• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak mengandung protein. Sebagai protein hewani, ikan sangat diperlukan oleh manusia karena selain mudah dicerna juga mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap dan susunannya lebih mendekati pada susunan protein tubuh manusia. Dengan demikian, ikan mempunyai nilai biologis (NB) yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Badan ikan pada umumnya mempunyai bentuk dan ukuran yang simetris dan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan ekor. Tidak semua bagian tubuh ikan layak dikonsumsi manusia. Bagian yang dapat dimakan (BDD) dari ikan adalah 45% - 50% dari berat badan ikan. BDD ikan sangat bervariasi tergantung bentuk, umur, dan apakah ikan ditangkap sebelum atau sesudah bertelur (Muchtadi, et al. 2007).

Komposisi daging ikan secara umum adalah 15% - 24% protein, 0.1% - 22% lemak, 1% - 3% karbohidrat, 0.8% - 2% senyawa anorganik, dan 66% - 84% air. Komposisi daging ikan ini sangat bervariasi tergantung faktor biologis dan faktor alam. Faktor biologis merupakan faktor yang berasal dari ikan itu sendiri yang meliputi jenis ikan, umur, dan jenis kelamin. Faktor alam merupakan semua faktor luar yang tidak berasal dari ikan meliputi habitat (daerah kehidupan ikan), musim, dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi, et al. 2007).

Jenis ikan merupakan faktor yang besar sekali pengaruhnya dalam variabilitas komposisi daging ikan. Masing-masing jenis ikan bahkan masing-masing individu ikan meskipun termasuk dalam satu jenis, komposisi kimianya dapat berbeda. Peranan umur juga tampak nyata pada kandungan lemak daging ikan. Makin tua ikan, kandungan lemaknya cenderung makin banyak. Sedangkan jenis kelamin erat hubungannya dengan kematangan seksualnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Protein daging ikan dibedakan menjadi 3 jenis yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein stroma. Sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang disebut miogen. Protein miofibrilar merupakan protein yang membentuk miofibril (serabut otot) yang tersusu dari aktin, miosin dan protein-protein pengatur. Stroma merupakan protein-protein yang membentuk jaringan ikat (Muchtadi, et al. 2007).

Kandungan lemak atau minyak ikan sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, musim, ketersediaan makanan dan kebiasaan makan. Kandungan lemak pada ikan dapat digolongkan menjadi ikan berlemak rendah (kadar lemak kurang dari 2%), ikan berlemak sedang/ medium (kadar lemak 2% - 5%), dan ikan berlemak tinggi (kadar lemak 6% - 22%) (Muchtadi, et al. 2007).

Ikan Mujair (Tilapia mossambica)

Ikan mujair ini merupakan ikan peliharaan. Indonesia mengenal ikan mujair sebagai ikan (makanan) yang paling murah bagi rakyat jelata. Ikan mujair pertama kali ditemukan di sebuah muara kali Serang di pantai selatan oleh seorang kontak tani (penghubung) desa papungan (Blitar) yaitu Pak Mujair. Pada tahun 1947, ikan tersebut ditetapkan nama ilmiahnya yaitu Tilapia mossambica dan nama daerahnya yaitu mujair (Soeseno 1982).

Ikan yang berordo Pecomorphi, famili ciclidae dan genus tilapia ini mempunyai ciri-ciri antara lain badan agak panjang dan pipih; sisik kecil-kecil; garis rusuk tidak sempurna terdiri dari 2 baris; jumlah sisik pada garis rusuk bagian atas antara 18 - 21 buah, bagian bawah antara 10 - 15 buah; hidup di air tawar, juga di air payau; mudah berkembang biak dalam semua tipe perairan; telur menetas di dalam mulut 3 - 5 hari; makanannya terdiri dari lumut-lumutan dan tumbuh-tumbuhan; dan badan berwarna kehijauan/ kecoklatan/ kehitaman (Djajadiredja, Hatimah, dan Arifin 1977). Soeseno (1982) menambahkan bahwa pada umur 3 bulan, ukuran ikan ini mencapai 8 - 10 cm, warna pada ikan betina lebih pucat keabu-abuan sedangkan yang jantan menjadi gelap hitam, rahang dan pipi bawahnya putih kuning, sedang sirip dada, punggung dan ekornya mempunyai tepi yang merah merona. Selain itu, pada umur 3 bulan ini ikan mujair betina sudah bisa dikawinkan dan selanjutnya setiap satu setengah bulan sekali ia bisa beranak lagi.

Ikan pipih ini mempunyai rendemen berupa fillet sebesar 28%. Daging ikan mujair ini agak padat dan lebih kering daripada ikan mas. Kalau dimasak mudah rusak dan tak banyak duri. Lendir pelindung kulit badan ikan mujair itu tidak begitu tebal, maka tubuhnya juga mudah sekali rusak, sehingga mengurangi daya tahannya. Mujair yang sering terpegang tangan, sebentar saja akan nampak pucat dan ikan yang seperti itu tidak laku dijual (Soeseno 1982). Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan, ikan mujair segar mempunyai komposisi kimia sebagai berikut:

Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Ikan Mujair Segar

Kandungan Zat Gizi Kandungan Zat Gizi

Energi 89 kal Besi 1.5 mg Protein 18.7 g Vitamin A 6 RE Lemak 1 g Vitamin C 0 mg Karbohidrat 0 g Vitamin B 0.03 mg Kalsium 96 mg Air 79.7 g

Fosfor 29 mg BDD 80 %

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004)

Pengolahan

Pengolahan bahan makanan merupakan pengubahan bentuk asli bahan tersebut ke dalam bentuk yang mendekati bentuk untuk dapat segera dimakan (Hermana 1975). Salah satu proses pengolahan bahan makanan adalah dengan menggunakan pemanasan. Pemanasan merupakan pemberian energi panas dalam bentuk suhu lebih, dibiarkan merambat ke dalam jaringan bahan pangan sehingga perubahan yang diinginkan terjadi (Mudjajanto 1991).

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak sehingga diperlukan penanganan khusus untuk mempertahankan mutunya. Salah satu caranya adalah dengan penggunaan panas. Perlakuan dengan pemanasan dijumpai pada proses merebus, mengukus, memblansir (dengan air panas atau uap panas), menggoreng, pasteurisasi, sterilisasi, memanggang dan mengoven. Pengolahan pangan dengan pemanasan biasanya tidak berdiri sendiri tetapi merupakan rangkaian proses seperti pembersihan atau pencucian dan pemberian rempah-rempah (termasuk penambahan gula, garam dan cuka) (Mudjajanto 1991).

Pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan dikenal dengan proses pemasakan atau pembuatan makanan mengubah bahan makanan menjadi makanan yang langsung dapat dimakan (Hermana 1975). Ada dua jenis masakan ikan yaitu masakan kering dan masakan basah. Masakan Kering (dry heat) adalah hidangan yang dimasak tanpa air misalnya, digoreng, dipanggang, dibakar, dan di-grill. Masakan ikan dengan metode ini betul-betul dapat dinikmati rasa gurih dan rasa khas ikan. Masakan ikan kering hampir tak berbumbu atau sedikit sekali, seperti ikan bakar. Ikan yang kurang segar, bila dimasak mudah hancur dan rasa tidak gurih lagi. Masakan Basah (moist-heat) bisa direbus atau dikukus. Umumnya masakan basah dimasak dengan macam-macam bumbu sehingga rasa ikan tidak jelas lagi. Ikan yang akan dimasak harus yang betul-betul segar sehingga rasa ikan asli sangat terasa (Tarwotjo 1998).

Penggorengan

Penggorengan merupakan salah satu proses pemasakan yang popular karena masakan hasil penggorengan menjadi lebih gurih, berwarna lebih menarik, nilai gizi meningkat dan waktu pemasakan yang lebih cepat (Damayanthi 1994). Pada umumnya sistem menggoreng bahan pangan ada dua macam yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Ciri khas dari proses gangsa adalah bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam minyak serta suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying. Pada proses penggorengan dengan sistem

deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu

minyak dapat mencapai 2000C - 2050C (Ketaren 1986).

Pada saat penggorengan terjadi perubahan kimiawi baik pada bahan makanannya maupun pada minyak gorengnya (Damayanthi 1994). Permukaan lapisan luar akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil (Ketaren 1986).

Selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air. Penyerapan minyak oleh ikan pada saat penggorengan adalah sekitar 10% - 12%. Penyerapan minyak ini berfungsi untuk mengempukkan kerak (bagian luar bahan pangan) dan untuk membasahi bahan pangan yang digoreng sehingga menambah rasa lezat dan gurih (Ketaren 1986).

Pemanggangan

Pemanggangan dapat dilakukan dengan cara dibakar langsung diatas api dengan menggunakan suatu alat juga bisa dilakukan dalam oven. Ada beberapa cara yang perlu diperhatikan dalam memanggang yakni jangan memanggang diatas api yang baru menyala dan berasap; gunakan panggangan listrik, panggangan gas atau briket arang dengan tempat apinya disamping, supaya tidak ada lemak yang menetes pada bara api atau api yang tengah berpijar. Bila lemak menetes diatas bara, akan terbentuklah PAC (Polisiklik Aromatis Carbon), dengan asap selanjutnya akan terbawa pada bahan-bahan yang tengah dipanggang; gunakan alas pemanggangan jika memanggang langsung pada api, sehingga tidak ada tetesan lemak yang jatuh pada bara atau api; jika

memanggang menggunakan arang atau briket, maka letakkan bahan yang hendak dipanggang jika arang sudah membara dengan baik. Biasanya proses pembaraan berlangsung 30 – 60 menit, ia akan menunjukkan bara yang sudah menyala merah dengan beberapa bagian telah menjadi abu putih; hindari makanan yang dibakar/ dipanggang berlebihan, misalnya hingga menimbulkan kegosongan yang berlebihan. Lebih baik buanglah bagian yang sudah sangat gosong tersebut (sangat hitam); jangan memangggang produk-produk daging yang telah mengalami "curing" (pemberian garam pokel/sendawa) (Anonymous 2008b).

Pengukusan dan Perebusan

Proses perebusan merupakan salah satu cara pemasakan dimana bahan yang akan dimasak menerima panas melalui media air. Sedangkan pengukusan merupakan proses pemasakan dimana panas yang diterima bahan dari uap air. Perebusan dapat menyebabkan kehilangan zat gizi lebih besar pada bahan pangan dibandingkan dengan cara pengukusan. Hal ini dapat terjadi karena selama proses perebusan ikan terendam dalam air sehingga beberapa zat gizi larut air seperti protein ikut terlarut dalam air perebusan. Faktor yang mempengaruhi kehilangan zat gizi selama proses perebusan adalah luas permukaan bahan, konsentrasi zat terlarut dalam air perebusan dan adanya pengadukan air. Sedangkan proses pengukusan dapat memperkecil kehilangan zat gizi (Harris dan Karmas 1989).

Pengaruh Pemanasan terhadap Nilai Gizi Protein

Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Pada suhu 100oC, protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar. Keluarnya cairan dari daging ikan disebabkan karena protein kehilangan daya ikat terhadap air sewaktu terjadi gumpalan. Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa terekstrak bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam daging (Zaitsev et al 1969, diacu dalam Suwandi 1990).

Pemasakan pada 95oC -100oC dapat mereduksi kecernaan protein dan asam amino. Selain itu, protein terlarut, peptida dengan berat molekul rendah, dan asam amino bebas dapat larut dalam air perebus, sehingga perebusan sebaiknya dilakukan di bawah 100oC. Pemanasan yang berlebihan (di atas 90oC

secara berulang-ulang) dapat menyebabkan pembentukan H2S (Hidrogen sulfida) yang merusak aroma dan mereduksi ketersediaan sistein dalam produk. Selain itu, pemanasan juga menyebabkan terjadinya reaksi Maillard antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat yang menurunkan nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan nilai cerna dan ketersediaan asam amino, terutama lisin (Anonymous 2008a).

Pada dasarnya, langkah awal dari pencernaan protein di dalam tubuh adalah denaturasi protein oleh enzim proteolitik yang terjadi di dalam lambung oleh enzim pepsin dan asam klorida. Denaturasi akibat panas pada protein di dalam bahan pangan mengakibatkan protein tersebut telah menjalani langkah awal pencernaan. Jadi denaturasi merupakan faktor yang menguntungkan dalam sistem pencernaan protein, walau hal ini tidak berlaku secara umum (Damayanthi 1994).

Mutu Cerna Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 1992). Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah mutu cerna protein atau

digestibility. Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah

asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sebaliknya suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap rendah, karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi 1989a).

Protein yang terkandung dalam bahan pangan, setelah dikonsumsi kemudian mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim protease) menjadi unit-unit penyusunnya yaitu asam-asam amino. Asam-asam amino inilah yang selanjutnya diserap usus dan dialirkan ke seluruh tubuh (Layly 2002). Mutu cerna protein dari beberapa protein pangan pada manusia disajikan pada Tabel 3.

Muchtadi (1989a) mengemukakan bahwa pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengurangi nilai gizi proteinnya. Yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan

menggunakan pemanasan contohnya pemasakan. Protein merupakan senyawa reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain. Kesemuanya ini dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat menurunnya mutu cerna protein dan ketersediaan asam-asam amino esensial.

Tabel 3. Mutu Cerna Protein Beberapa Protein Pangan pada Manusia Sumber protein Mutu cerna

(%)

Sumber protein Mutu cerna (%)

Telur 97 Susu, Keju 95

Daging, Ikan 94 Rice (Polished) 88 Kacang tanah 94 Tepung Kedelai 86 Jagung, Sereal 70 Beans 78 Millet 79 Isolat protein kedelai 95 Wheat, Whole 86 Oatmeal 86 Wheat flour, White 96 Gluten gandum 99 Rice cereal 75 Wheat, Cereal 77

Maize 85 Peas 88

Sumber: FAO/WHO/UNU (1985) diacu dalam Fennema (1996)

Reaksi antara protein dengan gula pereduksi (reaksi maillard) merupakan sumber utama kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan. Protein yang telah mengalami reaksi maillard, mutu cerna proteinnya menurun. Pada suatu penelitian biologis menggunakan hewan percobaan (tikus) menunjukkan bahwa produk reaksi maillard awal dan lanjutan benar-benar tidak dapat dimanfaatkan tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang telah mengalami reaksi maillard, daya cerna proteinnya menurun (Muchtadi 1989a). Menurut Anglemier & Montgomeri (1976), diacu dalam Homisah (1997), pemanasan suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya oksidasi asam amino, perubahan beberapa ikatan diantara asam-asam amino sehingga pelepasan ikatan peptida tersebut pada waktu hidrolisa protein menjadi lambat, atau pembentukan ikatan-ikatan asam amino baru yang tidak dapat dihidrolisa oleh enzim.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mutu cerna protein, misalnya aseli/native dari kacang-kacangan mentah lebih sulit dicerna daripada yang sudah mengalami denaturasi oleh panas, demikian pula terdapatnya faktor anti gizi seperti antitripsin, antikimotripsin/hemaglutinin, dapat merendahkan daya cerna suatu protein. Disamping itu terjadi reaksi antara protein atau asam amino

dengan komponen lain (gula pereduksi, polifenol, lemak, dan produksi oksidasi) dan bahan kimia aditif (alkali, belerang oksida atau hidrogen peroksida) dapat mengakibatkan menurunnya daya cerna protein (Muchtadi 1989a).

Penentuan mutu cerna protein dapat dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan (in vivo) maupun secara in vitro dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan. Beberapa macam enzim-enzim protease yang telah digunakan adalah pepsin, pankreatin, pepsin, kimotripsin, peptidase, atau campuran dari beberapa macam enzim tersebut (multi enzim) (Muchtadi 1989a).

METODOLOGI

Dokumen terkait