• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. 1. Landasan Teori

2. 1. 1. Return Saham

Return saham atau tingkat keuntungan investasi saham dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu return realisasi dan return ekspektasi (Jogiyanto, 2000).

Return realisasi merupakan return yang telah terjadi dan dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi penting sebagai dasar pengukuran kinerja perusahaan, serta sebagai dasar penentuan return ekspektasi dan risiko di masa mendatang. Sedangkan

return ekspektasi merupakan return yang diharapkan terjadi di masa mendatang dan bersifat tidak pasti (belum terjadi).

Rate of Return (ROR) adalah tingkat keuntungan saham atas investasi yang dilakukan oleh investor. Komposisi penghitungan rate of return (return total) adalah

capital gain (loss) dan yield. Capital gain (loss) merupakan selisih laba/rugi yang dialami oleh pemegang saham karena harga saham relatif lebih tinggi atau rendah dibandingkan harga saham periode sebelumnya. Sedangkan yield merupakan persentase penerimaan kas secara periodik terhadap harga investasi periode tertentu dari sebuah investasi. Untuk saham, yield merupakan persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya. Untuk obligasi, yield merupakan persentase bunga pinjaman yang diperoleh terhadap harga obligasi sebelumnya (Jogiyanto, 2000)

Dalam menghitung rate of return dapat digunakan rumus sebagai berikut: ROR = Capital gain(loss)+ Dividend Yield

= Pt-Pt-1 Pt-1 + Dt Pt-1 = Pt-Pt-1+ Dt Pt-1 X 100 % Keterangan: Pt P

= Harga saham sekarang

t-1

Dt = Deviden yang dibayarkan sekarang = Harga saham periode lalu t−1

2. 1. 2 Economic Value Added (EVA)

Istilah EVA (Economic Value Added) pertama kali dipopulerkan oleh Stern Steward Management Service yang merupakan perusahaaan konsultan dari Amerika Serikat. Ukuran kinerja ini pertama kali diperkenalkan oleh George Bennet Steward III dan Joel M Stern yang merupakan analis keuangan Stern Steward (Utama, 1997).

EVA sendiri dapat didefinisikan sebagai: “Keuntungan operasional setelah pajak (after tax operating income) dikurangi dengan total biaya modal (total cost of capital) dari seluruh modal yang dipergunakan untuk menghasilkan laba tersebut“ (Mirza, 1997).

EVA adalah laba operasional setelah pajak (NOPAT) dikurangi biaya modal dari investasi atau modal yang digunakan. NOPAT merupakan laba operasi perusahaan setelah pajak dan mengukur laba yang diperoleh perusahaan dari operasi

berjalan. Biaya modal sama dengan modal yang diinvestasikan perusahaan dikalikan rata-rata tertimbang (weighted average) dari biaya modal (WACC). WACC sama dengan jumlah biaya dari setiap komponen modal – utang jangka pendek, utang jangka panjang dan ekuitas pemegang saham – ditimbang berdasarkan proporsi relatifnya dalam struktur modal perusahaan pada nilai pasar. Menurut Young dan O’Byrne (2001), perhitungan EVA adalah sebagai berikut:

Penjualan Bersih - Biaya Operasi

= Laba Operasi (atau pendapatan sebelum bunga dan pajak, EBIT) - Pajak

= Laba Operasi setelah pajak (NOPAT)

- Biaya modal (modal yang diinvestasikan x WACC) = EVA

EVA = NOPAT – Cost of Capital

EVA = NOPAT – (k x Capital)

EVA = NOPAT – (WACC x Capital Invested), atau EVA = (ROA – WACC) x Capital Invested

Langkah-langkah yang digunakan dalam menghitung EVA (Economic Value Added) secara lebih detail adalah sebagai berikut (Roussana, 1997) :

a. Menghitung Biaya Hutang

Biaya hutang (cost of debt) atau kd merupakan rate yang harus dibayar perusahaan didalam pasar pada saat ini untuk mendapatkan hutang jangka panjang baru. Perusahaan memiliki beberapa paket surat hutang dengan beban bunga yang beragam dan cara tepat menghitungnya adalah secara tertimbang (Weight). Adanya pembayaran bunga oleh perusahaan akan mengurangi besarnya pendapatan kena pajak (PKP), maka kd harus dikoreksi dengan faktor tersebut (1-T) dengan T =

tingkat pajak yang dikenakan. Berdasarkan Undang-undang Perpajakan pada periode penelitian laba perusahaan sebelum pajak (earning before tax) akan dikenakan tarif pajak sehingga dapat dirumuskan menjadi:

kd = Biaya Bunga tahunan Total Hutang Jangka Panjang

Menurut Brigham dan Houston (2001) biaya hutang berasal dari biaya hutang setelah pajak, kd (1- T). Biaya hutang ini merupakan biaya yang relevan dari hutang baru, mengingat kemampuan bunga mengurangi pajak digunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang (WACC). Perhitungan ini sama dengan kd

Biaya komponen hutang setelah pajak = Suku bunga - Penghematan pajak dikalikan dengan (1-T), dimana T merupakan tarif pajak marjinal perusahaan.

= kd - kdT = kd

Alasan penggunaan biaya hutang setelah pajak dalam menghitung biaya modal rata-rata tertimbang adalah sebagai berikut. Nilai saham perusahaan, yang ingin dimaksimumkan, bergantung pada arus kas setelah pajak. Karena bunga merupakan beban yang dapat dikurangkan, maka bunga menghasilkan penghematan pajak yang mengurangi biaya hutang bersih, yang membuat biaya hutang setelah pajak lebih kecil dari biaya hutang sebelum pajak. Biaya hutang adalah suku bunga atas hutang baru, bukan atas hutang yang masih beredar, dengan kata lain biaya yang diperlukan adalah biaya hutang marjinal.

b. Menghitung Biaya Modal Sendiri

Biaya modal sendiri sering disebut cost of equity. Bila para investor menyerahkan dananya berupa ekuitas kepada perusahaan, maka mereka berhak untuk mendapatkan pembagian dividen di masa mendatang sekaligus berkedudukan sebagai pemilik parsial dari perusahaan tersebut. Besarnya dividen tidak ditentukan pada saat investor menyerahkan dananya, akan tetapi bersifat tidak tetap tergantung kepada kinerja perusahaan di masa mendatang (perolehan retained earning). Hal ini berbeda dengan modal hutang karena pada hutang telah ada kepastian terhadap tingkat bunga. Untuk menghitung ke

Menurut Brigham dan Gapenski (2006) terdapat beberapa pendekatan untuk menentukan nilai k

digunakan pendekatan berdasarkan nilai pasar yang berlaku dan bukan nilai buku.

e

1. Pendekatan CAPM (Capital Asset Pricing Model) antara lain:

Model yang populer digunakan adalah dengan menggunakan penetapan harga aktiva modal atau CAPM. Metode tersebut dapat dirumuskan:

ke

= k

= Risk free rate + Risk premium

RF + βi (kM- kRF

di mana:

)

kRF k

= Tingkat hasil keuntungan bebas risiko (risk free rate), M

β

= Tingkat hasil keuntungan yang diharapkan dipasar, dan

i = Koefisien Beta saham yang merupakan Indeks risiko saham perusahaan ke i.

Komponen biaya ekuitas: a. Risk Free Rate (kRF

Adalah tingkat bunga bebas risiko, di mana penanaman modal pada instrumen bisnis yang mempunyai tahun bunga bebas risiko. Ini akan dapat dipastikan memperoleh keuntungan seperti yang diharapkan. Sebagai ukuran dipakai tingkat suku bunga obligasi dalam hal ini adalah Sertifikat Bank Indonesia. Data ini diperoleh dari jurnal statistik keuangandan pasar modal.

)

b. Market Return (kM

Adalah tingkat keuntungan portfolio pasar atau nilai keseluruhan pasar. Sebagai pengukur dipakai tingkat keuntungan rata-rata seluruh kesempataninvestasi yang tersedia di indeks pasar. Indeks pasar yang dipakai adalah Indek Harga Saham Gabungan (IHSG). Data diperoleh dari Capital Market Direktory (CMD). Cara memperolehnya adalah dengan mengumpulkan nilai IHSG bulanan. Kemudian dihitung sebagai berikut:

)

Return pasar (kM) = (Indeksbulan i – indeksbulan i-1) / indeks c. Beta (β)

bulan i-1

Beta suatu saham adalah suatu ukuran volatilitas saham tersebut terhadap rata-rata pasar saham. Hal tersebut mencerminkan risiko pasar sebagai lawan risiko spesifik perusahaan yang dapat dikurangi dengan diversifikasi. Historikal beta ini diperoleh dengan melakukan regresi linier antara tingkat keuntungan (stock return) saham atau excess return saham yang akan dicari

nilai betanya terhadap excess return portfolio pasar / indeks pasar (dalam hal ini indeks yang digunakan adalah IHSG).

Y = β. X

Dimana: Y = Excess return saham individual (kRI – kRF X = Excess return portfolio pasar (k

)

M – kRF

Yang dimaksud excess return adalah selisih antara tingkat keuntungan dengan tingkat bebas risiko.

)

2. Pendekatan Discounted Cash Flow (DCF) Model Model ini melihat ke

k

sebagai nilai dividen atau harga saham ditambah dengan persentase pertumbuhan dari dividen tersebut (asumsi pertumbuhan konstan).

e

k

= Dividend Yield + g

e

k

= Dividend Yield + (plowback ratio x r)

e

dimana:

= Dividend Yield + [ (1 – Dividend Payout) x r]

ke

g = Tingkat pertumbuhan yang diharapkan = Biaya modal sendiri

r = Tingkat keuntungan

3. Pendekatan Bond Yield Plus Risk Premium

Memperkirakan tingkat return yang akan diperoleh dengan menambahkan premi risiko pada obligasi, dimana company bond yield diperoleh dari perusahaan yang

memiliki obligasi (kd) dan risk premium pada pendekatan ketiga ini adalah premi yang diharapkan melebihi nilai bond yield perusahaan (kd

k

) dengan maksud menarik investor untuk investasi pada obligasi yang lebih berisiko.

e = Company own bond Yield +Risk Premium

c. Menghitung Struktur Permodalan dari Neraca

Keputusan mengenai struktur modal menurut Brigham dan Gapenski (2006) adalah hal yang sangat penting dalam menghitung biaya rata-rata tertimbang dari modal. Adanya perubahan struktur modal perusahaan akan mempengaruhi risiko yang terkandung pada saham biasa perusahaan yang pada akhirnya mempengaruhi harga saham dan biaya laba yang ditahan. Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antar risiko dan tingkat keuntungan. Risiko yang makin tinggi akibat membesarnya hutang cenderung menurunkan harga saham, tetapi meningkatnya tingkat keuntungan yang diharapkan akan menaikkan harga saham tersebut. Perusahaan dengan menetapkan struktur modal yang optimal akan menghasilkan keseimbangan antara risiko dan tingkat keuntungan sehingga akan memaksimumkan harga saham. Faktor yang mempengaruhi keputusan sehubungan dengan struktur modal, diantaranya:

1. Risiko bisnis perusahaan yang terkandung pada aktiva perusahaan jika tidak menggunakan hutang.

2. Posisi pajak perusahaan. Perusahaan menggunakan hutang dalam operasionaya karena biaya bunga yang dibayarkan dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak (tax deduxtible) sehingga menurunkan biaya hutang sesungguhnya.

3. Fleksibilitas keuangan yang merupakan kemampuan untuk menambah modal dengan persyaratan yang logis.

Struktur permodalan yang dipakai adalah proporsi hutang dan proporsi modal sendiri dalam bentuk prosentase dari jumlah hutang dan modal sendiri. Proporsi hutang (WD) diperoleh dengan membagi utang perusahaan dengan jumlah utang dan modal sendiri kemudian dikalikan 100%.

WD= D

(D+E) X 100%

Proporsi ekuitas (WE) diperoleh dengan membagi modal sendiri dengan jumlah hutang dan modal sendiri.

WE= E

(D+E) X 100%

d. Menghitung NOPAT

Net Operating Profit After Tax (NOPAT) atau laba operasi bersih setelah pajak merupakan penyesuaian dari laba setelah pajak. Besar laba operasi setelah pajak tidak memberi dampak pada profitabilitas ataupun risiko dari bisnis yang sekarang. Dengan kata lain baik perusahaan dibiayai dengan hutang maupun dengan modal sendiri nilai NOPAT-nya akan identik. Net Operating After Tax adalah laba bersih / Earnings After Tax (EAT) yang dijumlahkan dengan Interest After Tax (IAT).

NOPAT = EAT + IAT. EAT = Laba bersih (Earnings After Tax).

IAT = Interest After Tax.

e. Menghitung biaya modal rata-rata tertimbang (c*)

Perhitungan biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost of Capital) atau c* menggunakan penjumlahan hasil kali antara bobot tertimbang atas komponen hutang dan komponen modal ekuitas perusahaan dari keseluruhan struktur modal perusahaan dengan persentase biaya hutang dan biaya modal ekuitas yang perumusannya sebagai berikut:

WACC = kd (1-T). Wd + ke. W

dimana T = Pajak yang dikenakan pemerintah pada perusahaan

e kd k = Biaya hutang e W

= Biaya modal sendiri

d

W

= Proporsi hutang

e

f. Menghitung EVA (Economic Value Added)

= Proporsi ekuitas

EVA= NOPAT – c* x capital, atau EVA= (r-c*) x Capital

dimana: r = Tingkat keuntungan c* = Biaya rata-rata tertimbang

Capital = merupakan jumlah dana yang tersedia bagi perusahaan untuk membiayai usahanya, yang merupakan penjumlahan dari total hutang dan modal saham.

Untuk menilai perusahaan, perhitungan EVA tidak hanya pada periode masa kini tetapi juga mencakup periode yang akan datang. Hal ini disebabkan karena EVA pada suatu tahun tertentu menunjukkan besarnya penciptaan nilai pada tahun tersebut. Sedangkan nilai perusahaan menunjukkan nilai sekarang dari total penciptaan nilai selama umur perusahaan tersebut.

Menurut Utama (1997) penilaian EVA dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Apabila EVA > 0, berarti nilai EVA positif yang menunjukkan telah terjadi

proses nilai tambah pada perusahaan.

2. Apabila EVA = 0 menunjukkan posisisi impas atau Break Event Point.

3. Apabila EVA <0, yang berarti EVA negatif menunjukkan tidak terjadi proses nilai tambah.

Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya pendekatan EVA (Economic Value Added) berfungsi sebagai:

1. Indikator tentang adanya penciptaan nilai dari sebuah investasi.

2. Indikator kinerja sebuah perusahaan dalam setiap kegiatan operasional ekonomisnya.

3. Pendekatan baru dalam pengukuran kinerja perusahaan dengan memperhatikan secara adil para penyandang dana atau pemegang saham.

Keunggulan EVA (Economic Value Added) menurut Iramani dan Febrian (2005) adalah sebagai berikut:

1. EVA memfokuskan penilaian pada nilai tambah dengan memperhitungkan beban sebagai konsekuensi investasi.

2. EVA merupakan alat perusahaan dalam mengukur harapan yang dilihat dari segi ekonomis dalam pengukurannya, yaitu dengan memperhatikan harapan penyandang dana secara adil dimana derajat keadilan dinyatakan dengan ukuran tertimbang dari struktur modal yang ada dan berpedoman pada nilai pasar dan bukan pada nilai buku.

3. Perhitungan EVA dapat dipergunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti standar industri atau data perusahaan lain sebagai konsep penilaian.

4. Konsep EVA dapat digunakan sebagai dasar penilaian pemberian bonus pada karyawan terutama pada divisi yang memberikan EVA lebih sehingga dapat dikatakan bahwa EVA menjalankan stakeholders satisfaction concepts.

5. Pengaplikasian EVA yang mudah menunjukan bahwa konsep tersebut merupakan ukuran praktis, mudah dihitung dan mudah digunakan sehingga merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam mempercepat pengambilan keputusan bisnis.

EVA memiliki kelemahan, yang menurut Iramani dan Febrian (2005) adalah sebagai berikut:

1. EVA hanya mengukur hasil akhir (result) dan tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu, seperti loyalitas dan tingkat retensi konsumen.

2. EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat mengandalkan pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil keputusan untuk menjual dan membeli saham tertentu

2. 1. 2. Leverage

Leverage terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu financial leverage dan operating leverage. Menurut Brigham dan Houston (2001), leverage keuangan (financial leverage) merupakan suatu ukuran yang menunjukkan sampai sejauh mana sekuritas berpenghasilan tetap (utang dan saham preferen) digunakan dalam stuktur modal perusahaan. Jika sebagian besar dari total biaya perusahaan adalah biaya tetap maka perusahaan itu dikatakan leverage operasi.

Leverage ini merupakan bagian dari Debt Ratio. Rasio ini menggambarkan hubungan antara utang perusahaan terhadap modal maupun aset. rasio ini dapat melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh utang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal (equity). perusahaan yang baik mestinya memiliki komposisi modal yang lebih besar dari utang. Rasio ini juga

dianggap bagian dari rasio Solvabilitas. Debt Ratio ini ditunjukkan dengan perbandingan Debt to Equity (total hutang dibagi dengan total ekuitas)

2. 1. 3. Manajemen Laba

Konsep Earning Management dapat dimulai dari pendekatan agensi dan

signalling theory. Teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa praktik

earning management dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen (manajemen) dengan prinsipal (pemilik) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Teori sinyal (signalling theory) membahas bagaimana seharusnya sinyal keberhasilan / kegagalan manajemen disampaikan kepada pemilik. Penyampaian laporan keuangan dapat dianggap sinyal apakah agen telah berbuat sesuai dengan kontrak. Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan seperti kreditor dan investor. Asimetri informasi terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi laporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan kepentingannya.

Tiga hipotesis teori akuntansi positif (Positive Accounting Theory) yang dirumuskan oleh Watts dan Zimmerman (1990) dalam Ardiati (2005) dapat dijadikan dasar pemahaman dalam tindakan earning management adalah:

a. Hipotesis program bonus (The Bonus Plan Hypothesis)

Penelitian Healy (1985) dalam Naim dan Hartono (1996) membuktikan bahwa kompensasi yang didasarkan atas data akuntansi merupakan insentif bagi manajer untuk memilih prosedur dan metode akuntansi yang dapat memaksimumkan besarnya bonus yang akan diperoleh. Laba suatu periode akuntansi yang lebih rendah dari target laba merupakan insentif bagi manajer untuk mengurangi laba yang dilaporkan dalam suatu periode tersebut dan mentransfer laba ke periode berikutnya.

b. Hipotesis perjanjian utang (The Debt Covenant Hypothesis)

Salah satu persyaratan dalam pemberian kredit seringkali mencakup kesediaan debitur untuk mempertahankan tingkat rasio modal kerja minimal,

rasio debt to equity minimal, maksimum pemberian dividen ke pemegang saham atau batasan lain yang umumnya dikaitkan dengan data akuntansi. Pelanggaran terhadap batasan-batasan yang termuat dalam kontrak kredit ini merupakan hal yang menakutkan bagi manajemen. Oleh karena itu, kondisi keuangan yang menyebabkan perusahaan berada dalam posisi nyaris melanggar perjanjian kredit dapat menjadi insentif bagi manajer untuk melakukan manajemen laba dalam rangka meminimalkan probabilitas pelanggaran perjanjian kredit.

c. Hipotesis Politis (The Political Cost Hypothesis)

Fluktuasi yang besar dalam laba mungkin menarik perhatian pembuat peraturan (regulator), fluktuasi naik yang besar atas laba dapat dipandang sebagai sinyal krisis dan menyebabkan regulator bertindak. Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba dibandingkan perusahaan kecil.

Menurut Scott ( 1997) dalam Rahmawati, Suparno dan Qomariyah (2006), pola-pola manajemen laba, antara lain:

1. Taking A Bath

Taking a bath sering disebut big bath dan dilakukan agar laba pada periode berikutnya menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya. Hal ini dimungkinkan karena manajemen menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-perkiraan mendatang pada periode sekarang. 2. Income Maximation

Income maximation dilakukan agar laba pada periode sekarang menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.

3. Income Minimation

Income minimation dilakukan agar laba periode sekarang lebih rendah dari yang seharusnya.

4. Income Smoothing

Income smoothing merupakan bagian dari manajemen laba yang merupakan kegiatan perusahaan untuk melakukan perubahan atau manipulasi laba secara

smooth atau lembut yang diukur dengan Indeks Eckel. Proksi dari income smoothing yang menggunakan Indeks Eckel berbeda dengan proksi manajemen laba yang diukur dengan discretionary accrual. Income smoothing (perataan laba) meliputi penggunaan teknik-teknik tertentu untuk memperkecil atau memperbesar jumlah laba suatu periode sama dengan jumlah laba periode sebelumnya.

Penelitian ini menggunakan pola income maximation dan income minimation

dalam mengidentifikasi manajemen laba, dengan perhitungan diskresioner total akrual sesuai dengan Modified Jones’ Models (Dechow, 1995 dikutip oleh Midiastuty dan Mas’ud, 2003) :

a. Total accruals sesungguhnya TAC = NIit – CFit

dimana:

NIit = laba bersih (net income) perusahaan i pada periode t,

CFit = arus kas operasi (cash flow of operation) perusahaan i pada periode t

b. Total accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS (Ordinary Least Square) adalah

TACt/TAt11 (1/TAt1) +α2

(

∆SALt/TAt1

)

3

(

PPEt/TAt 1) + ϑt

dimana

TACt = total accruals dalam periode t TAt-1 = total asset periode t-1

∆SALt = perubahan pendapatan atau penjualan bersih dalam periode t PPEt = property, plan, and equipment periode t

α1, α2, α3 = koefisien regresi

c. Non akrual diskresioner

NDTACt= α1 (1 TAt −1) + α2

[

(

SALt −∆RECt ) TAt −1

]

+ α3 (PPEt /TAt −1)

dimana:

∆RECt = perubahan piutang bersih dalam periode t

α1, α2, α3 = fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi pada perhitungan total accruals

d. Diskresioner Total Akrual

DTACt = TACt /TAt −1 NDTACt

dimana:

TACt = total accruals tahun t

NDTACt = non akrual diskresioner pada tahun t

2. 1. 4. Kebijakan Deviden

Ang (1997) menyatakan bahwa dividen merupakan nilai pendapatan bersih perusahaan setelah pajak dikurangi dengan laba ditahan (retained earning) yang ditahan sebagai cadangan bagi perusahaan. Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Apabila perusahaan penerbit saham mampu menghasilkan laba yang besar maka ada kemungkinan pemegang sahamnya akan menikmati keuntungan dalam bentuk dividen yang besar pula.

Ang (1997) menyatakan bahwa dividend payout ratio merupakan perbandingan antara Dividend per Share dengan Earning per Share, jadi secara perspektif yang dilihat adalah pertumbuhan dividend per share terhadap pertumbuhan earning share. Dividen merupakan salah satu tujuan investor melakukan investasi saham, sehingga apabila besarnya dividen tidak sesuai dengan yang diharapkan maka ia akan cenderung tidak membeli suatu saham atau menjual saham tersebut apabila telah memilikinya (Ang, 1997). Dividend payout ratio

dirumuskan sebagai berikut :

DPR = Dividend per Share Earning per Share

Dividen juga dapat dikaitkan dengan Signalling Theory dimana adanya pengumuman pembagian dividen dapat menjadi sinyal yang baik terhadap investor untuk mendapatkan keuntungan, namun dapat pula menjadi sinyal yang kurang baik ketika dividen yang diumumkan menurun dari periode sebelumnya. Karena

dividend payout ratio yang berkurang dapat mencerminkan laba perusahaan yang makin berkurang. Akibatnya sinyal buruk akan muncul karena mengindikasikan bahwa perusahaan kekurangan dana. Kondisi ini akan menyebabkan preferensi investor akan suatu saham berkurang karena investor memiliki preferensi yang sangat kuat atas dividen. Sehingga perusahaan akan selalu berupaya untuk mempertahankan Dividend Payout Ratio meskipun terjadi penurunan jumlah laba yang diperolehnya (Brav et al, 2003 dalam Risaptoko, 2007). Walaupun pada kenyataan yang terjadi tidak selalu demikian, turunnya rasio DPR belum tentu keuntungan perusahaan juga menurun, tetapi tidak dibagikan dalam bentuk dividen,

melainkan menjadi laba ditahan oleh perusahaan. Namun demikian, rasio DPR tetap menjadi sinyal bagi investor yang mengharapkan keuntungan dalam bentuk dividen.

2. 1. 5. Indeks LQ 45

Menurut Jogiyanto (2000), saham LQ 45 merupakan 45 saham teraktif yang diperdagangkan dan memiliki tingkat likuiditas tinggi serta kapitalisasi pasar tertinggi.. Indeks LQ 45 menggunakan 45 saham yang terpilih berdasarkan likuiditas perdagangan saham dan disesuaikan setiap enam bulan (setiap awal bulan Februari

dan Agustus) sehingga saham yang terdapat dalam indeks tersebut akan selalu berubah. Pemilihan saham - saham LQ 45 dilakukan secara wajar dan didukung oleh komite penasehat yang terdiri dari para ahli di BAPEPAM, Universitas, dan Profesional di bidang pasar modal.

Tujuan dari indeks LQ 45 adalah sebagai pelengkap IHSG dan khususnya untuk menyediakan sarana yang obyektif dan terpercaya bagi analisis keuangan,

manajer investasi, investor dan pemerhati pasar modal lainnya dalam memonitori pergerakan harga dari saham – saham yang aktif diperdagangkan.

Perusahaan – perusahaan yang masuk daftar LQ 45 memiliki kriteria berikut: a. Saham tersebut harus masuk dalam rangking 60 besar dari total transaksi

saham di pasar regular (yang dilihat adalah rata-rata nilai transaksi selama 12 bulan terakhir).

b. Saham tersebut juga harus masuk ke dalam jajaran teratas dalam peringkat berdasarkan kapitalisasi pasar (yang dilihat adalah rata-rata kapitalisasi pasar selama 12 bulan terakhir).

c. Saham tersebut harus tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama miniman 3 bulan.

d. Keadaan keuangan perusahaan dan prospek pertumbuhan dari perusahaan pemilik saham harus baik begitu juga frekuensi dan jumlah hari perdagangan transaksi di pasar regulernya juga harus baik.

Terdapat faktor – faktor yang berperan dalam pergerakan indeks LQ 45, yaitu:

Dokumen terkait