• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen dalam memproduksi suatu komoditas yang dapat berkompetisi dengan komoditas lain dalam kegiatan ekonomi (Vozarova 2013). Pada dasarnya cakupan daya saing tidak hanya pada suatu negara, melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah (Szerb dan Jozsef 2009). Daya saing juga memiliki potensi dan kapabilitas pada sektor pertanian setiap waktu (Cetindamar dan Hakan 2013) yang dapat diukur. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Adegbite O et al. (2014) mengemukakan bahwa efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Daya Saing Komoditi Pertanian

Pertanian Indonesia memiliki beberapa komoditi utama yang diperlukan untuk ketersediaan pangan dan bersaing dengan komoditi impor. Penelitian Agustian (2015) membuktikan bahwa secara nasional komoditas padi dan jagung Indonesia memiliki daya saing kompetitif dan komparatif yang baik. Namun, komoditi kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing dan tidak efisien (Agustian 2015). Salah satu sebab usahatani tidak efisien yaitu penggunaan input yang belum tepat (Ajao et al. 2012). Selain itu, pemberian penyuluhan dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil output secara signifikan pada usahatani kedelai di Nigeria (Ajao et al. 2012).

Beberapa tanaman hortikultura juga memiliki tingkat daya saing yang berbeda-beda. Buah apel berdaya saing karen dapat memanfaatkan sumberdaya domestik dan menghemat satu satuan devisa dibandingkan dengan komoditas apel impor (Agustina 2008). Komoditas kentang pada penelitian Kiloes et al. (2015) memiliki daya saing secara kompetitif dan komparatif serta intervensi terhadap penyetabilan harga output kentang perlu diupayakan. Penelitian Priastuti et al. (2014) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan daya saing sayuran organik adalah modal, SDA dan lingkungan, infrastruktur, serta kekuatan pemasok. Strategi yang diterapkan yaitu pembangunan citra yang positif untuk meningkatkan kepercayaan dan loyalitas konsumen (Priastuti et al. 2014).

Komoditas perkebunan juga menjadi komoditas yang bersaing di pasar impor. Hal ini terjadi pada komoditi kelapa sawit dan kakao. Kelapa sawit di Kabupaten Lampung berdaya saing tinggi namun sensitif pasa penurunan harga output yang tajam dan sedikit kenaikan harga input (Hermayanti et al. 2013). Penelitian Haryono et al. (2011) menyatakan bahwa kakao di Jawa Timur memiliki daya saing kompetitif dan komparatif. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan penurunan tarif bea masuk pupuk dan penghapusan bea ekspor Haryono et al. (2011). Daya saing komoditas seperti teh dan karet. Teh memiliki pertumbuhan ekspor yang negatif (Suprihatini 2005). Hal ini disebabkan karena komposisi teh yang kurang mengikuti kebutuhan pasar serta negara tujuan ekspor bukan negara yang memiliki jumlah ekspor yang tinggi. Sedangkan daya saing

ekspor karet berbeda nyata dengan negara Thailand dimana daya saing Thailand lebih tinggi dibandingkan Indonesia (Rakhmadina et al. 2013).

Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM)

Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat dan sosial, analisis daya saing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif dan analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas (Olowa O.W. 2014). Pendekatan untuk meningkatkan daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas. Efisiensi dapat dilakukan dengan mengurangi distorsi pada penggunaan input produksi (Fang dan John 2000. Mobasser et al 2012). Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan analisis perbedaan harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai daya saing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011).

Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat, maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian (Pearson et al. 2005). Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, isu kedua ialah dampak investasi publik, isu ketiga berkaitan dengan dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (Akramov dan Mehrab 2012).

Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yakni apakah petani, pedagang dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (Zimmer 2010). Tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan pertanian dalam ketiga isu tersebut.

Penelitian Hai dan Franz (2004) yang menganalisis daya saing padi dengan adanya liberisasi pemerintah di Vietnam menyebutkan bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak yang positif dan memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada daya saing dengan menggunakan metode PAM adalah ditemukannya sebuah komoditas yang dapat berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara akan tetapi tidak dapat berdaya saing di pasar internasional. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Najarzadeh et al. (2011) yang menyatakan bahwa komoditas yang berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara belum tentu memiliki daya saing dalam pasar internasional.

Penelitian terdahulu yang menggunakan PAM memberikan gambaran yang jelas bahwa metode analisis ini digunakan pada komoditas yang dapat melihat kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan

pada perdagangan domestik maupun internasional dalam menganalisis daya saing suatu komoditas. Beberapa metode lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA) pada penelitian Ferto dan Hubbard (2001) dan Berlian Porter (Sari 2011).

Pengaruh Kebijakan terhadap Daya Saing

Pendapatan finansial usahatani memberikan keuntungan kepada petani karena adanya dampak proteksi pemerintah terhadap input tradable dari indikator EPC, mempunyai arti bahwa secara umum petani diuntungkan dengan adanya intervensi pemerintah dan kebijakan yang ada juga membuat komoditas yang diusahakan memiliki daya saing. Penelitian lain mengenai kebijakan pemerintah juga telah dilakukan oleh Rooyen, et al. (2001) yang menyatakan bahwa terjadi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif industri bunga Afrika selatan bersaing di pasar lokal dan internasional, demikian halnya dengan penelitian Sabaoni, et al. (2011), Muthoni dan Nyamongo (2009) yang menyatakan bahwa adanya intervensi pemerintah dapat membantu suatu komoditas memiliki daya saing di sebuah negara.

Penelitian yang dilakukan oleh Rooyen dan Kirsten (2001) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah mempengaruhi pasar input untuk produksi kentang di Afrika Selatan dan menghambat industri kentang sehinga dengan adanya kebijakan pemerintah maka pasar kentang di Afrika selatan tidak memiliki keunggulan komparatif. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Joubert et al. (2010) yang menganalisis keunggulan komparatif kentang di Afrika selatan menghasilkan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap kegiatan produksi kentang justru menyebabkan kentang tidak memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan.

Studi Empiris Kedelai

Daya saing kedelai di Indonesia bermula karena adanya gap antara permintaan yang belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Susilowati et al. (2013) membahas bahwa produksi kedelai di Indonesia yang memiliki trend menurun memerlukan usaha untuk membuat kedelai Indonesia dapat menjadi subtitusi impor dengan cara memperbaiki aturan dan mekanisme kontrol pada Bulog dan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI). Berbeda halnya dengan kebijakan pada usahatani kedelai di negara lainnya. Usahatani kedelai di Ghana tidak menjadikan jumlah penggunaan pupuk menjadi faktor yang menghambat peningkatan produksi kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi yang diberikan pemerintah Ghana tidak berpengaruh cukup besar terhadap profit yang diperoleh petani karena presentase penggunaan pupuk dibandingkan input lain jauh lebih rendah (Akramov dan Mehrab 2012).

Perbedaan daya saing pada komoditas kedelai di berbagai tempat salah satunya disebabkan oleh adanya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.

Kebijakan tarif terhadap impor kedelai Indonesia pada tahun 2005 sebesar 10 persen memberikan dampak yang baik bagi kesejaheraan produsen kedelai dalam negeri (Darsono 2009). Namun, kebijakan tidak hanya didekati dengan penggunaan input atau output namun kekuatan pasar juga dijadikan pertimbangan. Song et al. (2009) membahas bahwa importir kedelai Cina memiliki kekuatan pasar yang relatif lebih kuat terhadap eksportir kedelai AS. Namun kekuatan pasar Cina ini dapat diimbangi oleh AS dan perusahaan-perusahaan Amerika Selatan melalui pengembangan dan perluasan pasar yang ada untuk kedelai di seluruh dunia dan investasi pada mekanisme penyimpanan kedelai China dan kapasitas penghancuran.

Keterkaitan Penelitian

Daya saing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas suatu komoditas, hal ini tidak terlepas dari peranan pemerintah. Untuk menunjukkan hal tersebut maka penelitian tentang daya saing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditas kedelai memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Sebagian besar peneliti yang menganalisis daya saing suatu komoditas dengan mengakomodasi kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan pada perdagangan domestik maupun international. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis daya saing dan kebijakan pada agribisnis kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur sebagai sentra produksi kedua terbesar di Provinsi Jawa Barat serta mengukur perubahan yang terjadi akibat kebijakan pemerintah dengan analisis sensitivitas.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Daya Saing

Konsep daya saing suatu komoditas berawal dari teori keunggulan komparatif yang diutarakan oleh David Ricardo dalam Model Ricardian. Konsep ini muncul untuk menjawab pertanyaan dari teori Adam Smith apabila suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut pada dua barang atau lebih. Oleh karena itu, teori keunggulan komparatif menjelaskan bahwa suatu negara tetap akan memperoleh manfaat perdagangan internasional dengan konsentrasi pada komoditas yang memiliki usaha terkecil (Cho dan Moon 2003). Ricardo menggunakan faktor produksi tenaga kerja sebagai suatu yang menentukan nilai dari komoditas yang diusahakan oleh suatu negara.

Model Ricardian dikembangkan oleh Heckser dan Ohlin pada tahun 1993 dengan teori yang dikenal dengan Model H-O. Keunggulan komparatif muncul berdasarkan adanya perbedaan faktor endowment dari suatu negara. Model H-O menyatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan pada barang yang secara intensif memproduksi faktor yang dimiliki. Negara dengan keunggulan

tersebut akan memiliki keuntungan dengan cara ekspor (Cho dan Moon 2003). Namun, keunggulan bersifat dinamis sehingga suatu negara harus mempertahankan dan bersaing dengan negara lain supaya komoditas yang dihasilkan tidak dapat digantikan oleh produk subtitusi (Salvatore 1996).

Negara Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan beberapa hambatan atau distorsi untuk dapat mempertahankan keunggulan komoditas yang diusahakan. Hambatan yang diterapkan akan mendorong suatu negara untuk tetap bersaing. Kondisi tersebut membutuhkan suatu indikator selain keunggulan komparatif yang merupakan ukuran daya saing komoditas dalam perekonomian bebas atau tanpa adanya distorsi. Ukuran daya saing yang digunakan pada kondisi perekonomian secara aktual dapat didekati dengan teori keunggulan kompetitif.

Teori keunggulan kompetitif dikemukakan oleh Michael Porter yang didasarkan pada keadaan perekonomian dengan adanya distorsi dari pemerintah. Porter menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas dari sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negara. Perhitungan keunggulan kompetitif akan memperhatikan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Dengan demikian, keunggulan ini dapat digunakan untuk menganalisis perekonomian secara finasial dengan melihat manfaat dari proyek atau usaha yang dijalankan.

Monke dan Pearson (1989) menambahkan bahwa ukuran pasar yang kecil mendorong industri baru untuk bersaing dari pasar internasional. Namun, perusahaan dari negara lain cenderung lebih efisien dalam memproduksi suatu komoditas. Sehingga untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan, konsumen dalam negeri harus membayar dengan harga yang lebih tinggi dari harga dunia. Pemerintah negara berkembang akan memanfaatkan kebijakan subsidi harga untuk melindungi konsumen. Hal ini menyebabkan beban anggaran konsumen dan pemerintah meningkat serta beralihnya pemanfaatan tenaga kerja kedalam industri sehingga produksi pertanian akan menurun.

Negara berkembang cenderung memilih impor bahan makanan dibandingkan input industri (Monke dan Pearson 1989). Pendapatan yang meningkat akan terkonsentrasi di perkotaan. Hal ini menyebabkan pendapatan desa semakin jauh tertinggal. Masyarakat pedesaan akan berpindah sehingga pertanian akan semakin tertinggal. Berjalannya waktu, pemerintah menyadari hal tersebut menerapkan kebijakan untuk pembangunan pertanian. Pasar internasional memberikan kesempatan dalam pertumbuhan pertanian yang kompetitif. Bagi negara berkembang, pengolahan pertanian yang padat karya mendominasi ekspor secara potensial.

Pada negara maju, depopulasi pedesaan juga akan terjadi secara bertahap yang menjadikan sedikitnya masyarakat pedesaan harus menyediakan bahan makanan bagi masyarakat perkotaan yang terus meningkat (Wiggins et al. 2013). Hal ini menyebabkan berkembangnya teknologi bagi pertanian pedesaan pada sebagian besar negara-negara maju. Namun, proses transisi berjalan secara bertahap. Kebijakan pemerintah diperlukan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat pada kedua sisi yaitu masyakarakat perkotaan dan khususnya pedesaan. Menurut Wiggins et al. (2013), kebijakan untuk melindungi masyarakat pedesaan dimulai dengan kebijakan melindungi hak, investasi, pola urbanisasi, transportasi, desentralisasi, pengembangan wilayah, dan upah.

Pembangunan pertanian dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan yang mempengaruhi komoditas pertanian tertentu. Monke dan Pearson (1989) menyatakan bahwa terdapat dua kebijakan yang digunakan untuk meningkatkan pembangunan di sektor pertanian. Kebijakan yang pertama merupakan kebijakan investasi terhadap bidang pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan infrastruktur transportasi untuk sektor pertanian. Kebijakan kedua yang diterapkan meliputi pajak, subsidi, dan kontrol pada input serta output secara kuantitatif. Kebijakan secara makro juga diberlakukan pada kontrol suku bunga, tingkat upah, dan nilai tukar.

Analisis Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah diberlakukan untuk mempertahankan keunggulan suatu komoditas dibandingkan dengan negara lain atau produk subtitusinya. Cho dan Moon (2003) menyebutkan beberapa pendekatan kebijakan khusus untuk mencapai keunggulan kompetitif yaitu 1) fokus pada penciptaan faktor terspesialisasi; 2) menghindari campur tangan dalam faktor dan pasar kurs; 3) memperkuat standar produk, keamanan, dan lingkungan yang ketat; 4) membatasi kerja sama langsung diantara pesaing industri; 5) mempromosiakan tujuan dengan arah investasi yang lama; 6) deregulasi persaingan; 7) kebijakan anti-trust domestik yang kuat; 8) menolak pengaturan perdagangan. Namun, Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa spesialisasi yang berlebihan dapat menghalangi kesuksesan dalam penerapan kebijakan. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lain yang harus berhubungan antara sistem pertanian, pasar domestik dan internasional, serta kebijakan ekonomi makro. Kebijakan yang diterapkan harus mempertimbangkan timbal balik dan trade-off.

Kebijakan juga diberlakukan untuk melindungi harga pada sisi produsen maupun konsumen. Perlindungan tersebut pada awalnya dikelola dengan menerapkan kebijakan pada harga dari tenaga kerja, modal, atau lahan (Monke dan Pearson 1989). Hal ini didukung dengan pernyataan Krugman et al. (2012) bahwa keunggulan kompetitif tidak hanya bergantung pada produktivitas terhadap indutri asing, namun bergantung pula pada perbandingan tingkat upah yang berbeda pada suatu negara. Kebijakan yang diterapkan akan menyebabkan perbedaan harga pada input dan output produsen (harga privat) dan harga pada kondisi tanpa distorsi (harga sosial). .

Kebijakan yang diberlakukan sisi input dan output dapat berupa kebijakan perdagangan dan subsidi. Monke dan Pearson (1989) menyatakan bahwa kebijakan perdagangan dan subsidi berbeda dalam tiga komponen yaitu anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan pemerintah, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakan. Anggaran pemerintah tidak dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan perdagangan. Berbeda halnya dengan subsidi yang mempengaruhi anggaran pemerintah. Subsidi positif akan mengurangi anggaran, sedangkan subsidi negatif berupa pajak akan menambah anggaran pemerintah. Tipe alternatif kebijakan pemerintah secara singkat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Tipe alternatif kebijakan pemerintah

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan Subsidi

- Tidak merubah harga - Merubah harga pasar

dalam negeri

Subsidi

- Pada barang subsitusi impor (S+PI; S-PI) - Pada barang orientasi

ekspor (S+PE; S-PE)

Subsidi

- Pada barang subtitusi impor (S+CI; S-CI) - Pada barang orientasi

ekspor (S+CE; S-CE) Kebijakan Perdagangan

dengan merubah harga pasar dalam negeri

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Keterangan : S+ : Subsidi S- : Pajak

PE : Produsen barang orientasi ekspor PI : Produsen barang orientasi impor CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang orientasi impor TCE : Hambatan barang ekspor

TPI : Hambatan barang impor

Subsidi merupakan suatu pembayaran yang diperuntukkan atau berasal dari pemerintah. Alternatif kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya subsidi pada produsen dan konsumen memiliki dampak yang positif atau negatif. Subsidi positif pada produsen membuat harga yang diterima lebih tinggi. Sedangkan subsidi positif pada konsumen menyebabkan harga yang diterima lebih rendah. Subsidi negatif (pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah. Sedangkan harga yang diterima konsumen lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kerugian pada produsen dan konsumen dibandingkan kondisi saat kebijakan subsidi negatif diberlakukan.

Secara umum, subsidi negatif atau pajak dapat diberlakukan dengan penerapan tarif oleh pemerintah. Menurut Saylor (2013), tarif merupakan metode paling umum yang digunakan pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan. Terdapat dua cara dasar pengenaan tarif (Saylor 2013) yaitu tarif spesifik dan ad-valorem. Tarif spesifik digunakan sebagai biaya tetap per unit barang atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan tarif ad-valorem dikenakan pada komoditas dengan persentase tetap. Kebijakan tarif yang diterapkan berpengaruh besar pada pendapatan keluarga miskin karena kebijakan ini hanya terdapat pada sebagina kecil konsumsi yang dibutuhkan (Onkvisit and Shaw 2004)

Tarif dan subsidi yang berlaku akan memberikan perbedaan antara harga barang pada pasar dunia dan domestik (Krugman et al. 2012). Tarif impor akan membuat barang impor lebih mahal dibandingkan barang dalam negeri. Sedangkan subsidi ekspor akan mendorong barang dalam negeri untuk diperdagangkan secara internasional. Begitu pula sebaliknya. Krugman et al. (2012) dan Saylor (2013) menyatakan bahwa pada negara berkembang, penetapan tarif tidak berpengaruh pada pasokan relatif dan permintaan dunia. Berbeda

B

halnya dengan negara maju seperti Amerika Serikat. Apabila AS menetapkan tarif, maka perdagangan AS akan meningkat serta harga impor AS terhadap ekspor turun pada pasar dunia.

Kebijakan perdagangan diterapkan untuk membatasi ekspor atau impor dari suatu komoditas yang diusahakan. Kebijakan ini dapat berupa pajak perdagangan atau kuota. Aliran ekspor dan impor dibatasi melalui kebijakan pajak atau kuota dengan tujuan memperluas perdagangan. Pajak dan kuota diberlakukan untuk memberikan keuntungan bagi produsen maupun konsumen. Hambatan ekspor dilakukan agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi sehingga konsumen tidak mengalami kelangkaan barang dan naiknya harga. Sedangkan hambatan impor diberlakukan guna menghambat aliran barang dari luar negeri secara berlebihan pada pasar lokal sehingga harga yang diterima produsen dapat stabil.

Kebijakan yang efektif adalah kebijakan yang mampu untuk diterapkan guna menjaga kestabilan harga dari sisi produsen maupun konsumen. Kebijakan ini diberlakukan pada komoditas yang diperdagangkan di dalam negeri dan luar negeri. Subsidi dapat diterapkan pada komoditas tradable dan non tradable. Hal ini dikarenakan pemerintah dari kedua negara yang melakukan perdagangan mempunyai kemampuan dalam penerapan kebijakan. Sedangkan kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan pada barang-barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable).

Kebijakan Harga Output

Kebijakan pemerintah terhadap harga output diterapkan pada komoditas yang berorientasi ekspor dan subtitusi impor. Menurut Monke dan Pearson (1989), terdapat 4 macam kebijakan yang dapat diterapkan melalui kebijakan subsidi positif. Price S Price S Pp Pw Pw Pp D D Q1 Q2 Q3 Quantity Q2 Q1 Q3 Q4 Quantity

(a) S+PI (b) S+CI

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Keterangan :

Pw = harga di pasar dunia pada kondisi pasar bebas A

C B

A F E G

H

Gambar 3 Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor

Pp = harga di pasar domestik setelah diberlakukan subsidi positif Pd = harga di pasar domestik setelah diberlakukan subsidi positif untuk konsumen barang impor

S + PI = subsidi positif kepada produsen untuk barang impor S + CI = subsidi positif kepada konsumen untuk barang impor

Gambar 3(a) mengilustrasikan kebijakan subsidi positif yang dikenakan pada produsen barang impor. Harga domestik (Pp) yang diberlakukan melebihi harga dunia (Pw) menyebabkan meningkatnya jumlah output lokal dari Q1 ke Q2

dengan jumlah konsumsi yang tetap pada Q3. Kebijakan S+PI layak diberlakukan apabila terdapat jarak ekonomi antara produsen dan konsumen, transformasi produk, dan kontrol secara administratif. Syarat tersebut digunakan untuk meyakinkan bahwa komoditas tidak dapat dibeli kembali di bawah harga pasar dan dijual kembali melebihi harga produsen. Kebijakan subsidi sebesar Pp-Pw

meningkatkan produksi domestik dari Q1 ke Q2 dan menurunkan jumlah impor dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Adanya transfer anggaran pemerintah ke produsen sebesar Q2 x (Pp – Pw) ditunjukkan oleh daerah PpABPw. Transfer ini akan menciptakan kerugian pada efisiensi ekonomi untuk biaya sumberdaya sebesar Q1CAQ2 dan biaya imbangan produksi sebesar Q1CBQ2 atau daerah CAB.

Berdasarkan Gambar 3(b) yang mengilustrasikan adanya kebijakan subsidi positif untuk konsumen barang impor, produksi domestik sebesar Q1 dengan permintaan sebesar Q3 berada pada tingkat harga dunia (Pw). Upaya meningkatkan konsumsi domestik dari Q3 ke Q4, pemerintah menerapkan kebijakan subsidi sebesar Pw-Pd yang akan mengurangi produksi domestik dari Q1 ke Q2. Hal ini akan meningkatkan impor dari Q3-Q1 menuju Q4-Q2. Transfer pemerintah kepada konsumen sebesar (Pw-Pd)(Q4-Q2) atau daerah AGHB. Sedangkan transfer produsen ke konsumen sebesar PwABPd karena subsidi impor mengurangi harga bagi produsen maupun konsumen. Kerugian pada efisiensi terjadi pada produksi

Dokumen terkait