• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

Kebijakan penanggulangan kemiskinan berhubungan dengan pembangunan masyarakat. Pembangunan merupakan proses yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Ada dua pendekatan pembangunan selama ini, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down merupakan bentuk blue-print strategy (cetak biru), pendekatan yang bersumber pada pemerintah, dengan demikian masyarakat hanyalah sebagai sasaran atau obyek pembangunan saja, sedangkan pendekatan bottom-up merupakan pendekatan pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai subyek pembangunan (people center development) sehingga masyarakat terlibat dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasi.

Pendekatan top-down banyak mendapat kritik karena mematikan inisiatif dan kreatif masyarakat. Bentuk penyeragaman kegiatan melalui pendekatan pembangunan ini juga menimbulkan banyak masalah. Cara pandang yang kaku telah mengabaikan kekhususan wilayah dan masyarakat. Dengan demikian pendekatan ini tidak memperhatikan aspek sosial budaya, perbedaan potensi daerah, kemampuan sumberdaya manusia, karena program pembangunan sampai dengan bentuk kegiatan dibuat seragam atau sama untuk semua wilayah. Akibatnya pembangunan kurang mencapai sasaran, dan tidak efektif dan kadang produk-produk pembangunan tidak bermanfaat bagi masyarakat

Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan yang ideal dalam pembangunan yang memperhatikan inisiatif, kreativitas dan mengakomodasi kondisi sosial budaya wilayah setempat, potensi dan permasalahan yang dihadapi. Bertolak dari itu pembangunan masyarakat miskin hendaknya mempunyai nuansa pemberdayaan.

Pemberdayaan masyarakat dalam konteks community development berarti pertumbuhan kekuasaan dan wewenang bertindak pada masyarakat untuk mengatasi masalah mereka sendiri (Chambers,1995). Wujud penumbuhan kekuasaan dan wewenang tersebut dengan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk merencanakan hingga menikmati program pembangunan yang ditentukan oleh mereka sendiri, bahkan mereka

diberi kesempatan untuk mengelola secara mandiri dana pelaksanaan program pembangunan.

Empowering menurut Tjokrowinoto(1995) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Prakarsa di desa

2. Dimulai dengan pemecahan masalah

3. Proses disain program dan teknologi bersifat asli/alamiah 4. Sumber utama adalah rakyat dan sumberdaya lokal 5. Kesalahan dapat diterima

6. Organisasi pendukung dibina dari bawah 7. Pertumbuhan organik bersifat tahap demi tahap

8. Pembinaan personil berkesinambungan, berdasarkan pengalaman lapangan/ belajar dari kegiatan lapangan.

9. Diorganisir oleh tim interdisipliner 10. Evaluasi dilakukan sendiri.

11. Berkesinambungan dan berorientasi pada proses. 12. Kepemimpinan bersifat kuat.

13. Analisis sosial untuk definisi masalah dan perbaikan program,

14. Fokus manajemen adalah keberlangsungan dan berfungsinya sistem kelembagaan.

Pendekatan Kelompok Sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Ada beberapa pendapat tentang kelompok, namun dapat diketahui bahwa pengertian kelompok memiliki ciri – ciri sebagai berikut : dua orang atau lebih, ada interaksi diantara anggotanya, memiliki tujuan atau goal, memiliki struktur (pola hubungan diantara anggota, yang berarti ada peran, norma, dan hubungan antar anggota), dan groupness (merupakan satu kesatuan) (Cartwright dan Zander, 1968, Shaw, 1979 dalam Hariadi, 2004).Konsep kelompok menurut Robert K. Merton (1965:285-286) dalam Sunarto (1993) menyebutkan tiga kriteria obyektif dari suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi. Kedua, fihak-fihak yang berinteraksi mendefinisikan diri mereka sebagai anggota. Ketiga, fihak-fihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok.

Menurut Doorn dan Lammers (1959) dikutip Wahyuni dalam Sosiologi Umum IPB (2003), grup dicirikan oleh keanggotaan yang terbatas, norma yang tertentu, tujuan tertentu, dengan latar belakang tertentu. Suatu grup akan eksis (hidup) apabila terpenuhi persyaratan berikut(Soekanto, 2005):

1. Ada kesadaran dari setiap anggota sebagai bagian dari grup

2. Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan yang lain

3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antar mereka bertambah erat (nasib, kepentingan, tujuan, ideologi, musuh bersama)

4. Grup tersebut berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku 5. Grup tersebut bersistem dan berproses

Interaksi dalam kehidupan berkelompok ini akan mempengaruhi kepribadian seseorang, karena: (a) terjadi saling tukar pengalaman antar anggota (social experience), (b) ada pengendalian cara bertindak antar anggota, dan (c) proses tersebut menjadi tempat kekuatan-kekuatan sosial berhubungan, berkembang, mengalami disorganisasi dan berperan.(Soekanto, 2005)

Penggolongan grup dapat dilakukan berdasarkan beragam klasifikasi, misalnya berdasarkan kualitas atau tipe hubungan antar para anggota (ada grup primer dan sekunder, formal dan informal, paguyuban atau gemenschaft dan gesellschaft, yaitu grup pamrih), kelas sosial (ada grup horizontal antara orang-orang setingkatan, dan grup vertikal), jumlah anggota (ada grup-orang dalam /in-group dan grup-orang-luar /out-group) dan berdasarkan perasaan, persatuan satu grup (ada grup terbentuk atas dasar partisipasi yang terpaksa dan ada grup referen /reference group) yaitu grup yang menjadi patokan /pengaruh cita-cita bagi seseorang).

Grup memiliki struktur yang menggambarkan hubungan antar pelaku serta proses sosial yang menyertainya, Dalam telaah grup, konsep hubungan sosial amat penting. Menurut Doorn dan Lammers (1959) dikutip Wahyuni dalam Sosiologi Umum IPB (2003), menelaah hubungan sosial antar individu, atau individu dengan kelompok, ataupun kelompok dengan kelompok, penting memperhatikan tiga hal yaitu:

1. Hubungan status antar pelaku : bagaimana tingkatan sosial masing-masing pelaku, apakah bersifat horizontal atau vertikal ?

2. Hubungan peran antar para pelaku : apa peran yang dilakukan masing-masing anggota dan bagaimana keterkaitan peran satu sama lain ?

3. Proses sosial yang menyertai dalam hubungan tersebut : asosiatif atau disosiatif ? Dalam kaitan ini penting untuk memahami konsep status dan peranan sosial. Status sosial menunjuk pada posisi seseorang dalam strukur sosial tertentu dan dalam konteks pola budaya tertentu. Peranan sosial menunjuk pada keseluruhan norma dan harapan masyarakat pada perilaku orang-orang tertentu dalam status sosial tertentu dan dalam konteks pola budaya tertentu (Wahyuni,2003).

Tingkat integrasi suatu grup adalah suatu fungsi dari tingkat efisiensi komunikasi yang berlangsung di antara para anggota. Komunikasi itu memperlancar penyesuaian para anggota grup pada norma-norma perilaku grup dan mempengaruhi sikap anggota itu sehingga mereka merasa mengikuti satu alur dalam mencapai tujuan-tujuan bersama grup itu. Bilamana motivasi para anggota cukup tinggi dan mereka percaya bahwa kesamaan pendapat dan sikap merupakan hal yang penting di dalam mencapai tujuan bersama itu, masing-masing akan berusaha untuk saling menyesuaikan diri.

Hubungan antara kohesi grup sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat diklasifikasi sebagai berikut :

1. Semakin homogen anggota grup, semakin tinggi derajat kohesivitasnya. 2. Semakin kecil ukuran grup, semakin tinggi derajat kohesivitasnya.

3. Semakin rendah mobilitas fisik anggota grup, semakin tinggi derajat kohesivitasnya. 4. Semakin efektif komunikasi antar anggota grup, semakin tinggi derajat

kohesivitasnya.

Kadar kohesivitas grup jelas berbeda menurut sifat atau tipe grup. Pada grup temporer kadar kohesivitas rendah sementara pada grup permanen kadar kohesivitas tinggi (nyata).

Dalam mengkaji kelompok perlu dipelajari pula dinamika grup yaitu pola interaksi sosial yang berulang di antara anggota grup. Pola-pola ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ukuran grup, konformitas dan kontrol, kepemimpinan dan pengambilan keputusan (Calhoun, 1994) dikutip Wahyuni dalam Sosiologi Umum IPB (2003)

Efektivitas Kelompok

Mengacu pada Kamus Sosiologi (Soekanto,1993), efektivitas kelompok didefinisikan sebagai taraf sampai sejauhmana suatu kelompok mencapai tujuannya.

Kelompok yang efektif mempunyai tiga aktivitas dasar, yaitu: 1. Aktivitas pencapaian tujuan

2. Aktivitas memelihara kelompok secara internal

3. Aktivitas mengubah dan mengembangkan cara meningkatkan keefektifan kelompok Interaksi anggota kelompok yang memperlihatkan aktivitas dengan mengintegrasikan ketiga macam aktivitas dasar tersebut adalah mencerminkan bahwa kelompok tersebut dapat dikategorikan sebagai kelompok yang efektif. Anggota kelompok yang efektif memiliki ketrampilan untuk mengatasi atau menghilangkan hambatan pencapaian tujuan kelompok, untuk memecahkan masalah di dalam memelihara dan meningkatkan kualitas interaksi di antara anggota kelompok, dan ketrampilan untuk mengatasi hambatan peningkatan agar kelompok lebih efektif lagi (Nitimihardjo dan Iskandar 1993, dalam Huraerah, 2006).

Supaya dalam kelompok terdapat kerja sama yang efektif, Floyd Ruch (1993) mengemukakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Suasana kelompok (atmosphere), suasana kelompok yang dimaksud adalah situasi yang mengakibatkan tiap anggota kelompok merasa senang tinggal di dalam kelompok tersebut. Suasana ini menyangkut:

a. Keadaan fisik tempat/kelompok seperti terjadinya fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan anggota.

b. Rasa aman (treat reduction), Rasa aman ini menyangkut ketentraman anggota untuk tinggal di dalam kelompoknya, dimana ketentraman ini meliputi:

a) Tidak ada ancaman

b) Tidak ada saling mencurigai. c) Tidak saling permusuhan.

2. Kepemimpinan bergilir (distributive leadrship), Kepemimpinan yang bergilir ini berarti adanya pemindahan kekuasaan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap kelompoknya. Dengan demikian tiap anggota yang diberi kekuasaan akan dapat

mengetahui kemampuan mereka masing-masing dan lebih dari itu akan menanamkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kelompok secara keseluruhan baik pada saat menjadi pimpinan maupun sebagai anggota kelompok.

3. Perumusan tujuan (goal formulation), tiap kelompok pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut yang merupakan tujuan bersama, yang menjadi arah kegiatan bersama, karena tujuan ini merupakan integrasi dari tujuan individu masing-masing. 4. Fleksibilitas (flexibility), segala sesuatu yang menyangkut kelompok seperti suasana,

tujuan, kegiatan, struktur, dan sebagainya dapat mengikuti perubahan yang terjadi tanpa adanya pengorbanan.

5. Mufakat (consensus), dengan mufakat yang ada dalam kelompok, semua perbedaan pendapat dari anggota dapat teratasi sehingga tercapai keputusan yang memuaskan berbagai pihak. Di lain pihak mufakat dapat berfungsi untuk merencanakan kegiatan kelompok secara bersama dan mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya apabila kelompok mengalami suatu kesulitan.

6. Kesadaran kelompok (process awareness), adanya peranan, fungsi, dan kegiatan masing-masing anggota dalam kehidupan berkelompok, maka tiap-tiap anggota pasti timbul rasa kesadarannya terhadap kelompoknya, terhadap sesama anggota kelompok dan pentingnya untuk berorientasi satu dengan yang lain

7. Penilaian yang kontinu (continual evaluation), kelompok yang baik seringkali mengadakan penilaian secara kontinu terhadap perencanaan kegiatan, dan pengawasan kelompok, sehingga dapat diketahui tercapai tidaknya tujuan kelompok. Di samping itu, akan dapat diketahui semua motivasi dan hambatan yang dialami anggota dalam rangka mencapai tujuan kelompok (Santosa, 1992).

Kinerja kelompok

Analisis terhadap kinerja kelompok akan membantu menggambarkan bagaimana prospek suatu usaha kelompok dapat mencapai tujuan. Kinerja mengacu pada tingkat kemampuan pelaksanaan tugas dengan standard perbandingan ideal antara pelaksanaan tugas dan yang diharapkan (perencanaan) dengan pelaksanaan tugas yang telah dilaksanakan (evaluasi).

Pengertian kinerja merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) menjelaskan kinerja sebagai ketrampilan dan kemampuan yang dimiliki seseorang dimunculkan melalui perbuatan. Lebih jauh Bernadin & Russel dalam Mulyono (1993) menjelaskan penilaian kinerja merupakan suatu cara untuk mengukur kontribusi individu anggota terhadap organisasinya.

Kinerja juga diartikan sebagai perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respon terhadap pekerjaan yang diberikan kepadanya, sehingga kinerja dapat dilihat dari hasil kerja, derajat kecepatan kerja dan kualitasnya

Kinerja bisa disimpulkan sebagai aspek yang berpengaruh terhadap maju dan mundurnya lembaga yaitu kinerja pengurus dan anggota dari suatu lembaga. Dikatakan berpengaruh sebab masing-masing anggota suatu lembaga secara spesifik bisa memunculkan kinerja yang berbeda dan akibat dari kinerja anggota tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan kerjasama di dalam lembaga.

Hariadi (2004) mengungkapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok antara lain :

1. Gaya kepemimpinan ketua 2. Motivasi kerja anggota 3. Kohesi anggota kelompok 4. Interaksi anggota kelompok 5. Norma kelompok

6. Sikap anggota terhadap kelompok

Sumber Daya Manusia : Modal Manusia dan Modal Sosial

Modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial (Woolcock, 1998:153 dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Dengan mengulas pandangan beberapa ahli, Woolcock(1998) menggolongkan modal sosial menjadi 4 (empat) tipe utama, yaitu: (1) Tipe ikatan solidaritas (bounded solidarity), dimana modal sosial menciptakan mekanisme kohesi kelompok dalam situasi yang merugikan kelompok, (2) Tipe

pertukaran timbal balik (reciprocity transaction), yaitu pranata yang melahirkan pertukaran antar pelaku, (3) Tipe nilai luhur (value introjection), yakni gagasan dan nilai moral yang luhur, dan komitmen melalui hubungan-hubungan kontraktual dan menyampaikan tujuan-tujuan individu di balik tujuan-tujuan instrumental, dan (4) Tipe membina kepercayaan (enforceable trust), bahwa institusi formal dan kelompok-kelompok partikelir menggunakan mekanisme yang berbeda untuk menjamin pemenuhan kebutuhan. (Woolcock 1998: 161 dalam Nasdian dan Utomo, 2005).

Keempat tipe modal sosial di atas selalu terkait dengan penggunaan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu dan bersifat timbal balik. Sumber dari modal sosial itu dapat bersifat consummatory, yaitu nilai-nilai sosial budaya dasar dan solidaritas sosial, dan dapat pula bersifat instrumental, yaitu pertukaran yang saling menguntungkan dan rasa saling percaya (Portes, 1998: 8 )

Menurut Putman dan Fukuyama Webstarmaster (1998: 6) konsep modal sosial tidak saja diterapkan pada tingkat individu, tetapi juga pada kelompok, komunitas bahkan nasional. Komunitas membangun modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi demokrasi dan penguatan pemilikan komunitas dan kepercayaan. Sumber-sumber modal sosial itu muncul dalam bentuk tanggung jawab dan harapan-harapan yang tergantung pada kepercayaan dari lingkungan sosial, kemampuan aliran informasi dalam struktur sosial dan norma-norma yang disertai sanksi (Coleman, 1998 dalam Dasgupta dan Serageldin, 1999: 13).

Selanjutnya Portes (1998) menyatakan bahwa modal sosial memiliki konsekuensi positif dan konsekuensi negatif. Konsekuensi positif: berupa pengawasan sosial, sumber dukungan bagi keluarga, dan sumber manfaat sosial ekonomi melalui jaringan sosial luar. Sedangkan konsekuensi negatif berupa pembatasan peluang bagi pihak lain (ekslusifitas), pembatasan kebebasan individu, klaim berlebihan atas keanggotaan kelompok dan penyamarataan norma bagi semua anggota (konformitas).

Dalam uraian Woolcock (1998) dalam Nasdian dan Utomo (2005) selanjutnya konsep modal sosial menjangkau aspek yang lebih luas sehingga dapat mengatasi konsekuensi-konsekuensi negatif yang dimaksudkan oleh Portes, dengan apa yang disebut sebagai ”embeddenes”(kerekatan) dan ”aoutonomy” (otonomi) yang mencakup

tingkat mikro dan tingkat makro. Kerekatan pada tingkat mikro merujuk pada ikatan-ikatan intra komunitas dan pada tingkat makro merujuk pada hubungan negara dan masyarakat. Otonomi pada tingkat mikro merujuk pada jaringan antar komunitas, dan tingkat makro merujuk pada pengembangan kapasitas dan kredibilitas (Woolcock, 1998 dalam Nasdian dan Utomo, 2005). Berdasarkan uraian di atas maka analisis modal sosial dapat digunakan untuk menjelaskan konteks kehidupan masyarakat secara holistik dalam perspektif jaringan baik secara horisontal maupun secara vertikal

Kerangka Pemikiran Kajian

Program Pengembangan Kecamatan merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dan aparat melalui pemberian modal usaha untuk pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembangunan sarana prasarana yang mendukung kegiatan ekonomi pedesaan. Dalam pelaksanaannya PPK menggunakan mekanisme perencanaan pembangunan bertahap dari melalui Musyawarah Dusun (Musdus), Musyawarah Desa (Musdes) dan Musyawarah Antar Desa (MAD) di tingkat kecamatan. Dengan demikian, program ini memberikan kekuasaan dalam penyaluran dana dan perencanaan serta proses pengambilan keputusan secara langsung di tangan masyarakat. Berhasil dan tidak nya PPK akan dipengaruhi oleh efektivitas kelompok.

Efektivitas kelompok diukur dari sejauh mana kelompok dapat mencapai tujuannya, hal ini akan dilihat dari prinsip-prinsip kerja sama yang efektif yakni ;

1. Suasana kelompok. 2. Kepemimpinan bergilir. 3. Perumusan tujuan. 4. Fleksibilitas. 5. Mufakat. 6. Kesadaran kelompok. 7. Penilaian yang kontinyu.

Kinerja kelompok yang terdiri dari kinerja pengurus dan anggota akan mempengruhi efektivitas kelompok. Penilaian kinerja merupakan suatu cara untuk mengukur kontribusi individu anggota terhadap organisasinya. Hal ini akan dilihat dari : 1. Gaya kepemimpinan ketua

2. Motivasi kerja 3. Kohesi anggota 4. Interaksi anggota 5. Norrna kelompok

6. Sikap anggota terhadap keolompok

Sumberdaya manusia yang terdiri dari modal manusia dan modal sosial, akan memberikan gambaran kehidupan masyarakat secara umum, antara lain dilihat dari : 1. Jenis komunitasnya.

2. Ikatan solidaritas (gotong royong ).

3. Pertukaran timbal balik ( tolong menolong, sumbang menyumbang ). 4. Nilai luhur yang masih dipertahankan ( ketokohan dalam masyarakat).

5. Membina kepercayaan antar anggota masyarakat ( kejujuran, kesetiaan, keterbukaan). Semua itu mengarah pada keberhasilan PPK, yang akan di ukur dari ;

1. Prestasi individu dilihat dari adanya tambahan penghasilan dan kemampuan mengangsur.

2. Prestasi kelompok dilihat dari dinamika performa kelompok yang mengarah pada perkembangan kelompok.

3. Prestasi organisasi di lingkungan Tim Pelaksana Kegiatan Desa, dilihat dari semakin kecilnya jumlah tunggakan dan pengembangan sasaran

Secara sederhana kerangka pemikiran ini disajikan dalam gambar seperti tersebut di bawah ini :

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Kajian

Keterangan ;

mempengaruhi

Kinerja kelompok

ƒ Gaya kepemimpinan ketua ƒ Motivasi kerja anggota ƒ Kohesi anggota ƒ Interaksi anggota ƒ Norma kelompok ƒ Sikap anggota terhadap

kelompok

Sumber Daya Manusia ( Modal Manusia dan Modal Sosial )

Efektivitas kelompok ƒ Suasana kelompok ƒ Kepemimpinan bergilir ƒ Perumusan tujuan ƒ Fleksibilitas ƒ Mufakat ƒ KesadaranKelompok Keberhasilan PPK ƒ Prestasi individu ƒ Prestasi kelompok ƒ Prestasi organisasi

METODE KAJIAN

Dokumen terkait