• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLIMORFISME GEN ATP –BINDING CASSETTE 1 (ABCB 1) DENGAN

DERAJAT NEUTROPENIA PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENDAPAT KEMOTERAPI

MENGANDUNG DOKSORUBISIN-TAKSAN

TESIS

Oleh

SITI SYARIFAH/BM 117008015

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

HUBUNGAN POLIMORFISME GEN

ATP –BINDING CASSETTE 1 (ABCB 1) DENGAN

DERAJAT NEUTROPENIA PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENDAPAT KEMOTERAPI

MENGANDUNG DOKSORUBISIN-TAKSAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik Dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH SITI SYARIFAH

117008015/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

PENGESAHAN TESIS

HUBUNGAN POLIMORFISME GEN ATP –BINDING CASSETTE 1 (ABCB 1) DENGAN

DERAJAT NEUTROPENIA PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENDAPAT KEMOTERAPI

MENGANDUNG DOKSORUBISIN-TAKSAN

Disusun Oleh:

SITI SYARIFAH 117008015

Medan, 5 Januari 2015

Disetujui oleh:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B(K)Onk

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(4)

ABSTRAK

Insiden kanker payudara pada wanita semakin meningkat baik di dunia maupun di Indonesia. Pemberian kemoterapi merupakan suatu hal yang penting pada tatalaksana pasien kanker payudara dalam meningkatkan angka harapan hidup pasien namun memiliki berbagai efek samping. Suatu efek samping yang membahayakan adalah neutropenia yang menyebabkan pasien berisiko untuk terkena infeksi dan mengakibatkan penundaan kemoterapi. Dewasa ini, polimorfisme genetik sering dihubungkan dengan toksisitas akibat pemberian kemoterapi. Adanya polimorfisme genetik pada ABCB1 C3435T di ekson 26 yang mengkode P-glikoprotein (P-gp) diketahui berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya neutropenia berat selama kemoterapi. Polimorfisme genetik pada ABCB1 C3435T meskipun bersifat sinonim (Ile1145Ile) namun menyebabkan perubahan struktur dan fungsi P-gp karena adanya ribosom stalling. Adanya perubahan struktur ini menyebabkan homozigot varian TT cenderung memiliki resiko untuk mengalami derajat neutropenia lebih berat akibat kemoterapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari hubungan polimorfisme ABCB1 C3435T dengan derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang diterapi dengan regimen yang mengandung doksorubisin-taksan. Kedua jenis obat ini menggunakan ABCB1 sebagai molekul transport ke dalam sel.

72 perempuan Indonesia yang didiagnosa kanker payudara dan mendapat kemoterapi mengandung regimen doksorubisin-paclitaksel di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan diikutsertakan pada penelitian kohort ini. DNA sampel diekstraksi dari leukosit perifer dan pemeriksaan polimorfisme ABCB1 C3435T dianalisa dengan metode PCR-RFLP. Data karakteristik pasien dan neutropenia dilihat dari data rekam medis. Data pasien diambil selama 3 siklus kemoterapi (siklus I-III).Uji Kruskal Wallis digunakan untuk menganalisa hubungan polimorfisme ABCB1 C3435T dengan derajat neutropenia pasca siklus kemoterapi I-III. Uji Wilcoxon digunakan untuk menganalisa trend penurunan jumlah neutrofil absolut selama 3 siklus kemoterapi. Frekuensi genotipe dan alel ditentukan dengan menggunakan Hardy-Weinberg Equilibrium.

Dijumpai keempat suku yaitu suku Batak, Padang, Jawa dan Aceh dengan distribusi polimorfisme ABCB1 C3435T bervariasi. Bentuk wildtype dijumpai terbanyak pada suku Batak sebanyak 12 (54,50%), heterozigot varian pada suku Jawa sebanyak 21 (55,30%) dan homozigot varian dijumpai paling sedikit pada semua suku. Proporsi ABCB1 C3435T wildtype (CC) sebesar 22 (30,6%), heterozigot varian sebesar 38 (52, 8%) dan homozigot varian sebesar 12 (16,7%).

Tidak ditemukan hubungan polimorfisme ABCB1 C3435T dengan derajat neutropenia (p>0,05). Terdapat perbedaan rerata jumlah neutrofil absolut antara periode setelah kemoterapi I,II dan III (p<0,05)

Polimorfisme ABCB1 C3435T tidak memiliki hubungan dengan derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi mengandung doksorubisin-paclitaksel namun dijumpai trend penurunan jumlah neutrofil absolut selama pemberian kemoterapi siklus I-III

Kata kunci: Polimorfisme ABCB1 C3435T, neutropenia, doksorubisin-

paclitaksel, kanker payudara

(5)

ABSTRACT

Breast cancer incidence rates tend to increase worldwide and in Indonesia.

Chemotherapy is the important breast cancer treatment that alleviate survival rate and various adverse events. Neutropenia is the most common adverse events that can be life threatening definitely by opportunistic infection. Currently, genetic polymorphism has been linked to interindividual variations in terms of toxicity of cytotoxic anticancer drugs. Polymorphism C3435T of ABCB1 gene in exon 26 which encoded P-glycoprotein (P-gp) is considered to be associated with an increase of neutropenia incidence during chemotherapy. The synonymous ABCB1 C3435T polymorphism (Ile1145Ile) changes the folding and function of P-gp by ribosome stalling. Homozygote variant 3435TT seemed to contribute to increase the severity of neutropenia. Hence, the aim of this study was to investigate the association between ABCB1 C3435T polymorphism with the grading of neutropenia in breast cancer patients treated with doxorubisin-taxan regimen. These drugs are substrates of P-gp.

72 Indonesian breast cancer patients from Haji Adam Malik Hospital who had been diagnosed and treated with doxorubicin-taxan regimen were selected for this cohort study. DNA was extracted from peripheral leucocytes and ABCB1 C3435T polymorphism was analyzed by PCR-RFLP method. The data of patient characteristics and neutropenia were collected from patient’s medical record from 3 cycles of chemotherapy. Association between ABCB1 C3435T polymorphism with the grading of neutropenia was assessed using Kruskal-Wallis test. Decline of absolute neutrophil count during 3 cycles of chemotherapy was assessed using Wilcoxon test. Genotype deviation and allele frequencies were also determined by Hardy-Weinberg Equilibrium.

We found 4 ethnics that were Batak, Padang, Java and Aceh. Distribution of ABCB1 C3435T was varied among these ethnics. Batak ethnic had the highest frequency of homozygous CC genotype (wildtype) with 12 (54,50%), Java ethnic had the highest frequency of heterozygous varian (CT) with 21 (55,30%) and we found homozygous variant (TT) as the lowest among all ethnics. The proportion of ABCB1 C3435T wildtype (CC), heterozygous variant (CT) and homozygous variant (TT) was 22 (30,6%), 38 (52,8%) and 12 (16,7%) respectively. There was no association between ABCB1 C3435T polymorphism with the grading of neutropenia (p>0,05). There was a difference on the average of absolute neutrophil count after the first chemotherapy and after the third chemotherapy (p<0,05).

ABCB1 C3435T polymorphism had no association with the grading of neutropenia in breast cancer patients treated with doxorubicin-taxan regimen, however there was a trend of absolute neutrophil count declining during the 3 cycles of chemotherapy.

Keywords: ABCB1 C3435T polymorphism, neutropenia, doxorubicin-taxan,

breast cancer

(6)

KATA PENNGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Polimorfisme

ABCB1 C3435T Dengan Derajat Neutropenia Pada Pasien Kanker Payudara yang Mendapat Kemoterapi Mengandung Regimen Doksorubisin-Taksan: sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Magister pada program studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Proses

penulisan tesis ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan dengan hormat kepada:

1. Prof.Dr. Syahril Pasaribu,DTMH,Msc (CTM),Sp.A(K), Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof.dr. Gontar A.Siregar, Sp.PD-KGEH, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3. dr. Yahwardiah Siregar, PhD, Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik dan Ketua Komisi Pembimbing yang senantiasa bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

4. dr. Kamal Basri Siregar, Sp.B(K)Onk, Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, motivasi dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Prof.Dr.dr. Humala Hutagalung, Sp.B(K)Onk, Dosen pembanding yang turut meluangkan waktu dan banyak memberi masukan yang membangun kepada penulis untuk perbaikan tesis ini.

6. dr. Sri Suryani Widjaja, M.Kes, Dosen pembanding yang juga turut memberi masukan dan motivasi kepada penulis untuk perbaikan tesis ini.

7. Semua dosen yang telah membimbing dan membagi ilmu kepada penulis selama mengikuti program magister ini.

8. Kedua orang tua saya, Ayahanda Drs. Surbaini Arsyad, MBA, MM dan

Ibunda Siti Chadidjah serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan

(7)

moril dan material selama penulis menjalani pendidikan di Magister Ilmu Biomedik.

9. dr. Dita Hasni, M.Biomed, dr. Ningrum Wahyuni M,Biomed, dr. Verawati Simorangkir, M.Biomed, dr.Ernawati, M.Biomed dan seluruh teman-teman yang menjalani pendidikan di program Magister Ilmu Biomedik yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan pendidikan yang dijalani penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin.

Medan, Januari 2015 Penulis

(Siti Syarifah)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Data pribadi:

Nama Lengkap : dr. Siti Syarifah

Tempat/Tanggal Lahir: Jayapura, 4 Desember 1985

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. T.Amir Hamzah Blok B No.200 Medan

Hp/Telp : 081361118985

Email : syarifah8512@yahoo.com

Riwayat Pendidikan:

SDN 009 Samarinda tahun 1991-1997 SLTP Negeri 1 Samarinda tahun 1997-2000 SMU Negeri 7 Medan tahun 2000-2003

S1 Fakultas Kedokteran USU tahun 2003-2009

S2 Program Magister Ilmu Biomedik Tahun 2011-sekarang

Riwayat Pekerjaan:

Dokter Umum di IGD Rumah Sakit Sufina Aziz Medan tahun 2010-2011 Dokter Umum di IGD Rumah Sakit Adenin Adenan Medan tahun 2009-

2012

Staf Pengajar Tetap Dept. Farmakologi dan Terapeutik FK USU tahun

2012-sekarang

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN... ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan penelitian ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Hipotesis Penelitian ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Kanker payudara ... 8

2.2. Terapi pada kanker payudara ... 11

2.3. Kemoterapi pada kanker payudara ... 11

2.4. Farmakologi doksorubisin ... 13

2.4.1. Struktur kimia doksorubisin ... 13

2.4.2. Absorbsi ... 15

2.4.3. Distribusi ... 16

2.4.4. Metabolisme ... 16

2.4.5. Ekskresi ... 18

2.4.6. Mekanisme kerja doksorubisin ... 20

2.4.7. Toksisitas... 22

2.5. Farmakologi taksan ... 23

2.5.1 Struktur kimia taksan ... 23

2.5.2. Absorpsi ... 24

2.5.3 Distribusi ... 25

2.5.4. Metabolisme ... 25

2.5.5. Ekskresi ... 25

2.5.6. Mekanisme kerja ... 25

2.5.7 Farmakogenetik pada terapi kanker payudara... 28

2.6. Keluarga protein transporter ATP-Binding Cassette (ABC) ... 29

2.6.1 Gen ABCB1 dan protein P-glikoprotein (P-gp) ... 31

2.6.2. Polimorfisme pada gen ABCB1 dan doksorubisin ... 34

2.6.3 Polimorfisme ABCB1 C3435T dan neutropenia ... 39

2.6.4. Polimorfisme ABCB1 pada pasien kanker payudara ... 40

2.7. Kerangka konsep ... 42

(10)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 44

3.1. Jenis Penelitian ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 44

3.2.2. Waktu Penelitian ... 44

3.3. Populasi ... 44

3.4. Kriteria subyek penelitian ... 44

3.4.1. Kriteria inklusi ... 44

3.4.2. Kriteria eksklusi ... 45

3.5. Besar sampel ... 45

3.6. Cara pengambilan sampel ... 46

3.7. Variabel penelitian ... 46

3.8. Definisi operasional ... 47

3.9. Kerangka kerja ... 47

3.10.Pelaksanaan penelitian ... 48

3.10.1. Penerbitan ethical clearance ... 48

3.10.2. Pengurusan izin penelitian ... 48

3.10.3. Proses seleksi subyek penelitian ... 48

3.10.5. Proses isolasi DNA ... 48

3.10.6. Proses amplifikasi DNA dengan PCR ... 50

3.10.7. Uji polimerisme dengan teknik RFLP... 50

3.10.8. Proses persiapan larutan dan bahan untuk elektroforesis 51 3.10.9. Elektroforesis produk PCR dengan gel Agarose ... 52

3.10.10. Elektroforesis produk RFLP dengan gel Agarose ... 52

3.11.Analisis data ... 52

3.12.Jadwal penelitian ... 53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1. Hasil ... 55

4.1.1. Karakteristik subjek penelitian ... 55

4.1.1.1 Suku ... 55

4.1.1.2 Umur saat terdiagnosis ... 56

4.1.1.3 Body Mass Index (BMI) ... 56

4.1.1.4 Body Surface Area ... 56

4.1.1.5 Stadium Kanker Payudara ... 57

4.1.1.6 Hasil Patologi Anatomi ... 57

4.1.1.7 Grading Histopatologi Jaringan Kanker Payudara ... 57

4.1.2. Polimorfisme ABCB1 Ekson 26 C3435T ... 58

4.1.3. Karakteristik subjek penelitian pada wildtype dan varian ... 59

4.1.4. Derajat neutropenia sebelum dan setelah kemoterapi ... 59

4.1.5. Hubungan polimorfisme gen ABCB1 dengan derajat neutrofil 60 4.1.5.1 Pasca kemoterapi I ... 60

4.1.5.2 Pasca kemoterapi II ... 61

4.1.5.3 Pasca kemoterapi III ... 61

4.1.6 Trend penurunan jumlah neutrofil absolut ... 61

4.1.7 Hardy-weinberg equilibrium ... 62

4.2. Pembahasan ... 63

(11)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70 5.1. Kesimpulan ... 70 5.2. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ...

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Struktur anatomi payudara ... 8

2.2. Struktur kimia doksorubisin dan turunannya ... 15

2.3. Metabolit semiquinone menghasilkan spesies oksigen reaktif ... 18

2.4. Pilinan DNA ... 21

2.5. Struktur golongan taksan ... 24

2.6. Mekanisme kerja taksan ... 27

2.7. Struktur famili protein transporter ABC ... 31

2.8. Struktur protein P-gp ... 33

2.9. Struktur protein P-gp beserta tempat berikatan ATP ... 34

2.10. Proses translasi ... 38

2.11 Proses penundaan translasi... 39

3.9. Kerangka kerja ... 47

4.1 Hasil Elektroforesis Produk PCR-RFLP Analisa SNP ABCB1 Ekson 26

C3435T Subjek Penelitian no 21-26 ... 59

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Staging Tumor Payudara Berdasarkan AJCC... 10

2.5 Perbedaan mekanisme docetaxel dan paclitaksel... 26

3.8 Definisi Operasional... 47

4.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Suku... 55

4.2 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur... 56

4.3 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Body Mass Index (BMI)... 56 4.4 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Stadium Kanker Payudara ... 57 4.5 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Patologi Anatomi... 57 4.6 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Grading Histopatologi Jaringan Kanker Payudara... 58 4.7 Proporsi Polimorfisme ABCB1 Ekson 26 C3435T Pada Subjek Penelitian... 59 4.8 Distribusi Polimorfisme Gen ABCB1 Berdasarkan Suku... 59 4.9 Derajat Neutropenia sebelum dan setelah kemoterapi... 60

4.10 Hubungan Polimorfisme Gen ABCB1 dengan derajat neutrofil pasca kemoterapi I... 60 4.11 Hubungan Polimorfisme Gen ABCB1 dengan derajat neutrofil pasca kemoterapi II... 61 4.12 Hubungan Polimorfisme Gen ABCB1 dengan derajat neutrofil pasca kemoterapi III... 61 4.13 Trend Penurunan Jumlah Neutrofil Absolut... 62

4.14 Frekuensi Alel Gen ABCB1... 62 4.15 Distribusi Frekuensi Polimorfisme Gen ABCB1 C3435T

Ekson 26...

64

(14)
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Penjelasan tentang Penelitian kepada Calon Subjek Penelitian...

72

2 Surat Persetujuan Ikut Penelitian... 74

3 Lembar Pengumpulan Data Penelitian... 75

4 Persetujuan Komisi Etik... 77

5 Surat Izin Penelitian... 78

6 Hasil Analisis SNP Polimorfisme ABCB1 Ekson 26 C3435T dengan Elektroforesis Produk PCR-RFLP yang direstriksi oleh Enzim Sau3AI... 82 7 Dokumentasi Kegiatan Penelitian... 86

8 Kuitansi Pembiayaan Penelitian... 87

9 Analisa Statistik Karakteristik Subjek Penelitian... 89

10 Analisa Statistik Hubungan Polimorfisme ABCB1 dengan

derajat neutropenia pasca kemoterapi I-III...

90

11 Analisa Statistik Derajat neutrofil sebelum dan setelah

kemoterapi I-III...

93

12 Analisa Statistik Trend Penurunan Neutrofil... 94

(16)

DAFTAR SINGKATAN

ABC : ATP-binding cassette ABCB1 : ATP-binding cassette B1 ACS : American cancer society

AJCC : American Joint Committe on Cancer ATP : Adenosine triphospat

BMI : Body Mass Index BSA : Body Surface Area

CAF : Cyclophosphamide Antrasiklin 5-FU CDC : Center for disease control and prevention CMF : Cyclophospamide Methotheraxe 5-fluorouracyl CTCAE : Common terminology criteria adverse events DCIS : Ductal carsinoma insitu

DNA : Deoxyribonucleic Acid

G-CSF : Granulocyte-Colony Stimulating Factor LCIS : Lobular carsinoma insitu

NBD : Nucleotide binding domain PCR : Polymerase chain reaction P-gp : P-glikoprotein

SIRS : Sistem Informasi Rumah Sakit SNP : Single nucleotide polymorphism

RFLP : Restriction Fragment Length Polymorpism TNM : Tumor nodul metastase

TMD : Transmembran domain

WHO : World Health Organization

(17)

ABSTRAK

Insiden kanker payudara pada wanita semakin meningkat baik di dunia maupun di Indonesia. Pemberian kemoterapi merupakan suatu hal yang penting pada tatalaksana pasien kanker payudara dalam meningkatkan angka harapan hidup pasien namun memiliki berbagai efek samping. Suatu efek samping yang membahayakan adalah neutropenia yang menyebabkan pasien berisiko untuk terkena infeksi dan mengakibatkan penundaan kemoterapi. Dewasa ini, polimorfisme genetik sering dihubungkan dengan toksisitas akibat pemberian kemoterapi. Adanya polimorfisme genetik pada ABCB1 C3435T di ekson 26 yang mengkode P-glikoprotein (P-gp) diketahui berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya neutropenia berat selama kemoterapi. Polimorfisme genetik pada ABCB1 C3435T meskipun bersifat sinonim (Ile1145Ile) namun menyebabkan perubahan struktur dan fungsi P-gp karena adanya ribosom stalling. Adanya perubahan struktur ini menyebabkan homozigot varian TT cenderung memiliki resiko untuk mengalami derajat neutropenia lebih berat akibat kemoterapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari hubungan polimorfisme ABCB1 C3435T dengan derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang diterapi dengan regimen yang mengandung doksorubisin-taksan. Kedua jenis obat ini menggunakan ABCB1 sebagai molekul transport ke dalam sel.

72 perempuan Indonesia yang didiagnosa kanker payudara dan mendapat kemoterapi mengandung regimen doksorubisin-paclitaksel di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan diikutsertakan pada penelitian kohort ini. DNA sampel diekstraksi dari leukosit perifer dan pemeriksaan polimorfisme ABCB1 C3435T dianalisa dengan metode PCR-RFLP. Data karakteristik pasien dan neutropenia dilihat dari data rekam medis. Data pasien diambil selama 3 siklus kemoterapi (siklus I-III).Uji Kruskal Wallis digunakan untuk menganalisa hubungan polimorfisme ABCB1 C3435T dengan derajat neutropenia pasca siklus kemoterapi I-III. Uji Wilcoxon digunakan untuk menganalisa trend penurunan jumlah neutrofil absolut selama 3 siklus kemoterapi. Frekuensi genotipe dan alel ditentukan dengan menggunakan Hardy-Weinberg Equilibrium.

Dijumpai keempat suku yaitu suku Batak, Padang, Jawa dan Aceh dengan distribusi polimorfisme ABCB1 C3435T bervariasi. Bentuk wildtype dijumpai terbanyak pada suku Batak sebanyak 12 (54,50%), heterozigot varian pada suku Jawa sebanyak 21 (55,30%) dan homozigot varian dijumpai paling sedikit pada semua suku. Proporsi ABCB1 C3435T wildtype (CC) sebesar 22 (30,6%), heterozigot varian sebesar 38 (52, 8%) dan homozigot varian sebesar 12 (16,7%).

Tidak ditemukan hubungan polimorfisme ABCB1 C3435T dengan derajat neutropenia (p>0,05). Terdapat perbedaan rerata jumlah neutrofil absolut antara periode setelah kemoterapi I,II dan III (p<0,05)

Polimorfisme ABCB1 C3435T tidak memiliki hubungan dengan derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi mengandung doksorubisin-paclitaksel namun dijumpai trend penurunan jumlah neutrofil absolut selama pemberian kemoterapi siklus I-III

Kata kunci: Polimorfisme ABCB1 C3435T, neutropenia, doksorubisin-

paclitaksel, kanker payudara

(18)

ABSTRACT

Breast cancer incidence rates tend to increase worldwide and in Indonesia.

Chemotherapy is the important breast cancer treatment that alleviate survival rate and various adverse events. Neutropenia is the most common adverse events that can be life threatening definitely by opportunistic infection. Currently, genetic polymorphism has been linked to interindividual variations in terms of toxicity of cytotoxic anticancer drugs. Polymorphism C3435T of ABCB1 gene in exon 26 which encoded P-glycoprotein (P-gp) is considered to be associated with an increase of neutropenia incidence during chemotherapy. The synonymous ABCB1 C3435T polymorphism (Ile1145Ile) changes the folding and function of P-gp by ribosome stalling. Homozygote variant 3435TT seemed to contribute to increase the severity of neutropenia. Hence, the aim of this study was to investigate the association between ABCB1 C3435T polymorphism with the grading of neutropenia in breast cancer patients treated with doxorubisin-taxan regimen. These drugs are substrates of P-gp.

72 Indonesian breast cancer patients from Haji Adam Malik Hospital who had been diagnosed and treated with doxorubicin-taxan regimen were selected for this cohort study. DNA was extracted from peripheral leucocytes and ABCB1 C3435T polymorphism was analyzed by PCR-RFLP method. The data of patient characteristics and neutropenia were collected from patient’s medical record from 3 cycles of chemotherapy. Association between ABCB1 C3435T polymorphism with the grading of neutropenia was assessed using Kruskal-Wallis test. Decline of absolute neutrophil count during 3 cycles of chemotherapy was assessed using Wilcoxon test. Genotype deviation and allele frequencies were also determined by Hardy-Weinberg Equilibrium.

We found 4 ethnics that were Batak, Padang, Java and Aceh. Distribution of ABCB1 C3435T was varied among these ethnics. Batak ethnic had the highest frequency of homozygous CC genotype (wildtype) with 12 (54,50%), Java ethnic had the highest frequency of heterozygous varian (CT) with 21 (55,30%) and we found homozygous variant (TT) as the lowest among all ethnics. The proportion of ABCB1 C3435T wildtype (CC), heterozygous variant (CT) and homozygous variant (TT) was 22 (30,6%), 38 (52,8%) and 12 (16,7%) respectively. There was no association between ABCB1 C3435T polymorphism with the grading of neutropenia (p>0,05). There was a difference on the average of absolute neutrophil count after the first chemotherapy and after the third chemotherapy (p<0,05).

ABCB1 C3435T polymorphism had no association with the grading of neutropenia in breast cancer patients treated with doxorubicin-taxan regimen, however there was a trend of absolute neutrophil count declining during the 3 cycles of chemotherapy.

Keywords: ABCB1 C3435T polymorphism, neutropenia, doxorubicin-taxan,

breast cancer

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini insiden kanker payudara sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular pada wanita semakin meningkat. Kanker payudara merupakan kanker tersering yang dialami oleh wanita baik di negara maju maupun negara berkembang dengan jumlah kasus baru yang terdiagnosa adalah 1,38 juta wanita di dunia (World Health Organization, 2010). Insiden kanker payudara meningkat setiap tahunnya, terutama pada negara berkembang yang disebabkan peningkatan angka harapan hidup, gaya hidup, urbanisasi, serta mayoritas kasus terdeteksi saat sudah stadium lanjut (WHO, 2013). Di Amerika, 226.870 wanita menderita kanker payudara dan 39.510 wanita meninggal akibat kanker payudara (Westbrook & Stearns, 2013) sedangkan di Inggris, terdapat 49.961 wanita yang menderita kanker payudara dan terdapat 157 kasus baru per 100.000 penduduk (Center for Disease Control and Prevention, 2009). Di Indonesia, kanker tertinggi yang diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian adalah 26 per 100.000 dan kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia dengan presentase sebesar 16,86%

(Sistem Informasi Rumah Sakit, 2007)

Dari data rekam medis Rumah Sakit H.Adam Malik Medan (2012), jumlah

pasien yang menderita kanker payudara adalah sebanyak 532 orang dan mayoritas

menjalani kemoterapi akibat terdeteksi pada stadium lanjut. Adanya

perkembangan pada terapi kanker, dalam hal ini pemberian kemoterapi, telah

(20)

menunjukkan peningkatan angka harapan hidup bagi penderita kanker. Hal ini cukup menggembirakan namun pemberian kemoterapi ternyata juga tidak terlepas dari berbagai efek samping yang timbul. Efek samping merupakan suatu permasalahan yang melibatkan beban psikis, fisik dan finansial yang dijumpai pada lebih dari 15% pasien (Crawford, 2003)

Salah satu efek samping yang paling sering terjadi dan dapat diamati adalah penekanan sumsum tulang, yang membahayakan jika pasien terinfeksi atau mengalami perdarahan. Neutropenia merupakan ancaman yang hebat pada pasien yang menjalani kemoterap i.(Vulsteke et al., 2013) Hal ini menyebabkan mereka lebih berisiko untuk terkena infeksi dan dapat menyebabkan penundaan pengobatan kemoterapi dan pengurangan pada dosisnya, sehingga dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Lalami et al., 2006)

Peningkatan biaya yang signifikan juga terjadi apabila keadaan neutropenia memicu terjadinya demam dan infeksi, baik dari biaya langsung yang diperlukan untuk tata laksana penanganan infeksi dan demam akibat neutropenia, juga biaya tidak langsung seperti masa rawat inap di rumah sakit yang bertambah dll.(Raisch, Holdsworth, Winter, Hutter, & Graham, 2003)

Tidak semua pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi berisiko untuk mengalami neutropenia sehingga sulit untuk diprediksi (Crawford, 2003).

Berdasarkan observasi klinis diketahui bahwa dosis kemoterapi yang sama dapat

menyebabkan hasil yang berbeda karena adanya heterogenitas dalam toksisitas

dan efikasi kemoterapi tersebut (Fagerlund, Braaten, 2001). Heterogenitas ini

dapat menyebabkan terapi tidak mencapai target atau bahkan efek samping yang

fatal pada beberapa pasien (Sargent, 2001)

(21)

Adanya variasi antar individu terhadap respon obat atau efek samping obat tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hanya dari faktor-faktor seperti fungsi hati dan ginjal, umur, penyakit penyerta, gaya hidup serta kepatuhan pasien, tetapi diperlukan penjelasan perbedaan genetik (Sargent, 2001)

Studi yang dilakukan oleh Sissung dkk (2010) menunjukkan bahwa variasi genetik (polimorfisme genetik) turut berperan dalam menimbulkan kejadian penekanan sumsum tulang termasuk neutropenia beserta komplikasinya.

Polimorfisme genetik merupakan suatu perbedaan pada rangkaian nukleotida DNA diantara individual, grup ataupun populasi. Bentuk paling umum dari polimorfisme genetik adalah adanya perubahan pada satu basa dari DNA yang dikenal dengan single nucleotide polymorphism (SNP).(Smith, 2002)

Adanya polimorfisme genetik pada suatu protein transporter P-glikoprotein (P-gp) yang dikodekan oleh gen ABCB1 menunjukkan secara signifikan berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya neutropenia berat selama pemberian kemoterapi. P-gp merupakan suatu protein transporter yang bekerja sebagai pompa efluks aktif untuk berbagai variasi toksin termasuk zat karsinogen dan obat-obat antara lain obat antineoplastik seperti antrasiklin, taksan, vinca alkaloid, epidopolitoxin dan tamoxifen. (Sissung et al., 2006). P-gp secara normal diekspresikan pada berbagai jaringan seperti ginjal, hati, usus, kelenjar adrenal, sawar darah otak dan sel-sel hematopoietik. (Huang, 2007)

P-gp yang terletak pada membran plasma bekerja apabila jumlah zat toksik /

obat sudah melebihi jumlah yang normal untuk masuk ke dalam sel, sehingga

dapat menghindari terjadinya peningkatan konsentrasi toksin maupun obat

(akumulasi) di dalam sel (Defrina, 2010)

(22)

Obat yang bersifat sitotoksik yang menjadi substrat protein P-gp diantaranya adalah doksorubisin dan taksan.(Sparreboom, Danesi, Ando, Chan, & Figg, 2003) Dalam kemoterapi, doksorubisin diketahui merupakan antibiotik antitumor yang berasal dari strain mikroba Streptomyces peucetius var caesius dengan kerja spektrum luas yang efektif terhadap keganasan hematologis maupun tumor padat seperti limfoma Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, multiple myeloma, sarkoma, kanker payudara, kanker paru, lambung, kanker ovarium dan kanker pada pediatrik.(Puma et al., 2008) Taksan bekerja dengan cara mengintervensi polimerasi atau depolimerasi mikrotubulus yang berperan untuk pembelahan sel, yang termasuk golongan ini adalah paclitaxel, docetaxel. (Gligorov & Lotz, 2004b). Kombinasi doksorubisin-taksan dalam pengobatan kemoterapi pada pasien kanker payudara diketahui meningkatkan respon pengobatan baik secara klinis maupun patologis (Gwak et al., 2011)

Gen ABCB1 terletak pada kromosom 7, mempunyai 28 ekson. Gen ABCB1

mengkode polipeptida yang terdiri atas 1280 asam amino.(Fung & Gottesman,

2009b) Adanya polimorfisme gen ABCB1 menunjukkan terjadinya perubahan

pada fungsi dan struktur protein ABCB1.(Cizmarikova et al., 2009) Polimorfisme

gen ABCB1 ini yang paling sering terjadi adalah perubahan satu basa pada posisi

nukleotida 3435 (SNP) yang mengubah basa cytosine (C) menjadi Thymin (T)

(C3435T) pada ekson 26. Walaupun perubahan C menjadi T tidak menyebabkan

perubahan pada asam amino isoleusin (Ile) namun SNP pada C3435T

menyebabkan perubahan fungsi P-gp. (Sparreboom et al., 2003) SNP pada

C3435T merupakan yang paling banyak dipelajari karena memiliki frekuensi

(23)

kejadian yang cukup tinggi di populasi yaitu sekitar 10% pada Afrika Amerika dan 40%-50% pada Kaukasia dan Asia. (Defrina, 2010)

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Turgut dkk menunjukkan adanya polimorfisme genetik ABCB1 C3435T berhubungan dengan peningkatan resiko perkembangan penyakit kanker payudara.(Turgut, Yaren, & Kursunluoglu, 2007) Studi yang dilakukan oleh Wong dkk juga menunjukkan bahwa polimorfisme genetik ABCB1 C3435T juga berhubungan dengan kejadian neutropenia berat.

Jika polimorfisme gen ABCB1 diketahui berhubungan terhadap kejadian neutropenia, maka investigasi polimorfisme gen ABCB1 menjadi penting . Dengan mengetahui polimorfisme ABCB1 C3435T, adanya penelitian yang berbasiskan pada farmakogenomik ini menjadi sangat penting untuk kepentingan terciptanya pemberian terapi secara individual (tailoring) untuk memprediksi respon yang mungkin timbul pada tiap individu serta bisa meminimalisir kejadian efek samping.

1.2 Pertanyaan penelitian

Apakah terdapat hubungan antara polimorfisme gen ATP-Binding Cassette (ABCB1) C3435T dengan derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang diterapi dengan regimen kombinasi doksorubisin-taksan?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan

antara polimorfisme gen ATP-Binding Cassette (ABCB1) C3435T dengan

(24)

derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang diterapi dengan regimen kombinasi doksorubisin-taksan

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik subyek penelitian

2. Mengetahui proporsi homozigot wild type (C3435C), heterozigot varian (C3435T) dan homozigot varian (T3435T) genotipe ABCB1 pada subyek penelitian

3. Mengetahui karakteristik subyek penelitian pada kelompok varian dan wildtype

4. Mengetahui derajat neutropenia sebelum dan setelah kemoterapi

5. Untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen ABCB1 (dari ekson 26) berdasarkan derajat neutrofil

6. Untuk mengetahui trend penurunan jumlah neutrofil absolut (Absolute Neutrofil Count)

1.4 Hipotesis penelitian

Pasien kanker payudara yang memiliki polimorfisme gen ABCB1 C3435T homozigot varian ( mengandung alel T) akan mengalami kejadian neutropenia lebih berat setelah diterapi dengan regimen kombinasi doksorubisin-taksan.

1.5 Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

(25)

Memberikan informasi kepada masyarakat ilmiah mengenai hubungan antara polimorfisme gen ABCB1 dengan derajat neutropenia pada pasien kanker payudara yang diterapi dengan regimen kombinasi doksorubisin- taksan

Jika terbukti, adanya hubungan antara polimorfisme gen ABCB1 dengan neutropenia, hal ini dapat digunakan untuk mencegah timbulnya neutropenia tersebut.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker payudara

Kanker payudara merupakan kanker tersering yang diderita oleh wanita di seluruh dunia dan merupakan pembunuh kedua setelah kanker paru (Ih, 2013).

Faktor resiko terjadinya kanker payudara adalah multifaktorial meliputi usia, ras, diet, aktivitas fisik, paparan terhadap estrogen, indeks masa tubuh, depresi, riwayat keluarga (Ostad & Parsa, 2011). Kanker payudara merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari sel-sel payudara. Kanker payudara ini umumnya ditemui pada wanita, sangat jarang pada pria. Sel-sel kanker dapat tumbuh dan menginvasi jaringan sekitarnya hingga bermetastasis ke organ lain yang jauh dari tempat tumbuhnya sel-sel kanker tersebut.(ACS, 2011) Umumnya, kanker payudara berasal dari sel-sel epitel yang terletak di duktus, sebagian yang lain berasal dari sel-sel epitel yang terletak di lobulus maupun jaringan sekitarnya.

Gambar 2.1: Struktur anatomi payudara

(27)

Terdapat beberapa jenis kanker payudara, berdasarkan atas histologinya adalah ductal carsinoma in situ (DCIS, dikenal juga sebagai karsinoma intraduktus), lobular carsinoma in situ, invasive/infiltrating ductal carsinoma, invasive/infiltrating lobular carsinoma.

Pada DCIS, terjadi perubahan pada sel-sel epitel yang terletak di duktus yang menyerupai sel kanker, DCIS juga dianggap sebagai pre-kanker karena dapat berpotensi menjadi kanker invasif. Pada lobular carsinoma in situ (LCIS),terdapat perubahan pada sel-sel epitel yang terletak pada lobulus, dianggap sama seperti DCIS sebagai bentuk kanker non invasif, namun berbeda dalam hal LCIS tidak memiliki potensi menjadi bentuk invasif. invasive/infiltrating ductal carsinoma merupakan jenis yang paling umum pada kanker payudara, perubahan sel-sel bermula dari duktus yang kemudian dapat berkembang hingga ke jaringan lemak pada payudara. Jenis kanker ini dapat bermetastasis melalui sistem limfatik ataupun aliran darah. Pada invasive/infiltrating lobular carsinoma, perubahan sel- sel bermula dari lobulus yang kemudian dapat bermetastasis juga melalui sistem limfatik ataupun aliran darah. (ACS, 2011)

Menentukan tingkatan (staging) merupakan suatu proses untuk menentukan sudah sejauh mana sel-sel kanker itu berkembang. Tingkatan (stage) ditentukan berdasarkan invasif atau non-invasif, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar limfe dan sudah terjadi metastasis atau tidak. Stage kanker merupakan salah satu faktor yang penting untuk menentukan prognosis dan pilihan terapi.

Sistem untuk menentukan tingkatan kanker itu adalah sistem TNM yang dibuat

oleh American Joint Committe on Cancer (AJCC). Berikut ini adalah staging dari

kanker payudara (Moss, 1997)

(28)

Tabel 2.1 Staging Tumor Payudara berdasarkan AJCC

Semua stadium dapat diobati termasuk pada stadium IV, terapi yang

dilakukan pada pasien kanker payudara stadium IV bersifat paliatif. Semua

stadium memiliki resiko yang sama untuk mengalami kekambuhan/rekurensi yang

dapat mengganggu kualitas hidup penderita.

(29)

2.2 Terapi pada kanker payudara

Terdapat beberapa jenis terapi pada kanker payudara meliputi pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy dan bone- directed therapy. Pembedahan dan radioterapi dianggap sebagai terapi lokal yang

bertujuan untuk menghilangkan sel kanker tanpa mempengaruhi bagian tubuh lain yang tidak terkena sedangkan kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy dan bone-directed therapy merupakan terapi sistemik yang diberikan bisa secara

peroral atau langsung melalui aliran darah untuk mencapai sel-sel kanker yang terdapat dimana-mana dalam tubuh (ACS, 2011) Kombinasi terapi /terapi multimodalitas yaitu gabungan antara pembedahan, radioterapi, kemoterapi/terapi hormonal juga biasa dipergunakan (Moss, 1997)

Pasien yang sudah tidak terdeteksi memiliki sel-sel kanker setelah pembedahan biasanya akan diberikan terapi tambahan untuk mencegah sel-sel kanker tumbuh kembali. Terapi ini dikenal dengan istilah terapi ajuvant (adjuvant therapy). Baik terapi sistemik seperti kemoterapi, terapi hormon, targeted therapy

,bone-directed therapy dan radiasi dapat digunakan sebagai terapi ajuvant.

Beberapa pasien diberikan terapi, apakah kemoterapi atau terapi hormon yang dikenal dengan terapi neoajuvan (neoadjuvant therapy), terapi ini bertujuan untuk menyusutkan tumor sebelum dilakukan tindakan pembedahan. (ACS, 2011)

2.3 Kemoterapi pada kanker payudara

Kemoterapi adalah terapi dengan pemberian obat-obatan sitostatika yang

bertujuan untuk membunuh sel-sel kanker yang dapat diberikan secara peroral

ataupun intravena. Kemoterapi diberikan dalam siklus yang berlangsung hingga

(30)

beberapa bulan. Kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi ajuvant ataupun terapi neoajuvant. Pemberian kemoterapi sebagai ajuvant berguna untuk mematikan sel- sel kanker yang masih ada namun tidak terlihat. Pemberian kemoterapi sebagai terapi neoajuvant berguna bukan hanya untuk menyusutkan ukuran tumor sehingga ukuran tumor lebih kecil pada saat dilakukan tindakan pembedahan namun juga berguna bagi dokter untuk melihat respon terapi dilihat dari ukuran tumor yang berkurang dan toksisitas yang terjadi serta berperan untuk membunuh sel-sel kanker yang mikrometastasis. (ACS, 2011)

Terdapat berbagai macam obat-obatan yang bekerja sebagai agen kemoterapi (Plana, 2011). Beberapa agen kemoterapi tersebut terdiri dari golongan:

1. Agen pengalkilasi: bekerja dengan cara mengikatkan gugus alkil ke dalam struktur DNA. Yang termasuk dalam agen pengalkilasi adalah nitrogen mustard (mechloretamine, melphalan, siklofosfamid, ifosfamide, chlorambucil), nitrosoureas( lomustine, streptozotocin, dacarbazine, procarbazine)

2. Antibiotik antitumor: merupakan produk alami yang diperoleh dari fermentasi mikroba. Termasuk dalam golongan ini adalah doksorubisin, mitoxantrone, dactinomysin.

3. Golongan antimetabolit: bekerja dengan cara menghambat penggunaan metabolit sel untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Yang termasuk dalam golongan ini adalah cytarabine, metotreksate, gemcitabine, 5-fluorourasil

4. Golongan antimikrotubulus: bekerja dengan cara mengintervensi polimerasi

atau depolimerasi mikrotubulus yang berperan untuk pembelahan sel. Yang

(31)

termasuk golongan ini adalah taksan (paclitaksel dan docetaxel), alkaloid vinka (vinblastine da vincristine).

5. Golongan penghambat topoisomerase (Topoisomerase inhibitor): bekerja dengan menghambat baik topoisomerase I maupun II yang berperan dalam proses replikasi dan traskripsi. Yang termasuk golongan ini adalah epidopolitoxin (etoposide dan teniposide)

6. Golongan lain: platinum (carboplatin dan cisplatin), hidroksiurea, L-asparagine, (Gustafson & Page, 2013)

Diketahui bahwa kemoterapi mengandung regimen doksorubisin lebih efektif dibandingkan dengan regimen tidak mengandung doksorubisin terutama bila dibandingkan dengan regimen CMF (Siklofosfamide, Methotreksate, 5- fluorourasil) (Goldhirsch, Glick, Gelber, & Coates, 2001). Doksorubisin juga paling banyak digunakan sebagai agen kemoterapi pada kanker payudara selain golongan taksan. (Society, 2011)

Umumnya, agen kemoterapi bersifat sitotoksik dan memiliki indeks terapi yang sempit serta adanya interindividual variabilitas berkaitan dengan respon terapi yang melibatkan baik efikasi dan toksisitas yang dapat timbul menyebabkan pemberian kemoterapi berbasis individu menjadi suatu hal yang penting (Gasparini et al., 2006)

2.4 Farmakologi doksorubisin 2.4.1 Struktur kimia doksorubisin

Doksorubisin merupakan golongan antrasiklin pertama yang diproduksi

dari produk pigmen suatu varian Streptomyces peucetius (var.caesius) pada awal

(32)

tahun 1960 (Minotti et al. 2004). Doksorubisin memiliki kerja dengan spektrum luas dengan aktivitas antitumor dan digunakan secara luas pada limfoma, leukemia, kanker payudara, kanker paru, kanker ovarium, kanker lambung dan tiroid (Vávrová et al., 2011)

Doksorubisin memiliki gugus gula dan aglikone. Gugus aglikone terdiri dari cincin tetrasiklin dengan grup quinone-hidroquinone berdekatan pada cincin C-B, substitusi methoksi pada C-4 di cincin D dan suatu rantai samping pendek dengan karboksil pada C-13. Gugus gula, yang disebut daunosamine, berdekatan dengan ikatan glikosidik ke C-7 pada cincin A dan terdiri dari 3-amino-2,3,6- trideoxy-L-fucosyl (Minotti et al., 2004). Doksorubisin memiliki cincin poliaromatic dengan adanya struktur quinone yang dihubungkan dengan ikatan O- glikosidic terhadap gula amino (Monneret, 2001). Doksorubisin dikarakteristikkan dengan adanya fungsi difenol pada cincin B pada aglikone dan rantai samping yang terasetilasi pada cincin A. Doksorubisin berwarna merah orange dan sensitif terhadap cahaya, menyerap cahaya pada rentang UV (254 nm), memiliki berat molekul 580 kDa dan biasanya digunakan dalam bentuk hidrochloric yang larut dalam air dan dalam pelarut yang polar. Sebagai alkaloid lemah, doksorubisin menjadi lebih polar, molekul bermuatan pada pH yang rendah, yang kemudian berkontribusi pada retensi selektif dalam suasana asam, lingkungan hipoksia yang merupakan karakteristik pada tumor padat.(Bartoszek, 2002)

Rantai samping doksorubisin terdiri atas alkohol primer yang

menyebabkan perbedaan aktivitas kerja dengan daunorubisin yang terdiri atas

metil pada rantai sampingnya. Perbedaan rantai samping ini menyebabkan

doksorubisin efektif untuk kanker payudara, tumor padat pada anak, sarkoma

(33)

jaringan lunak dan limfoma yang agresif sedangkan daunorubisin memiliki aktivitas pada limfoblastik akut atau leukemia myeloblastik.(Minotti et al., 2004).

Berikut ini adalah gambar struktur kimia doksorubisin dan struktur yang membedakannya dengan turunannya yaitu daunorubicin dan carminomycin.(Preobrazhenskaya, Tevyashova, & Olsufyeva, 2006)

Gambar 2.2: Struktur Kimia Doksorubisin dan Turunannya 2.4.2. Absorbsi

Doksorubisin diberikan secara intravena dengan dosis 35-70 mg/m

2

, secara pemberian infus untuk mencegah terjadinya ekstravasasi (Puma et al., 2008). Konsentrasi doksorubisin di dalam plasma menurun dengan cepat sesuai dengan distribusi obat ke dalam jaringan dan berpenetrasi dan bertahan ke dalam sel-sel yang memiliki inti sel (Sugunan, 2008)

Doksorubisin diketahui memasuki sel secara difusi pasif, dan akumulasi

intrasel terjadi di dalam sel dengan konsentrasi berkisar antara 10-500 kali lebih

(34)

doksorubisin adalah 50 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam sitoplasma, mempresentasikan bahwa 1 molekul doksorubisin menginterkalasi 5 pasang basa DNA (Sugunan, 2008). Doksorubisin yang bebas adalah sangat rendah (hanya 0,2% dari total obat intraseluler) dan secara heterogen didistribusikan ke lisosom, mitokondria dan apparatus Golgi (Peterson & Trouet, 1978). Konsentrasi doksorubisin mencapai 25% dari plasma level setelah 75 menit selang pemberian dan dapat mencapai konsentrasi plasma setelah 2 jam (Bressolle, Jacquet, Galtier, Jourdan, & Donadio, 1992). Konsentrasi signifikan doksorubisin juga dapat dideteksi pada cairan pleural dan asites pasien kanker setelah pemberian (Lazo &

Schwartzt, 1985).

2.4.3. Distribusi

Doksorubisin dapat ditemukan di hati, ginjal, usus kecil dan besar, sel-sel endotelial di otak, ovarium, testis, juga di sel-sel hematopoietik.(Ambudkar, Kimchi-Sarfaty, Sauna, & Gottesman, 2003). Doksorubisin berikatan dengan plasma protein berkisar antara 50%-80% dan memiliki volume distribusi (Vd) berkisar antara 500-800 L/m

2

(Danesi, Fogli, Gennari, Conte, & Tacca, 2002).

Akumulasi tertinggi doksorubisin terdapat pada jaringan hati sedangkan konsentrasi doksorubisin di sel-sel darah putih dan sumsum tulang berkisar antara 200-500 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang di plasma. Doksorubisin tidak melintasi sawar darah otak tapi doksorubin dapat melewati sawar plasenta dan dapat dijumpai di air susu (Sugunan, 2008).

2.4.4. Metabolisme

(35)

Metabolisme doksorubisin adalah kompleks dan melibatkan berbagai variasi enzim seperti carbonyl reductase, NADH dehydrogenase, NADPH- dependent cytochrome P450 reductase (P450R) (Westbrook & Stearns, 2013).

Doksorubisin terutama dimetabolisme di hati oleh carbonyl reduktase, menghasilkan metabolit utama yaitu doksorubisinol. Doksorubisinol diperoleh dengan reduksi keton pada C-13 dari doksorubisin (Joerger, Huitema, Meenhorst, Schellens, & Beijnen, 2005). Doksorubisinol tetap memiliki aktivitas antitumor dan dimetabolisme juga oleh P450R yang memotong ikatan glikosida dan melepaskan metabolit yaitu 7-deoxydoxorubicinolone (Danesi et al., 2002).

P450R juga mengkatalisis reduksi deglikosilasi pada doksorubisin sehingga dihasilkan metabolit 7-deoxydoxorubicinone (Riddick et al., 2005)

Selain metabolit doksorubisinol yang tetap memiliki aktivitas antitumor,

doksorubisin juga menghasilkan metabolit semiquinone melalui katalisis reduksi

satu elektron oleh P450R. Pada suasana aerob, metabolit semiquinone ini melalui

siklus reduksi oksidasi dapat menimbulkan terbentuknya spesies oksigen reaktif

seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Mekanisme

stres oksidatif ini dipercaya berkontribusi pada kemampuan doksorubisin

menyebabkan kematian sel (Riddick et al., 2005)

(36)

Gambar 2.3: Metabolit semiquinone menghasilkan spesies oksigen reaktif 2.4.5.Ekskresi

Klirens doksorubisin sebagian besar terjadi di jalur hepatobilier dengan lebih dari 50% obat diekskresikan dalam empedu dalam 7 hari setelah terapi Sekitar 10-20% dan 40-50% dosis diekskresikan dalam feses dalam 24 hingga 150 jam secara berturut-turut (Danesi et al., 2002). Klirens di ginjal dari doksorubisin adalah rendah, dan sekitar 12% dari total dosis ditemukan pada kencing setelah 6 hari setelah terapi. Doksorubisin mengalami 3 waktu paruh yang berbeda yang dikenal dengan trifasik yaitu waktu paruh awal (t1⁄2α) sekitar 5 menit, t1⁄2β sekitar 3 jam dan waktu paruh akhir (t1⁄2γ) sekitar 30 jam (Shi, Moon, Dawood, McManus, & Liu, 2011)

Waktu paruh inisial pertama yang pendek menunjukkan bahwa

doksorubisin terdistribusi secara cepat ke dalam jaringan sedangkan waktu paruh

terminal yang lama menunjukkan eliminasi yang lambat dari jaringan.

(37)

Konsentrasi plasma doksorubisinol meningkat secara cepat dan menurun secara paralel pada doksorubisin pada pemberian bolus (Callies et al., 2003). Selama pemberian infus doksorubisin, konsentrasi doksorubisinol mungkin bisa meningkat. Doksorubisinol berkontribusi pada 23% ekskresi bilier dimana sisanya terdiri dari metabolit-metabolit lain (Sugunan, 2008). Peningkatan konsentrasi plasma dari doksorubisinol telah diobservasi 4-8 jam setelah pemberian doksorubisin menunjukkan adanya eksistensi resirkulasi enterohepatik (Bressolle et al., 1992).

Oleh karena doksorubisin diekskresikan melalui jalur hepatobilier, maka pemberian harus hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.(Shi et al., 2011). Pengurangan yang signifikan pada klirens doksorubisin dan peningkatan signifikan pada doksorubisinol telah diobservasi pada pasien-pasien hemodialisa.

Klirens doksorubisin menurun kurang lebih 17% pada dosis > 50 mg/m

2

(Rudek et al., 2004)

Klirens doksorubisin di ginjal adalah rendah dan sekitar 12% dari total obat ditemukan pada urin setelah 6 hari setelah terapi sedangkan klirens hepatik adalah tinggi, dengan 50% obat diekskresikan pada empedu dalam 7 hari setelah terapi. Sekitar 10-20% dan 40-50% dosis obat diekskresikan pada feses dalam 24 dan 150 jam berturut-turut. Sekitar 50% dari obat yang diekskresikan melalui empedu merupakan bentuk obat yang tidak berubah sedangkan 23% adalah doksorubisinol dan sisanya terdiri dari metabolit yang lain.(Danesi et al., 2002).

Kurang lebih 50% pemberian doksorubisin dalam bentuk infus diekskresikan

dalam bentuk utuh (Westbrook & Stearns, 2013)

(38)

2.4.6 Mekanisme kerja doksorubisin

Mekanisme utama dari kerja doksorubisin dalam menimbulkan efek sitotoksisitas adalah dengan interkalasi DNA dan merusak DNA melalui inhibisi enzim topoisomerase II (Goto et al., 2001). Selain kedua mekanisme diatas, diketahui terdapat beberapa mekanisme kerja lain dari doksorubisin yang menimbulkan efek sitotoksik yaitu dengan pembentukan spesies oksigen reaktif dan peroksidasi lipid (Riddick et al., 2005)

Doksorubisin masuk ke dalam sel hingga menembus nukleus. (Garattini, 2006). Interkalasi DNA dilakukan dengan memasukkan gugus tertentu dari struktur doksorubisin ke dalam susunan pasangan basa dari DNA yang akan menyebabkan terhentinya proses replikasi dari sel-sel kanker.(Simůnek et al., 2009). Masuknya gugus tertentu dari struktur doksorubisin ke dalam susunan pasangan basa DNA diketahui melalui lekukan kecil (minor groove) DNA (Lei, Wang, & Wu, 2012)

Enzim topoisomerase berfungsi memodifikasi topologi DNA tanpa merubah struktur dan susunan /sekuense dari DNA (Minotti et al., 2004). Struktur molekul DNA yang terletak dalam sel selalu berada dalam keadaan dinamis, terkadang molekul DNA berada pada fase relaxed, pada fase yang lain, molekul DNA berada pada keadaan terpillin (supercoiled). Keadaan berpilin ini merupakan bagian sangat penting dalam proses pengemasan DNA (Yuwono, 2005). Pada keadaan berpilin, struktur heliks akan mengalami proses “pemutaran”

(twist) lebih lanjut. Proses pemutaran ini melibatkan enzim topoisomerase.

Topoisomerase dibagi menjadi topoisomerase I yang berfungsi untuk

menghilangkan struktur pilinan pada DNA dan topoisomerase II yang berfungsi

(39)

untuk membentuk konformasi pilinan negatif. Pilinan negatif terbentuk dengan cara DNA diputar ke arah berkebalikan dari arah pemutaran heliksnya yang berupa heliks ganda putar-kanan (right-handed double helix) (Minotti et al. 2004;

Yuwono, 2005)

Gambar 2.4: pilinan DNA

Enzim topoisomerase II bekerja dengan cara memutar DNA lingkar sehingga sebagian molekul terletak diatas bagian lain DNA yang sama.

Topoisomerase II selanjutnya melakukan pemotongan pada kedua untaian DNA

yang terletak diatas bagian lain molekul yang sama. Bagian yang terpotong

tersebut kemudian disambung lagi pada sisi yang lain dari bagian molekul DNA

yang utuh (Yuwono 2005). Doksorubisin bekerja menstabilisasi reaksi yang

memperantarai untaian DNA yang dipotong dan secara kovalen berhubungan

dengan residu tirosin pada topoisomerase II, secepatnya merintangi pembentukan

kembali DNA yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan DNA dan

mengaktifkan jalur apoptosis (Panaretakis et al., 2005); (Buchholz et al., 2002).

(40)

Dalam pembentukan spesies oksigen reaktif, diketahui bahwa doksorubisin dalam proses metabolismenya dapat mengalami oksidasi yang menyebabkan timbulnya semiquinone, suatu metabolit tidak stabil yang dalam prosesnya kembali dalam bentuk doksorubisin dengan melepaskan berbagai spesies oksigen reaktif seperti anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. Spesies oksigen reaktif inilah yang dapat menimbulkan peroksidasi lipid dan kerusakan DNA hingga akhirnya memicu jalur apoptosis dari kematian sel (Thorn et al., 2011)

Pengikatan doksorubisin terhadap berbagai variasi membran sel menyebabkan perubahan stabilitas membran. Perubahan pada permeabilitas terhadap berbagai variasi ion dan kemampuannya untuk mengkelasi berbagai variasi metal seperti tembaga, zink dan besi, berkontribusi terhadap sitotoksisitas dari doksorubisin (Gewirtz, 1999)

2.4.7. Toksisitas

Penggunaan doksorubisin memiliki beberapa efek samping, diantaranya adalah kardiotoksisitas yang disebabkan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat adanya penghambatan pada replikasi DNA, transkripsi RNA dan sintesis protein, serta terbentuknya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada DNA dan peroksidasi membran lipid serta toksisitas seluler akibat pembentukan metabolit-metabolit dari doksorubisin (Yusuf, Ilias-Khan, &

Durand, 2011). Antrasiklin menghasilkan spesies oksigen reaktif dan juga

merusak jalur perbaikan DNA. Bersamaan, mekanisme ini berkontribusi terhadap

pembentukan stres oksidatif, yang menyebabkan kerusakan ireversibel pada

(41)

myocardiosite yang memiliki kemampuan terbatas untuk memperbaharui diri (Chargari et al., 2011). Doksorubisin diketahui dapat menyebabkan kerusakan mitokondria dari kardiomiosit. Beberapa enzim mitokondria seperti NADH dehydrogenase, sitokrom P-450 reduktase dan xanthine oksidase terlibat dalam pembentukan spesies oksigen reaktif. (Chatterjee, Zhang, Honbo, & Karliner, 2010)

Toksisitas akut utama lainnya yang dapat terjadi adalah mielosupresi yang mana kejadian neutropenia lebih umum terjadi dibandingkan dengan trombositopenia. Toksisitas lainnya yang dapat terjadi adalah stomatitis, alopesia, mual dan muntah (Katzung, 2003)

Terdapat dua parameter yang telah diadopsi untuk melihat efek mielotoksik pada obat yaitu pengukuran dari jumlah neutrofil yang turun sebelum dan sesudah terapi. Pemberian doksorubisin mempengaruhi sel-sel progenitor hematopoietik dan mengganggu kemampuan mereka untuk menghasilkan sel-sel nonproliferasi, berdiferensiasi yang mana kelangsungan hidup dan rentang hidup leukosit pada darah tepi tidak dipengaruhi oleh terapi. Interval antara pemberian doksorubisin dan pengurangan jumlah neutrofil dibawah nilai normal berlangsung kurang lebih 10 hari dan 4-6 hari lebih jauh untuk mencapai titik nadir, dengan total kurang lebih 2 minggu. Pematangan stem sel granulosit menjadi neutrofil matang membutuhkan waktu 10 hari dan setelah mencapai sirkulasi, granulosit tetap bertahan sekitar 8-12 jam(Danesi et al., 2002)

2.5 Farmakologi Taksan

2.5.1 Struktur Kimia taksan

(42)

Golongan taksan dibagi menjadi dua yaitu paclitaksel dan docetaxel Paclitaksel diisolasi dari cemara Pasifik (Taxus brevifolia) pada tahun 1971 dan docetaxel, suatu semisintetis analog taksan diisolasi dari cemara Eropa (Taxus baccata), docetaxel lebih bersifat larut air bila dibandingkan dengan paclitaksel.

Baik paclitaksel maupun docetaxel terdiri dari cincin kompleks taksan yang berhubungan dengan gugus ester pada posisi C-13. Sebagian rantai samping posisi C-2’ dan C-3’ serta C-13 berhubungan dengan aktivitas antimikrotubulusnya (Rowinsky, 1997a)

Gambar 2.5: Struktur golongan Taksan,(A)Paclitaksel (B) Docetaxel 2.5.2 Absorpsi

Sebagai agen tunggal, paclitaxel diberikan secara intravena dengan dosis

130-170 mg/m2 selama 3 atau 24 jam setiap 3-4 minggu. Docetaxel diberikan

secara intravena dengan dosis 100 mg/m2 selama 1 jam setiap 3 minggu.

(43)

Paclitaxel berikatan dengan protein plasma lebih dari 95% sedangkan docetaxel lebih dari 90%. (Rowinsky, 1997b)

2.5.3 Distribusi

Paclitaksel didistribusikan secara luas dalam tubuh terkecuali pada sistem syaraf pusat dan testis sedangkan docetaxel didistribusikan secara luas kecuali pada sistem syaraf pusat. Volume distribusi paclitaksel adalah sekitar 182 L/m

2

dan docetaxel adalah 74 L/m

2

.(Rowinsky, 1997b)

2.5.4 Metabolisme

Baik paclitaksel maupun docetaxel dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P-450.

2.5.5 Ekskresi

Klirens paclitaksel sebagian besar terjadi di jalur hepatobilier dengan lebih dari 80% obat diekskresikan dalam feses.(Katzung, 2003). Klirens docetaxel juga sama seperti paclitaksel dengan klirens di ginjal adalah minor, berkisar kurang dari 5- 10% (Rowinsky, 1997b). Waktu paruh paclitaksel berkisar antara 7- 20 jam sedangkan waktu paruh docetaxel adalah 12-13 jam.

2.5.6 Mekanisme Kerja

Paclitaksel memiliki aktivitas signifikan pada berbagai jenis tumor solid meliputi kanker ovarium, kanker payudara tahap lanjut, kanker sel kecil dan non- sel kecil pada paru, kanker kepala dan leher, kanker esofagus, kanker prostat dan kanker kandung kemih. Docetaxel diketahui memiliki aktivitas signifikan pada kanker payudara tahap lanjut, kanker non-sel kecil pada paru (Katzung, 2003)

Aktivitas antitumor taksan terutama dihasilkan dari ikatan obat dengan

subunit beta dari tubulin yang menyebabkan stabilisasi dari polimerisasi tubulin.

(44)

Stabilisasi ini menyebabkan tertahannya siklus sel pada fase G2/M yang kemudian menyebabkan terhambatnya mitosis. Docetaxel dan paclitaksel berbeda pada molekular farmakologinya yang secara potensial menjelaskan perbedaan aktivitas dan toksisitas. Docetaxel memiliki afinitas lebih kuat pada β-tubulin, mempengaruhi organisasi sentrosom dan bekerja pada tiga fase pada siklus sel (S/G2/M) sedangkan paclitaksel menyebabkan kerusakan sel dengan mempengaruhi siklus sel pada fase G2 dan M.

Docetaxel diketahui masuk ke dalam sel-sel tumor dalam jumlah yang banyak sedangkan mengalami efluks secara lambat dari sel-sel tumor hal ini akan menyebabkan waktu retensi yang lebih lama. Berikut ini adalah perbedaan dalam mekanisme kerja docetaxel dengan paclitaksel.

Tabel 2.2 Perbedaan mekanisme docetaxel dan paclitaxel ((Gligorov & Lotz, 2004a)

Docetaxel Paclitaxel Keterangan Ikatan kuat

dengan beta- tubulin

1.9 1.0 Konsentrasi obat intraseluler lebih tinggi berhubungan dengan semakin tingginya sel yang mati dan penghambatan pertumbuhan

Konsentrasi obat yang

menyebabkan polimerisasi maksimum

0.2 µM 0.4 µM Docetaxel dua kali lebih kuat

dalam menghambat

depolimerisasi mikrotubulus

Target mikrotubulus

Sentrosome Kumparan mitosis (mitotic spindle)

Docetaxel mempengaruhi organisasi sentrosome pada fase S menyebabkan mitosis tidak sempurna dan kematian sel, Spesifisitas

siklus sel

S, G2, M G2, M

Mikrotubulus merupakan komponen sel yang berfungsi sebagai rangka

bagi sel. (Gligorov & Lotz, 2004a). Mikrotubulus disintesa melalui polimerisasi

subunit α dan β tubulin, dengan pertumbuhannya terjadi di kutub positif akhir (+)

(45)

dan berdegradasi di kutub negatif (-) akhir yang akhirnya subunit α dan β tubulin akan dilepas ke sitosol. Proses penyatuan dan pelepasan mikrotubulus ini berada dalam keadaan yang dinamis (dynamic instability) yang menyebabkan pemanjangan dan pemendekan mikrotubulus terjadi. Taksan bekerja dengan cara berikatan dengan β tubulin yang telah menyatu dalam mikrotubulus. Hal ini menyebabkan stabilisasi mikrotubulus dan mencegah terjadinya degradasi sehingga akhirnya mikrotubulus menumpuk dalam sel dan tentu saja menghambat terjadinya proses pembelahan sel.(Amerongen & Berns, 2006)

Gambar 2.6: mekanisme kerja taksan

(46)

Saat ini, kemajuan terapi untuk penanganan pasien kanker payudara berkembang sangat pesat namun sering dihalangi dengan adanya kejadian resistensi obat dan toksisitas akibat penggunaan obat terutama agen kemoterapi.

Adanya respon interindividual dan interetnis yang berbeda tidak dapat dimengerti dengan jelas sehingga diyakini bahwa terdapat pengaruh genetik yang mempengaruhi efikasi dan toksisitas agen kemoterapi. (Tan, Lee, & Goh, 2008).

Gen ATP-Binding Cassette (ABC) yang mengkode protein transporter merupakan salah satu gen yang diteliti berperan dalam menimbulkan perbedaan respon serta toksisitas akibat agen kemoterapi, salah satunya adalah doksorubisin dan taksan.(Mary Ameyaw & McLeod, 2006)

2.6 Keluarga protein transporter ATP-Binding Cassette (ABC)

Superfamili dari transporter ATP-binding cassette (ABC) merupakan salah

satu keluarga protein terbesar dalam biologi. Transporter ABC merupakan protein

yang terletak pada sitoplasma di dalam bakteri dan terletak pada plasma membran

dan membran organela pada eukariotik (Sharom, 2008). Pada membran organela

eukariotik umumnya dijumpai pada membran mitokondria, peroksisom, retikulum

endoplasma dan membran vakuola.(Biemans-Oldehinkel, Doeven, & Poolman,

2006) Umumnya, protein transporter yang bekerja sebagai pompa efluks termasuk

dalam keluarga protein transporter ABC. Adanya pompa efluks mempengaruhi

konsentrasi sejumlah komponen di dalam sel. (Cascorbi, 2006). Pada mamalia,

transporter ABC diekspresikan secara dominan di hati, ginjal, BBB, plasenta dan

ginjal, barrier darah-otak. Protein transport ABC mentransport sejumlah substrat

endogen, termasuk anion inorganic, ion metal, peptida, asam amino, gula dan

Gambar

Gambar 2.1: Struktur anatomi payudara
Tabel 2.1  Staging Tumor Payudara berdasarkan AJCC
Gambar 2.2: Struktur Kimia Doksorubisin dan Turunannya  2.4.2. Absorbsi
Gambar 2.3: Metabolit semiquinone menghasilkan spesies oksigen reaktif  2.4.5.Ekskresi
+7

Referensi

Dokumen terkait

6 2009 Narasumber Strategi Kemasan Produk Boga di Kawasan Agrowisata Turi Sleman Yogyakarta pada tahun 2009. 7 2009 Narasumber Strategi Penetapan Harga Produk Usaha Mikro

Penelitian ini dengan pendekatan Islamicity Performance Index yang menggunakan lima rasio yaitu profit sharing ratio, zakat perfor- mance ratio, equitable distribution ratio,

Implikasi dari kegiatan pembelajaran tersebut adalah ada beberapa kompetensi siswa madrasah ibtidaiyah (MI) yang dapat dikembangkan dan akan menjadi modal dasar untuk

Melakukan bimbingan dan fasilitasi bagi lembaga untuk mendapatkan pemahaman mengenai ketentuan prasaran instalasi yang seharusnya dipenuhi, serta membantu memberikan solusi

Cara kerja seseorang dilihat dari etos kerjanya, karena etos kerja merupakan etika kerja dan sikap semangat kerja yang dimiliki oleh setiap individu sebagai mahkluk hidup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana etos kerja penenun ulos di Pabrik Pertenunan Ulos Sianipar Medan dalam meningkatkan status ekonomi demi kelangsungan hidup

Pengembang melakukan perbaikan buku ajar tema “Benda, Binatang, dan Tanaman di Sekitarku” kelas I dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif (buku siswa

Dalam konteks upacara adat sulang-sulang pahompu Simalungun simbol adat ini memiliki makna agar pihak yang menerima dengke ini senantiasa sayur matua (panjang umur)