• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi

Mengutip dari tulisan Tanjung (2003), definisi dari partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi sosial tertentu. Artinya, seseorang berpartisipasi dalam suatu kelompok kalau ia mengidentifikasikan dirinya dengan (atau ke dalam) kelompok tersebut melalui bermacam sikap “berbagi”, yaitu berbagi nilai tradisi, berbagi perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama, serta melalui persahabatan pribadi.

Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat terdapat satu pernyataan dari Cruig dan Mayo yang dikutip oleh Tanjung (2003) bahwa “empowerment is road to participation” yang berarti bahwa pemberdayaan adalah jalan atau sarana untuk menuju partisipasi masyarakat. Karena itu dalam suatu upaya partisipasi maka tidak boleh mengabaikan peningkatan pemberdayaan masyarakat, karena pemberdayaan dan partisipasi merupakan dua hal yang saling berkait.

Tanjung (2003) menuliskan bahwa partisipasi dapat dinyatakan sebagai memberi manusia lebih banyak peluang untuk berperan secara efektif dalam kegiatan pembangunan, yang berarti memperkuat manusia untuk mengerahkan kapasitas mereka sendiri, menjadi aktor sosial ketimbang subyek yang pasif, mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan mengawasi kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Loekman (1995) menyatakan bahwa terdapat dua jenis partisipasi yang beredar di masyarakat. Definisi pertama diberikan oleh perencana pembangunan formal di Indonesia, yang mengartikan partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana / proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah. Definisi kedua yang ada dan berlaku universal adalah partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat

7

antara perencana dengan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini ukuran yang dipakai untuk mengukur tinggi rendahnya partisipasi, selain kemampuan masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan juga dilihat ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun diwliayah mereka. Selain itu juga diukur dengan ada tidaknya kemauan juga kemampuan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu.

Madrie (1986) berpendapat ada beberapa hal yang penting yang merupakan eksistensi suatu partisipasi, hal-hal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pada partisipasi terdapat adanya keterlibatan mental dan emosional dari

seseorang yang berpartisipasi.

2. Pada partisipasi terdapat adanya kesediaan dari seseorang untuk memberi kontribusi, memberikan suatu aktivitas, kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan.

3. Suatu partisipasi menyangkut kegiatan-kegiatan dalam suatu kehidupan berkelompok atau suatu komunitas dalam masyarakat.

4. Pada partisipasi akan diikuti oleh adanya rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan seseorang.

5. Pada partisipasi terkandung didalamnya hal yang akan menguntungkan bagi individu, artinya menyangkut adanya pemuasan akan tercapainya suatu tujuan bagi dirinya.

Tonny (2004) menyatakan bahwa partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.

Dengan melihat definisi-definisi tentang partisipasi tersebut maka ada beberapa syarat untuk mencapai partisipasi dalam pembangunan, yaitu :

1. Adanya kesadaran dan kerelaan untuk terlibat dalam program atau kegiatan pembangunan secara ikhlas.

2. Adanya peluang untuk berperan secara efektif dalam kegiatan pembangunan. 3. Adanya jaminan dalam memberikan kontribusinya dalam pembangunan.

8

4. Adanya kemauan, kemampuan dan tanggung jawab dalam ikut serta melestarikan dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai.

5. Adanya kerjasama dari aparat pemerintah dan anggota masyarakat dalam melakukan suatu program atau kegiatan pembangunan.

Jadi partisipasi masyarakat pada dasarnya menyarankan perlunya pemberian kesempatan masyarakat itu sendiri mendiskusikan keinginan mereka, merencanakan bersama, mengerjakan bersama untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan mereka tersebut. Berbagai pengertian partisipasi di atas pada dasarnya juga menggaris bawahi bahwa betapa pentingnya mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan, terutama mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan yaitu dalam hal mengambil keputusan.

Madrie (1986) melihat timbulnya pertanyaan apakah mungkin dalam arti sesungguhnya bahwa setiap anggota masyarakat dalam suatu desa ikut dalam proses perencanaan pembangunan pedesaan. Dalam tulisan Madrie (1986) yang dikutip dari Margono Slamet mengemukakan tentang hakekat pembangunan sebenarnya adalah memberi kesempatan, kemungkinan-kemungkinan dan dorongan kepada setiap anggota masyarakat untuk melakukan usaha-usaha dalam rangka mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk mencapai seluruh anggota masyarakat ini secara keseluruhan mempunyai kesempatan, mempunyai kemauan memiliki kemampuan dalam berusaha meningkatkan taraf hidup masing-masing.

Jenis-jenis partisipasi

Tidak semua partisipasi ada atas kesadaran dan inisiatif warga masyarakat itu sendiri tetapi juga bisa merupakan mobilisasi dari atas untuk mencapai tujuan pembangunan. Untuk hal yang terakhir tersebut dewasa ini tepatnya sejak perubahan sistem pemerintahan yang top down menjadi buttomup menjadi tidak berlaku lagi sepanjang perencanaan pembangunan desa. Kalaupun campur tangan dari pihak birokrat ada hanyalah sebatas pada program yang merupakan suatu gerakan masyarakat untuk melaksanakan proyek pembangunan.

9

Tanjung (2003) mengemukakan tentang adanya empat macam bentuk keterlibatan masyarakat yang menunjukkan adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan :

(1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan, yaitu masyarakat terlibat dalam memutuskan program/proyek apa yang cocok/bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

(2) Partisipasi dalam penerapan kegiatan, yaitu masyarakat ikut serta dalam menerapkan program/proyek yang sudah ditetapkan oleh mereka sendiri. (3) Partisipasi dalam penikmatan hasil, yaitu masyarakat ikut memanfaatkan

hasil-hasil proyek yang telah mereka kerjakan.

(4) Partisipasi dalam evaluasi, yaitu masyarakat ikut mengevaluasi dan menilai berhasil tidaknya sebuah program/proyek yang mereka kerjakan.

Masih banyak klasifikasi jenis partisipasi masyarakat dalam pembangunan, Tanjung (2003) yang mengutip dari Uphof mengemukakan tentang dimensi dari partisipasi sebagai berikut, pertama adalah What yang meliputi didalamnya decision making, implementation, benefit dan evaluation. Kedua Who meliputi lokal residence, lokal reader government personel dan foreign personel. Dan yang ketiga adalah How yang di dalamnya tercakup basic of partisipation, form of partisipation, exient of participation serta effect of partisipation.

Pengertian What yakni mengacu pada partisipasi yang meliputi tahap- tahap yang diikuti masyarakat dalam pembangunan, yaitu :

(1) Tahap pengambilan keputusan. (2) Tahap pelaksanaan.

(3) Tahap pemanfaatan. (4) Tahap evaluasi.

Dalam suatu pembangunan yang baik, masyarakat haruslah dapat terlibat dalam keempat tahapan partisipasi tersebut. Masyarakat tidak hanya sebagai pelaksana pembangunan tetapi juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan, pemanfaatan hasil, serta dalam mengevaluasi hasil pembangunan yang sudah dicapai. Misalnya dalam pembangunan jalan, masyarakat tidak hanya sebagai pemanfaat saja tetapi mereka perlu dilibatkan dalam pengambilan

10

keputusan untuk membangun jalan dan dalam pelaksanaan pembangunan jalan tersebut serta dalam mengevaluasinya, karena dalam pembangunan tersebut masyarakatlah yang lebih tahu tentang apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka sehingga mereka perlu dilibatkan dalam semua tahap pembangunan.

“ Who “ adalah dalam hal siapa yang berpartisipasi dalam pembangunan, tidak hanya aparat pemerintah saja tetapi juga melibatkan anggota masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat serta petugas asing yang bertugas memantau jalannya partisispasi. Dalam pembangunan agar dicapai hasil yang memuaskan maka keempat pelaku tersebut haruslah bekerjasama dan saling mendukung agar pembangunan dapat berhasil dengan baik.

Sedangkan untuk “ How “ mengacu pada pengertian bahwa partisipasi dilakukan melihat aspek dasar partisipasi, bentuk partisipasi, lingkup partisipasi dan akibat yang ditimbulkan dari partisispasi tersebut. Dalam berpartisipasi tidak hanya melihat akibat apa yang ditimbulkan dari suatu partisipasi tapi juga harus melihat bagaimana dasar partisipasi tersebut dilakukan. Karena itu partisipasi yang baik tidak hanya melibatkan salah satu pelaku pembangunan, namun juga harus melibatkan semua pelaku pembangunan dalam semua tahap partisipasi serta harus memperhatikan empat aspek tentang bagaimana partisipasi harus dilakukan.

Masih dalam tulisan Tanjung (2003) yang dikutip dari Widjaja (1976) menyatakan bahwa pengungkapan partisipasi memiliki beberapa ciri. Ciri yang pertama menurut tujuannya partisipasi dapat berupa mobilisasi yang bertujuan untuk mendukung apa yang telah ditetapkan dari atas dan partisipasi berupa saling penunjangan yakni partisipasi mengandung tidak hanya dukungan tetapi juga koreksi dan pengisian kekurangan.

Ciri kedua menurut frekwensinya yaitu partisipasi dapat dilakukan sekali-sekali saja serta frekwensi partisipasi dapat pula bersifat terus menerus (continue) secara periodik. Ciri ketiga adalah menurut langsung tidaknya yakni partisipasi secara langsung dilakukan sendiri oleh orang-orang yang berkepentingan dan partisipasi tidak langsung. Sedangkan untuk ciri yang keempat, menurut kelembagaannya yakni partisipasi dapat berupa perorangan, tanpa adanya lembaga, dapat berupa partisipasi massa di mana massa rakyat

11

digerakkan baik untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah (mobilisasi) maupun untuk menentang kebijaksanaan pemerintah (demonstrasi massa), dan dapat pula berupa partisipasi teratur melalui lembaga-lembaga menengah yang merupakan suara atau wakil dari pelbagai golongan rakyat.

Pembagian partisipasi secara lebih rinci dikemukakan oleh Margono Slamet dalam Lestari (1991), yaitu pembagian dilakukan berdasarkan derajat kesukarelaan, cara keterlibatan, keterlibatan di dalam berbagai tahap dalam proses kegiatan, tingkat organisasi, intensitas dan frekuensi kegiatan, ruang lingkup kegiatan, efektifitas, siapa yang terlibat dan gaya pada partisipasi.

Berdasar derajat kebebasan, partisipasi dibagi dalam partisipasi bebas dan terpaksa. Partisipasi bebas dapat dibagi lagi menjadi partisipasi spontan dan terbujuk. Partisipasi spontan terjadi bila individu mulai berperanserta berdasarkan keyakinan tanpa dipengaruhi oleh pihak luar. Partisipasi terbujuk terjadi bila individu mulai berpartisipasi setelah diyakinkan oleh pihak luar. Partisipasi terpaksa juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu terpaksa karena hukum dan karena kondisi sosial ekonomi. Partisipasi terpaksa karena hukum terjadi bila individu dipaksa melalui peraturan atau hukum tertentu. Partisipasi terpaksa karena sosial ekonomi terjadi bila individu terdesak masalah sosial ekonominya bila tidak berpartisipasi.

Menurut Madrie (1986) partisipasi dapat dibedakan lagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan :

a. Mau menerima, bersikap menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada. b. Mau memelihara, menghargai hasil pembangunan yang ada.

c. Mau memanfaatkan dan mengisi kesempatan pada hasil pembangunan. d. Mau mengembangkan hasil-hasil pembangunan.

2. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan : a. Ikut menyumbang tenaga.

b. Ikut menyumbang uang, bahan serta fasilitas lainnya. c. Ikut menyumbangkan pemikiran, gagasan dan ketrampilan. d. Ikut menyumbang waktu, tanah dan lain sebagainya.

12

3. Partisipasi dalam pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan : a. Ikut menerima informasi dan memberikan informasi yang diperlukan. b. Ikut dalam kelompok-kelompok yang melaksanakan pembangunan. c. Ikut mengambil keputusan tentang pembangunan yang akan dilaksanakan. d. Ikut merencanakan pembangunan dan melaksanakan kegiatan

pembangunan.

e. Ikut menilai efektivitas, efisiensi dan relevansi pelaksanaan program. Sesuai dengan pembagian partisipasi tersebut maka partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan tidak hanya dalam hal menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada tetapi juga mau memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan sehingga pembangunan akan dapat lestari dan berkesinambungan. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan berarti masyarakat ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan segala sumber daya yang mereka miliki baik uang, tanah, ketrampilan, ide, waktu dan lain sebagainya untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan. Dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan warga masyarakat tidak hanya ikut serta menerima dan memberikan informasi tetapi juga ikut serta dalam organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kemasyarakatan, ikut serta dalam pengambilan keputusan, dalam perencanaan dan evaluasi program pembangunan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi.

Ada beberapa faktor yang dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi diantaranya adalah adanya kondisi yang kondusif untuk berpartisipasi. Sedangkan untuk faktor penghambat partisipasi menurut Tonny (2004) antara lain adalah masalah struktural. Masalah ini mengalahkan masyarakat lapisan bawah terhadap interset pribadi aparatur pemerintah yang lebih kuat. Faktor penghambat lain adalah adanya sikap masyarakat yang pasrah terhadap nasib dan terlalu tergantung pada pemimpin sehingga masyarakat menjadi kurang kreatif.

Sumartono (1984) membagi faktor-faktor yang menunjang ataupun menghambat swadaya desa sebagai berikut :

13

1. Faktor yang menunjang :

a. Pimpinan desa yang memanfaatkan kerjasama dengan baik dengan tokoh- tokoh masyarakat yaitu setiap rencana kegiatan pembangunan dimusyawarahkan terlebih dahulu baik formal maupun informal menunjang semakin meningkatnya swadaya desa.

b. Potensi desa juga mempengaruhi karena dengan adanya pemasukan- pemasukan desa, dapat dipergunakan untuk memberikan perangsang dalam menggiatkan swadaya desa.

2. Faktor yang menghambat :

a. Pimpinan desa yang jarang memanfaatkan kerjasama dengan tokoh masyarakat kurang baik, yakni kurang intensnya pimpinan desa memusyawarahkan rencana kegiatan pembangunan dengan tokoh masyarakat baik melalui musyawarah desa, rapat RW/RT dan lainnya sehingga anggota masyarakat kurang mengerti tujuan dan arti pentingnya pembangunan bagi mereka, selain itu pula ditambah dengan tokoh masyarakat itu sendiri yang kurang aktif.

Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di daerah pedesaan, hal demikian dimungkinkan masih banyak masyarakat yang belum mempunyai peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang dapat disebabkan oleh ketradisionalan, oleh tingkat kemiskinan ataupun disebabkan oleh berbagai sikap pembelaan diri. Banyak daerah pedesaan yang cukup jauh dari pusat administrasi pembangunan yang menyebabkan daerah desa ini sebagian masyarakatnya belum mempunyai peluang atau belum berkemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukan saja merupakan cara yang ditempuh dalam pendekatan kegiatan pembangunan, tetapi sekaligus merupakan tujuan dari pembangunan itu sendiri.

Loekman (1995) melihat kemauan pemerintah untuk memahami pentingnya partisipasi rakayat dalam pembangunan sebagai langkah yang maju, namun pelaksanaan konsep ini pun di lapangan masih mengalami beberapa hambatan. Yang pertama, adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana pembangunan. Definisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksana

14

pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program- program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Definisi ini mengasumsikan adanya subordinasi subsistem oleh suprasistem dan bahwa subsistem adalah suatu bagian yang pasif dari sistim pembangunan nasional. Hambatan kedua adalah reaksi balik datang dari masyarakat sebagai akibat dari diperlakukannya pembangunan sebagai ideologi baru yang harus diamankan dan dijaga dengan ketat. Persepsi ini mendukung asumsi bahwa subsistem adalah subordinate dari suprasistem dan memuat subsistem menjadi bagian yang benar-benar pasif. Reaksi balik tersebut berupa budaya diam dan keenggannan masyarakat untuk mengevaluasi proses pembangunan secara kritis dan terbuka. Disamping kedua hambatan tersebut, lemahnya kemauan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya peraturan perundang-undangan yang meredam keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.

Lestari (1991) menyebutkan dalam kajiannya ada beberapa faktor yang berhubungan dengan peran serta anggota masyarakat dalam pembangunan. Faktor ini dapat diamati sebagai faktor dalam yaitu faktor yang ada di dalam diri anggota masyarakat yang meliputi didalamnya pendidikan, ekonomi, keanggotaan organisasi, dan persepsi terhadap pembangunan. Dari hasil kajiannya ditemukan bahwa pada tingkat pendidikan memiliki korelasi positip dengan penginformasian rapat dan pembangunan desa, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan semakin aktip menginformasikan rapat dan pembangunan kepada anggota masyarakat yang lain. Sedangkan faktor luar yaitu hal-hal yang berada di luar diri anggota masyarakat diantaranya meliputi pembuat keputusan program pembangunan, program yang memberi peluang, penyebaran program pembangunan.

Arti Penting Partisipasi

Beberapa hal yang menyebabkan partisipasi masyarakat memiliki arti penting dikemukakan Madrie (1986), yaitu :

1. Pada suatu kegiatan pembangunan, jika berpartisipasi anggota masyarakat tersebut memanusiakan dirinya. Berpartisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari suatu interaksi dan komunikasi.

15

2. Alasan yang bersifat sosiologis, pembangunan merupakan suatu kegiatan yang berjangka panjang. Pembangunan perlu melibatkan banyak orang, karena tanpa hal tersebut maka jangkauan program pembangunan terbatas. 3. Partisipasi merupakan pernyataan hak warga negara untuk menyatakan

kehendaknya dan menentukan nasibnya.

4. Partisipasi memperbaiki serta meningkatkan kualitas dari berbagai tingkat kemampuan dan ketrampilan sehingga partisipasi merupakan syarat penting untuk perkembangan pembangunan.

5. Dengan berpartisipasi maka keberhasilan pelaksanaan pembangunan terjamin. 6. Partisipasi dalam menentukan program pembangunan berarti menjalin

kerjasama, sehingga akan menumbuhkan saling pengertian antar anggota masyarakat dengan golongan atas masyarakat tersebut.

7. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan mengembangkan ketrampilan anggota masyarakat yang bersangkutan, yang selanjutnya dapat merangsang masyarakat untuk bertindak produktif.

Tonny (2004) mengemukakan bahwa dengan adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi maka diharapkan masyarakat dapat mencapai kemandiriannya, yaitu kemandirian material, intelektual dan manajemen.

Menurut Tanjung (2003) bahwa arti penting partisipasi masyarakat dalam pembangunan, diantaranya adalah dengan adanya partisipasi maka dimungkinkan pelaksanaan pembangunan dapat terwujud selain itu juga dengan adanya partisipasi maka masyarakat dapat mencapai kemandirian mereka sendiri dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka.

Keberlanjutan

Gunardi (2004) menuliskan bahwa pemahaman keberlanjutan harus disertakan dalam konteks kegiatan pengembangan masyarakat, apabila pengembangan masyarakat bermaksud membangun tatanan sosial, ekonomi dan politik baru, maka struktur dan prosesnya harus berkelanjutan. Struktur yang berkelanjutan ini ditandai dengan pelembagaan pelaksanaan pengembangan masyarakat, tidak hanya di tingkat pelaksana proyek tetapi akhirnya beralih ke masyarakat. Sedangkan dalam prosesnya, kegiatan pengembangan masyarakat

16

tidak berhenti sebagai proyek semata, tetapi menjadi kegiatan yang terprogram dan selanjutnya kegiatan itu menjadi milik masyarakat. Indikasi dari keberlanjutan tercermin dari penggunaan barang-barang yang tidak dapat diperbarui siminimum mungkin bahkan kalau mungkin dihindari. Ciri lain dari keberlanjutan ialah pembatasan pertumbuhan.

Kemandirian

Menurut Tonny (2004) bahwa arti penting dari partisipasi adalah masyarakat diharapkan dapat mencapai kemandiriannya. Kemandirian disini dapat dikategorikan menjadi kemandirian material, kemandirian intelektual dan kemandirian manajemen. Kemadirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Kemandirian manajemen adalah kemempuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.

Dalam konteks menciptakan masyarakat madani, prinsip kemandirian mempunyai arti penting. Kemandirian ini terkait dengan posisi komunitas yang sejauh mungkin tidak tergantung dari pemerintah. Pengertian tidak tergantung, bukan berarti negara tidak perlu melakukan intervensi kepada komunitas, tetapi lebih berarti tidak semua urusan diserahkan kepeda negara untuk menyelesaikannya, jika komunitas dapat menyelesaikannya.

Gunardi (2004) menyatakan bahwa kemandirian sering dijadikan tujuan jangka panjang atau visi suatu program pembangunan. Walau demikian, seringkali tujuan tersebut tidak semata harus terjadi dalam bentuk produk itu sendiri, tetapi lebih penting lagi melalui proses penyelenggaraan pembangunan. Proses yang ada hendaknya mendorong atau setidaknya tidak merusak kemandirian masyarakat. Untuk menjamin hal itu, masalah ini hendaknya sudah tertuang sejak dalam usulan proyek. Dalam menjalankan suatu pengembangan masyarakat, komunitas hendaknya didorong untuk menggunakan sumberdaya

17

miliknya sendiri ketimbang mengandalkan dukungan proyek atau sumbangan dari pihak luar masyarakat (komunitas). Kontribusi komunitas tidak hanya dalam bentuk tenaga, tetapi juga uang, ketrampilan teknis, sumber daya alam, dan lain- lain. Apabila sumberdaya lokal telah ada, tidak perlu mengadakan barang dari luar daerah. Oleh karena itu, tahap identifikasi potensi dan kebutuhan menjadi penting sekali, karena dapat menjadi ukuran sejauh mana tingkat kemandirian suatu komunitas.

Modal Sosial

Menurut Sugiyanto (2002), modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif, dengan demikian basis modal sosial adalah trus, ideologi dan religi. Selanjutnya modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk kerelaan individu untuk mengutamakan keputusan komunitas, dan dampak dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi komulatif yang menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial.

Sugiyanto (2002) mengutip dari tulisan Francis Fukuyama, mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe and vertrauen artinya bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptkan pengharapan umum dan kejujuran, ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan.

Modal Fisik

Pengertian modal fisik, menurut Tonny (2004) seperti yang jelas dari namanya, wujudnya dapat dipegang, dilihat, dinilai, diukur daya tahan dan kekuatannya dalam suatu proses produksi. Bentuknya dapat berupa sarana dan prasarana fisik. Akan tetapi perlu dilakukan pembedaan dari segi kepemilikan dan penguasaan : (1) modal fisik milik dan penguasaan pribadi.; (2) milik dan penguasaan kelompok terbatas; dan (3) penguasaan terbatas. Orang atau

18

kelompok dapat memperhitungkan modal fisik dalam wujudnya yang berbeda untuk memasukkannya dalam proses produksi.

Pembangunan Pedesaan.

Collier (1996) mengatakan bahwa ada pendekatan baru dalam pembangunan desa di Jawa. Masyarakat desa pada masa sekarang bukan lagi seperti stereotip “orang desa” yang ada dalam benak orang kota. Masyarakat Pedesaan bukanlah masyarakat yang hanya mengandalkan hidupnya pada pertanian tradisional, terbelakang, tidak mengenal teknologi, tidak memakai perhitungan ekonomi dan anggapan-anggapan negatif lain yang melekat pada

Dokumen terkait