• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendidikan Kesehatan

2.1.1. Definisi Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai kesehatan secara optimal (Notoatmodjo, 1993). Semua petugas kesehatan mengakui bahwa pendidikan kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Stuart (1968) dalam defenisi yang dikemukakan, dikutip oleh staf jurusan PK-IP FKMUI (1984) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah komponen program kesehatan dan kedokteran yang terdiri atas upaya terencana untuk mengubah perilaku individu, keluarga dan masyarkat yang merupakan cara perubahan berfikir, bersikap dan berbuat dengan tujuan membantu pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan promosi hidup sehat (Suhila, 2002).

Menurut Grout pendidikan kesehatan adalah upaya menterjemahkan sesuatu yang telah diketahui tentang kesehatan kedalam perilaku yang diinginkan dari perseorangan ataupun masyarakat melalui proses pendidikan, sedangkan menurut Nyswander pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri manusia yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan kesehatan perseorangan dan masyarakat. Bila dilihat dari defenisi-defenisi pendidikan kesehatan tersebut tidak

jauh berbeda dan keduanya menekankan pada aspek perubahan perilaku individu dan masyarakat dalam bidang kesehatan (Effendy, 1995).

2.1.2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Secara umum tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu dan masyarakat di bidang kesehatan (Notoatmodjo, 1997). Menurut Effendi (1995), tujuan pendidikan kesehatan yang paling pokok adalah tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam memelihara perilaku sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pendidikan kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat.

Materi yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat sehingga dapat langsung dirasakan manfaatnya. Sebaiknya saat memberikan pendidikan kesehatan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam bahasa kesehariaannya dan menggunakan alat peraga untuk mempermudah pemahaman serta menarik perhatian sasaran (Walgino, 1995).

Metoda yang dipakai dalam pendidikan kesehatan hendaknya dapat mengembangkan komunikasi dua arah antara yang memberikan pendidikan kesehatan terhadap sasaran, sehingga diharapkan pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan mudah dipahami. Metoda yang dipakai antara lain: curah pendapat, diskusi, demonstrasi, simulasi dan bermain peran.

2.1.3. Sasaran dan Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan

Suliha (2002), dalam bukunya membagi sasaran pendidikan kesehatan dalam 3 kelompok, yaitu pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu, pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok dan pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat.

Tempat penyelenggaraan pendidikan kesehatan dapat dilakukan di institusi pelayanan antara lain puskesmas, rumah bersalin, klinik dan sekolah serta dimasyarakat berupa keluarga masyarakat binaan. Hasil yang diharapkan dalam pendidikan kesehatan masyarakat adalah terjadinya perubahan sikap dan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat untuk dapat menanamkan prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari demi mencapai derajat kesehatan yang optimal (Effendy, 1995).

Suliha (2002) juga membagi tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan dalam 3 bagian, yaitu; 1) Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid yang pelaksanaannya diintegrasikan dalam usaha kesehatan sekolah (UKS); 2) Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan, dilakukan di Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Kesehatan, Rumah Sakit Umum maupun khusus dengan sasaran pasien dan keluarga pasien; 3) Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau karyawan.

2.2. Pendidikan Sebaya

2.2.1. Defenisi Pendidikan Sebaya

Pendidikan sebaya adalah suatu proses komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan oleh dan untuk kalangan yang sebaya yaitu kalangan satu kelompok, dapat berarti satu kelompok sebaya pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan kerja, sesama profesi dan jenis kelamin (Sahiva USU dan Komisi Penanggulangan AIDS dan Penanggulangan Narkoba Daerah, 2000).

2.2.2. Keuntungan Pendidikan Sebaya

Pendekatan pendidikan sebaya mempunyai sejumlah keuntungan, yaitu: a. Pendidikan sebaya dapat menyampaikan pesan-pesan sensitif di dalamnya. b. Pendidikan sebaya merupakan peran serta masyarakat dalam mendukung dan

melengkapi program lain yang berkaitan dengan strategi masyarakat lainnya. c. Kelompok target lebih merasa nyaman berdiskusi dengan sebaya mengenai

masalah mereka seperti seksualitas.

d. Pendidikan sebaya memberikan pelayanan besar yang efektif dengan biaya yang sedikit.

2.2.3. Kriteria Pendidik Sebaya

Pendidik sebaya adalah orang yang menjadi narasumber bagi kelompok sebayanya (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2008).

Syarat-syarat menjadi pendidik sebaya antara lain:

b. Berminat pribadi menyebarluaskan informasi kesehatan c. Lancar membaca dan menulis

d. Memiliki ciri-ciri kepribadian antara lain: ramah, lancar dalam mengemukakan pendapat, luwes dalam pergaulan, berinisiatif dan kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau belajar serta senang menolong.

2.2.4. Teknik Pemberian Informasi

Pendidikan sebaya dapat dilakukan di mana saja asalkan nyaman buat pendidik sebaya dan kelompoknya. Kegiatan tidak harus dilakukan di ruangan khusus tetapi bisa dilakukan di teras mesjid, di bawah pohon yang rindang, di ruang kelas yang sedang tidak dipakai dan sebagainya. Tempat pendidikan sebaya sebaiknya tidak ada orang lalu lalang dan jauh dari kebisingan sehingga diskusi bisa berlangsung tanpa gangguan.

Menurut PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2008), pemberian informasi agar efektif, pendidik sebaya perlu:

1. Pelajari dan dipahami materi 2. Paham bahwa pemberian materi:

a. Tidak menggurui, jangan pernah menggurui teman, karena bakal dianggap meremehkannya.

b. Tidak harus mengetahui semuanya, kelompok sebaya bukanlah seorang ahli, maka apabila teman merasa kurang puas atas jawaban yang diberikan, maka

diperlukan guru pendamping, atau dapat mencari jawaban ke pusat informasi yang ada. Sehingga tidak memaksakan diri untuk menjawab semua pertanyaan dari teman.

c. Tidak memutuskan pembicaraan, dalam kegiatan diskusi hendaknya membiarkan teman untuk menyelesaikan pendapatnya atau pertanyaannya dulu walaupun kelompok sebaya/pendidik sebaya sudah tahu maksud dari pendapat atau pertanyaannya. Suasana saling menghargai bakal terbentuk, dan yang pasti, partisipasi siswa juga meningkat.

d. Tidak diskriminatif, pendidik sebaya harus berusaha memberikan perhatian dan kesempatan kepada semua teman, bukan hanya kepada satu atau dua peserta saja, atau dengan kata lain “tidak pilih kasih”.

3. Rasa percaya diri

Pendidik sebaya harus memiliki rasa percaya diri (PeDe/PD) agar penyampaian materi berjalan lancar. PeDe dapat tumbuh bila:

a. Materinya dapat dikuasai b. Penampilan OK

c. Inner Beauty atau kepribadian kelompok sebaya dapat diteladani sama yang lain.

d. Teknik penyampaian informasi tidak monoton e. Dapat menguasai audiens atau peserta

g. Mampu menghayati peran yang dijalankan. 4. Komunikasi dua arah

Komunikasi yang terjadi hendaknya bersifat dua arah, atau terjadi hubungan timbal balik. Dialog sangat efektif menghadapi teman yang sifatnya tertutup, cenderung menolak pandangan lain atau perubahan. Pendidik sebaya harus bisa mendengarkan setiap teman, terbuka dan menghargai pandangan dengan menghindari kesan bahwa pendidik sebaya hendak memaksakan suatu informasi baru pada sasaran. Melalui komunikasi dua arah ini hambatan atau permasalahan yang mungkin terjadi bisa beres tanpa ada yang dikecewakan.

2.3. Konsep Komunikasi 2.3.1. Definisi Komunikasi

Komunikasi merupakan rangkaian proses pengalihan informasi dari satu orang kepada orang lain dengan maksud tertentu. Komunikasi adalah proses yang melibatkan seseorang menggunakan tanda-tanda (alamiah atau universal) berupa simbol-simbol (berdasarkan perjanjian manusia) verbal atau non verbal yang disadari atau tidak disadari yang bertujuan untuk memengaruhi sikap orang lain. Menurut Knapp dalam Liliweri (2003), komunikasi merupakan interaksi antar pribadi yang menggunakan sistem symbol linguistic, seperti sistem simbol verbal (kata-kata), verbal dan non verbal. Sistem ini dapat disosialisasikan secara langsung/tatap muka atau melalui media lain (tulisan, oral dan visual).

Berdasarkan prinsip umum dari definisi di atas dan berdasarkan bahwa pengertian komunikasi ini akan digunakan untuk memahami komunikasi organisasi, yaitu komunikasi adalah pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Pengirim pesan dapat berupa seorang individu, kelompok atau organisasi. Begitu juga halnya dengan si penerima pesan dapat berupa seorang anggota organisasi, seorang kepala bagian, pimpinan, kelompok orang dalam organisasi, atau organisasi secara keseluruhan.

Istilah proses maksudnya bahwa komunikasi itu berlangsung melalui tahap- tahap tertentu secara terus menerus, berubah-ubah, dan tidak ada henti-hentinya. Proses komunikasi merupakan proses yang timbal balik karena antara si pengirim dan si penerima saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan tingkah laku maksudnya dalam pengertian yang luas yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri individu mungkin dalam aspek kognitif, afektif atau psikomotor.

2.3.2. Komponen Dasar Komunikasi

Ada empat komponen yang cenderung sama yaitu: orang yang mengirimkan pesan, pesan yang akan dikirimkan, saluran atau jalan yang dilalui pesan dari si pengirim kepada si penerima, dan si penerima pesan. Karena komunikasi merupakan proses dua arah atau timbal balik maka komponen balikan perlu ada dalam proses komunikasi. Dengan demikian, komponen dasar komunikasi ada lima, yaitu: pengirim pesan, pesan, saluran, penerima pesan dan balikan.

1. Pengirim Pesan

Pengirim pesan adalah individu atau orang yang mengirim pesan. Pesan atau informasi yang akan dikirimkan berasal dari otak si pengirim pesan, oleh sebab itu sebelum pengirim mengirimkan pesan, si pengirim harus menciptakan dulu pesan yang akan dikirimkannya. Menciptakan pesan adalah menentukan arti apa yang akan dikirimkan kemudian menyandikan/encode arti tersebut ke dalam suatu pesan, sesudah itu baru dikirim melalui saluran.

2. Pesan

Pesan adalah informasi yang akan dikirimkan kepada si penerima. Pesan ini dapat berupa verbal maupun nonverbal. Pesan secara verbal dapat secara tertulis seperti surat, buku, majalah, memo, sedangkan pesan yang secara lisan dapat berupa percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon, radio dan sebagainya. Pesan yang nonverbal dapat berupa isyarat gerakan badan, ekspresi muka, dan nada suara. 3. Saluran

Saluran adalah jalan yang dilalui pesan dari si pengirim dengan si penerima. Saluran yang biasa dalam komunikasi adalah gelombang cahaya dan suara yang dapat kita lihat dan dengar, tetapi jika pembicaraan itu melalui surat yang dikirimkan, maka gelombang cahaya sebagai saluran yang memungkinkan kita dapat melihat huruf pada surat tersebut. Kertas dan tulisan itu sendiri adalah sebagai alat untuk menyampaikan pesan. Kita dapat menggunakan bermacam-macam alat untuk

menyampaikan pesan seperti buku, radio, film, televisi, surat kabar tetapi saluran pokoknya adalah gelombang suara dan cahaya.

4. Penerima Pesan

Penerima pesan adalah yang menganalisis dan menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya.

5. Balikan

Balikan adalah respons terhadap suatu pesan yang diterima yang dikirimkan kepada si pengirim pesan, dengan diberikannya reaksi ini kepada si pengirim, pengirim akan dapat mengetahui apakah pesan yang dikirimkan tersebut diinterpretasikan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim. Seringkali respons yang diberikan tidak seperti yang diharapkan oleh si pengirim karena si penerima pesan kurang tepat dalam menginterpretasikan pesan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor dalam diri si penerima yang mempengaruhi dalam pemberian arti pesan.

2.3.3. Fungsi Komunikasi

Secara umum ada lima kategori fungsi (tujuan) utama komunikasi, yakni:

1. Sumber atau pengirim menyebarluaskan informasi agar dapat diketahui penerima 2. Sumber menyebarluaskan informasi dalam rangka mendidik penerima

3. Sumber memberikan instruksi agar dilaksanakan penerima

4. Sumber memengaruhi konsumen dengan informasi yang persuasif untuk mengubah persepsi, sikap dan perilaku penerima

5. Sumber menyebarluaskan informasi untuk menghibur sambil memengaruhi penerima.

1. Informasi

Fungsi utama dan pertama dari informasi adalah menyampaikan pesan (informasi), atau menyebarluaskan informasi kepada orang lain. Artinya diharapkan dari penyebarluasan informasi itu, para penerima informasi akan mengetahui sesuatu yang ingin dia ketahui.

2. Pendidikan

Fungsi utama dan pertama dari informasi adalah menyampaikan pesan (informasi), atau menyebarluaskan informasi yang bersifat mendidik kepada orang lain. Penyebarluasan informasi itu diharapkan para penerima informasi akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang diinginkan.

3. Instruksi

Fungsi instruksi adalah fungsi komunikasi untuk memberikan instruksi (mewajibkan atau melarang) penerima melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan.

4. Persuasi

Fungsi persuasi kadang disebut fungsi memengaruhi. Fungsi persuasi adalah fungsi komunikasi yang menyebarluaskan informasi yang dapat memengaruhi (mengubah) sikap penerima agar dia menentukan sikap dan perilaku yang sesuai dengan kehendak pengirim.

5. Menghibur

Fungsi hiburan adalah fungsi pengirim untuk mengirimkan pesan-pesan yang mengandung hiburan kepada para penerima agar penerima menikmati apa yang diinformasikan.

2.4. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) berasal dari bahasa Inggris yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu dari kata Information, Education, Communication (IEC). Tujuan KIE adalah menginformasikan, mempersuasi, mendidik dan membentuk perilaku (Ewles 1994 dalam Triamanah 2004).

KIE juga mengikut model yag telah diperkenalkan oleh David Berlo (1960 dalam Triamanah (2004) yaitu S-M-C-R dimana elemen-elemen yang terlibat didalamnya adalah:

1. Sourch (Pengirim pesan atau komunikator) yaitu seseorang atau sekelompok orang atau organisasi/ institusi yang mengambil inisiatif mengirim pesan.

2. Message (Pesan) berupa lambing atau tanda baik secara lisan maupun tulisan. Namun dapat pula berupa gambar, angka bahkan gerakan.

3. Channel (Saluran) yaitu sesuatu yang digunakan sebagai alat/media penyampai pesan.

4. Receiver (penerima atau komunikan) yaitu seseorang/sekelompok orang yang menjadi sasaran penerima pesan.

Model S-M-C-R ini kemudian disempurnakan menjadi model S-M-C-R-E-F dengan menambahkan 2 (dua) elemen, yaitu:

1. Effect: akibat/dampak dari hasil yang terjadi pada pihak penerima/komunikan (target sasaran/target audiens)

2. Feedback: umpan balik, yakni tanggapan balik dari pihak penerima/ komunikan atas pesan ulang diterimanya. (Sendjaja, 1993) dalam Tiamanah (2004).

Untuk memahami effect dan feedback dalam model ini perlu ditambahkan satu elemen lagi yaitu noise. Noise atau ganguan, adalah faktor-faktor fisik maupun psikologi yang dapat mengganggu tau menghambat kelancaran proses komunikasi, dengan kata lain noise dapat memengaruhi pengiriman, dan penerimaan pesan maupun dampak pesan tersebut.

2.4.1. Pengelolaan KIE

Pengelolaan KIE dibagi tiga tahap pokok, yaitu: 1. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini, kegiatan pokoknya yang dilakukan adalah: - Mengumpulkan data

- Mengembangkan strategi

- Mengembangkan, mengujicoba, dan memproduksi bahan-bahan komunikasi. - Membuat rencana pelaksanaan

2. Tahap Intervensi (pelaksanaan)

Tahap intervensi ini dibagi kedalam siklus-siklus pesan yang terpisah. Setiap siklus pesan mencakup informasi yang serupa dengan pendekatan yang sedikit berbeda disesuaikan dengan perubahan keutuhan sasaran. Perubahan-perubahan ini dilakukan secara periodik, dapat mengurangi kejenuhan sasaran dan memungkinkan keterlibatan sasaran secara berkesinambungan.

3. Tahap Monitoring dan Evaluasi (Pemantauan dan penilaian)

Tahap monitoring dan evaluasi memberikan informasi kepada perencana mengenai pelaksanaan program, secara teratur dan pada waktu yang tepat, hingga perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan, dengan adanya pemantauan dan penilaian ini dapat diperoleh informasi-informasi megenai hal- hal yang perlu perbaikan dan juga bisa diketahui apakah kira-kira program akan berhasil atau gagal.

Pengelolaan suatu komunikasi kesehatan seharusnya dilaksanakan dalam bentuk kerjasama yang terkoordinasi antara pihak pemerintah atau pihak swasta. Pihak swasta diharapkan profesionalisme dan fleksibilitas, sedangkan dari pihak pemerintah kita mengharapkan wewenang dan wibawa yang dimiliki.

2.5. Konsep Perilaku

Perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada

kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan (Notoadmodjo, 1993).

Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons terhadap stimulus berbeda-beda pada setiap orang (Notoadmodjo, 2003).

Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu:

1. Tahap Pengetahuan, yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut.

2. Tahap Bujukan, yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.

3. Tahap Putusan, yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi. 4. Tahap Implementasi, yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah

dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.

5. Tahap Pemastian, yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.

Kenyataan pengalaman di lapangan ternyata proses orang mengadopsi peruban perilaku tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers dan Shoemaker (1978) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi menjadi 4 tahap, yaitu: (i)tahap pengetahuan, yaitu tahap seseorang untuk memahami atau mengetahui suatu inovasi; (ii) tahap persuasi, yaitu tahap peningkatan motivasi dalam menanggapi suatu inovasi sehingga mau dipersuasi atau dibujuk untuk berubah; (iii) tahap keputusan, yaitu tahap seseorang untuk membuat keputusan dalam menerima atau menolak suatu inovasi; dan (iv) tahap penguatan, yaitu tahap seseorang untuk meminta dukungan dari lingkungannya atas keputusan yang telah diambilnya.

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku kedalam tiga domain yang terdiri dari domain cognitif, domain afectif dan domain psycomotor. Proses perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari pengetahuan, sikap dan psikomotor berupa praktek atau tindakan (Notoatmodjo, 2003).

2.5.1. Pengetahuan (cognitif)

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang disadari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak disadari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Potter (1993) dalam Notoadmodjo (2003), mengemukakan pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu: (1) Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, (2) Memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar, (3) Aplikasi (application), aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, (4) Analisa (analysis), analisa adalah suatu kemampuan untuk memahami hubungan antara bagian dalam suatu pengorganisasian. Hal ini membantu seseorang membedakan antara sesuatu yang penting dan yang tidak penting, (5) Sintesis (synthesis), Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian–bagian informasi sebagai suatu bentuk keseluruhan yang baru, (6) Evaluasi (evaluation), evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi berdasarkan kriteria tertentu.

2.5.2. Sikap (affective)

Sikap merupakan kesiapan merespon ataupun menyesuaikan diri dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek, situasi dan stimuli sosial (Azwar, 1998). Sikap dalam bentuk negatif memunculkan kecenderungan untuk menjauhi, membenci, menghindari ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek. Sikap positif memunculkan kecenderungan untuk menyenangi, mendekati dan menerima objek tersebut (Purwanto, 1999).

Sikap mempunyai tiga komponen, yaitu kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek; kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak, ketiga komponen ini secara bersama–sama membentuk sikap yang utuh (Allport, 1935 dalam Notoatmodjo, 2003).

Sikap yang terbentuk memiliki empat tingkatan, yaitu: menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), dan bertanggung jawab (responsible), menerima (receiving) diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Merespon berarti memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan, karena dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan berarti dia menerima ide tersebut. Menghargai (valuing) berarti mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan masalah kepada orang lain dan bertanggung jawab (responsible)

merupakan sikap menerima segala risiko yang terjadi terhadap keputusan yang telah dipilih (Notoatmodjo, 1997).

Sikap mempunyai fungsi untuk membantu orang dalam memahami dunia disekelilingnya, melindungi harga diri dengan memungkinkan menghindar dari kenyataan-kenyataan yang kurang menyenangkan sehubungan dengan diri mereka serta untuk memungkinka orang mengekspresikan nilai atau pandangan hidup yang mendasar.

2.5.3. Psikomotor atau tindakan (Psycomotor)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Selain faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support). Tingkat-tingkat praktek terdiri atas persepsi, respon terpimpin, mekanisme dan adaptasi (Notoatmodjo, 1993).

2.6. Konsep Remaja 2.6.1. Definisi Remaja

Menurut Muangman (1980, dalam Sarwono, 2005) menyatakan bahwa WHO mendefenisikan remaja berdasarkan tiga kriteria yaitu biologi, psikologi, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap defenisi tersebut berbunyi sebagai berikut, remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan

tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

2.6.2. Klasifikasi Remaja

Monks (1998) menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan remaja yaitu remaja awal (usia 12-15 tahun), remaja pertengahan (usia 15-18 tahun) dan remaja

Dokumen terkait