• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kedelai Di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Saing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kedelai Di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH

TERHADAP KOMODITAS KEDELAI

DI KECAMATAN SUKALUYU KABUPATEN CIANJUR

NASTITI WINAHYU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NASTITI WINAHYU. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan AMZUL RIFIN.

Kedelai merupakan tanaman pangan yang berkontribusi sebagai bahan baku pembuatan produk olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap serta pakan ternak. Komoditas ini diperlukan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan gizi dengan harga yang lebih terjangkau. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya, maka jumlah permintaan kedelai juga semakin meningkat. Namun, permintaan kedelai belum mampu tercukupi oleh produksi kedelai dalam negeri sehingga pemerintah menerapkan kebijakan impor kedelai. Pemberlakuan kebijakan impor membuat kedelai domestik bersaing dengan kedelai impor. Hal ini tidak menguntungkan bagi produsen kedelai domestik sehingga pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung kedelai domestik mencakup kebijakan harga output dan input.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keuntungan, daya saing, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur sebagai dalah satu daerah yang memiliki potensi dalam pengusahaan kedelai. Responden sebanyak 60 orang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui tingkat keuntungan, daya saing, dan dampak kebijakan. Kebijakan yang diterapkan memiliki sifat dinamis sehingga dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis sensitivitas untuk meramalkan pengaruh kebijakan terhadap daya saing komoditas kedelai.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan tabel PAM, komoditas kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur tidak memiliki keuntungan secara privat maupun sosial. Namun, keuntungan privat yang lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan sosial mengindikasikan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak menguntungkan petani kedelai. Hasil keuntungan akan berpengaruh pada daya saing pada komoditas kedelai. Nilai PCR dan DRCR yang lebih dari satu berarti komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Nilai PCR dan DRCR pada usahatani kedelai di Kecamatan Sukaluyu sebesar 1.05 dan 1.01. Keunggulan komparatif yang lebih tinggi dari keunggulan kompetitif menandakan bahwa kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak mendukung peningkatan daya saing kedelai.

(5)

Secara keseluruhan, kebijakan input-output belum berjalan dengan efektif. Nilai EPC sebesar 1.03 menunjukkan bahwa pemerintah menaikkan harga output tradable diatas harga efisiensinya. Transfer bersih bernilai negatif yang menandakan tidak terdapat tambahan surplus produsen yang disebabkan penerapan kebijakan pada input dan output. Sedangkan nilai SRP sebesar negatif 0.04 menunjukkan produsen mengeluarkan biaya lebih besar daripada opportunity cost.

Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas dan harga output akan menaikkan daya saing kedelai. Sedangkan kenaikan UMR dan BBM menyebabkan daya saing kedelai domestik semakin menurun. Kebijakan yang sensitif terhadap perubahan daya saing dari nilai elastisitas yaitu kebijakan produktivitas dan harga output. Berdasarkan analisis switching value didapatkan hasil bahwa kedelai akan berdaya saing apabila produktivitas meningkat sebesar 95.18 persen dan harga output naik 77.55 persen dengan batas PCR dan DRCR 0.5.

(6)

SUMMARY

Nastiti Winahyu. Competitiveness and Impact of Government Policies on Soybean Commodity in District Sukaluyu Cianjur Regency. Guided by RITA NURMALINA and AMZUL RIFIN.

Soybean is a crop that contributes as raw material for food Products processed such as tofu, tempeh, soy sauce, and fodder. This commodity is needed to meet the nutritional needs of the community with more affordable price. Along with the increasing number of Indonesian population each year, then the amount of soybean demand is also increasing. However, soybean demand has not been able to be fulfilled by domestic soybean production, so the government implement soybean impor policy. Import policy enforcement makes domestic soybean compete with imported soybean. It is not profitable for the domestic soybean producers, so the government needs to implement policy that support domestic soybean include output and input price policy.

This study aimed to analyze the level of profitability, competitiveness, and the impact of government policy on soybean production in the district of Cianjur Regency Sukaluyu as an area that has potential for the development of soybean. Respondents are 60 farmers selected by using purposive sampling technique. The data have been analyzed by the method of the Policy Analysis Matrix (PAM) to determine the level of profit, competitiveness, and the impact of the policy. Policies applied have dynamic properties that do advanced analysis using sensitivity analysis to predict the effect of the policy on the competitiveness of commodity soybeans.

Based on the PAM analysis, soybean in the Sukaluyu district of Cianjur Regency did not has the private and social benefits. However, private profits less than the social benefits indicates that the policies did not adopted by the government benefit soybean farmers. Results will gain influence on the competitiveness of the commodity soybeans. PCR and the DRCR value of more than 1 means the soybean did not have competitive and comparative advantage. DRCR and PCR value on soybean farming in the district Sukaluyu of 1.05 and 0.01.

The impact of government policy on soybean output to transfer output is positive and NPCO > 1 which indicates there is protection from the government for soybean output. These results were obtained with the implementation of subsidy policy to minimize access to the output of consumer sales. Government policies to create a soybean input costs of tradable inputs received by farmers is lower than the world price. This is due also to the government's policy to assign the highest retail price on fertilizer inputs used by farmers in the business of soybean farming is indicated by the NPCI < 1.

(7)

The sensitivity analysis showed that the increase in productivity and pricing of output weakened to raise competitiveness of soybean. While the increase in minimum wages and fuel led to the competitiveness of domestic soybeans decreased. Overall, it can be concluded that the government's policy has not done to benefit soybean farmers in the Sukaluyu district. Based on sensitivity analysis, the policy that increase of competitiveness are productivity and price of output. Based on switching value analysis, soybean have a greater competitiveness if productivity has increase 95.18 percen and price of output increase 77.55 percen with PCR and DCRC 0.5.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH

TERHADAP KOMODITAS KEDELAI

DI KECAMATAN SUKALUYU KABUPATEN CIANJUR

NASTITI WINAHYU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Ujian Tesis Luar Komisi : Dr Ir Ratna Winandi, MS

(11)

NIM : H351140366

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr r Rita MS Ketua

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 24 Agustus 2015

Diketahui oleh

---Dr Amzul SP MA Anggota

(12)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kasih sayang, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis. Sholawat serta salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang telah menjadi suri tauladan bagi penulis. Tesis yang berjudul Daya Saing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur berhasil dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2014 - Juni tahun 2015.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Bapak Dr Amzul Rifin SP MA selaku pembimbing yang telah dengan sabar memberikan saran, arahan, dan waktu kepada penulis selama penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji program studi yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk perbaikan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada responden penelitian, Bapak Jaelani, Bapak Dedi dan Bapak Nurul dari Badan Penyuluh Pertanian Kecamatan Sukaluyu, Bapak Karno dari Gabungan Kelompok Tani telah banyak membantu selama pengumpulan data dan informasi. Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bimbingan, saran dan bantuan yang telah diberikan. Kepada seluruh staf sekretariat MSA yang memfasilitasi penulis dalam tahapan penelitian, penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku ketua tim Penelitian Unggulan Departemen (PUD) Agribisnis yang telah mengikut sertakan penulis sebagai enumerator dalam penelitian PUD 2014 yang

berjudul “Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kedelai : Pendekatan Domestic Resource Cost (DRC)”. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Papa,

Mama, Mbak, dan Adik serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Teruntuk teman-teman Fasttrack angkatan 2, penulis sampaikan terimakasih atas doa, saran, dukungan dan semangat kebersamaan selama sebelum, sedang, dan setelah perkuliahan. Terakhir penulis sampaikan terima kasih untuk sahabat, teman-teman satu bimbingan tesis, MSA 4, KAMAJAYA, UKM Panahan IPB dan penghuni wisma kos putri Salsabila yang selalu memberikan doa dan dukungan selama ini. Doa terbaik penulis haturkan untuk seluruh pihak yang telah mendukung.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

Konsep Daya Saing 8

Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM) 9

Pengaruh Kebijakan terhadap Daya Saing 10

Studi Empiris Kedelai 10

Keterkaitan Penelitian 11

3 KERANGKA PEMIKIRAN 11

Kerangka Pemikiran Teoritis 11

Kerangka Pemikiran Operasional 21

4 METODE 24

Lokasi dan Waktu Penelitian 24

Jenis dan Sumber Data 24

Metode Penentuan Sampel 24

Metode Analisis Data 25

5 GAMBARAN UMUM DAN KEBIJAKAN KOMODITAS KEDELAI 35

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 35

Karakteristik Petani Responden 38

Keragaan Usahatani 40

Pemasaran dan Kegiatan Penyuluhan 41

Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai 42

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 47

Analisis Daya Saing Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 47 Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai 58

7 SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 66

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan protein kedelai dan beberapa bahan makanana 2 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun

2010 – 2014 4

3 Negara eksportir kedelai ke Indonesia tahun 2013 5 4 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Jawa Barat tahun

2012a 7

5 Tipe alternatif kebijakan pemerintah 14

6 Policy Analysis Matrix (PAM) 20

7 Penentuan harga bayangan komponen ouput daninput usahatani kedelai

di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 26

8 Perhitungan standar convertion factor shadow price kedelai tahun 2013 28 9 Alokasi biaya komponen domestik dan asing pada usahatani kedelai 31 10 Luas panen, produksi, dan total produksi komoditas pertanian di

Kecamatan Sukaluyu tahun 2012 36

11 Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut desa di Kecamatan

Sukaluyu tahun 2012 37

12 Karakteristik petani responden di Kecamatan Sukaluyu 38 13 Tujuan pemasaran kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 42 14 Pupuk Subsidi dengan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) 44 15 Evaluasi kebijakan input dan kebijakan output di lokasi penelitian 46 16 Penerimaan usahatani kedelai per hektar di Kecamatan Sukaluyu 48

17 Perhitungan harga bayangan output 48

18 Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani kedelai di Kecamatan

Sukaluyu Kabupaten Cianjur 52

19 Biaya penyusutan peralatan pada usahatani kedelai di Kecamatan

Sukaluyu Kabupaten Cianjur 54

20 Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani kedelai di

Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 55

21 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani kedelai di

Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 59

22 Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 63 23 Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usahatani

kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 64 24 Tingkat kepekaan perubahan kebijakan pemerintah naik 1 persen

terhadap daya saing kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 65

DAFTAR GAMBAR

1 Pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia 3

2 Perbandingan harga kedelai lokal dan impor 5

3 Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada

Barang Impor 15

4 Restriksi Perdagangan pada Komoditas Impor 16

(15)

6 Kebijakan Subsidi dan Pajak terhadap Input Non tradable 19

7 Kerangka Operasional 23

8 Sebaran persentase penduduk diatas 15 tahun berdasarkan mata

pencaharian di Kecamatan Sukaluyu 37

9 Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani kedelai per hektar permusim tanam 2013 Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 49 10 Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani kedelai per hektar per

musim tanam 2013 Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 50 11 Sebaran persentase petani yang mengalokasikan biaya kegiatan

pemanenan sesuai mekanisme upah 53

12 Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani kedelai 57

DAFTAR LAMPIRAN

1 Budget privat dan sosial usahatani kedelai di Kecamatan Sukaluyu

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor utama dalam pembangunan Indonesia. Sektor ini menjadi sangat penting dengan peran sebagai penyedia pangan yang merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia. Ketersediaan pangan harus dipenuhi secara berkelanjutan mengingat pangan adalah salah satu hak asasi manusia seperti yang tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang mendasari terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 terkait pangan. Selain itu, pertanian menjadi sumber masyarakat dalam penciptaan produk olahan pangan/pakan, lapangan tenaga kerja, dan sumber devisa negara. Menurut data BPS (2013), sektor pertanian secara keseluruhan menyumbang Produk Domestik Bruto Indonesia sebesar 14.44 persen dan menyerap tenaga kerja 35.09 persen pada tahun 2012. Devisa negara yang tercermin dari neraca perdagangan khususnya pada sektor pertanian yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang menguntungkan.

Salah satu sektor pertanian penyedia pangan utama adalah tanaman pangan. Menurut Kementrian Pertanian (Kementan 2012), tanaman pangan berperan strategis dalam perekonomian nasional dan menopang 60 persen pelaku usaha pertanian di Indonesia. Namun, laju pertumbuhan sektor tanaman pangan mengalami penurunan dibandingkan sub sektor lainnya (Kementan 2012). Hal ini disebabkan karena orientasi pembangunan ekonomi yang bergeser pada penggunaan sumberdaya non-lokal. Oleh karena tanaman pangan merupakan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, maka kebijakan yang menempatkan pemanfaatan sumberdaya lokal dalam rangka peningkatan ketersediaan pangan nasional secara berkelanjutan penting untuk menjadi salah satu faktor kunci.

Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting setelah padi dan jagung. Menurut Rahayu dan Riptanti (2010), kedelai merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang mengandung protein nabati yang tinggi, sumber lemak, vitamin, dan mineral. Rata-rata konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita per tahun pada komoditas kacang-kacangan menurut Badan Pusat Statistik (2014) pada tahun 2013 sebesar 4.72 gram. Rata-rata tersebut menempati urutan tertinggi kedua setelah komoditas padi-padian sebesar 20.49 gram per kapita per tahun sebagai bahan pangan utama di Indonesia.

(18)

Tabel 1 Kandungan protein kedelai dan beberapa bahan makanana

Pemenuhan kebutuhan protein dapat dicapai dengan mengonsumsi komoditas kedelai dan bahan makanan lainnya. Berdasarkan Tabel 1, kandungan protein tertinggi berada pada bahan makanan kacang kedelai dan daging sapi sebesar 43.53 persen dan 20.26 persen. Kedelai dapat diperoleh dengan harga Rp 4 000 – Rp 12 000 per kilogram (Winahyu 2014). Harga daging sapi per kilogram berada pada rentang Rp 85 000 – Rp 110 0001. Hal ini menunjukkan kedelai dapat menjadi bahan makanan utama dalam pemenuhan protein tubuh dengan harga yang lebih terjangkau.

Penggunaan kedelai di Indonesia diutamakan sebagai bahan konsumsi yang diolah menjadi produk turunan meliputi tahu, tempe, dan produk turunan lain untuk memenuhi kebutuhan protein yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu, kedelai dapat dikonsumsi langsung dengan cara direbus atau dijadikan bahan baku pakan ternak. Produk turunan yang dihasilkan menggunakan input yang berasal dari kedelai polong tua dan polong muda. Kedelai akan digunakan sebagai input pengolahan industri berbahan baku kedelai. Sedangkan kedelai polong muda yang telah direbus dapat dikonsumsi bersama bajigur dan makanan olahan seperti gorengan. Pengolahan kedelai menjadi produk turunan akan meningkatkan nilai tambah dan menguntungkan untuk diusahakan. Sifat kedelai yang multiguna menyebabkan permintaan kedelai semakin meningkat (Sari 2011).

Seiring meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, kebutuhan pemenuhan protein dan bahan baku produk turunan kedelai akan terus bertambah sehingga permintaan akan kedelai meningkat setiap tahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (2014), laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.49 persen pada tahun 2000 – 2010 dengan total penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 237 641 326 jiwa. Laju pertumbuhan tersebut saat diproyeksikan terhadap jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan menghasilkan angka sebesar 305 652 400 jiwa (BPS 2014). Berdasarkan data Susenas (2013), konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai memiliki rata-rata 7.01 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2010 sehingga apabila diproyeksikan pada tahun 2035 akan mencapai 9.02 kilogram perkapita per tahun.

Peningkatan kebutuhan kedelai mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan dalam memenuhi ketersediaan kedelai nasional. Menurut Kementrian Pertanian (2013), kebutuhan kedelai setiap tahun ± 2 300 000 ton biji kering pada tahun 2010 – 2014. Kemampuan produksi kedelai dalam negeri sebesar 851 286 ton (ATAP Tahun 2011, BPS) belum mampu memenuhi permintaan kedelai

1

(19)

nasional. Produksi kedelai dalam negeri masih mencapai 37.01 persen dari permintaan yang ada. Sedangkan pada ARAM II tahun 2012, pemenuhan kedelai dari produksi dalam negeri baru mencapai 34 persen. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan kedelai nasional dipenuhi melalui mekanisme impor. Pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : BPS 2015 (diolah)

Gambar 1 Pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia

Berdasarkan Gambar 1, jumlah produksi kedelai dalam negeri berada jauh dibawah konsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan impor untuk memenuhi permintaan dan menjaga stabilitas ketersediaan kedelai. Ketersediaan pangan dari dalam negeri yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi serta dapat mengakibatkan berbagai gejolak sosial dan politik (Abubakar 2008). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menetapkan upaya khusus dalam percepatan swasembada kedelai 2014 yang diatur dalam Permentan No 14 Tahun 2015.

(20)

Penerapan kebijakan pertanian yang dicanangkan pemerintah memberikan dampak yang positif. Hal ini terlihat dari peningkatan luas panen, produktivitas, maupun produksi pada tahun 2013 ke tahun 2014 secara berturut-turut sebesar 11.66 persen, 9.53 persen, dan 22.30 persen. Produksi kedelai yang dapat dihasilkan, dipengaruhi oleh luas panen dan produktivitas. Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun 2010 – 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun 2010

– 2014

Tahun Luas panen (ha) Produktivitas (ku/ha) Produksi (ton)

2010 660 823.00 13.73 907 031.00

2011 622 254.00 13.68 851 286.00

2012 567 624.00 14.85 843 153.00

2013 550 793.00 14.16 779 992.00

2014 615 019.00 15.51 953 956.00

Pertumbuhan 2013 – 2014

(persen)

11.66 9.53 22.30

Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 (diolah)

Peningkatan luas panen yang dikelola melalui kebijakan Perluasan Areal Tanam Baru (PATB) kedelai berhasil dilakukan pada lahan-lahan yang belum atau sudah ditanami kedelai namun tidak ditanami kembali. Selain itu, program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang merupakan sekolah non-formal bagi petani dalam negeri membantu peningkatan kualitas kedelai yang dihasilkan. Hal ini tercermin dari peningkatan produktivitas pada tahun 2014 (Tabel 2). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah pada tahun 2015 menerapkan sasaran kebijakan untuk meningkatkan produktivitas minimal sebesar 15.7 ku/ha (Permentan No 14 Tahun 2015). Kebijakan-kebijakan diatas diharapkan dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sehingga kesenjangan antara permintaan dan penawaran dapat diminimalisir.

Perumusan Masalah

(21)

0 Tabel 3 Negara eksportir kedelai ke Indonesia tahun 2013

Negara Jumlah (ton) Persentase (%)

USA 1 988 750.71 96.64

Berdasarkan Tabel 3, negara eksportir kedelai terbesar ke Indonesia yaitu negara USA sebesar 96.64 persen. Persentase impor yang sangat besar dari negara USA menunjukkan adanya ketergantungan impor pada negara tersebut. Adanya ancaman apabila negara USA tidak dapat menjamin keberlanjutan ekspor kedelai ke Indonesia menjadi penting untuk ketersediaan kedelai dalam negeri. Hal ini terjadi pada tahun 2008 disaat USA mengalami krisis ekonomi. Ketergantungan impor ini mempengaruhi kenaikan harga kedelai yang sangat tinggi sebesar Rp 7 500 per kilogram atau 120.58 persen dari tahun sebelumnya (Yoga dan Saskara 2013).

Ketergantungan impor yang semakin besar dapat merugikan industri pengolahan kedelai apabila harga pangan dunia meningkat yang disebabkan menurunnya ketersediaan kedelai. Hal ini terjadi karena harga yang berlaku pada kedelai impor mengikuti harga yang berlaku pada harga kedelai dunia (Sari 2011). Besarnya ketergantungan terhadap kedelai impor menyebabkan harga kedelai dipasaran sulit untuk dikendalikan oleh instansi terkait sehingga harga kedelai cenderung fluktuatif. Perbandingan harga kedelai lokal, impor, dan dunia dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber : Kemendag (2015)

(22)

Ketergantungan ini tentunya sangat merugikan Indonesia karena harga dari kedelai impor sangat fluktuatif. Jika kondisi ini berlanjut tentunya ketergantungan impor kedelai yang semakin tinggi juga akan menyebabkan pemborosan devisa, karena devisa dapat digunakan untuk tujuan strategis pada sektor pertanian lainnya seperti pengembangan industri pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja. Selain itu keberadaan kedelai impor murah yang kini mendominasi pasar kedelai di Indonesia membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Kedelai lokal tidak hanya harus bersaing harga namun juga harus bersaing dari segi kualitas dengan kedelai impor.

Beberapa kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia mulai dari penetapan tarif impor hingga subsidi terhadap input produksi usatani kedelai. Tarif impor kedelai yang ditetapkan pada saat ini sebesar nol persen mengakibatkan gap antara permintaan dan penawaran semakin besar. Selain itu, kondisi ini tidak menguntungkan bagi petani dalam negeri terkait harga kedelai yang cenderung lebih rendah dibandingkan kedelai impor. Pemerintah menerapkan pula kebijakan subsidi terhadap input benih dengan program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan pupuk guna meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani. Namun, hal tersebut belum menunjukkan peningkatan yang signifikan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Di Indonesia, Jawa Barat merupakan provinsi kelima penghasil kedelai dengan produksi terbesar setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Aceh. Dari data BPS (2013), produksi kedelai di Jawa Barat lebih kecil bila dibandingkan provinsi lainnya namun produktivitas yang dimiliki tertinggi kedua setelah Jawa Tengah sebesar 14.94 ku/ha. Produksi yang masih sedikit mengindikasikan perlu adanya pengembangan potensi usahatani kedelai secara berkelanjutan. Potensi dapat dikembangkan secara berkelanjutan apabila pendapatan yang dihasilkan oleh petani kedelai menguntungkan. Keuntungan membuat petani tertarik dalam pengusahaan kedelai.

(23)

Tabel 4 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Jawa Barat tahun

Sumber : BPS Jawa Barat 2013 (diolah)

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Cianjur (2014), produksi kedelai dan luas panen tertinggi Kabupaten Cianjur terletak pada Kecamatan Sukaluyu. Produksi dan luas panen yang tinggi mengindikasikan terdapat potensi besar terhadap pengembangan usahatani kedelai. Luas panen dan produksi kedelai di Kecamatan Sukaluyu secara berturut-turut adalah 825 hektar dan 1 190 ton pada tahun 2013. Produktivitas kedelai pada Kecamatan Sukaluyu sebesar 14.42 ku/ha masih rendah bila dibandingkan kecamatan lainnya.

Berdasarkan hal-hal di atas, terlihat kondisi persaingan kedelai lokal dengan kedelai impor yang semakin ketat. Produksi yang belum mampu memenuhi permintaan yang ada secara berkelanjutan akan menyebabkan ketergantungan impor. Hal ini memerlukan kajian yang menghasilkan informasi mengenai gambaran umum agribisnis kedelai di Indonesia, untuk kemudian dilakukan analisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap agribisnis kedelai lokal di Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur. Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan permasalahan yang akan diteliti antara lain:

1. Bagaimana tingkat keuntungan pada usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur?

2. Bagaimana daya saing kedelai pada usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur?

3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Menganalisis tingkat keuntungan pada usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur.

2. Menganalisis daya saing usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur melalui keunggulan komparatif dan kompetitif.

(24)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen dalam memproduksi suatu komoditas yang dapat berkompetisi dengan komoditas lain dalam kegiatan ekonomi (Vozarova 2013). Pada dasarnya cakupan daya saing tidak hanya pada suatu negara, melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah (Szerb dan Jozsef 2009). Daya saing juga memiliki potensi dan kapabilitas pada sektor pertanian setiap waktu (Cetindamar dan Hakan 2013) yang dapat diukur. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Adegbite O et al. (2014) mengemukakan bahwa efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Daya Saing Komoditi Pertanian

Pertanian Indonesia memiliki beberapa komoditi utama yang diperlukan untuk ketersediaan pangan dan bersaing dengan komoditi impor. Penelitian Agustian (2015) membuktikan bahwa secara nasional komoditas padi dan jagung Indonesia memiliki daya saing kompetitif dan komparatif yang baik. Namun, komoditi kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing dan tidak efisien (Agustian 2015). Salah satu sebab usahatani tidak efisien yaitu penggunaan input yang belum tepat (Ajao et al. 2012). Selain itu, pemberian penyuluhan dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil output secara signifikan pada usahatani kedelai di Nigeria (Ajao et al. 2012).

Beberapa tanaman hortikultura juga memiliki tingkat daya saing yang berbeda-beda. Buah apel berdaya saing karen dapat memanfaatkan sumberdaya domestik dan menghemat satu satuan devisa dibandingkan dengan komoditas apel impor (Agustina 2008). Komoditas kentang pada penelitian Kiloes et al. (2015) memiliki daya saing secara kompetitif dan komparatif serta intervensi terhadap penyetabilan harga output kentang perlu diupayakan. Penelitian Priastuti et al. (2014) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan daya saing sayuran organik adalah modal, SDA dan lingkungan, infrastruktur, serta kekuatan pemasok. Strategi yang diterapkan yaitu pembangunan citra yang positif untuk meningkatkan kepercayaan dan loyalitas konsumen (Priastuti et al. 2014).

(25)

ekspor karet berbeda nyata dengan negara Thailand dimana daya saing Thailand lebih tinggi dibandingkan Indonesia (Rakhmadina et al. 2013).

Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM)

Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat dan sosial, analisis daya saing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif dan analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas (Olowa O.W. 2014). Pendekatan untuk meningkatkan daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas. Efisiensi dapat dilakukan dengan mengurangi distorsi pada penggunaan input produksi (Fang dan John 2000. Mobasser et al 2012). Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan analisis perbedaan harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai daya saing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011).

Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat, maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian (Pearson et al. 2005). Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, isu kedua ialah dampak investasi publik, isu ketiga berkaitan dengan dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (Akramov dan Mehrab 2012).

Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yakni apakah petani, pedagang dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (Zimmer 2010). Tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan pertanian dalam ketiga isu tersebut.

Penelitian Hai dan Franz (2004) yang menganalisis daya saing padi dengan adanya liberisasi pemerintah di Vietnam menyebutkan bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak yang positif dan memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada daya saing dengan menggunakan metode PAM adalah ditemukannya sebuah komoditas yang dapat berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara akan tetapi tidak dapat berdaya saing di pasar internasional. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Najarzadeh et al. (2011) yang menyatakan bahwa komoditas yang berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara belum tentu memiliki daya saing dalam pasar internasional.

(26)

pada perdagangan domestik maupun internasional dalam menganalisis daya saing suatu komoditas. Beberapa metode lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA) pada penelitian Ferto dan Hubbard (2001) dan Berlian Porter (Sari 2011).

Pengaruh Kebijakan terhadap Daya Saing

Pendapatan finansial usahatani memberikan keuntungan kepada petani karena adanya dampak proteksi pemerintah terhadap input tradable dari indikator EPC, mempunyai arti bahwa secara umum petani diuntungkan dengan adanya intervensi pemerintah dan kebijakan yang ada juga membuat komoditas yang diusahakan memiliki daya saing. Penelitian lain mengenai kebijakan pemerintah juga telah dilakukan oleh Rooyen, et al. (2001) yang menyatakan bahwa terjadi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif industri bunga Afrika selatan bersaing di pasar lokal dan internasional, demikian halnya dengan penelitian Sabaoni, et al. (2011), Muthoni dan Nyamongo (2009) yang menyatakan bahwa adanya intervensi pemerintah dapat membantu suatu komoditas memiliki daya saing di sebuah negara.

Penelitian yang dilakukan oleh Rooyen dan Kirsten (2001) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah mempengaruhi pasar input untuk produksi kentang di Afrika Selatan dan menghambat industri kentang sehinga dengan adanya kebijakan pemerintah maka pasar kentang di Afrika selatan tidak memiliki keunggulan komparatif. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Joubert et al. (2010) yang menganalisis keunggulan komparatif kentang di Afrika selatan menghasilkan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap kegiatan produksi kentang justru menyebabkan kentang tidak memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan.

Studi Empiris Kedelai

Daya saing kedelai di Indonesia bermula karena adanya gap antara permintaan yang belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Susilowati et al. (2013) membahas bahwa produksi kedelai di Indonesia yang memiliki trend menurun memerlukan usaha untuk membuat kedelai Indonesia dapat menjadi subtitusi impor dengan cara memperbaiki aturan dan mekanisme kontrol pada Bulog dan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI). Berbeda halnya dengan kebijakan pada usahatani kedelai di negara lainnya. Usahatani kedelai di Ghana tidak menjadikan jumlah penggunaan pupuk menjadi faktor yang menghambat peningkatan produksi kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi yang diberikan pemerintah Ghana tidak berpengaruh cukup besar terhadap profit yang diperoleh petani karena presentase penggunaan pupuk dibandingkan input lain jauh lebih rendah (Akramov dan Mehrab 2012).

(27)

Kebijakan tarif terhadap impor kedelai Indonesia pada tahun 2005 sebesar 10 persen memberikan dampak yang baik bagi kesejaheraan produsen kedelai dalam negeri (Darsono 2009). Namun, kebijakan tidak hanya didekati dengan penggunaan input atau output namun kekuatan pasar juga dijadikan pertimbangan. Song et al. (2009) membahas bahwa importir kedelai Cina memiliki kekuatan pasar yang relatif lebih kuat terhadap eksportir kedelai AS. Namun kekuatan pasar Cina ini dapat diimbangi oleh AS dan perusahaan-perusahaan Amerika Selatan melalui pengembangan dan perluasan pasar yang ada untuk kedelai di seluruh dunia dan investasi pada mekanisme penyimpanan kedelai China dan kapasitas penghancuran.

Keterkaitan Penelitian

Daya saing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas suatu komoditas, hal ini tidak terlepas dari peranan pemerintah. Untuk menunjukkan hal tersebut maka penelitian tentang daya saing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditas kedelai memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Sebagian besar peneliti yang menganalisis daya saing suatu komoditas dengan mengakomodasi kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan pada perdagangan domestik maupun international. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis daya saing dan kebijakan pada agribisnis kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur sebagai sentra produksi kedua terbesar di Provinsi Jawa Barat serta mengukur perubahan yang terjadi akibat kebijakan pemerintah dengan analisis sensitivitas.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Daya Saing

Konsep daya saing suatu komoditas berawal dari teori keunggulan komparatif yang diutarakan oleh David Ricardo dalam Model Ricardian. Konsep ini muncul untuk menjawab pertanyaan dari teori Adam Smith apabila suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut pada dua barang atau lebih. Oleh karena itu, teori keunggulan komparatif menjelaskan bahwa suatu negara tetap akan memperoleh manfaat perdagangan internasional dengan konsentrasi pada komoditas yang memiliki usaha terkecil (Cho dan Moon 2003). Ricardo menggunakan faktor produksi tenaga kerja sebagai suatu yang menentukan nilai dari komoditas yang diusahakan oleh suatu negara.

(28)

tersebut akan memiliki keuntungan dengan cara ekspor (Cho dan Moon 2003). Namun, keunggulan bersifat dinamis sehingga suatu negara harus mempertahankan dan bersaing dengan negara lain supaya komoditas yang dihasilkan tidak dapat digantikan oleh produk subtitusi (Salvatore 1996).

Negara Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan beberapa hambatan atau distorsi untuk dapat mempertahankan keunggulan komoditas yang diusahakan. Hambatan yang diterapkan akan mendorong suatu negara untuk tetap bersaing. Kondisi tersebut membutuhkan suatu indikator selain keunggulan komparatif yang merupakan ukuran daya saing komoditas dalam perekonomian bebas atau tanpa adanya distorsi. Ukuran daya saing yang digunakan pada kondisi perekonomian secara aktual dapat didekati dengan teori keunggulan kompetitif.

Teori keunggulan kompetitif dikemukakan oleh Michael Porter yang didasarkan pada keadaan perekonomian dengan adanya distorsi dari pemerintah. Porter menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas dari sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negara. Perhitungan keunggulan kompetitif akan memperhatikan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Dengan demikian, keunggulan ini dapat digunakan untuk menganalisis perekonomian secara finasial dengan melihat manfaat dari proyek atau usaha yang dijalankan.

Monke dan Pearson (1989) menambahkan bahwa ukuran pasar yang kecil mendorong industri baru untuk bersaing dari pasar internasional. Namun, perusahaan dari negara lain cenderung lebih efisien dalam memproduksi suatu komoditas. Sehingga untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan, konsumen dalam negeri harus membayar dengan harga yang lebih tinggi dari harga dunia. Pemerintah negara berkembang akan memanfaatkan kebijakan subsidi harga untuk melindungi konsumen. Hal ini menyebabkan beban anggaran konsumen dan pemerintah meningkat serta beralihnya pemanfaatan tenaga kerja kedalam industri sehingga produksi pertanian akan menurun.

Negara berkembang cenderung memilih impor bahan makanan dibandingkan input industri (Monke dan Pearson 1989). Pendapatan yang meningkat akan terkonsentrasi di perkotaan. Hal ini menyebabkan pendapatan desa semakin jauh tertinggal. Masyarakat pedesaan akan berpindah sehingga pertanian akan semakin tertinggal. Berjalannya waktu, pemerintah menyadari hal tersebut menerapkan kebijakan untuk pembangunan pertanian. Pasar internasional memberikan kesempatan dalam pertumbuhan pertanian yang kompetitif. Bagi negara berkembang, pengolahan pertanian yang padat karya mendominasi ekspor secara potensial.

(29)

Pembangunan pertanian dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan yang mempengaruhi komoditas pertanian tertentu. Monke dan Pearson (1989) menyatakan bahwa terdapat dua kebijakan yang digunakan untuk meningkatkan pembangunan di sektor pertanian. Kebijakan yang pertama merupakan kebijakan investasi terhadap bidang pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan infrastruktur transportasi untuk sektor pertanian. Kebijakan kedua yang diterapkan meliputi pajak, subsidi, dan kontrol pada input serta output secara kuantitatif. Kebijakan secara makro juga diberlakukan pada kontrol suku bunga, tingkat upah, dan nilai tukar.

Analisis Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah diberlakukan untuk mempertahankan keunggulan suatu komoditas dibandingkan dengan negara lain atau produk subtitusinya. Cho dan Moon (2003) menyebutkan beberapa pendekatan kebijakan khusus untuk mencapai keunggulan kompetitif yaitu 1) fokus pada penciptaan faktor terspesialisasi; 2) menghindari campur tangan dalam faktor dan pasar kurs; 3) memperkuat standar produk, keamanan, dan lingkungan yang ketat; 4) membatasi kerja sama langsung diantara pesaing industri; 5) mempromosiakan tujuan dengan arah investasi yang lama; 6) deregulasi persaingan; 7) kebijakan anti-trust domestik yang kuat; 8) menolak pengaturan perdagangan. Namun, Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa spesialisasi yang berlebihan dapat menghalangi kesuksesan dalam penerapan kebijakan. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lain yang harus berhubungan antara sistem pertanian, pasar domestik dan internasional, serta kebijakan ekonomi makro. Kebijakan yang diterapkan harus mempertimbangkan timbal balik dan trade-off.

Kebijakan juga diberlakukan untuk melindungi harga pada sisi produsen maupun konsumen. Perlindungan tersebut pada awalnya dikelola dengan menerapkan kebijakan pada harga dari tenaga kerja, modal, atau lahan (Monke dan Pearson 1989). Hal ini didukung dengan pernyataan Krugman et al. (2012) bahwa keunggulan kompetitif tidak hanya bergantung pada produktivitas terhadap indutri asing, namun bergantung pula pada perbandingan tingkat upah yang berbeda pada suatu negara. Kebijakan yang diterapkan akan menyebabkan perbedaan harga pada input dan output produsen (harga privat) dan harga pada kondisi tanpa distorsi (harga sosial). .

(30)

Tabel 5 Tipe alternatif kebijakan pemerintah

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan Subsidi

PE : Produsen barang orientasi ekspor PI : Produsen barang orientasi impor CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang orientasi impor TCE : Hambatan barang ekspor

TPI : Hambatan barang impor

Subsidi merupakan suatu pembayaran yang diperuntukkan atau berasal dari pemerintah. Alternatif kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya subsidi pada produsen dan konsumen memiliki dampak yang positif atau negatif. Subsidi positif pada produsen membuat harga yang diterima lebih tinggi. Sedangkan subsidi positif pada konsumen menyebabkan harga yang diterima lebih rendah. Subsidi negatif (pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah. Sedangkan harga yang diterima konsumen lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kerugian pada produsen dan konsumen dibandingkan kondisi saat kebijakan subsidi negatif diberlakukan.

Secara umum, subsidi negatif atau pajak dapat diberlakukan dengan penerapan tarif oleh pemerintah. Menurut Saylor (2013), tarif merupakan metode paling umum yang digunakan pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan. Terdapat dua cara dasar pengenaan tarif (Saylor 2013) yaitu tarif spesifik dan ad-valorem. Tarif spesifik digunakan sebagai biaya tetap per unit barang atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan tarif ad-valorem dikenakan pada komoditas dengan persentase tetap. Kebijakan tarif yang diterapkan berpengaruh besar pada pendapatan keluarga miskin karena kebijakan ini hanya terdapat pada sebagina kecil konsumsi yang dibutuhkan (Onkvisit and Shaw 2004)

(31)

B

halnya dengan negara maju seperti Amerika Serikat. Apabila AS menetapkan tarif, maka perdagangan AS akan meningkat serta harga impor AS terhadap ekspor turun pada pasar dunia.

Kebijakan perdagangan diterapkan untuk membatasi ekspor atau impor dari suatu komoditas yang diusahakan. Kebijakan ini dapat berupa pajak perdagangan atau kuota. Aliran ekspor dan impor dibatasi melalui kebijakan pajak atau kuota dengan tujuan memperluas perdagangan. Pajak dan kuota diberlakukan untuk memberikan keuntungan bagi produsen maupun konsumen. Hambatan ekspor dilakukan agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi sehingga konsumen tidak mengalami kelangkaan barang dan naiknya harga. Sedangkan hambatan impor diberlakukan guna menghambat aliran barang dari luar negeri secara berlebihan pada pasar lokal sehingga harga yang diterima produsen dapat stabil.

Kebijakan yang efektif adalah kebijakan yang mampu untuk diterapkan guna menjaga kestabilan harga dari sisi produsen maupun konsumen. Kebijakan ini diberlakukan pada komoditas yang diperdagangkan di dalam negeri dan luar negeri. Subsidi dapat diterapkan pada komoditas tradable dan non tradable. Hal ini dikarenakan pemerintah dari kedua negara yang melakukan perdagangan mempunyai kemampuan dalam penerapan kebijakan. Sedangkan kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan pada barang-barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable).

Kebijakan Harga Output

Kebijakan pemerintah terhadap harga output diterapkan pada komoditas yang berorientasi ekspor dan subtitusi impor. Menurut Monke dan Pearson (1989), terdapat 4 macam kebijakan yang dapat diterapkan melalui kebijakan subsidi positif.

Price S Price S

Pp Pw

Pw Pp

D D

Q1 Q2 Q3 Quantity Q2 Q1 Q3 Q4 Quantity

(a) S+PI (b) S+CI

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Keterangan :

Pw = harga di pasar dunia pada kondisi pasar bebas

A

C B

A F E G

H

(32)

Pp = harga di pasar domestik setelah diberlakukan subsidi positif

Pd = harga di pasar domestik setelah diberlakukan subsidi positif untuk

konsumen barang impor

S + PI = subsidi positif kepada produsen untuk barang impor S + CI = subsidi positif kepada konsumen untuk barang impor

Gambar 3(a) mengilustrasikan kebijakan subsidi positif yang dikenakan pada produsen barang impor. Harga domestik (Pp) yang diberlakukan melebihi harga dunia (Pw) menyebabkan meningkatnya jumlah output lokal dari Q1 ke Q2

dengan jumlah konsumsi yang tetap pada Q3. Kebijakan S+PI layak diberlakukan

apabila terdapat jarak ekonomi antara produsen dan konsumen, transformasi produk, dan kontrol secara administratif. Syarat tersebut digunakan untuk meyakinkan bahwa komoditas tidak dapat dibeli kembali di bawah harga pasar dan dijual kembali melebihi harga produsen. Kebijakan subsidi sebesar Pp-Pw

meningkatkan produksi domestik dari Q1 ke Q2 dan menurunkan jumlah impor

dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Adanya transfer anggaran pemerintah ke produsen

sebesar Q2 x (Pp – Pw) ditunjukkan oleh daerah PpABPw. Transfer ini akan

menciptakan kerugian pada efisiensi ekonomi untuk biaya sumberdaya sebesar Q1CAQ2 dan biaya imbangan produksi sebesar Q1CBQ2 atau daerah CAB.

Berdasarkan Gambar 3(b) yang mengilustrasikan adanya kebijakan subsidi positif untuk konsumen barang impor, produksi domestik sebesar Q1 dengan

permintaan sebesar Q3 berada pada tingkat harga dunia (Pw). Upaya meningkatkan

konsumsi domestik dari Q3 ke Q4, pemerintah menerapkan kebijakan subsidi

sebesar Pw-Pd yang akan mengurangi produksi domestik dari Q1 ke Q2. Hal ini

akan meningkatkan impor dari Q3-Q1 menuju Q4-Q2. Transfer pemerintah kepada

konsumen sebesar (Pw-Pd)(Q4-Q2) atau daerah AGHB. Sedangkan transfer

produsen ke konsumen sebesar PwABPd karena subsidi impor mengurangi harga

bagi produsen maupun konsumen. Kerugian pada efisiensi terjadi pada produksi dan konsumsi. Kerugian pada efisiensi produksi diwakili oleh daerah AFB sedangkan daerah segitiga EGH mengilustrasikan kerugian pada efisiensi konsumsi.

(33)

Keterangan :

TPI = hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE = hambatan perdagangan pada produsen untuk barang ekspor

Gambar 4(a) menjelaskan adanya hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor. Efek perdagangan yang terjadi yaitu pengurangan impor dari Q3-Q1 ke Q4-Q2 mencerminkan peningkatan pasokan domestik dan menurunnya

permintaan domestik. Kebijakan tarif sebesar Pd-Pw ini menguntungkan bagi

produsen dengan naiknya harga domestik (Pd) diatas harga dunia (Pw) sehingga

membuat output domestik naik dari Q1 ke Q2 serta turunnya konsumsi dari Q3 ke

Q4. Transfer pendapatan terjadi pada konsumen sebesar (Pd-Pw)Q4 atau daerah

PdABPw, produsen sebesar (Pd-Pw)Q2 atau daerah PdEFPw dan anggaran

pemerintah sebesar (Pd-Pw)(Q4-Q2) atau daerah FEAB. Kerugian dari efisiensi

konsumen diukur sebagai suatu perbedaan antara biaya peluang dari perubahan konsumsi sebesar Pw(Q3-Q4) atau daerah Q4BCQ3 dan kesedian membayar pada

tingkat kenaikan yang sama sebesar Q4ACQ3. Efisiensi konsumsi dan produksi

yang hilang ditunjukkan pada daerah ACB dan EFG. Sedangkan Gambar 4(b) menjelaskan retriksi yang terjadi pada konsumen barang ekspor.

Krugman et al. (2012) menyatakan salah satu hambatan masuk barang impor yaitu adanya biaya transportasi. Biaya ini akan menimbulkan hambatan dari sisi pergerakan barang atau jasa. Barang dan jasa yang membutuhkan pengiriman akan membuat perusahaan domestik mempertimbangkan opportunity cost yang hilang akibat waktu. Biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja bisa jadi lebih rendah dibandingkan biaya impor. Dengan demikian, domestik memilih untuk memproduksi sendiri barang atau jasa yang dibutuhkan.

Kebijakan Harga Input

Pemerintah menerapkan program kebijakan harga input dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani. Adapun tujuan lain yaitu meningkatkan ketertarikan produsen untuk mengusahakan suatu komoditas yang dibutuhkan oleh masyarakat (Saylor 2013). Kebijakan harga input diterapkan pada input tradable maupun non tradable. Kebijakan ini terbagi menjadi dua macam yaitu subsidi positif dan negatif berupa pajak. Kebijakan hambatan perdagangan tidak berpengaruh pada harga input domestik. Hal ini disebabkan karena input domestik (tradable) hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kurva kebijakan harga input berupa subsidi dan pajak terhadap input tradable dapat dilihat pada Gambar 5.

Berdasarkan Gambar 5(a), pajak yang dikenakan pada input tradable menyebabkan biaya produksi meningkat. Kenaikan ini tergantung pada pangsa dari biaya input produksi dan kemampuan produsen untuk mencari produk subtitusi. Kebijakan ini membuat output domestik menurun dari Q1 ke Q2

sehingga kurva penawaran bergeser ke kiri atas. Kerugian pada efisiensi ekonomi sebesar daerah ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q2CAQ1 dan biaya produksi output sebesar Q2BAQ1. Apabila input yang

(34)

produksi yang rendah akan menggeser kurva penawaran ke kanan bawah dan meningkatkan produksi dari Q1 ke Q2. Kerugian efisiensi ekonomi dari produksi

sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi dari meningkatnya output sebesar Q1ACQ2 dan nilai dari meningkatnya output sebesar Q1ABQ2. Efek total

efisiensi dapat diestimasi dengan mempertimbangkan bahwa semua output menggunakan input yang bersubsidi.

Price S’ S Price S S’

Pw Pw

D D

Q2 Q1 Q3 Quantity Q1 Q2 Q3 Quantity

(a) S – II (b) S + II

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Keterangan :

Pw = harga Q di pasar dunia S – II = Pajak input impor

S + II = Subsidi untuk input impor

Intervensi pemerintah terhadap input non tradable berupa pajak dan subsidi. Input non tradable tidak terpengaruh oleh kebijakan perdagangan karena input tersebut hanya diperdagangkan di dalam negeri. Kurva kebijakan harga input berupa subsidi dan pajak terhadap input non tradable dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6(a) menjelaskan pajak (Pc-Pp) akan menyebabkan produksi yang

dihasilkan menurun dari Q1 ke Q2. Pada situasi sebelum pajak, harga konsumen

telah meningkat (ke Pc) dan harga produsen menurun (ke Pd). Kerugian dari

efisiensi konsumen dan produsen sebesar BCA dan DBA. Sedangkan pada Gambar 6(b), subsidi akan membuat produksi naik dari Q1 ke Q2. Harga yang

diterima produsen akan meningkat (ke Pp) dan harga yang diterima konsumen

menurun (ke Pc). Kerugian dari efisiensi pada daerah ACD diukur dengan

perbandingan nilai peningkatan output pada harga semula sebesar Q1ABQ2

dengan biaya produksi dan peningkatan kesediaan membayar dari konsumen.

A A

C

B

C B

(35)

Price S Price S

Pc Pp

Pw Pd

Pp Pc

D D

Q2 Q1 Quantity Q1 Q2 Quantity

(a) S – N (b) S + N

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Keterangan :

S – N = pajak untuk barang non tradable S + N = subsidi untuk barang non tradable

Policy Analysis Matrix (PAM)

Kebijakan pemerintah dalam suatu negara dapat dianalisis menggunakan pendekatan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Metode ini berisi sejumlah asumsi secara teoritis dan penyederhanaan secara empiris serta pemahaman terkait dasar-dasar untuk aplikasi yang berguna (Monke dan Pearson 1989). Dasar dari metode ini adalah perumusan anggaran pada kegiatan usahatani yang dijalankan pada suatu daerah. Pearson et al. (2005) menyatakan bahwa tujuan utama dari metode PAM antara lain 1) memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam isu daya saing pada tingkat harga dan teknologi, dampak investasi publik, dan dampak investasi baru di bidang riset; 2) menghitung tingkat keuntungan sosial suatu usahatani; 3) menghitung transfer effect dari diberlakukannya suatu kebijakan.

Asumsi penggunaan metode PAM (Monkey dan Pearson 1989) antara lain 1) output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan kedalam komponen asing dan domestik; 2) perhitungan berdasarkan harga privat; 3) perhitungan berdasarkan harga sosial; 4) eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan (eksternalitas = 0). Metode PAM memiliki kelemahan (Morrison dan Balcombe 2001) antara lain 1) berkerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik dan efek multiplier; 2) Keakuratan data, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan dikumpulkan pada kondisi sistem informasi tidak berjalan dengan sempurna, harga dunia yang digunakan sulit ditentukan karena banyaknya hambatan perdagangan di banyak negara dimana variabilitas harga dunia memiliki trend tinggi dan umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik.

A A

C

C

D D

B B

(36)

Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan produk dari dua identitas akuntansi yaitu tingkat keuntungan dan efek divergensi. PAM terdiri dari tiga baris. Baris pertama menjelaskan penerimaan, biaya, dan keuntungan pada kondisi nilai privat/aktual secara finansial, kondisi dimana kebijakan atau kegagalan pasar terjadi pada output atau input. Perhitungan keuntungan pada baris ini bermanfaat untuk menganalisis daya saing komoditas pada keunggulan kompetitif. Sedangkan baris kedua menjelaskan nilai sosial terjadi pada kondisi kebijakan atau kegagalan pasar tidak terdapat pada harga output atau input. Kondisi ini digunakan untuk mengestimasi keunggulan komparatif atau ekonomi. Baris ketiga adalah selisih baris pertama dan kedua yang merupakan efek divergensi dari harga privat dan sosial. Efek ini menjelaskan bahwa adanya kebijakan dapat menyebabkan harga privat dan sosial pada suatu komoditas berbeda. Tabel PAM dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Policy Analysis Matrix (PAM)

Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan

Tradable Non tradable

9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F

11. Koefisien Efektivitas Proteksi (EPC) = (A – B)/(E – F)

12. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H

13. Rasio Subsidi Produsen (SRP) = L/E

Kolom yang terdapat pada PAM terdiri dari penerimaan, biaya, dan keuntungan. Penerimaan merupakan nilai yang didapatkan dari penjualan output. Biaya terbagi menjadi asing dan domestik. Biaya asing adalah biaya yang dikeluarkan untuk input yang diproduksi dan diperdagangan secara internasional. Sedangkan biaya domestik dikeluarkan pada input dalam negeri. Selisih dari penerimaan dan biaya merupakan keuntungan yang didapat dari nilai finansial, ekonomi, dan efek divergensi.

(37)

keseimbangan informasi yang diperoleh. Kebijakan yang bersifat distortif dengan tujuan non-efisiensi juga akan menghambat alokasi sumberdaya sepeti diberlakukannya tarif yang akan meninmbulkan trade-off.

Konsep Sensitivitas

Gittinger (1986) menyatakan bahwa suatu proyek atau analisis harus mempertimbangkan risiko dan ketidakpastian. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh dari suatu kondisi yang berubah secara dinamis. Tujuan dari analisis sensitivitas yaitu melihat manfaat yang muncul dan keputusan yang akan diambil untuk suatu usahatani. Sensitivitas digunakan pula untuk meramal hasil yang akan datang dan seberapa jauh hal tersebut akan terjadi. Hasil ini akan membawa pelaku memutuskan keberlanjutan usahatani yang dijalankan.

Analisis sensitivitas pada penelitian ini menganalisis perubahan yang terjadi akibat adanya suatu kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dilakukan mencakup kebijakan yang berpengaruh terhadap substansi usahatani yaitu input dan output. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang menyebabkan harga sosial di setiap daerah berbeda yaitu tingkat pengembalian modal dan efek jangka pendek distorsi kurs valuta asing, divergensi tambahan yang mempengaruhi harga faktor domestik, serta respon harga yang menyebabkan penggunaan input dibawah harga sosial.

Analisis sensitivitas diberlakukan pada harga privat dan sosial dari input yang digunakan pada usahatani. Analisis ini dilakukan untuk melengkapi kelemahan Policy Analysis Matrix (PAM) yang menggunakan satu tingkat harga sehingga kurang merepsentasikan perubahan dari adanya suatu kebijakan yang bersifat dinamis. Sedangkan kelemahan analisis sensitivitas yaitu tidak digunakan dalam pemilihan proyek karena analisis bersifat parsial yang hanya mengubah suatu parameter pada kondisi tertentu. Analisis sensitivitas juga hanya mencatat kondisi pada saat faktor berubah-ubah dan bukan alat untuk menentukan kelayakan suatu usaha.

Kerangka Pemikiran Operasional

(38)

Salah satu cara untuk mengurangi impor adalah memacu produksi kedelai dalam negeri. Namun, terdapat beberapa kendala yaitu kompetisi lahan yang membuat tren luas panen kedelai Indonesia semakin menurun dan beberapa kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Kebijakan yang diterapkan yaitu tarif impor sebesar 0 persen akan membuat gap permintaan dan penawaran kedelai semakin besar. Sedangkan beberapa kebijakan yang mendukung upaya peningkatan produksi dengan diberlakukannya subsidi terhadap beberapa input usahatani kedelai yaitu benih, pupuk, dan BBM belum memberikan dampak yang signifikan.

Berdasarkan data BPS (2013), produksi kedelai dalam negeri semakin mengalami penurunan dari tahun 2012 ke 2013 sebesar 4.22 persen. Produksi yang semakin menurun mengindikasikan semakin lemahnya daya saing kedelai Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kedelai dalam negeri harus dapat bersaing dengan kedelai impor dari segi kuantitas maupun kualitas. Untuk meningkatkan daya saing tersebut, maka diperlukan peran serta dari seluruh pelaku agribisnis dan dukungan kebijakan pemerintah.

(39)

- Peningkatan permintaan kedelai tidak tercukupi oleh produksi dalam negeri sehingga ketergantungan impor

- Persaingan kedelai lokal dengan kedelai impor

- Potensi kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur

Kebijakan Pemerintah 1. Subsidi (pupuk dan BBM) 2. Kenaikan harga output

- Daya Saing

1. Keunggulan Komparatif (Keuntungan Sosial dan DRCR)

2. Keunggulan Kompetitif (Keuntungan Privat dan PCR)

-Dampak Kebijakan Pemerintah 1. Kebijakan Output

2. Kebijakan Input

3. Kebijakan Input-Output

Implikasi Kebijakan

Gambar 7 Kerangka Operasional

Analisis Sensitivitas - Elastisitas

- Switching Value

(40)

4

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian ditentukan melalui metode purposive sampling dengan mempertimbangkan daerah tersebut mempunyai potensi dalam pengusahaan kedelai. Kabupaten Cianjur merupakan sentra produksi kedua terbesar di Provinsi Jawa Barat. Menurut data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Cianjur (2014), kecamatan dengan produksi tertinggi berada pada Kecamatan Sukaluyu. Penelitian ini dilakukan di Desa Sukasirna dan Selajambe sebagai desa yang memiliki produktivitas tertinggi di Kecamatan Sukaluyu. Data primer diambil pada bulan Maret – Oktober 2014.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data cross section. Jenis data yang digunakan terbagi menjadi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden. Responden yang dipilih untuk data usahatani merupakan petani kedelai yang mengusahakan kedelai. Responden lainnya adalah pihak toko bahan pertanian, toko alat pertanian, dan importir kedelai di daerah setempat. Data primer juga didapatkan dari pengamatan langsung oleh peneliti pada lokasi penelitian. Pengambilan data primer dibantu pula dengan adanya kuisioner. Data yang diperlukan mencakup penggunaan input, biaya input dan output, serta karakteristik responden. Input yang digunakan antara lain lahan, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, peralatan usahatani, peralatan lainnya seperti karung kemas dan BBM. Biaya input dan output mencakup harga, transportasi, dan bongkar muat. Karakteristik responden mencakup jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, luas lahan, status lahan, stuatus usahatani, pemasaran, dan kegiatan pendampingan.

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan pustaka yang relevan dengan topik yang diteliti. Data ini bersumber dari penelitian terdahulu, jurnal, buku bacaan terkait, dan beberapa sumber lain seperti BPS, Kementrian Pertanian, Kementrian Kesehatan, Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, Badan Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Sukaluyu, UnComtrade, serta penelusuran internet. Data tersebut akan dijadikan rujukan sebagai pengusat gagasan dan informasi dasar guna mendukung data primer. Kedua jenis data diatas akan diolah dan digunakan untuk mencapai tujuan penelitian.

Metode Penentuan Sampel

(41)

Sukasirna dan Selajambe sebanyak 365 petani, ditetapkan responden petani yaitu 30 responden untuk masing-masing desa dengan total responden 60 petani.

Penentuan responden pada pedagang input seperti toko bahan pertanian, dan alat pertanian serta importir ditentukan secara purposive. Toko bahan pertanian yang dipilih merupakan toko yang ditunjuk oleh Badan Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Sukaluyu yang dijadikan acuan beberapa toko bahan pertanian lainnya. Sedangkan toko alat pertanian berada di pasar terdekat yaitu pasar Ciranjang. Pihak importir yang dijadikan respon adalah UD. Tani Subur yang terletak di sekitar lokasi penelitian. Beberapa pihak diatas dipilih dengan pertimbangan bahwa pihak tersebut diasumsikan paling mengetahui informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.

Metode Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis sesuai dengan tipe data yaitu kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dijelaskan melalui metode analisis deskriptif untuk mengetahui keragaan usahatani di Kecamatan Sukalyu Kabupaten Cianjur dan karakteristik petani responden. Sedangkan data kuantitatif diolah menggunakan analisis daya saing, dampak kebijakan pemerintah, dan sensitivitas. Data kuantitatif akan dioleh dengan menggunakan alat bantu kalkulator dan Microsoft Excel 2010.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan data kualitatif yaitu keragaan usahatani, karakteristik responden, dan gambaran umum Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur. Keragaan usahatani digambarkan melalui subsistem hulu, proses kegiatan budidaya, pemasaran, dan kegiatan pendampingan. Konsep budidaya usahatani kedelai dimulai dari kegiatan pengolahan lahan, penanaman, penyulaman, pemupukan, pengairan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, panen, dan pascapanen. Karakteristik responden berupa jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, luas lahan, status lahan, stuatus usahatani, pemasaran, dan kegiatan pendampingan akan dijelaskan sebagai informasi responden yang digunakan pada penelitian ini.

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah

Metode yang digunakan untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah adalah metode Policy Analysis Matrix (PAM). Daya saing pada penelitian ini diketahui dari keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan ini memperhitungkan penggunaan sumberdaya domestik (non tradable) atau asing (tradable). Sedangkan dampak kebijakan pemerintah akan dianalisis sesuai tujuan kebijakan tersebut diterapkan seperti kebijakan terhadap harga output, input, serta input output. Beberapa tahapan untuk dapat menggunakan tabel PAM antara lain :

Gambar

Tabel 1 Kandungan protein kedelai dan beberapa bahan makanana
Gambar 1 Pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia
Tabel 2   Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun 2010 – 2014
Gambar 2 Perbandingan harga kedelai lokal dan impor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memahami dasar terbentuknya sistem; sistem memiliki ciri dan bentuk dalam melakukan fungsinya, kemudian di aplikasikan ke dal am masyarakat sebagai sistem yang

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Perencanan implementasi pendidikan karakter berbasis kearifan lokal di SMP Negeri 1 Tambakromo Pati, terorganisir dan teradministarsikan

Dari empat item pertanyaan mengenai hambatan guru dalam mengembangkan keterampilan mengajar bahasa Jepang di atas, dapat disimpulkan bahwa guru bahasa Jepang di SMA/ SMK se

Tahap inti ini yaitu, Guru meminta peserta didik untuk mencermati gambar beserta perenungannya yang ada pada kolom “Mari Renungkan”. Kemudian para peserta didik diminta

Adapun hasil refleksi siklus I yang dilakukan pada siklus II yaitu bahwa aktivitas siswa semakin meningkat, hal ini dilihat dari lembar observasi yang dilakukan dalam

teknik observasi terhadap seluruh kegiatan mahasiswa selama kegiatan PPL dilakukan. Data yang diperoleh dari hasil penilaian proses ini kemudian

Buku Bernyanyilah Bagi Tuhan (BBT) yang berisi kumpulan nyanyian liturgi kaum muda kiranya sangat diterima oleh kaum muda. Hadirnya nyanyian-nyanyian liturgi dalam buku

Indonesia menggunakan data satelit altimetri dan data pasut. Saat ini data permukaan laut dapat diperoleh dalam periode panjang. Salah satu teknologi yang dapat menyajikan