• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perilaku

Skinner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon sehingga teori Skinner ini disebut “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a) Perilaku Tertutup (Covert Behaviour)

Perilaku tertutup terjadi bila respons stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus bersangkutan.

b) Perilaku Terbuka (Overt Behaviour)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observea ble beha viour”.

Bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu : 1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan

rangsangan.

2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak

perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku manusia. Lingkungan ini merupakan keadaan masyarakat dan segala budi daya masyarakat itu lahir dan mengembangkan perilakunya.

3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan rangsangan dari luar.

2.1.1. Perilaku dalam Bentuk Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, di dapat dari buku, surat kabar, atau media massa, elektronik.

Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal.

Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu :

1. Tahu (Know)

Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan.

2. Pemahaman (Comprehension)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah memahami atau harus dapat menjelaskan objek (materi), menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasus- kasus yang diberikan.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada. Misalnya : dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan- rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Perilaku dalam Bentuk Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 1993).

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Allport (1954) dalam Soekidjo (1993), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan yaitu : 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi. 2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Va luing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya : seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, atau kebutuhan akan istirahat.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu dibentuk, dipelajari atau berubah senantiasa.

4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang (Purwanto, 1999).

Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :

1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi milik bersama.

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.

3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.

4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi

sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap seseorang, kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang tersebut. Dengan mengetahui keadaan sikap itu, kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Purwanto, 1999).

2.1.3. Perilaku dalam Bentuk Tindakan

Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 1993).

Tindakan terdiri dari empat tingkatan, yaitu : 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon Terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

Adopsi adalah praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.2. Determinan Perilaku

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Soekidjo, 2003). Tim ahli WHO (1984) menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku ada empat alasan pokok yaitu :

1. Pemikiran dan perasaan.

Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan lain-lain.

2. Orang penting sebagai referensi.

Apabila seseorang itu penting bagi kita maka apapun yang ia katakan dan lakukan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang dianggap kelompok referensi seperti guru, kepala suku, dan lain-lain.

3. Sumber-sumber daya.

Yang termasuk adalah fasilitas-fasilitas misalnya : waktu, uang, tenaga kerja, keterampilan, pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.

4. kebudayaan

Perilaku norma, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang disebut kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.

Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut sebagai faktor internal dan sebagian terletak di luar dirinya atau disebut dengan factor eksternal yaitu faktor lingkungan.

Menurut WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

1. perubahan alamiah (natural change) ialah perubahan yang dikarenakan perubahan pada lingkungan fisik, sosial, budaya ataupun ekonomi dimana dia hidup dan beraktivitas.

2. Perubahan terencana (planned change), perubahan ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.

3. Perubahan dari hal kesediaannya untuk berubah (readiness to change) ialah perubahan yang terjadi apabila terdapat suatu inovasi atau program-program

baru, maka yang akan terjadi adalah sebagian orang cepat mengalami perubahan perilaku dan sebagian lagi lamban. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.

2.3. Model Keyakinan Kesehatan (Health Belief Model)

Hea lth Belief Model (HBM) menurut Rosenstock pertama kali dikembangkan pada tahun lima puluhan oleh sekelompok ahli psikologi sosial dalam usaha untuk menjelaskan sebab kegagalan sekelompok individu dalam menjalani program pencegahan penyakit atau dalam deteksi dini suatu penyakit. Hochbaum (1958) dan Rosenstock (1960, 1966, 1974) dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam perilaku kesehatan menggunakan pendekatan Model Keyakinan Kesehatan (Health Belief Model). Dalam perkembangan, model ini digunakan antara lain untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi prediktor dan respons seseorang terhadap gejala penyakit. Pada tahun 1974, Becker memperluas model tersebut dalam usaha untuk mempelajari perilaku seseorang terhadap diagnosis yang ditegakkan, khususnya kepatuhan (compliance) dengan regimen pengobatan. HBM juga merupakan model yang sering digunakan untuk menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behaviour ).

Pada tahun 1952, Hochbaum mencari faktor pendorong dan faktor penghambat dari masyarakat untuk dating memeriksakan diri pada program skrining TBC yang disediakan secara cuma-cuma di daerah tersebut dengan menggunakan mobile X-ray unit. Diteliti 1200 orang dewasa dan dinilai kesediaan mereka untuk menjalani pemeriksaan X-ray, yang mencakup keyakinan mereka bahwa mereka

rentan terhadap penyakit TBC, serta keyakinan mereka bahwa ada manfaat menjalani deteksi dini.

Dalam studi ini, Hochbaum mendapatkan korelasi dengan derajat kemaknaan yang tinggi antara tindakan menjalani skrining dengan hal-hal berikut :

 Persepsi mereka tentang kerentanan terhadap penyakit.

 Persepsi mereka tentang manfaat yang akan diperoleh bila menjalani suatu tindakan tertentu.

Dari dua faktor tersebut di atas, ternyata bahwa persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit merupakan variabel yang lebih kuat dibandingkan dengan persepsi tentang manfaat yang diperoleh. Hochbaum juga berpendapat bahwa kesediaan untuk melakukan deteksi dini penyakit juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, khususnya oleh “cues to a ction” seperti kegiatan yang secara fisik terlihat, atau publikasi melalui media masa.

2.3.1. Komponen Model Keyakinan Kesehatan Komponen utama HBM terdiri dari :

a. Merasa adanya kerentanan (perceived susceptibility) yaitu seseorang akan bertindak untuk mencegah dan mengobati penyakitnya, apabila ia telah merasakan bahwa ia maupun keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. b. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness) adalah tindakan individu

untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu maupun masyarakat. Penyakit

polio misalnya akan dirasakan lebih serius jika dibandingkan dengan flu. Oleh karena itu, tindakan untuk pencegahan polio akan lebih serius dilakukan jika dibandingkan dengan pencegahan dan pengobatan terhadap flu.

c. Manfaat yang dirasakan (perceived benefits), apabila seseorang merasakan dirinya rentan terhadap penyakit-penyakit yang dianggap gawat/serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu.

d. Adanya rintangan (perceived barriers) ialah hambatan-hambatan yang mungkin dijumpai dalam melakukan tindakan tertentu.

e. Isyarat/Pendorong untuk bertindak (cues to action) yaitu untuk mendapat tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan, dan keuntungan tindakan maka diperlukan isyarat-isyarat/stimulus dari luar untuk memicu perilaku yang diharapkan. Faktor-faktor luar tersebut misalnya pesan- pesan dari media massa, nasihat, atau anjuran dari anggota keluarga maupun dari orang lain.

Secara jelas Model Keyakinan Kesehatan dapat dilihat pada bagan berikut : 2.4. Narkoba atau Napza

2.4.1. Definisi Narkoba

Narkoba merupakan istilah yang sering dipakai untuk narkotika dan obat berbahaya. Narkoba merupakan sebutan bagi bahan yang tergolong narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Disamping lazim dinamakan narkoba, bahan-bahan serupa biasa juga disebut dengan nama lain, seperti NAZA (Narkotika,

Alkohol, dan Zat adiktif lainnya) dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya) (Witarsa, 2006).

Narkoba adalah istilah yang digunakan oleh penegak hukum dan masyarakat. Bahan berbahaya adalah bahan yang tidak aman digunakan atau membahayakan dan penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum (illegal). Napza adalah istilah kedokteran untuk kelompok zat yang jika masuk ke dalam tubuh

menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan berpengaruh pada kerja otak (psikoaktif). Termasuk dalam hal ini adalah obat, bahan, atau zat, baik yang diatur

undang–undang dan peraturan hukum lain maupun yang tidak tetapi sering disalahgunakan, seperti alkohol, heroin, ganja, kokain dan lain-lain.

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, zat yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Redaksi Penerbit Asa Mandiri, 2007).

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997, yang dimaksud dengan Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Redaksi Penerbit Asa Mandiri, 2007).

Sedangkan yang dimaksud dengan Bahan/Zat adiktif lainnya adalah bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang mengandung etanol (Darmono, 2006).

2.4.2. Jenis dan Penggolongan Narkoba Menurut Undang-Undang

Di bawah ini uraian tentang jenis narkoba dan beberapa zat yang termasuk dalam golongannya :

1. Narkotika adalah zat atau bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat (otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran dari rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan). Zat yang termasuk golongan ini antara lain : morfin, putaw (heroin), ganja, kokain, opium, codein, metadon. Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama serta lebih efektif daripada morfin dengan pemakaian ditelan. Metadon dipakai untuk methadone ma intena nce progra m, yaitu untuk mengobati ketergantungan terhadap morfin atau heroin dan opiat lainnya.

2. Alkohol adalah jenis minuman yang mengandung etil-alkohol (dibagi dalam 3 kelompok), disesuaikan dengan kadar etil-alkoholnya. Alkohol dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan).

Efek penggunaan alkohol tergantung dari jumlah yang dikonsumsi, ukuran fisik pemakai serta kepribadian pemakai. Pada dasarnya alkohol dapat mempengaruhi koordinasi anggota tubuh, akal sehat, tingkat energi, dorongan seksual, dan nafsu makan.

Menurut keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, minuman beralkohol dikelompokkan dalam 3 golongan dilihat dari kandungan alkoholnya yaitu :

 Golongan A yaitu berbagai jenis minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 1% sampai dengan 5%. Contoh minuman keras ini adalah bir, green sand, dan lain-lain.

 Golongan B yaitu berbagai jenis minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 5% sampai dengan 20%. Contohnya adalah anggur Malaga, dan lain-lain.

 Golongan C yaitu minuman keras yang mengandung kadar alkohol antara 20% sampai dengan 50%. Yang termasuk jenis ini adalah brandy, vodka, wine, rhum, champagne, whiski, dan lain-lain (Joewana, 2005).

Kebanyakan orang mulai terganggu tugas sehari-harinya bila kadar alkohol dalam darah mencapai 0,5% dan hamper semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadar alkohol dalam darah 0,10%.

3. Psikotropika adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika, bekerja pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat menyebabkan perasaan khas pada aktifitas mental dan perilaku serta dapat menimbulkan ketagihan atau bahan ketergantungan. Zat yang termasuk golongan ini menurut Karsono (2004) antara lain : psikostimulan (shabu-shabu, ekstasi, amphetamine), inhalansia seperti aerosol, bensin, perekat, solvent, butyl nitrites (pengharum ruangan). Obat penenang dan obat tidur (nipam, mogadon, diazepam, bromazepam, nitrazepam, flunitrazepam, estazolam, pil KB, dan obat antidepresi.

4. Zat adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika atau psikotropika, bekerja pada system saraf pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan/ketagihan. Zat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : nikotin, LSD (Lysergic acid diethylamide), psilosin, psilosibin, meskalin, dan lain-lain.

2.4.3. Pengguna Napza Suntik (Penasun)

Istilah penasun berasal dari pengguna Napza suntik yang umumnya disebut IDU (Injecting Drug User ) yang berarti individu yang menggunakan obat terlarang (narkotika) dengan cara disuntikkan menggunakan alat suntik ke dalam aliran darah.

Penyuntikan narkoba telah menjadi hal yang umum sejak akhir abad 20, dan melibatkan sekitar 5-10 juta orang di 125 negara. Di seluruh dunia, Napza yang umum dipakai melalui suntikan adalah heroin, amfetamin, dan kokain walaupun

banyak Napza yang lain yang juga disuntikkan, khususnya termasuk obat penenang

Dokumen terkait