• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sansevieria trifasciata

Di Indonesia Sansevieria dikenal dengan sebutan tanaman lidah mertua

(motherlaw in tongue’s) (Bonar, 1994). Menurut Henley, Chase, dan Osborne (2006) Sansevieria merupakan anggota famili Agavaceae yang terdiri dari 60 spesies dan tersebar di Afrika, Arabia dan India. Spesies yang paling umum dijumpai adalah Sansevieria trifasciata. Lingga (2005) menyatakan habitat asli Sansevieria adalah daerah tropis kering dan mempunyai iklim gurun yang panas.

Sansevieria dapat tumbuh pada rentang suhu yang luas dan dapat bertahan hidup di daerah panas seperti gurun. Pertumbuhan optimal dicapai pada siang hari bertemperatur 24-29ºC dan malam hari 18-21ºC. Tanaman ini juga dapat beradaptasi pada ruangan dengan suhu dan kelembaban yang rendah seperti pada ruangan berpendingin (AC). Oleh karena itu Sansevieria dapat digunakan sebagai tanaman dalam ruangan (Henley et al., 2006).

Ballare, Scopel, Casal, dan Sánchez (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan S.trifasciata yang ternaungi menjadi lambat, lemah, dan warna daun menjadi lebih hijau dengan dengan garis-garis putih pada tengah daun menghilang. Henley et al. (2006) menyatakan bahwa Sansevieria dapat tumbuh dengan baik pada kondisi dengan pencahayaan penuh maupun pencahayaan yang kurang. Kebutuhan cahaya Sansevieria berkisar antara 1000-10.000 footcandle

(fc), tetapi masih dapat tumbuh di lingkungan yang memiliki pencahayaan beberapa ratus footcandle saja. Sansevieria lebih menyenangi kondisi sinar matahari langsung untuk pertumbuhannya.

Peart (2003) menyatakan bahwa Sansevieria dapat menyerap gas beracun (polutan) seperti formaldehid, bensen, dan trikloroetilen dari udara. Mekanisme penyerapan polutan terjadi melalui stomata. Polutan ini masuk dalam jaringan tumbuhan dan terlibat dalam metabolisme asam organik, gula dan asam amino

(Giese, Bauer-Doranth, Langebartels, dan Sandermann,1994). Menurut Lingga

(2005), satu tanaman Sansevieria efektif menyerap polutan dalam ruangan dengan

luas 10m2. Peart (2003) menyatakan keefektifan penggunaan tanaman

polutan dapat mencapai 96% CO, 99% NO2 sedangkan tanaman Epripenum dapat menyerap 75% CO. Keefektifan tanaman Sansevieria sebagai penyerap polutan belum diketahui namun diperkirakan keefektifannya tidak jauh dari nilai tersebut. Chamberline (1986) menyatakan penyerapan gas-gas beracun ini dipengaruhi oleh resistensi dan mekanisme membuka dan menutupnya stomata yang sangat dipengaruhi oleh sifat masing-masing gas.

Dariana (2005) menyatakan manfaat lain dari tanaman Sansevieria, yaitu sebagai tanaman obat untuk menyembuhkan penyakit diare, tekanan darah tinggi, influensa, batuk dan lain-lain. Manfaat lainnya dari tanaman Sansevieria sebagai elemen taman dan dekorasi, bahan alternatif serat tekstil.

Cahaya

Cahaya berperan utama dalam proses fotosintesis dan fotomorfogenis melalui fitokrom (Rajapakse dan Wilson, 2001). Fitokrom merupakan penerima cahaya yang paling efektif dalam mengendalikan proses morfogenesis tanaman dibandingkan dengan yang lain. Fitokrom ini dapat mendeteksi gelombang cahaya dari 300-800 nm dengan sensitifitas maksimum pada cahaya merah (R, 600-700 nm dengan puncak penyerapan pada 660 nm) dan merah jauh (FR, 700-800 nm dengan puncak penyerapan pada 730 nm).

Cahaya tampak (380-750 nm) tersusun atas beberapa spektrum warna dengan panjang gelombang yang berbeda-beda. Setiap panjang gelombang tersebut memiliki energi yang besarnya berbanding terbalik dengan panjang gelombang (Bidwell, 1974). Pada Gambar 1 ditunjukkan rentang panjang

gelombang cahaya tampak. Ballare et al. (2002) menyatakan bahwa tanaman

melakukan fotosintesis yang efektif pada gelombang cahaya biru (410 - 500 nm) dan merah (610 - 700 nm). Penyerapan cahaya hijau kuning (510 – 600 nm) dan merah jauh (700 - 800 nm) terjadi dengan lemah dan banyak foton dari gelombang cahaya ini yang berpendar. Oleh karena itu daun terlihat berwarna hijau. Namun radiasi cahaya merah jauh (FR) tidak terlihat oleh mata karena bukan merupakan cahaya tampak.

5

Gambar 1. Rentang Panjang Gelombang Cahaya Tampak Sumber : Campbell et al. (1999)

Fotoreseptor fitokrom sangat respon terhadap perubahan panjang gelombang merah (R) dan merah jauh (FR) dari spektrum cahaya tersebut. Fitokrom berada pada dua bentuk cahaya yang dapat berubah yaitu FR aktif dan R yang tidak aktif. Sinar merah jauh (FR) tidak efisien untuk fotosintesis, sehingga membutuhkan penambahan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih rendah agar lebih efisien. Ballare et. al. (2002) menyatakan bila tanaman menerima cahaya dengan rasio R/FR kecil, tanaman akan mengalami etiolasi. Sementara bila rasio R/FR besar, maka tanaman akan membentuk tajuk yang kompak. Penelitian

Khattak, Pearson, dan Johnson (1999) bahwa cahaya merah (R) dapat

menyebabkan tanaman krisan menjadi lebih pendek 10% dibandingkan dengan kontrol.

Filter Cahaya Plastik Selektif Film

Plastik selektif film (PSF) merupakan salah satu jenis bahan sintetis yang dapat digunakan di rumah kaca sebagai penutup (covering). Penggunaan plastik ini sebagai penutup dapat menghasilkan tanaman yang memiliki bentuk tajuk yang lebih kompak bila dibandingkan dengan penutup (covering) sejenis, seperti paranet. Hal ini dikarenakan PSF dapat meningkatkan rasio panjang gelombang cahaya merah (R) yang diterima tanaman, sehingga rasio R/FR lebih besar. PSF akan mengabsorbsi atau merefleksikan Photosynthetically Active Radiation (PAR) pada rentang panjang gelombang 400 - 700 nm dan mentransmisikan radiasi sinar

matahari merah jauh (FR) pada 700 - 3000 nm dari spektrum sinar matahari (Rajapakse dan Wilson, 2001). Gambar konstruksi bangunan rumah kaca yang menggunakan PSF sebagai penutup (covering) ditunjukkan pada Gambar 2

Gambar 2. Greenhouse dengan Plastik Selektif Film sebagai Cover. Keterangan : cover plastik selektif film

Penggunaan PSF sebagai bahan penutup atap rumah kaca memiliki kelemahan yaitu plastik tidak dapat digunakan dalam jangka waktu lama. Plastik mulai terdegradasi satu tahun sejak mulai pemakaian. Selain pada tanaman hias, PSF dapat diterapkan pada industri buah dan sayur namun penggunaan PSF pada budidaya sayuran sebagai mulsa (Rajapakse dan Wilson, 2001).

Rajapakse dan Wilson (2001) menggunakan filter cahaya merah (R) dan

merah jauh (FR) dan AR untuk mengontrol pertumbuhan tiga tanaman perenial

Salvia dan terbukti bahwa filter cahaya merah (R) dan merah jauh (FR) dapat mempengaruhi kekompakan tanaman Salvia.

Tembaga Sulfat (CuSO4)

Tembaga sulfat (CuSO4) atau vitriol biru merupakan garam. Gambar

kristal CuSO4 disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan penelitian Rajapakse,

McMahon dan Kelly (1993) diperoleh bahwa penggunaan filter cahaya CuSO4 6% pada tanaman krisan dapat meningkatkan rasio cahaya R/FR yang diterima oleh tanaman. Penambahan jumlah cahaya merah (R) mengakibatkan penurunan tinggi tanaman krisan dan panjang internode, meningkatkan sintesis klorofil daun dan

membuat tanaman lebihkompak seperti pada penggunaan retardan (zat pengatur

7

Gambar 3. Kristal CuSO4 Sumber : www.wikipedia.org (26 Januari 2008)

Mortensen dan Stromme (1987) dan Mc Mahon (1991) dalam Young,

Margaret, Nihal, Dennis (1994) meneliti bahwa filter cahaya CuSO4 dengan

konsentrasi 2.5% meningkatkan rasio panjang gelombang R/FR 4.1 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan filter cahaya cair yang lain (air, pewarna biru, hijau dan kuning). Filter cahaya CuSO4 dengan konsentrasi 16% meningkatkan rasio panjang gelombang R/FR 7.2 kali lipat lebih tinggi. Secara lebih jelas hal ini terangkum pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Rasio R/FR yang Dihasilkan CuSO4 dengan Beberapa Filter Cahaya Cair (Mortensen and Stromme, 1987)

Rasio R/FR Universitas Filter

Kisaran Luas** Kisaran Sempit*** Norway Air CuSO4 (2.5%) Cairan Merah Cairan Hijau Cairan Kuning 1.00 4.10 0.99 0.82 1.00 -- -- -- -- -- Clemson Air Udara CuSO4 (16%) Cairan Merah Cairan Biru 1.05 1.05 7.20 1.03 0.70 1.16 1.16 3.30 1.16 0.99 Keterangan : ** R = 600-700 nm; FR = 700-800 nm *** R = 655-665 nm; FR = 725-735 nm

Mekanisme penghambatan tinggi pada tanaman yang ditumbuhkan dibawah bangunan filter yang terbuat dari lapisan CuSO4 adalah sebagai berikut. Cahaya merah (R) pada bangunan filter ini menurut Rajapakse et al. (1993) lebih banyak dibandingkan cahaya merah jauh (FR). Fitokrom, sebuah pigmen yang mempengaruhi tingkah laku tanaman, memiliki dua bentuk struktur kimia yang

berbeda yang dapat saling berganti. Bentuk ini dinamakan sesuai dengan warna cahaya yang diserap secara maksimal : Pr adalah fitokrom yang menyerap cahaya merah (660 nm) dan Pfr fitokrom yang menyerap cahaya merah jauh (730 nm). Ketika Pr menyerap cahaya merah (R) maka akan dikonversi ke bentuk Pfr. Bentuk Pfr aktif ini selanjutnya akan menginisiasi respon biologis termasuk salah satunya fotomorfogenesis, contohnya perpanjangan daun, pembukaan stomata dan perkembangan kloroplas.

Penggunaan filter cahaya CuSO4 di rumah kaca memiliki beberapa

kelemahan. Masalah yang sering dihadapi yaitu kesulitan dalam penerapan cairan di lapisan kaca, pengaruh tekanan dan gravitasi dan harus melakukan pergantian larutan (Rajapakse et al. 1993).

Naungan (Paranet)

Lingga (2005) menyatakan bahwa tanaman Sansevieria yang ditempatkan

dalam ruang dengan pencahayaan 150 footcandle mengalami pertumbuhan yang

melambat dan akhirnya melemah. Bahkan S.trifasciata ’Laurentii’ mengalami

kematian fisiologis ketika ditempatkan pada ruangan dengan pencahayaan kurang dari 150fc dalam waktu lebih dari satu minggu. Terhambatnya pertumbuhan ini disebabkan karena jaringan tanaman mengalami etiolasi dan melemah. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (2006) pada tanaman kedelai bahwa naungan paranet 55% meningkatkan tinggi tanaman kedelai sebesar 109.13% pada 7 MSA tetapi menurunkan jumlah daun sebesar 38.99 % pada 8 MSA

Ada tiga cara yang dilakukan tanaman untuk beradaptasi di bawah naungan permanen agar dapat mempertahankan keseimbangan karbon yang positif yaitu dengan pengurangan kecepatan respirasi untuk menurunkan titik kompensasi, peningkatan luas daun agar dapat mengabsorbsi cahaya, dan peningkatan kecepatan fotosintesis setiap unit energi cahaya dan luas daun. Etiolasi merupakan strategi paling umum yang dilakukan tanaman untuk mendapatkan cahaya (Ballaré et. al., 2002).

9

Media Tanam

Media tanam merupakan faktor penting dalam produksi tanaman hias sebagai tempat tanaman tumbuh, berakar dan berkembang. Pemilihan media tanam harus sesuai dengan tujuannya, sebagai media semai dan perbanyakan atau tempat tumbuh sampai produksi (Surkati, 1987). Media tanam yang baik mempunyai sifat mudah ditangani, mengandung unsur yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman, aerasi yang baik, mampu mengikat air, murah, dan mudah didapat, bebas penyakit, hama dan gulma (Ellis dan Swaney,1947). Media pengakaran harus memberikan kelembaban dan oksigen yang cukup. Media tanam pasir atau air saja cukup memuaskan untuk media stek tanaman yang mudah berakar (Harjadi, 1989).

Jenis media tanam yang digunakan terdiri atas dua macam yaitu, campuran

tanah (Soil mixes) yang mengandung tanah alami dan campuran bukan tanah

(Soilles mixes) yang tidak mengandung tanah alami. Media tanam dengan campuran tanah, pasir, gambut, dan bahan-bahan anorganik buatan seperti vermikulit (mika yang mengembang) dan perlit (lava volkan yang mengembang)

telah banyak digunakan. Jenis media soilles mixes sering digunakan untuk

produksi bibit tanaman hias karena sifatnya yang lebih ringan (Harjadi, 1989). Sansevieria membutuhkan media tanam yang sama dengan jenis tanaman sukulen lainnya. Hal ini diungkapkan dalam Lingga (2005). Media tersebut yaitu berupa media yang porous, sedikit kandungan bahan organik, dan tidak cepat melapuk. Media tanam yang terdiri dari pasir : arang sekam: serbuk batang pakis dengan perbandingan 2 : 1 : 1 merupakan media tanam Sansevieria yang dapat digunakan pada Sansevieria yang ditanam di dalam ruangan atau ditempat dengan pencahayaan yang rendah.

Limbah Tembakau

Wikipedia Indonesia (2006) menjelaskan bahwa Tembakau (Nicotiana

spp., L.) adalah genus tanaman yang berdaun lebar yang berasal dari daerah

Amerika Utara dan Amerika Selatan. Daun dari pohon ini sering digunakan sebagai bahan baku rokok.

PT Sampoerna merupakan salah satu produsen rokok di Indonesia. Pabrik rokok ini menghasilkan limbah produksi tembakau 180 000 metric ton/musim. PT Sampoerna menghadapi kendala dalam memanfaatkan limbah tembakau ini karena volumenya terus bertambah namun pemanfaatan terhadap limbah ini belum optimal (Sampoerna, 2007).

Terdapat empat jenis limbah pabrik yaitu sludge (limbah cair/padatan

setelah treatment di pengolahan limbah, seperti Lumpur), beat (potongan tangkai, cabang, daun), furnish ash (abu, sisa bakaran limbah rokok (kertas, cengkeh, tembakau, saos dan lain-lain) yang memiliki kandungan aluminium tinggi), dust

(debu) (Sampoerna, 2007).

Pada penelitian ini, limbah tembakau yang digunakan adalah jenis beat.

Berdasarkan analisis unsur makro dan mikro yang dilakukan oleh Balai Penelitian

Tanah tahun 2007 (Sampoerna, 2007) limbah jenis beat mengandung unsur

makro: N-organik sebesar 1.63%, NH4 (0.26%), NO3 (0.74%), P2O5 (0.56%), K2O (12.17%), Na (0.12%), Ca (1.48%), Mg (0.42%). Unsur mikro yang terkandung dalam limbah beat sebagai berikut; S (0.26%), Fe (130 ppm), Al (164 ppm), Mn (90 ppm), Cu (11 ppm), Zn (14 ppm). Kadar air dalam limbah beat ini sebesar 5.37% dengan pH 5.1, kandungan C organik sebesar 39.11%.

Aplikasi pemanfaatan limbah tembakau sebagai pupuk kompos pada lahan pisang, jagung dan padi di Kebun Raya Purwodadi Pasuruan Jawa Timur. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2006) menyampaikan bahwa di Kebun Raya tersebut pemanfaatan limbah tembakau 100% dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pisang, jagung dan padi. Namun untuk tanaman lain, limbah tembakau 25 % sebaiknya dicampur dengan media tanam yang lain.

Pasir

Pasir memiliki sifat lepas dan tidak lekat. Pasir berbentuk bulat, bersudut (angular) atau pipih. Pasir memiliki ukuran partikel yang lebih besar dari partikel tanah yang lain yaitu 0.5 – 0.25 mm dan ruang pori yang berkisar antara 35-50% sehingga pasir memiliki drainasi yang baik dan porositas yang besar. Oleh karena itu media ini dapat meneruskan infiltrasi air yang cepat. Infiltrasi adalah proses masuknya air hujan atau air irigasi ke dalam tanah (Soepardi, 1983). Pasir

11

memiliki kecepatan infiltrasi sebesar 10-3 cm/s lebih tinggi dibandingkan tanah liat sebesar 10-5 cm/s (Flegman dan George, 1975).

Pasir merupakan salah satu media tanam yang penting seperti diungkapkan oleh Rubatzky dan Yamaguchi (1998). Hal ini dikarenakan pasir dapat meningkatkan ruang pori dan memperbaiki aerasi tanah.

Arang sekam

Arang sekam merupakan media tanam yang memiliki porositas yang tinggi sehingga dapat memperbaiki aerasi dan drainase namun dapat menurunkan kapasitas menahan air. Kemampuan menyimpan air pada sekam padi sebesar 12.3%. Nilai ini jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan pasir yang memiliki kapasitas menahan air sebesar 33.7 % (Nelson, 1981).

Arang sekam berasal dari sekam yang dibakar secara tidak sempurna dan banyak digunakan sebagai media atau campuran media tanam untuk mengurangi bobot media dan memberikan lingkungan tumbuh yang lebih baik. Arang sekam ini berwarna hitam akibat adanya proses pembakaran sehingga daya serap terhadap panas tinggi dan dapat menaikkan suhu dan mempercepat perkecambahan (Murbandono, 1993)

Penambatan CO2 pada Spesies Sukulen (Metabolisme Asam Crassulaceae)

Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa tanaman sukulen adalah berbagai spesies tanaman yang hidup di iklim kering, mempunyai daun tebal, kutikula tebal, dan disertai laju transpirasi rendah. Tanaman ini biasanya tidak memiliki lapisan sel palisade yang berkembang sempurna dan sebagian besar sel fotosintesis daun atau batang adalah mesofil bunga karang. Sel-selnya memiliki vakuola yang cukup besar dibandingkan dengan lapisan tipis sitoplasmanya.

Pada Gambar 4 diperlihatkan transpirasi dan penambatan CO2 sepanjang hari selama 24 jam. Pada Gambar 4 di atas menggambarkan pembukaan stomata,

pengambilan CO2, dan perubahan asam malat selama 24 jam. Stomata membuka

pada malam hari untuk mengambil CO2 dan menjaga kadar air. Gambar 4 bagian kanan menunjukkan bahwa stomata tertutup pada siang hari, CO2 disimpan untuk dilibatkan dalam siklus Calvin.

Gambar 4. Outline Tanaman Crassulacean Acid Metabolism (CAM). Sumber: www.rhode.phsscience.org (10 September 2007)

Metabolisme CO2 pada tumbuhan sukulen tidak seperti pada tanaman

lazimnya. Metabolisme ini dikenal dengan nama Crassulacean Acid Metabolism

(CAM). Berbagai tanaman yang termasuk dalam jenis tanaman CAM yaitu famili

Orchidaceae, Bromeliaceae, Liliaceae, Euphorbiaceae, Cactaceae. Tanaman ini biasa hidup di daerah kering, semi-kering, dan daerah epifit. Pada habitat ini,

tanaman CAM harus mengefisienkan penggunakan CO2 dan H2O. Tanaman ini

membuka stomata dan menambat CO2 menjadi asam malat pada malam hari

ketika suhu lebih sejuk dan kelembaban nisbi tinggi (Salisbury dan Ross, 1995). Kemampuan tumbuhan untuk menjalankan CAM selain ditentukan oleh genetik juga dipengaruhi oleh lingkungan yaitu cekaman air, ketersediaan CO2 perubahan suhu siang-malam seperti disebutkan dalam Salisbury dan Ross (1995). Saat kondisi lingkungan sekitar sangat kering, tanaman ini bahkan tidak membuka stomatanya baik pada malam maupun siang hari. Oksigen yang dihasilkan pada fotosintesis digunakan untuk respirasi, begitu pula dengan CO2. Tanaman ini memiliki kemampuan recovery yang sangat cepat bila air di lingkungan tersedia lagi (Ransom S. L. dan Thomas M, 1960). Apabila tingkat CO2 pada malam hari lebih rendah dibandingkan siang hari karena adanya fotosintesis maka tanaman akan berubah ke sistem metabolit CAM. Kelembaban yang cukup, suhu yang mendekati titik beku diikuti tingkat cahaya yang tinggi pada tengah hari menyebabkan perubahan suhu daun sangat besar sehingga berlangsunglah CAM (Salisbury dan Ross, 1995).

13

Ransom S. L. dan Thomas M (1960) menyatakan bahwa tipe fotosintesis C4 dan CAM merupakan bentuk adaptasi tanaman terhadap kondisi lingkungan yang kering karena mereka harus lebih mengefisienkan penggunaan air. Namun antara tanaman C4 dan CAM berbeda (Salisbury dan Ross, 1995; Hopkins dan Huner, 2004). Perbedaan ini terletak bahwa pada tumbuhan C4, pemisahan ruang antar mesofil dan sel seludang berkas membantu pembentukan malat dan dekarboksilasi dan keduanya terjadi pada siang hari. Namun pada tumbuhan CAM, kedua proses ini terjadi pada malam hari sedangkan yang lainnya terjadi pada siang hari.

Stomata

Epidermis daun memiliki sebuah pori yang berguna untuk pertukaran gas antara ruang antar sel dan lingkungan sekitar. Pori ini sering disebut dengan stomata. Stomata ini dikelilingi oleh sel epidermis khusus yang disebut sel

penjaga (guard cell). Stomata banyak ditemukan pada bagian daun tanaman,

namun terdapat juga di bunga, batang, akar. Fungsi utama stomata untuk mengambil CO2 dari udara untuk proses fotosintesis dan mengendalikan proses transpirasi. Fungsi lain dari stomata adalah untuk mengenali kandungan polutan pada udara misalnya sulfur dioksida (SO2) (Hopkins dan Huner, 2004)

Jumlah dan distribusi stomata bervariasi pada setiap tanaman tergantung pada spesies tanaman, posisi daun, kromosom set, dan lingkungan pertumbuhan.

Jumlah stomata berkisar antara 20 – 400 stomata/mm2. Pada tanaman herba

monokotil sebagai contoh yaitu rumput, stomata juga terdapat pada bagian bawah (abaxial) dan juga bagian atas (adaxial) sedangkan pada tanaman dikotil, stomata banyak terdapat pada bagian bawah daun. Pada tanaman dikotil berkayu, stomata hanya terdapat pada bagian bawah daun sedangkan tanaman yang mengapung diatas air (contoh : lili air) memiliki stomata hanya pada bagian atas daun (Hopkins dan Huner, 2004).

Pembukaan stomata dipengaruhi oleh tekanan turgor sel penjaga. Apabila tekanan turgor sel penjaga meningkat maka stomata akan membuka dan jika tekanan turgor menurun stomata akan menutup. Pada umumnya stomata tanaman

akan membuka pada siang hari untuk proses fotosintesis namun pada tanaman CAM stomata membuka pada sore atau malam hari (Salisbury dan Ross, 1995).

Stomata menutup bila selisih kandungan uap air di udara dan di ruang antar sel melebihi titik kritis. Hal ini diduga disebabkan gradien uap yang tajam

mendorong penutupan stomata. Suhu tinggi (30 – 350C) biasanya menyebabkan

stomata menutup. Hal ini diduga sebagai respon tak langsung tumbuhan terhadap keadaan rawan air atau disebabkan laju respirasi naik sehingga kadar CO2 dalam daun juga naik (Salisbury dan Ross, 1995).

Dokumen terkait