• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kanker payudara

Kanker payudara merupakan kanker tersering yang diderita oleh wanita di seluruh dunia dan merupakan pembunuh kedua setelah kanker paru (Ih, 2013).

Faktor resiko terjadinya kanker payudara adalah multifaktorial meliputi usia, ras, diet, aktivitas fisik, paparan terhadap estrogen, indeks masa tubuh, depresi, riwayat keluarga (Ostad & Parsa, 2011). Kanker payudara merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari sel-sel payudara. Kanker payudara ini umumnya ditemui pada wanita, sangat jarang pada pria. Sel-sel kanker dapat tumbuh dan menginvasi jaringan sekitarnya hingga bermetastasis ke organ lain yang jauh dari tempat tumbuhnya sel-sel kanker tersebut.(ACS, 2011) Umumnya, kanker payudara berasal dari sel-sel epitel yang terletak di duktus, sebagian yang lain berasal dari sel-sel epitel yang terletak di lobulus maupun jaringan sekitarnya.

Gambar 2.1: Struktur anatomi payudara

Terdapat beberapa jenis kanker payudara, berdasarkan atas histologinya adalah ductal carsinoma in situ (DCIS, dikenal juga sebagai karsinoma intraduktus), lobular carsinoma in situ, invasive/infiltrating ductal carsinoma, invasive/infiltrating lobular carsinoma.

Pada DCIS, terjadi perubahan pada sel-sel epitel yang terletak di duktus yang menyerupai sel kanker, DCIS juga dianggap sebagai pre-kanker karena dapat berpotensi menjadi kanker invasif. Pada lobular carsinoma in situ (LCIS),terdapat perubahan pada sel-sel epitel yang terletak pada lobulus, dianggap sama seperti DCIS sebagai bentuk kanker non invasif, namun berbeda dalam hal LCIS tidak memiliki potensi menjadi bentuk invasif. invasive/infiltrating ductal carsinoma merupakan jenis yang paling umum pada kanker payudara, perubahan sel-sel bermula dari duktus yang kemudian dapat berkembang hingga ke jaringan lemak pada payudara. Jenis kanker ini dapat bermetastasis melalui sistem limfatik ataupun aliran darah. Pada invasive/infiltrating lobular carsinoma, perubahan sel-sel bermula dari lobulus yang kemudian dapat bermetastasis juga melalui sistem limfatik ataupun aliran darah. (ACS, 2011)

Menentukan tingkatan (staging) merupakan suatu proses untuk menentukan sudah sejauh mana sel-sel kanker itu berkembang. Tingkatan (stage) ditentukan berdasarkan invasif atau non-invasif, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar limfe dan sudah terjadi metastasis atau tidak. Stage kanker merupakan salah satu faktor yang penting untuk menentukan prognosis dan pilihan terapi.

Sistem untuk menentukan tingkatan kanker itu adalah sistem TNM yang dibuat oleh American Joint Committe on Cancer (AJCC). Berikut ini adalah staging dari kanker payudara (Moss, 1997)

Tabel 2.1 Staging Tumor Payudara berdasarkan AJCC

Semua stadium dapat diobati termasuk pada stadium IV, terapi yang dilakukan pada pasien kanker payudara stadium IV bersifat paliatif. Semua stadium memiliki resiko yang sama untuk mengalami kekambuhan/rekurensi yang dapat mengganggu kualitas hidup penderita.

2.2 Terapi pada kanker payudara

Terdapat beberapa jenis terapi pada kanker payudara meliputi pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy dan bone-directed therapy. Pembedahan dan radioterapi dianggap sebagai terapi lokal yang

bertujuan untuk menghilangkan sel kanker tanpa mempengaruhi bagian tubuh lain yang tidak terkena sedangkan kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy dan bone-directed therapy merupakan terapi sistemik yang diberikan bisa secara

peroral atau langsung melalui aliran darah untuk mencapai sel-sel kanker yang terdapat dimana-mana dalam tubuh (ACS, 2011) Kombinasi terapi /terapi multimodalitas yaitu gabungan antara pembedahan, radioterapi, kemoterapi/terapi hormonal juga biasa dipergunakan (Moss, 1997)

Pasien yang sudah tidak terdeteksi memiliki sel-sel kanker setelah pembedahan biasanya akan diberikan terapi tambahan untuk mencegah sel-sel kanker tumbuh kembali. Terapi ini dikenal dengan istilah terapi ajuvant (adjuvant therapy). Baik terapi sistemik seperti kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy

,bone-directed therapy dan radiasi dapat digunakan sebagai terapi ajuvant.

Beberapa pasien diberikan terapi, apakah kemoterapi atau terapi hormon yang dikenal dengan terapi neoajuvan (neoadjuvant therapy), terapi ini bertujuan untuk menyusutkan tumor sebelum dilakukan tindakan pembedahan. (ACS, 2011)

2.3 Kemoterapi pada kanker payudara

Kemoterapi adalah terapi dengan pemberian obat-obatan sitostatika yang bertujuan untuk membunuh sel-sel kanker yang dapat diberikan secara peroral ataupun intravena. Kemoterapi diberikan dalam siklus yang berlangsung hingga

beberapa bulan. Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi ajuvant ataupun terapi neoajuvant. Pemberian kemoterapi sebagai ajuvant berguna untuk mematikan sel-sel kanker yang masih ada namun tidak terlihat. Pemberian kemoterapi sebagai terapi neoajuvant berguna bukan hanya untuk menyusutkan ukuran tumor sehingga ukuran tumor lebih kecil pada saat dilakukan tindakan pembedahan namun juga berguna bagi dokter untuk melihat respon terapi dilihat dari ukuran tumor yang berkurang dan toksisitas yang terjadi serta berperan untuk membunuh sel-sel kanker yang mikrometastasis. (ACS, 2011)

Terdapat berbagai macam obat-obatan yang bekerja sebagai agen kemoterapi (Plana, 2011). Beberapa agen kemoterapi tersebut terdiri dari golongan:

1. Agen pengalkilasi: bekerja dengan cara mengikatkan gugus alkil ke dalam struktur DNA. Yang termasuk dalam agen pengalkilasi adalah nitrogen mustard (mechloretamine, melphalan, siklofosfamid, ifosfamide, chlorambucil), nitrosoureas( lomustine, streptozotocin, dacarbazine, procarbazine)

2. Antibiotik antitumor: merupakan produk alami yang diperoleh dari fermentasi mikroba. Termasuk dalam golongan ini adalah doksorubisin, mitoxantrone, dactinomysin.

3. Golongan antimetabolit: bekerja dengan cara menghambat penggunaan metabolit sel untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Yang termasuk dalam golongan ini adalah cytarabine, metotreksate, gemcitabine, 5-fluorourasil

4. Golongan antimikrotubulus: bekerja dengan cara mengintervensi polimerasi atau depolimerasi mikrotubulus yang berperan untuk pembelahan sel. Yang

termasuk golongan ini adalah taksan (paclitaksel dan docetaxel), alkaloid vinka (vinblastine da vincristine).

5. Golongan penghambat topoisomerase (Topoisomerase inhibitor): bekerja dengan menghambat baik topoisomerase I maupun II yang berperan dalam proses replikasi dan traskripsi. Yang termasuk golongan ini adalah epidopolitoxin (etoposide dan teniposide)

6. Golongan lain: platinum (carboplatin dan cisplatin), hidroksiurea, L-asparagine, (Gustafson & Page, 2013)

Diketahui bahwa kemoterapi mengandung regimen doksorubisin lebih efektif dibandingkan dengan regimen tidak mengandung doksorubisin terutama bila dibandingkan dengan regimen CMF (Siklofosfamide, Methotreksate, 5-fluorourasil) (Goldhirsch, Glick, Gelber, & Coates, 2001). Doksorubisin juga paling banyak digunakan sebagai agen kemoterapi pada kanker payudara selain golongan taksan. (Society, 2011)

Umumnya, agen kemoterapi bersifat sitotoksik dan memiliki indeks terapi yang sempit serta adanya interindividual variabilitas berkaitan dengan respon terapi yang melibatkan baik efikasi dan toksisitas yang dapat timbul menyebabkan pemberian kemoterapi berbasis individu menjadi suatu hal yang penting (Gasparini et al., 2006)

2.4 Farmakologi doksorubisin 2.4.1 Struktur kimia doksorubisin

Doksorubisin merupakan golongan antrasiklin pertama yang diproduksi dari produk pigmen suatu varian Streptomyces peucetius (var.caesius) pada awal

tahun 1960 (Minotti et al. 2004). Doksorubisin memiliki kerja dengan spektrum luas dengan aktivitas antitumor dan digunakan secara luas pada limfoma, leukemia, kanker payudara, kanker paru, kanker ovarium, kanker lambung dan tiroid (Vávrová et al., 2011)

Doksorubisin memiliki gugus gula dan aglikone. Gugus aglikone terdiri dari cincin tetrasiklin dengan grup quinone-hidroquinone berdekatan pada cincin C-B, substitusi methoksi pada C-4 di cincin D dan suatu rantai samping pendek dengan karboksil pada C-13. Gugus gula, yang disebut daunosamine, berdekatan dengan ikatan glikosidik ke C-7 pada cincin A dan terdiri dari 3-amino-2,3,6-trideoxy-L-fucosyl (Minotti et al., 2004). Doksorubisin memiliki cincin poliaromatic dengan adanya struktur quinone yang dihubungkan dengan ikatan O-glikosidic terhadap gula amino (Monneret, 2001). Doksorubisin dikarakteristikkan dengan adanya fungsi difenol pada cincin B pada aglikone dan rantai samping yang terasetilasi pada cincin A. Doksorubisin berwarna merah orange dan sensitif terhadap cahaya, menyerap cahaya pada rentang UV (254 nm), memiliki berat molekul 580 kDa dan biasanya digunakan dalam bentuk hidrochloric yang larut dalam air dan dalam pelarut yang polar. Sebagai alkaloid lemah, doksorubisin menjadi lebih polar, molekul bermuatan pada pH yang rendah, yang kemudian berkontribusi pada retensi selektif dalam suasana asam, lingkungan hipoksia yang merupakan karakteristik pada tumor padat.(Bartoszek, 2002)

Rantai samping doksorubisin terdiri atas alkohol primer yang menyebabkan perbedaan aktivitas kerja dengan daunorubisin yang terdiri atas metil pada rantai sampingnya. Perbedaan rantai samping ini menyebabkan doksorubisin efektif untuk kanker payudara, tumor padat pada anak, sarkoma

jaringan lunak dan limfoma yang agresif sedangkan daunorubisin memiliki aktivitas pada limfoblastik akut atau leukemia myeloblastik.(Minotti et al., 2004).

Berikut ini adalah gambar struktur kimia doksorubisin dan struktur yang membedakannya dengan turunannya yaitu daunorubicin dan carminomycin.(Preobrazhenskaya, Tevyashova, & Olsufyeva, 2006)

Gambar 2.2: Struktur Kimia Doksorubisin dan Turunannya 2.4.2. Absorbsi

Doksorubisin diberikan secara intravena dengan dosis 35-70 mg/m2, secara pemberian infus untuk mencegah terjadinya ekstravasasi (Puma et al., 2008). Konsentrasi doksorubisin di dalam plasma menurun dengan cepat sesuai dengan distribusi obat ke dalam jaringan dan berpenetrasi dan bertahan ke dalam sel-sel yang memiliki inti sel (Sugunan, 2008)

Doksorubisin diketahui memasuki sel secara difusi pasif, dan akumulasi intrasel terjadi di dalam sel dengan konsentrasi berkisar antara 10-500 kali lebih

doksorubisin adalah 50 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam sitoplasma, mempresentasikan bahwa 1 molekul doksorubisin menginterkalasi 5 pasang basa DNA (Sugunan, 2008). Doksorubisin yang bebas adalah sangat rendah (hanya 0,2% dari total obat intraseluler) dan secara heterogen didistribusikan ke lisosom, mitokondria dan apparatus Golgi (Peterson & Trouet, 1978). Konsentrasi doksorubisin mencapai 25% dari plasma level setelah 75 menit selang pemberian dan dapat mencapai konsentrasi plasma setelah 2 jam (Bressolle, Jacquet, Galtier, Jourdan, & Donadio, 1992). Konsentrasi signifikan doksorubisin juga dapat dideteksi pada cairan pleural dan asites pasien kanker setelah pemberian (Lazo &

Schwartzt, 1985).

2.4.3. Distribusi

Doksorubisin dapat ditemukan di hati, ginjal, usus kecil dan besar, sel-sel endotelial di otak, ovarium, testis, juga di sel-sel hematopoietik.(Ambudkar, Kimchi-Sarfaty, Sauna, & Gottesman, 2003). Doksorubisin berikatan dengan plasma protein berkisar antara 50%-80% dan memiliki volume distribusi (Vd) berkisar antara 500-800 L/m2 (Danesi, Fogli, Gennari, Conte, & Tacca, 2002).

Akumulasi tertinggi doksorubisin terdapat pada jaringan hati sedangkan konsentrasi doksorubisin di sel-sel darah putih dan sumsum tulang berkisar antara 200-500 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang di plasma. Doksorubisin tidak melintasi sawar darah otak tapi doksorubin dapat melewati sawar plasenta dan dapat dijumpai di air susu (Sugunan, 2008).

2.4.4. Metabolisme

Metabolisme doksorubisin adalah kompleks dan melibatkan berbagai variasi enzim seperti carbonyl reductase, NADH dehydrogenase, NADPH-dependent cytochrome P450 reductase (P450R) (Westbrook & Stearns, 2013).

Doksorubisin terutama dimetabolisme di hati oleh carbonyl reduktase, menghasilkan metabolit utama yaitu doksorubisinol. Doksorubisinol diperoleh dengan reduksi keton pada C-13 dari doksorubisin (Joerger, Huitema, Meenhorst, Schellens, & Beijnen, 2005). Doksorubisinol tetap memiliki aktivitas antitumor dan dimetabolisme juga oleh P450R yang memotong ikatan glikosida dan melepaskan metabolit yaitu 7-deoxydoxorubicinolone (Danesi et al., 2002).

P450R juga mengkatalisis reduksi deglikosilasi pada doksorubisin sehingga dihasilkan metabolit 7-deoxydoxorubicinone (Riddick et al., 2005)

Selain metabolit doksorubisinol yang tetap memiliki aktivitas antitumor, doksorubisin juga menghasilkan metabolit semiquinone melalui katalisis reduksi satu elektron oleh P450R. Pada suasana aerob, metabolit semiquinone ini melalui siklus reduksi oksidasi dapat menimbulkan terbentuknya spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Mekanisme stres oksidatif ini dipercaya berkontribusi pada kemampuan doksorubisin menyebabkan kematian sel (Riddick et al., 2005)

Gambar 2.3: Metabolit semiquinone menghasilkan spesies oksigen reaktif 2.4.5.Ekskresi

Klirens doksorubisin sebagian besar terjadi di jalur hepatobilier dengan lebih dari 50% obat diekskresikan dalam empedu dalam 7 hari setelah terapi Sekitar 10-20% dan 40-50% dosis diekskresikan dalam feses dalam 24 hingga 150 jam secara berturut-turut (Danesi et al., 2002). Klirens di ginjal dari doksorubisin adalah rendah, dan sekitar 12% dari total dosis ditemukan pada kencing setelah 6 hari setelah terapi. Doksorubisin mengalami 3 waktu paruh yang berbeda yang dikenal dengan trifasik yaitu waktu paruh awal (t1⁄2α) sekitar 5 menit, t1⁄2β sekitar 3 jam dan waktu paruh akhir (t1⁄2γ) sekitar 30 jam (Shi, Moon, Dawood, McManus, & Liu, 2011)

Waktu paruh inisial pertama yang pendek menunjukkan bahwa doksorubisin terdistribusi secara cepat ke dalam jaringan sedangkan waktu paruh terminal yang lama menunjukkan eliminasi yang lambat dari jaringan.

Konsentrasi plasma doksorubisinol meningkat secara cepat dan menurun secara paralel pada doksorubisin pada pemberian bolus (Callies et al., 2003). Selama pemberian infus doksorubisin, konsentrasi doksorubisinol mungkin bisa meningkat. Doksorubisinol berkontribusi pada 23% ekskresi bilier dimana sisanya terdiri dari metabolit-metabolit lain (Sugunan, 2008). Peningkatan konsentrasi plasma dari doksorubisinol telah diobservasi 4-8 jam setelah pemberian doksorubisin menunjukkan adanya eksistensi resirkulasi enterohepatik (Bressolle et al., 1992).

Oleh karena doksorubisin diekskresikan melalui jalur hepatobilier, maka pemberian harus hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.(Shi et al., 2011). Pengurangan yang signifikan pada klirens doksorubisin dan peningkatan signifikan pada doksorubisinol telah diobservasi pada pasien-pasien hemodialisa.

Klirens doksorubisin menurun kurang lebih 17% pada dosis > 50 mg/m2 (Rudek et al., 2004)

Klirens doksorubisin di ginjal adalah rendah dan sekitar 12% dari total obat ditemukan pada urin setelah 6 hari setelah terapi sedangkan klirens hepatik adalah tinggi, dengan 50% obat diekskresikan pada empedu dalam 7 hari setelah terapi. Sekitar 10-20% dan 40-50% dosis obat diekskresikan pada feses dalam 24 dan 150 jam berturut-turut. Sekitar 50% dari obat yang diekskresikan melalui empedu merupakan bentuk obat yang tidak berubah sedangkan 23% adalah doksorubisinol dan sisanya terdiri dari metabolit yang lain.(Danesi et al., 2002).

Kurang lebih 50% pemberian doksorubisin dalam bentuk infus diekskresikan dalam bentuk utuh (Westbrook & Stearns, 2013)

2.4.6 Mekanisme kerja doksorubisin

Mekanisme utama dari kerja doksorubisin dalam menimbulkan efek sitotoksisitas adalah dengan interkalasi DNA dan merusak DNA melalui inhibisi enzim topoisomerase II (Goto et al., 2001). Selain kedua mekanisme diatas, diketahui terdapat beberapa mekanisme kerja lain dari doksorubisin yang menimbulkan efek sitotoksik yaitu dengan pembentukan spesies oksigen reaktif dan peroksidasi lipid (Riddick et al., 2005)

Doksorubisin masuk ke dalam sel hingga menembus nukleus. (Garattini, 2006). Interkalasi DNA dilakukan dengan memasukkan gugus tertentu dari struktur doksorubisin ke dalam susunan pasangan basa dari DNA yang akan menyebabkan terhentinya proses replikasi dari sel-sel kanker.(Simůnek et al., 2009). Masuknya gugus tertentu dari struktur doksorubisin ke dalam susunan pasangan basa DNA diketahui melalui lekukan kecil (minor groove) DNA (Lei, Wang, & Wu, 2012)

Enzim topoisomerase berfungsi memodifikasi topologi DNA tanpa merubah struktur dan susunan /sekuense dari DNA (Minotti et al., 2004). Struktur molekul DNA yang terletak dalam sel selalu berada dalam keadaan dinamis, terkadang molekul DNA berada pada fase relaxed, pada fase yang lain, molekul DNA berada pada keadaan terpillin (supercoiled). Keadaan berpilin ini merupakan bagian sangat penting dalam proses pengemasan DNA (Yuwono, 2005). Pada keadaan berpilin, struktur heliks akan mengalami proses “pemutaran”

(twist) lebih lanjut. Proses pemutaran ini melibatkan enzim topoisomerase.

Topoisomerase dibagi menjadi topoisomerase I yang berfungsi untuk menghilangkan struktur pilinan pada DNA dan topoisomerase II yang berfungsi

untuk membentuk konformasi pilinan negatif. Pilinan negatif terbentuk dengan cara DNA diputar ke arah berkebalikan dari arah pemutaran heliksnya yang berupa heliks ganda putar-kanan (right-handed double helix) (Minotti et al. 2004;

Yuwono, 2005)

Gambar 2.4: pilinan DNA

Enzim topoisomerase II bekerja dengan cara memutar DNA lingkar sehingga sebagian molekul terletak diatas bagian lain DNA yang sama.

Topoisomerase II selanjutnya melakukan pemotongan pada kedua untaian DNA yang terletak diatas bagian lain molekul yang sama. Bagian yang terpotong tersebut kemudian disambung lagi pada sisi yang lain dari bagian molekul DNA yang utuh (Yuwono 2005). Doksorubisin bekerja menstabilisasi reaksi yang memperantarai untaian DNA yang dipotong dan secara kovalen berhubungan dengan residu tirosin pada topoisomerase II, secepatnya merintangi pembentukan kembali DNA yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan DNA dan mengaktifkan jalur apoptosis (Panaretakis et al., 2005); (Buchholz et al., 2002).

Dalam pembentukan spesies oksigen reaktif, diketahui bahwa doksorubisin dalam proses metabolismenya dapat mengalami oksidasi yang menyebabkan timbulnya semiquinone, suatu metabolit tidak stabil yang dalam prosesnya kembali dalam bentuk doksorubisin dengan melepaskan berbagai spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Spesies oksigen reaktif inilah yang dapat menimbulkan peroksidasi lipid dan kerusakan DNA hingga akhirnya memicu jalur apoptosis dari kematian sel (Thorn et al., 2011)

Pengikatan doksorubisin terhadap berbagai variasi membran sel menyebabkan perubahan stabilitas membran. Perubahan pada permeabilitas terhadap berbagai variasi ion dan kemampuannya untuk mengkelasi berbagai variasi metal seperti tembaga, zink dan besi, berkontribusi terhadap sitotoksisitas dari doksorubisin (Gewirtz, 1999)

2.4.7. Toksisitas

Penggunaan doksorubisin memiliki beberapa efek samping, diantaranya adalah kardiotoksisitas yang disebabkan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat adanya penghambatan pada replikasi DNA, transkripsi RNA dan sintesis protein, serta terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada DNA dan peroksidasi membran lipid serta toksisitas seluler akibat pembentukan metabolit-metabolit dari doksorubisin (Yusuf, Ilias-Khan, &

Durand, 2011). Antrasiklin menghasilkan spesies oksigen reaktif dan juga merusak jalur perbaikan DNA. Bersamaan, mekanisme ini berkontribusi terhadap pembentukan stres oksidatif, yang menyebabkan kerusakan ireversibel pada

myocardiosite yang memiliki kemampuan terbatas untuk memperbaharui diri (Chargari et al., 2011). Doksorubisin diketahui dapat menyebabkan kerusakan mitokondria dari kardiomiosit. Beberapa enzim mitokondria seperti NADH dehydrogenase, sitokrom P-450 reduktase dan xanthine oksidase terlibat dalam pembentukan spesies oksigen reaktif. (Chatterjee, Zhang, Honbo, & Karliner, 2010)

Toksisitas akut utama lainnya yang dapat terjadi adalah mielosupresi yang mana kejadian neutropenia lebih umum terjadi dibandingkan dengan trombositopenia. Toksisitas lainnya yang dapat terjadi adalah stomatitis, alopesia, mual dan muntah (Katzung, 2003)

Terdapat dua parameter yang telah diadopsi untuk melihat efek mielotoksik pada obat yaitu pengukuran dari jumlah neutrofil yang turun sebelum dan sesudah terapi. Pemberian doksorubisin mempengaruhi sel-sel progenitor hematopoietik dan mengganggu kemampuan mereka untuk menghasilkan sel-sel nonproliferasi, berdiferensiasi yang mana kelangsungan hidup dan rentang hidup leukosit pada darah tepi tidak dipengaruhi oleh terapi. Interval antara pemberian doksorubisin dan pengurangan jumlah neutrofil dibawah nilai normal berlangsung kurang lebih 10 hari dan 4-6 hari lebih jauh untuk mencapai titik nadir, dengan total kurang lebih 2 minggu. Pematangan stem sel granulosit menjadi neutrofil matang membutuhkan waktu 10 hari dan setelah mencapai sirkulasi, granulosit tetap bertahan sekitar 8-12 jam(Danesi et al., 2002)

2.5 Farmakologi Taksan 2.5.1 Struktur Kimia taksan

Golongan taksan dibagi menjadi dua yaitu paclitaksel dan docetaxel Paclitaksel diisolasi dari cemara Pasifik (Taxus brevifolia) pada tahun 1971 dan docetaxel, suatu semisintetis analog taksan diisolasi dari cemara Eropa (Taxus baccata), docetaxel lebih bersifat larut air bila dibandingkan dengan paclitaksel.

Baik paclitaksel maupun docetaxel terdiri dari cincin kompleks taksan yang berhubungan dengan gugus ester pada posisi C-13. Sebagian rantai samping posisi C-2’ dan C-3’ serta C-13 berhubungan dengan aktivitas antimikrotubulusnya (Rowinsky, 1997a)

Gambar 2.5: Struktur golongan Taksan,(A)Paclitaksel (B) Docetaxel 2.5.2 Absorpsi

Sebagai agen tunggal, paclitaxel diberikan secara intravena dengan dosis 130-170 mg/m2 selama 3 atau 24 jam setiap 3-4 minggu. Docetaxel diberikan secara intravena dengan dosis 100 mg/m2 selama 1 jam setiap 3 minggu.

Paclitaxel berikatan dengan protein plasma lebih dari 95% sedangkan docetaxel lebih dari 90%. (Rowinsky, 1997b)

2.5.3 Distribusi

Paclitaksel didistribusikan secara luas dalam tubuh terkecuali pada sistem syaraf pusat dan testis sedangkan docetaxel didistribusikan secara luas kecuali pada sistem syaraf pusat. Volume distribusi paclitaksel adalah sekitar 182 L/m2 dan docetaxel adalah 74 L/m2.(Rowinsky, 1997b)

2.5.4 Metabolisme

Baik paclitaksel maupun docetaxel dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P-450.

2.5.5 Ekskresi

Klirens paclitaksel sebagian besar terjadi di jalur hepatobilier dengan lebih dari 80% obat diekskresikan dalam feses.(Katzung, 2003). Klirens docetaxel juga sama seperti paclitaksel dengan klirens di ginjal adalah minor, berkisar kurang dari 5- 10% (Rowinsky, 1997b). Waktu paruh paclitaksel berkisar antara 7- 20 jam sedangkan waktu paruh docetaxel adalah 12-13 jam.

2.5.6 Mekanisme Kerja

Paclitaksel memiliki aktivitas signifikan pada berbagai jenis tumor solid meliputi kanker ovarium, kanker payudara tahap lanjut, kanker sel kecil dan non-sel kecil pada paru, kanker kepala dan leher, kanker esofagus, kanker prostat dan kanker kandung kemih. Docetaxel diketahui memiliki aktivitas signifikan pada kanker payudara tahap lanjut, kanker non-sel kecil pada paru (Katzung, 2003)

Aktivitas antitumor taksan terutama dihasilkan dari ikatan obat dengan subunit beta dari tubulin yang menyebabkan stabilisasi dari polimerisasi tubulin.

Stabilisasi ini menyebabkan tertahannya siklus sel pada fase G2/M yang kemudian menyebabkan terhambatnya mitosis. Docetaxel dan paclitaksel berbeda pada molekular farmakologinya yang secara potensial menjelaskan perbedaan aktivitas dan toksisitas. Docetaxel memiliki afinitas lebih kuat pada β-tubulin, mempengaruhi organisasi sentrosom dan bekerja pada tiga fase pada siklus sel (S/G2/M) sedangkan paclitaksel menyebabkan kerusakan sel dengan mempengaruhi siklus sel pada fase G2 dan M.

Docetaxel diketahui masuk ke dalam sel-sel tumor dalam jumlah yang banyak sedangkan mengalami efluks secara lambat dari sel-sel tumor hal ini akan menyebabkan waktu retensi yang lebih lama. Berikut ini adalah perbedaan dalam mekanisme kerja docetaxel dengan paclitaksel.

Tabel 2.2 Perbedaan mekanisme docetaxel dan paclitaxel ((Gligorov & Lotz, 2004a)

Docetaxel Paclitaxel Keterangan Ikatan kuat

dengan beta-tubulin

1.9 1.0 Konsentrasi obat intraseluler lebih tinggi berhubungan dengan semakin tingginya sel yang mati dan penghambatan S menyebabkan mitosis tidak sempurna dan kematian sel, Spesifisitas

siklus sel

S, G2, M G2, M

Mikrotubulus merupakan komponen sel yang berfungsi sebagai rangka bagi sel. (Gligorov & Lotz, 2004a). Mikrotubulus disintesa melalui polimerisasi subunit α dan β tubulin, dengan pertumbuhannya terjadi di kutub positif akhir (+)

dan berdegradasi di kutub negatif (-) akhir yang akhirnya subunit α dan β tubulin akan dilepas ke sitosol. Proses penyatuan dan pelepasan mikrotubulus ini berada dalam keadaan yang dinamis (dynamic instability) yang menyebabkan pemanjangan dan pemendekan mikrotubulus terjadi. Taksan bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin yang telah menyatu dalam mikrotubulus. Hal ini menyebabkan stabilisasi mikrotubulus dan mencegah terjadinya degradasi sehingga akhirnya mikrotubulus menumpuk dalam sel dan tentu saja menghambat terjadinya proses pembelahan sel.(Amerongen & Berns, 2006)

Gambar 2.6: mekanisme kerja taksan

Saat ini, kemajuan terapi untuk penanganan pasien kanker payudara berkembang sangat pesat namun sering dihalangi dengan adanya kejadian resistensi obat dan toksisitas akibat penggunaan obat terutama agen kemoterapi.

Adanya respon interindividual dan interetnis yang berbeda tidak dapat dimengerti

Adanya respon interindividual dan interetnis yang berbeda tidak dapat dimengerti

Dokumen terkait