• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan kerja mempengaruhi keadaan gizi tenaga kerja. Faktor lingkungan kerja yang mempengaruhi keadaan gizi adalah suhu ruang. Untuk pekerjaan di tempat kerja yang bersuhu tinggi harus diperhatikan secara khusus kebutuhan air dan garam sebagai pengganti cairan yang menguap melalui keringat. Dalam lingkungan kerja yang panas dan pada pekerjaan yang berat, diperlukan minimal 2800 ml air minum bagi seorang pekerja. Pekerja tidak dibolehkan minum minuman keras atau mengandung alkohol di tempat kerja. Pekerja boleh minum susu yaitu sekitar 1-2 gelas saja. Minuman lain yang tidak mengandung alkohol (soft drink) dan bersifat menyegarkan badan baik diberikan pada pekerja (Riyadi 2006).

Ketika panas terlalu tinggi, beberapa masalah kesehatan dapat terjadi; contohnya pada suhu panas, suhu tubuh meningkat dan kelenjar hypotalamus (kelenjar dalam otak yang mengatur suhu tubuh) mengaktifkan mekanisme regulasi panas tubuh. Seperti evaporsi dalam mengeluarkan keringat, banyak air dan garam yang hilang sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dalam tubuh, hal ini dapat memicu terjadinya kram (Ahrens 2007). Kehilangan cairan yang melampaui batas serta peningkatan suhu tubuh dapat menyebabkan kelelahan akibat panas (heat exhaustion)seperti lelah, pusing, mual, dan keadaan lemah. Jika suhu tubuh seseorang meningkat hingga 410C (1060F) dapat terjadi stroke akibat panas (heat stroke) yang dapat mengganggu fungsi sirkulasi tubuh (Robergs & Roberts 1997).

Konsumsi Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-Undang Pangan 1996).

Bahan makanan dapat dikelompokkan berdasarkan tiga fungsi utama yaitu sumber energi atau tenaga seperti padi-padian atau serealia, umbi-umbian dan hasil olahannya; sumber protein yaitu protein hewani dan protein nabati, serta sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah-buahan (Almatsier 2002).

Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan dari kerusakan sel-sel maupun jaringan tubuh. Zat-zat makanan ini diperlukan untuk pekerjaan dan berbanding lurus dengan beratnya pekerjaan. Pekerjaan memerlukan tenaga yang sumbernya adalah makanan (Anies 2005).

Energi

Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja. Tubuh mendapatkan energi dari karbohidrat, protein, lemak dan alkohol dari makanan. Energi berasal dari makronutrient yang berikatan kimia dengan makanan dan diperoleh saat makanan telah dimetabolisme oleh tubuh. Energi harus selalu disuplai agar tubuh tetap sehat (Mahan et al. 2004). Energi yang disuplai dari makanan terdapat dalam bentuk makromolekul seperti karbohidrat, protein dan lemak. Energi tersebut tidak dapat digunakan langsung oleh jaringan tubuh sampai dipecah menjadi molekul yang lebih kecil seperti monosakarida, asam amino dan asam lemak (Garrow et al. 2000).

Tubuh memerlukan energi untuk melakukan fungsinya. Energi yang diperlukan diperoleh dari energi potensial yaitu energi yang tersimpan dalam bahan-bahan makanan berupa energi kimia, dimana energi tersebut akan dilepaskan setelah bahan makanan mengalami proses metabolisme dalam tubuh seperti karbohidrat. Bahan makanan sumber karbohidrat antara lain: padi-padian (serealia) contohnya: gandum, beras; umbi-umbian contohnya: kentang, singkong, ubi jalar, gula yang merupakan sumber-sumber energi (Suharjo & Kusharto 1988).

Kebutuhan zat-zat gizi bagi tenaga kerja yang paling utama adalah kebutuhan akan karbohidrat yang akan diubah menjadi energi, karena tenaga kerja lebih banyak menggunakan energi untuk kerja otot. Tenaga kerja dewasa tidak lagi memerlukan protein untuk pertumbuhan tetapi diperlukan untuk memelihara fungsi tubuh, disamping sebagai sumber energi (Tresnaningsih 1990).

Protein

Protein adalah salah satu sumber utama energi, bersama-sama dengan karbohidrat dan lemak. Tetapi energi yang berasal dari protein termasuk mahal, sehingga tidak ekonomis apabila sebagian besar energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari makanan sumber protein. Berdasarkan sumbernya, protein diklasifikasikan menjadi dua antara lain: (a) protein hewani yaitu protein yang

berasal dari pangan hewani, seperti protein dari daging, protein susu, dan sebagainya, (b) protein nabati yaitu protein yang berasal dari pagan nabati, seperti protein dari jagung, protein dari terigu, dan sebagainya.

Protein dalam tubuh kira-kira terdapat sebanyak 18 sampai 20 persen dari total berat badan. Protein tersusun dari gabungan asam amino. Protein dipecah manjadi asam amino pada proses pencernaan makanan. Fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan dan memperbaiki sel yang mati (Robergs & Roberts 1997).

Zat Besi

Zat besi terbagi menjadi dua yaitu bentuk padat dan larutan, dalam bentuk padat sebagai metal atau senyawa besi dan dalam bentuk larutan sebagai fero (Fe3+) atau feri (Fe2+). Dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam darah. Sekitar 85 persen besi dalam tubuh berikatan dengan protein dan 5 persen ada dalam protein otot. Senyawa tersebut sangat vital untuk pernapasan sel, yaitu pertukaran oksigen dengan karbondioksida (WNPG 2004).

Kandungan zat besi kira-kira 4-5 g dalam 70 kg berat badan orang dewasa. Zat besi memiliki dua sampai tiga bagian yang berfungsi yaitu hemoglobin (60%), myoglobin (5%), bermacam-macam heme (sitokrom dan katalase) dan nonheme (NADH hidrogenase, sukinik hidrogenase, akonitase), enzim (5%). Sisa kandungan zat besi adalah sebagai penyimpanan tubuh yaitu feritin (20%) dan homosiderin (10%) yang merupakan penyimpanan zat besi yang terbesar. Terdapat sedikit (<0,1%) yang ditemukan pada zat besi yaitu kelat transit dengan transferin merupakan transpor zat besi pada protein di dalam tubuh (Michael 2002).

Bahan makanan yang mengandung zat besi antara lain adalah hati, daging dari bahan pangan sumber hewani dan kacang kedelai, kacang tanah, kacang panjang, serat sayuran hijau dari bahan pangan asal nabati. Selain kandungan zat besi yang ada dalam bahan makanan, perlu juga diperhatikan adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi zat besi, antara lain jenis makanan itu sendiri. Zat besi yang berasal dari tumbuhan yang dapat diabsorpsi hanya sedikit dan bahan makanan asal hewani dapat diabsorpsi dengan cukup tinggi (Anwar 1998).

Kekurangan zat besi, dapat menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai dengan kulit pucat, lemah, letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan

oksigen. Anemia dapat menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunnya kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh. Suplemen besi yang berlebihan ditambah dengan rendahnya asupan protein dari makanan dapat menyebabkan kelebihan besi. Gejala dari kelebihan zat besi, umumnya pada orang dewasa menyebabkan kulit menjadi keputihan, penyimpanan besi pada hati, jantung, pankreas, paru-paru, penurunan berat badan dan kelelahan (IOM 2001, diacu dalam WNPG 2004).

Vitamin A

Vitamin A terdiri dari dua jenis yaitu retinol (preformed vitamin A) dan karoten. Beberapa karoten dapat dicerna di mukosa usus untuk meningkatkan retinol. Karoten tersebut merupakan pro-vitamin A (Bender 1993). Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor atau provitamin A atau karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol. Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup (Almatsier 2002).

Vitamin A berpengaruh terhadap kekebalan tubuh pada manusia. Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan dan diferensiasi limfosit B. Di samping itu kekurangan vitamin A dapat menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan selular). Sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan vitamin A (Almatsier 2002).

Makanan yang berasal dari hewan merupakan sumber dari vitamin A yang sudah jadi (preformed vitamin A). Karena hati merupakan tempat penyimpanan vitamin A, kandungan retinolnya paling tinggi. Daging, unggas, ikan dan telur merupakan pangan hewani yang mengandung vitamin A. Sedangkan bahan-bahan nabati seperti buah-buahan (orange), sayuran berdaun hijau, akar dan umbi-umbian (seperti wortel dan ubi jalar merah) serta minyak sawit merah mengandung provitamin A (Almatsier 2002). Menurut Sulaeman et al. (2002) diacu dalam WNPG (2004), keripik yang dibuat dari wortel mengandung karotenoid provitamin A dalam jumlah yang tinggi dalam satu penyajian keripik (30 g) telah cukup untuk memenuhi kebutuhan satu hari vitamin A orang dewasa.

Tingkat Konsumsi

Penilaian tingkat konsumsi makanan (energi dan zat gizi) diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance

di Indonesia adalah hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Penyajian Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut berdasarkan pada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas, kondisi fisiologis khusus (hamil dan menyusui). Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan untuk laki-laki dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1 Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk laki-laki (per orang per hari) Umur BB (kg) TB (cm) Energi (Kal) Protein (g) Fe (mg) Vit. A (RE) 19-29 th 60 165 2550 60 13 600 30-49 th 62 165 2350 60 13 600 Sumber: WNPG (2004)

Perhitungan tingkat konsumsi zat gizi seseorang dapat dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi individu terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kecukupan energi sangat penting diperhatikan pada tenaga kerja karena tenaga kerja biasanya memiliki kerja fisik cukup besar. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kecukupan zat gizi lain tidak perlu diperhatikan, sebab ada beberapa vitamin dan mineral yang kecukupannya juga akan meningkat apabila kecukupan energinya meningkat. Hal ini karena vitamin tersebut sangat penting peranannya dalam metabolisme energi (Riyadi 2006).

Klasifikasi tingkat konsumsi energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (a) defisit tingkat berat (<70% AKG); (b) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (c) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (d) normal (90-119% AKG); dan (e) kelebihan (>120% AKG). Menurut Gibson (2005), klasifikasi tingkat konsumsi Fe dan vitamin A yaitu kurang jika tingkat konsumsi Fe dan vitamin A<77% AKG dan baik jika tingkat konsumsi Fe dan vitamin A≥77% AKG.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan utilisasi (utilization) zat gizi (Riyadi 2001). Berbagai cara untuk menilai status gizi, yaitu konsumsi makanan, antropometri, biokimia dan klinis. Pada orang dewasa, status gizi dapat ditentukan dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index. Untuk status gizi lebih dapat juga ditentukan dengan mengukur lemak tubuh. Indeks massa tubuh, yang didampingi dengan pengukuran intik atau pengeluaran energi, merupakan indikator yang paling sensitif untuk menentukan keadaan defisiensi energi kronik (chronic energy defeciency) (James at al. 1994, diacu dalam Riyadi 2001). Status gizi seseorang

dapat diinterpretasikan apakah mengalami kurang gizi atau tidak menurut klasifikasi tertentu. Dalam hal keadaan energi dan protein, status gizi dibedakan atas gizi lebih, gizi baik, gizi kurang, dan gizi buruk (Riyadi 2006).

Berat Badan

Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi, maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Riyadi 2001).

Penentuan pengukuran berat badan dilakukan dengan cara penimbangan. Alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan: (1) mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain, (2) mudah diperoleh dan relatif murah harganya, (3) ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg, dan (4) skalanya mudah dibaca (Supariasa et al. 2002).

Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi dalam jangka pendek. Pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan akan muncul setelah beberapa waktu yang cukup lama (Riyadi 2001).

Pengukuran tinggi relatif mudah dan sama seperti pengukuran berat badan. Tetapi, mengukur tinggi badan orang dewasa tidak dapat membantu memonitor keadaan gizi saat ini meskipun dapat merefleksikan lingkungan kehidupan yang tidak menguntungkan. Defisiensi energi jangka panjang pada masa anak-anak menyebabkan stunting dan hal ini akan mengurangi pencapaian tinggi badan akhir pada saat dewasa. Keadaan ini selanjutnya akan berakibat pada penurunan kapasitas dan produktivitas kerja. Pengukuran tinggi badan pada umumnya dapat menggunakan alat yang disebut microtoise (Riyadi 2003).

Indeks Massa Tubuh

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja (Supariasa et al. 2002).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa et al. 2002). Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT adalah kurus jika IMT <18,5; normal jika IMT 18,5-24,99; gemuk jika IMT ≥25,00 (WHO 2000, diacu dalam Gibson 2005).

Suhu Tubuh

Suhu tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas. Panas di dalam tubuh di hasilkan oleh gerak otot, asimilasi makanan dan semua proses vital yang mendukung laju metabolisme basal. Panas tubuh hilang oleh radiasi, konduksi serta penguapan air melalui pernapasan dan ekskresi keringat melalui kulit. Sejumlah kecil panas juga dibuang melalui urin dan feses (Ganong 1992). Panas tubuh hilang sebanyak 75 persen dari proses radiasi, konduksi serta ekskresi keringat, 20 persen melalui proses pernapasan, dan 5 persen melalui urin dan feses (Pearce 1992).

Salah satu cara penurunan suhu tubuh adalah melalui penguapan. Pada tubuh manusia, penguapan terjadi melalui pernapasan (paru-paru) dan keringat (kulit), penguapan terbanyak terjadi melalui keringat. Penguapan ini terjadi dengan mengambil panas tubuh sehingga berkeringat dapat menurunkan suhu tubuh (Tresnaningsih 1990). Suhu tubuh mencerminkan kesehatan seseorang. Pengukuran suhu tubuh melalui lekukan tubuh pada umumnya berkisar antara 36,40C (Anonim 2007).

Gizi Kerja

Gizi kerja adalah gizi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh sesuai dengan jenis pekerjaan. Gizi kerja ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan tenaga kerja dan produktivitas kerja. Disamping memberi nilai-nilai kesejahteraan dan kesehatan, peranan gizi kerja langsung memberi dampak ekonomi yang positif (Riyadi 2006).

Penerapan gizi kerja di perusahaan juga mewujudkan pembinaan hubungan perburuhan yang diarahkan kepada terciptanya kerja sama yang serasi antara tenaga kerja dan perusahaan. Masalah dan keadaan gizi tenaga kerja perlu diketahui sebelum menyadari betapa pentingnya memperhatikan aspek gizi bagi tenaga kerja (Riyadi 2006).

Penerapan Gizi Kerja

Penerapan gizi kerja dapat dilakukan di perusahaan. Penerapan gizi kerja di perusahaan, dapat dilaksanakan dan dipantau dari segi berikut: (1) Ada tidaknya kantin (ruang makan) di perusahaan, (2) Kualitas penyelenggaraaan makan bagi tenaga kerja, (3) Ada tidaknya usaha peningkatan penyelenggaraan makan di perusahaan. Penerapan gizi kerja di luar sektor perusahaan, prinsipnya sama dengan penerapan gizi kerja di lingkungan perusahaan. Akan tetapi perlu adanya modifikasi yang disesuaikan dengan ruang lingkup, permasalahan gizi yang timbul di lingkungan kerja, serta sasaran dan tujuan (Riyadi 2006).

Permasalahan gizi yang timbul tergantung pada lingkungan kerja, beban kerja serta alokasi kerja, kemungkinan permasalahan gizi yang akan timbul adalah kekurangan energi dan kekurangan zat gizi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan, khususnya pengetahuan gizi dan rendahnya tingkat pendapatan (upah). Oleh karena itu, pendekatan atau intervensi dilakukan berdasarkan masalah yang timbul, misalnya: pemberian makan sesuai dengan aktivitas atau beban kerja dan penyuluan gizi untuk meningkatkan pengetahuan tentang gizi (Riyadi 2006).

Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja adalah ilmu yang mempelajari tiga komponen keilmuan yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar manusia dapat bekerja secara sehat dan selamat. Ilmu kesehatan kerja berusaha agar masyarakat dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya dengan mempelajari tiga komponen utama keilmuan yaitu (1) kapasitas atau kemampaun kerja seperti sex, umur, gizi, tingkat kesehatan, postur dan keadaan fisiologis tubuh, pendidikan, keterampilan dan lain-lain, (2) beban kerja, seperti pekerjaan fisik : mengangkat, berlari, memikul, mendayung, ataupun pekerjaan mental seperti berpikir, (3) lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan seperti kebisingan, suhu tinggi, debu, kondisi jalan, kondisi alat, tinggi meja, sempitnya ruangan dan lain-lain (Achmadi 1990).

Upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun orang di sekililingnya, agar diperolah produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23, diacu dalam Buchari 2007).

Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Kondisi atau tingkat kesehatan pekerja sebagai modal awal seseorang untuk melakukan pekerjaan harus mendapatkan perhatian. Kondisi awal seseorang untuk dapat bekerja dapat dipengaruhi oleh tempat kerja, gizi kerja dan lain-lain (Buchari 2007).

Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Pekerjaan yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seseorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising, debu, zat-zat kimia dan lain-lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja. Beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja (Buchari 2007). Ilmu kesehatan kerja mempelajari berbagai masalah kesehatan yang mungkin timbul karena pekerjaan yang dilakukan oleh perorangan maupun sekelompok masyarakat (Achmadi 1990).

Penyakit akibat kerja merupakan manifestasi dari kesehatan kerja atau kondisi kesehatan dari tenaga kerja atau pekerja. Kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara atau metode kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk (1) memelihara kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya, (2) mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh keadaan atau kondisi lingkungan kerjanya, (3) memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan (4) menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya (Anies 2005).

Penyakit Akibat Kerja (PAK)

Berbagai pekerjaan yang dilakukan pekerja berisiko untuk mendapatkan gangguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut. Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja (Anies 2005). Faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit akibat kerja terbagi menjadi beberapa golongan yaitu golongan fisik, golongan kimiawi, golongan infeksi, golongan fisiologis dan golongan mental-psikologis (Suma’mur 1991).

Faktor PAK golongan fisik seperti suara, radiasi, suhu tinggi, tekanan yang tinggi dan penerangan lampu yang kurang baik. Penyakit akibat kerja pada suhu tinggi meliputi heat cramps atau kram akibat panas dan heat stroke atau stroke akibat panas (Anies 2005). Kemerahan pada kulit, kecapaian dapat terjadi pada pekerja yang terpapar panas terlalu tinggi (Harington 2003).

Kulit terdiri atas dua unsur dasar yaitu epidermis luar yang bertindak sebagai pelindung dan dermis yang memberikan kekuatan pada kulit karena kandungan kolagen. Kemampuan epidermis untuk menahan air, dalam bidang kesehatan kerja, merupakan masalah potensial karena permukaan yang berlemak memudahkan penyerapan bahan yang mudah larut lemak, dan ini merupakan jalan masuk bahan kimia organik. Penyakit kulit dapat ditandai dengan lesi yang timbul dan menyebar, bercak kemerahan dan iritasi (Harington 2003).

Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat sewaktu melakukan pekerjaan banyak penyebabnya. Agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut antara lain berupa agen-agen fisik, kimia maupun biologis. Kebanyakan agen terdapat dalam pekerjaan industri. Agen-agen fisik menyebabkan trauma mekanik, termal atau radiasi langsung pada kulit. Umumnya iritan langsung merusak kulit dengan cara mengubah pHnya, bereaksi dengan protein-protein kulit (denaturasi), mengekstraksi lemak dari lapisan luar atau merendahkan daya tahan kulit (Bergqvist dan Wahlber 1994, diacu dalam Anies 2005).

Dokumen terkait