman (Prajnanta 2007). Keberadaan air harus sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tanaman. Lahan pertanaman yang mengalami kekurangan air akan menyebabkan aerasi udara dalam tanah menjadi terganggu dan suplai oksigen dalam tanah tidak lancar. Sebaliknya bila lahan per-tanaman mengalami kelebihan air maka tanah menjadi sangat lembab. Oleh karena itu kandungan air dalam tanah harus diperhatikan dengan mempertimbang-kan lokasi penanamannya. Bila di lahan sawah, sebaiknya cabai ditanam pada akhir musim hujan. Sebaliknya bila di lahan tegal, sebaiknya cabai ditanam pada akhir musim kemarau (Setiadi 2008).

Tanah merupakan tempat tumbuh tanaman. Oleh karena itu, tanah harus subur dan kaya akan bahan organik. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budi daya cabai berkisar antara 5.5-6.8 dengan pH optimum 6.0-6.5. Derajat kemasaman tanah merupakan faktor penting yang harus dipahami sebelum dilakukan teknis budi daya (Prajnanta 2007). Tanah yang memenuhi syarat ialah tanah yang menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Sementara itu, kandungan bahan baku diperoleh dari udara dan air. Oleh karena itu tanah harus diolah dahulu agar sirkulasi udara dan peresapan air dalam tanah menjadi lancar meskipun unsur hara sudah ada dalam tanah. Bila unsur hara tidak tersedia dalam jumlah yang cukup maka diperlukan bahan tambahan berupa pupuk, baik berupa pupuk alam atau organik maupun pupuk buatan atau anorganik. Oleh karena hanya sebagai bahan tambahan maka pemberian pupuk melalui tanah harus disesuaikan dengan kondisi kandungan hara dalam tanah. Pemberian pupuk tanpa dosis akan berdampak negatif pada tanah dan tanaman (Setiadi 2008).

Budidaya Tanaman Cabai

Budidaya tanaman cabai diawali dengan penyiapan lahan, kemudian disusul dengan penyiapan benih atau pembibitan. Proses penyiapan lahan dimulai dari pembukaan lahan sampai pengolahan tanah. Pembukaan lahan merupakan pembersihan lahan dari segala macam gulma dan akar-akar pertanaman sebelum-nya. Tujuannya adalah untuk memudahkan perakaran tanaman berkembang dan menghilangkan tumbuhan inang bagi hama dan penyakit yang mungkin ada (Prajnanta 2007). Dua minggu setelah pembersihan lahan, tanah sudah dapat

6  diolah. Tahapan pengolahan lahan bertujuan mengubah struktur tanah yang padat dan keras menjadi struktur tanah yang gembur, sesuai perkembangan akar tanam-an cabai, menstabilktanam-an peredartanam-an air, udara, dtanam-an suhu di dalam ttanam-anah. Untuk men-jadikan struktur tanah yang gembur diperlukan beberapa proses, yaitu pem-bajakan, pengeringan, dan akhirnya pembuatan bedengan kasar. Sebelum tanah dibajak, tanah digenangi sehari semalam agar tanah menjadi lunak dan tidak melekat pada mata bajak bila dilakukan pembajakan. Untuk tanaman cabai, ke-dalaman bajakan berkisar 15-20 cm jika dilakukan pada lahan bekas pertanaman palawija. Setelah pembajakan, lahan digenangi. Selanjutnya secara bertahap lahan dikeringkan selama 5-7 hari. Bongkahan atau gumpalan tanah yang mengalami proses dari basah ke kering dan sebaliknya akan membentuk struktur tanah yang gembur. Tanah yang gembur sudah dapat dibentuk menjadi bedengan-bedengan kasar. Bedengan ini bertujuan sebagai tempat penanaman cabai. Ukuran bedengan yang sesuai yaitu panjang 10-12 m, lebar 110-120 cm, tinggi 30-40 cm saat musim kemarau dan 50-70 cm di musim hujan, lebar parit 50-55 cm di musim kemarau dan 60-70 cm saat musim hujan. Panjang bedengan tidak lebih dari 12 m supaya memudahkan pemeliharaan tanaman. Lebar bedengan dibuat 110-120 cm karena digunakan untuk dua baris tanaman. Tinggi dan lebar parit disesuaikan dengan musim. Saat musim hujan bedengan lebih tinggi supaya perakaran tanam-an tidak terendam air dalam waktu ytanam-ang lama dtanam-an pembutanam-angtanam-an airnya ltanam-ancar. Air yang berlebihan akan menyulitkan akar untuk bernapas (Prajnanta 2007).

Bersamaan dengan terbentuknya bedengan kasar, dilakukan penyiapan benih dan pembibitan di persemaian. Benih cabai disemai satu per satu dalam tray semai. Sebelum benih cabai disemai, tray semai diisi dengan media campuran tanah dan pupuk kandang yang sudah halus. Tanah yang digunakan harus kering. Tujuan pemberian pupuk kandang pada media semai adalah untuk menyediakan unsur hara, baik unsur makro (N, P, dan K) serta unsur mikro (Cu, Cl, B, Mo, Mn, dan Zn). Pupuk kandang juga dapat memperbaiki struktur tanah sehingga tanah men-jadi gembur. Benih cabai dimasukkan satu per satu, kemudian ditutup dengan tanah tipis. Semua tray semai yang telah diisi benih cabai diatur rapi, dan segera dilindungi dengan menggunakan atap dari plastik bening yang ditopang

bilah bambu. Selama bibit dipersemaian, kegiatan rutin pemeliharaan adalah penyiraman 1-2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari (Prajnanta 2007).

Sebelum melakukan pindah tanam, bedengan ditutup dengan mulsa plastik dan dibuatkan lubang tanam. Jarak tanam untuk tanaman cabai adalah 50-60 cm x 60-70 cm. Untuk membuat lubang tanam menggunakan kaleng bekas yang sudah dilubangi dan diisi arang panas. Penggunaan alat ini dilakukan dengan cara menempelkan ujung bawah kaleng sesuai jarak tanam yang telah ditetapkan (Setiadi 2008).

Waktu pindah tanam yang baik adalah pagi hari atau saat udara sejuk, tidak terlalu panas dan bibit cabai telah berumur 18-21 hari setelah penyemaian atau sudah mempunyai 3-4 helai daun. Bibit cabai yang siap dipindahtanamkan disiram secukupnya. Sebagian tanah pada lubang tanam dibuang kira-kira seukur-an media semai. Kemudiseukur-an, bibit dimasukkseukur-an bersamaseukur-an dengseukur-an media semainya. Bibit cabai yang telah ditanam segera disiram sampai tanahnya cukup basah (Prajnanta 2007).

Kegiatan pokok pemeliharaan tanaman meliputi pemasangan ajir, penyiraman, perempelan tunas dan cabang, dan pemupukan tambahan (susulan). Untuk menopang pertumbuhan tanaman agar kuat dan kokoh serta tidak rebah perlu dipasang ajir dari bilah bambu. Fase awal pertumbuhan atau saat tanaman cabai masih menyesuaikan diri terhadap lingkungan membutuhkan penyiraman secara rutin tiap hari, terutama di musim kemarau. Perempelan berguna dalam me-rangsang pertumbuhan tunas-tunas dan percabangan di atasnya yang lebih banyak dan produktif menghasilkan buah yang lebat (Rukmana 1996). Tanaman cabai tetap perlu diberi pupuk tambahan agar pertumbuhannya menjadi subur. Jenis pupuk yang digunakan pada fase pertumbuhan vegetatif aktif adalah pupuk daun yang kandungan nitrogennya tinggi, misalnya Gandasil D. Gandasil D adalah pupuk daun lengkap dengan komposisi Nitrogen 20% (N total), Fosfor 15% (P2O5), Kalium 15% (K2O), dan magnesium 1% (MgSO4). Pupuk tersebut dapat digunakan sebagai starter solution. Starter solution merupakan campuran antara pupuk yang mudah larut dengan menggunakan air (pupuk kocor) diaplikasikan pada tanaman saat fase vegetatif. Kandungan dalam pupuk kocor ini mudah larut dalam air dan cepat diserap oleh tanaman. Studi yang dilakukan di AVRDC telah

8  menunjukkan bahwa penggunaan suplemen NPK cair sebagai starter solution

untuk pertumbuhan vegetatif dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman famili Solanaceae (AVRDC 2004). Pupuk starter solution memberikan nutrisi penting untuk tanaman pada fase vegetatif sebelum terbentuknya sistem perakaran yang kuat (AVRDC 2004).

Penyakit Penting pada Tanaman Cabai

Penyakit utama tanaman cabai dapat disebabkan oleh virus, bakteri, dan cendawan. Diantara penyakit utama tanaman cabai yang sering dilaporkan adalah antraknosa pada buah (Collectrotichum spp.), layu bakteri pada batang (Ralstonia solanacearum), busuk bakteri pada buah (Erwiniacarotovora), mosaik pada daun (Chilli veinal mottle virus, Cucumber mottle virus, dan Tobacco mosaic virus) (Semangun 2007).

Penyakit antraknosa dapat timbul pada daun muda, batang, dan buah. Terjadi infeksi laten, dimana cendawan masuk ke dalam beberapa sel kulit dan tidak berkembang terus. Cendawan baru akan berkembang dan membentuk bercak setelah buah matang (Semangun 2006). Infeksi pada buah ditandai dengan adanya bercak kecil, bulat cekung dengan diameter 30 mm. Bagian tengah bercak menjadi kecokelatan sementara jaringan di bawah bercak dikelilingi dengan bintik-bintik kehitaman yang kemudian menyatu, pada akhir-nya menyebabkan busuk pada buah (Gambar 1A). Serangan berat akan menyebabkan buah cabai mengerut dan mengering. Colletotrichum memiliki jangkauan terluas di antara tanaman inang famili Solanaceae (Cerkauskas 2004a).

Gejala layu bakteri dimulai pada daun termuda saat siang hari. Tanaman dapat segar kembali pada malam hari di bawah suhu yang lebih dingin. Beberapa hari kemudian mulai menunjukkan gejala layu permanen (Cerkauskas 2004c). Pada bagian yang menjadi layu daging daun di antara tulang-tulang daun atau tepi daun menguning dan mengering (Gambar 1B). Akhirnya seluruh daun layu, dan tanaman mati. Kalau tanaman yang terinfeksi R. solanacearum dicabut, tampak bahwa sebagian atau seluruh akarnya berwarna cokelat dan busuk (Semangun 2006.

Erwinia carotovora menyebabkan busuk lunak, nekrosis, dan kelayuan. Gejala yang disebabkan oleh bakteri ini yaitu mula-mula terjadi cedera yang meluas dengan cepat, menjadi bercak lunak, akhirnya busuk basah yang umumnya berbau tidak enak (Semangun 2006). Serangan berat dapat menyebabkan buah rontok.

Gejala umum penyakit yang disebabkan oleh ChiVMV adalah daun mengecil, keriting, dan mosaik (Gambar 1C). Tanaman terinfeksi mempunyai daun-daun muda yang tulang-tulang daunnya lebih pucat daripada biasa ( vein-clearing), sering bentuknya melengkung. Gejala khas ChiVMV adalah adanya belang berwarna hijau kegelapan di sekitar tulang daun (Gambar 1F). Tanaman muda yang terinfeksi virus ini dapat mengalami kekerdilan. Banyak bunga yang berguguran dan abnormalitas pada buah yang dihasilkan. Gejala seperti itu dapat menyebabkan kehilangan hasil yang sangat berarti. Penyebaran ChiVMV dibantu oleh kutu daun Myzus persicae. Seekor kutu daun yang terinfeksi virus dari tanaman sakit dapat menularkan virus dengan cepat (Cerkauskas 2004d).

Infeksi CMV menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Daun dapat mengkerut dan munculnya bercak nekrotik yang meluas, akibatnya daun mudah berguguran sebelum waktunya (Gambar 1D). Buah yang dihasilkan me-nunjukkan gejala keriput dan berlekuk. Penyebaran CMV juga dibantu oleh kutu daun, M. persicae (Cerkauskas 2004e).

Tanaman yang terinfeksi TMV mempunyai daun muda yang tulang daunnya lebih pucat daripada biasa (veinclearing). Gejala pada daun berkembang menjadi bercak-bercak klorotik yang tidak teratur (Gambar 1E). Tumbuhan muda yang mengalami infeksi sangat terhambat pertumbuhannya dan menjadi sangat kerdil. TMV mudah sekali menular secara mekanik (kontak). Gejala yang berat dapat menyebabkan penurunan mutu panen (Semangun 2006).

10 

Gambar 1 Busuk buah akibat infeksi Colletotrichum spp. (A); Gejala layu bakteri (B); Gejala khas ChiVMV (C, D); Bercak nekrotik akibat infeksi TMV (E); Bercak nekrotik akibat infeksi CMV (F) (CABI 2005).

Pengendalian Penyakit Tanaman Cabai

Penyakit tanaman dapat menyebabkan kerugian langsung pada petani, karena penyakit dapat mengurangi kuantitas dan kualitas (mutu) hasil, meningkatkan biaya produksi, dan mengurangi kemampuan usaha tani (Semangun 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi tanaman, mencegah terjadinya kerugian ekonomis serta menaikkan nilai hasil produksi panen dari tanaman.

Colletotrichum spp. dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan dari sisa-sisa tanaman sakit. Pengendalian dilakukan dengan rotasi tanaman yang berbeda

(A) (B)

(C) (D)

famili. Selain itu, pembersihan gulma sangat penting karena patogen memiliki kisaran inang yang luas. Pemakaian fungisida dilakukan secara berkala mulai dari tanaman membentuk bunga sampai panen buah. Karena infeksi laten dapat terjadi bahkan pada buah yang masih hijau, cakupan penyemprotan diperlukan untuk sebagian besar masa pertumbuhan vegetatif. Membuang buah yang terinfeksi dapat men-cegah penumpukan inokulum di dalam tanah (Jones etal 1997).

Untuk mengurangi kerugian akibat serangan penyakit layu bakteri di-lakukan pergiliran tanaman dan pemeliharaan tanah yang sebaik-baiknya dengan mengadakan drainasi dan penggarapan tanah yang tepat (Semangun 2006). Pada penyakit busuk bakteri, pengendalian awal dilakukan dengan cara sterilisasi alat-alat panen. Membersihkan lahan dari buah sakit dapat mengurangi penyebaran penyakit pada buah sehat. Untuk mencegah kontaminasi patogen melalui benih, dapat dikendalikan dengan merendam benih ke dalam 1% sodium hipoklorit selama 30 detik, kemudian benih dicuci dengan air bersih. Pemeliharaan lahan yang tepat, misalnya terlebih dahulu melakukan penyiangan di lahan yang belum terinfeksi Erwinia sp. disusul di lahan yang terinfeksi. Jika jumlah tanaman yang terinfeksi masih sedikit, pengendalian dilakukan dengan membuang atau membakar tanaman sakit. Melakukan rotasi tanaman, contohnya kedelai, jagung, atau buncis, jika jumlah tanaman terinfeksi banyak (Cerkauskas 2004b).

Pengendalian virus pada tanaman cabai dilakukan dengan membuang tanaman sakit. Saat bekerja di lahan, alat disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi dengan merendam alat selama 10 menit ke dalam 5.25% sodium hipoklorit pengenceran 1:10 atau mencuci alat dengan sabun deterjen (Cerkauskas 2004d). Melakukan pembersihan lahan, seperti penyiangan, pemangkasan, dan pemetikan sebaiknya dikerjakan pada tanaman sehat terlebih dahulu, kemudian disusul ke tanaman sakit (Semangun 2006).

Dokumen terkait