• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Penguatan Ekonomi

Penguatan ekonomi sektor pertanian terutama terhadap tanaman pangan, dapat dibangun dengan konsep agribisnis. Secara kuantitatif diperhatikan juga sejauhmana pemanfaatan sumber daya lokal atau sumber daya alam melalui kegiatan sektor pertanian dan sejauhmana dapat dikembangkan kegiatan tersebut dengan tujuan peningkatan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peran kelembagaan dan sumber daya manusia turut mempengaruhi kinerja bidang pertanian dalam usaha keberhasilan pemanfaatan sumber daya alam.

Menurut Escafe dan Collin Clark dalam Winardi (1995), untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi (economic growth) perlu dilihat aspek pemunculan sumber-sumber produksi baru, apakah dapat dipertahankan usaha atau bisa ditingkatkan lagi produksi dan membuka lapangan kerja sekitarnya. Perekonomian yang belum berkembang maka pertanian merupakan pekerjaan dan sumber pendapatan pokok. Ketika pertanian tersebut tumbuh, maka industri manufaktur dan jasa akan tumbuh.

Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dimaksud perlu keterkaitan produksi pertanian (forward linkages dan backward linkages) yaitu mata rantai dari produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, yang disebut agribisnis. Parhepi

dan Goal dalam Soekartawi (1993), mengidentifikasi dalam 5 faktor yang menghambat

pola dan hubungan mata rantai agribisnis di pedesaan. Pertama pola produksi komoditi pertanian tersebar sehingga sulit pembinaan yang efektif, kedua infrasruktur belum memadai sehingga sulit mencapai efesiensi usahatani, ketiga biaya produksi lebih tinggi karena terisolir daerah, keempat pemusatan agroindustri di kota besar sehingga nilai bahan baku pertanian menjadi mahal akibat biaya-biaya yang dikeluarga, kelima sistem kelembagaan di pedesaan yang lemah, sehingga tidak mendukung kegiatan agribisnis.

Kegiatan agribisnis perlu dimaksimalkan, dengan mempengaruhi pelaku pembangunan pertanian pedesaan. Mosher dalam Soekartawi (1993) menawarkan 4 aspek alternatif. Pertama pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa merusak lingkungan (resourse endowment), kedua pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah (technological endowment), ketiga pemanfaatan budaya (cultural

endowment) untuk keberhasilan pembangunan pertanian, keempat pemanfaatan

Todaro (1985) mengemukakan, sangat diperlukan secara menyeluruh melakukan perubahan-perubahan kepada seluruh sendi kehidupan sosial, ekonomi dan struktur kelembagaan pada masyarakat desa. Jika tidak dilakukan pembenahan hal dimaksud, maka pembangunan pertanian sulit berkembang bahkan akan terjadi kesenjangan antar kelompok petani kecil dengan pemilik tanah. Artinya, penguatan ekonomi masyarakat petani terpengaruh pada kondisi sosial dan budaya setempat.

2.2 Pendekatan Partisipatif

Menurut Dagun (1987) dari sekian banyak pengertian pendekatan antara lain disebutkan tentang suatu cara menangani atau memecahkan masalah. Sedangkan partisipatif diartikan keikutsertaan atau berperan-serta dalam suatu kegiatan. Jika kedua kata tersebut didefinisikan berarti; suatu metode fasilitasi penyelesaian masalah secara bersama-sama terhadap apa yang sedang diperhatikan.

Pendekatan partisipatif di sini dimaksudkan pada cara tempuh dalam penyelesaian kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial-ekonomi. Diperlukan gerakan kolektif bersama unsur pemerintah, swasta dan masyarakat serta komunitas petani lahan kering sendiri. Pelibatan masyarakat petani dalam kegiatan pembangunan ekonomi bukan tujuan penguasaan material (modal usaha, dan aset tanah) saja, namun perlu kerjasama secara berperanserta dalam membangun jejaring sosial, penguatan kelembagaan lokal dan lainnya guna berkelanjutan (sustainable)

operasional kegiatan petani lahan kering.

Maschab dalam Suparlan (1994) menggarisbawahi, pembangunan desa

khususnya terhadap kegiatan pertanian sebagai suatu kegiatan yang terus-menerus mementingkan peran unsur penggerak (mobilisasi) dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah tidak bisa melaksanakan pembangunan tanpa dukungan partisipatif pihak masyarakat, bukan disebabkan keterbatasan dana dan tenaga, tetapi karena pembangunan manusia seutuhnya tidak terbatas pada peningkatan pendapatan dan kemakmuran semata, tetapi harkat dan martabatnya sebagai bangsa merdeka yang sederajad dengan bangsa lain di dunia.

Dari pemikiran di atas, program pengembangan masyarakat desa memerlukan aspek partisipasi berbagai stakeholders khususnya unsur Pemerintah. Dalam arti lain, penguatan ekonomi lebih mengutamakan peranan partisipasi semua unsur, namun demikian partisipasi masyarakat desa sebaiknya tidak terbatas pada pelaksanaan kegiatan, tetapi diperluas pada partisipasi aspiratif dalam perencanaan dengan pola

Mewujudkan partisipasi penuh, diutamakan kreativitas dan keseriusan masyarakat tani. Pelibatan masyarakat seharusnya secara sempurna dari awal sampai akhir proses suatu kegiatan bahkan perlu dilibatkan masyarakat dalam evaluasi kegiatan. Pada era desentralisasi sekarang menerapkan pola bottom-up

dalam upaya memperkuat masyarakat di lapisan terendah (masyarakat tani) sebagai objek pembangunan.

Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1976) membatasi lingkup partisipasi

masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah kebijakan pembangunan harus dimulai dari tahap penyusunan perencanaan, penentuan kebijakan kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, pelaksanaan, kerjasama, penikmatan hasil proyek sampai pada monitoring dan evaluasi program pembangunan. Konsep partisipasi masyarakat adalah konsep

bottom-up, tetapi tidak terbatas pembangunan ekonomi melainkan termasuk

persoalan transpormasi masyarakat luas (global society). Yaitu menyangkut justice

(keadilan), inclucivennes (kesetiakawanan) dan sustainability (berkesinambungan). Artinya harus berpeluang sama dalam kebutuhan hidup, berbagi kemampuan sesama dalam pengelolaan SDA serta memperhatikan kepentingan generasinya. Azas demikian hanya mengandalkan masyarakat atau partisipasi aktif dimaksud diistilahkan dengan a people centered development, Maschab dalam Suparlan (1994).

Dengan demikian, endekatan partisipatif dianggap paling efektif dalam operasional otonomi daerah, khususnya terhadap penguatan ekonomi petani lahan kering. Ditinjau dari aspek pembiayaan pembangunanpun termasuk paling efesien, sebab pendekatan ini memprioritaskan rancangan pengembangan pembangunan yang prioritas atau disesuaikan kehendak masyarakat desa seperti petani.

Uphoff dan Todaro dalam Riwu (1997), menegaskan partisipasi dalam

pembangunann dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi penuh guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud pada barang-barang, tenaga, material, informasi yang konstruktif terhadap pembangunan. Jika tujuan pembangunan perdesaan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diawali dari peningkatan kesejahteraan setiap keluarga, maka yang menajdi indikatornya adalah pendapatan, pengeluaran dan produksi petani kecil yang dihubungkan dengan pendapatan layak menurut standar setempat (poverty line).

Instrumen dan indikator pencapaiannya adalah teknologi, inovasi, kebijakan pemerintah dan partisipasi swasta. Indikator lain ialah pengolahan, pasar, partisipatif aktif dan peradaban penanganan lingkungan.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

Dikatakan pemberdayaan minimal adanya pihak pemberi dan penerima kekuasaan atau kedua pihak saling berbagi kekuatan (empowerment share). Proses demikian terjadi pelimpahan kekuatan, seperti dikatakan Ife dalam Suharto (2005),

“pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung”.

Prijono (1996) menjelaskan, pemberdayaan merupakan proses pematahan

(breakdown) kekakuan menjadi transparan dalam relasi antara subjek

(penguasa/pemerintah) dengan objek (masyarakat/petani). Proses ini mementingkan adanya keseriusan subjek dalam membangun kemampuan objek menurut potensi yang dimilikinya. Proses ini melihat pentingnya mengalir daya (flow of power) dari subjek ke objek. Pemberian kuasa, kebebasan dan “pengakuan” dari subjek kepada objek, manifestasinya dengan memberi kesempatan seluas-luasnya usaha meningkatkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat. Esensi akhir yang di lihat adalah kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapan berdasarkan “pengakuan” yang telah diberikan oleh subjek (Pemerintah). Kemampuan individu dalam kegiatan merupakan bukti bahwa individu tersebut telah memiliki daya.

Pemberdayaan masyarakat seharusnya tidak tersekat-sekat, inipun bisa terealisasi jika semua pihak berpartisipasi penuh. Mengingat pihak objek (masyarakat) identik dengan berbagai kelemahan/keterbatasan, maka aliran pemberdayaan subjek (pemerintah) sering terganggu dan kurang efektif. Sehubungan dengan karakter tersebut diperlukan keberpihakan empowerment kepada golongan powerless

(ketidakberdayaan). Empowerment merupakan modal dasar yang tidak boleh dikonsentrasikan pada kasus tertentu saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Membangun masyarakat melalui pemberdayaan, prosesnya terintegrasi dan menyeluruh (ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan lainnya) mengingat pola pengembangan masyarakat sekarang dalam kondisi modernisasi dan globalisasi.

Menempatkan partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan, Oakley

dan Marsden dalam Adimihardja (2004) menggambarkan pemberdayaan cenderung

pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini biasanya ditandai dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian masyarakat melalui keorganisasian lokal.

Aspek pemberdayaan yang menekankan peranserta masyarakat (partisipatif) berarti proses pembangunan berpusat pada rakyat (people development centre)

operasionalnya tidak mudah tersekat-sekat. Escap dalam Adimiharja (1999)

menyatakan “kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya atau politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif.

Argumentasi diatas terkait dengan gagasan Depsos RI dan Chambers dalam

Kartasasmita (1996) “pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan

potensi ekonomi rakyat, tetapi termasuk harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tata nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang bertumpu pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga termasuk nilai tambah sosial-budaya”.

2.4 Kelembagaan

Mengenai kelembagaan, tinjauannya menyangkut pola norma dan hubungan. Pembahasan pola norma terkait prilaku penataan organisasi (behavior), sedangkan pola hubungan kaitannya dengan jejaring kerja (network) dengan institusi luar komunitas (vertikal) maupun dalam komunitas (horizontal). Tuntutan dimaksud berlaku terhadap kelembagaan di tingkat nasional maupun kelembagaan lokal. Thoha (1998)

menegaskan, “setiap membicarakan dinamika kelompok dalam hubungannya dengan prilaku organisasi maka tidaklah lengkap jika belum dibicarakan pola prilaku panitia dalam suatu organisasi. Panitia (kepengurusan) merupakan tipe formal yang amat penting yang dijumpai sekarang ini dalam kehidupan organisasi ...”

Yang terpenting dan diharapkan dalam sebuah organisasi adalah ruh atau keberlanjutan disebut dengan institutional sustainable. Kelembagaan berkelanjutan mampu bergerak secara kontinyu pra realisasi bantuan maupun pasca terhentinya bantuan donatur. Kelembagaan di negara sedang berkembang agak sulit bertahan jika diperhatikan pada operasional proyek-proyek international seperti di Indonesia. Sehubungan dengan pandangan tersebut, di sini menekankan makna pembangunan lembaga yakni harus digerakkan dari lavel bawah atau digerakkan oleh masyarakat sendiri, bukan suatu organisasi yang direkayasa dai atas sebagaimana organisasi (kelompok) yang dibentuk dengan karena adanya bantuan.

Menurut Esman dan Uphoff (1982), “organisasi lokal adalah asosiasi penduduk desa yang bertanggungjawab kepada anggota-anggotanya (assositions of rural people

which are accountable tothei members) dan terlibat dalam berbagai kegiatan

pembangunan sejauhmana organisasi yang tumbuh dari bawah (grassroots

organization), bergantung pada cara mendirikan dan mengembangkannya. Organisasi

harus mampu mencerminkan pengalaman, kemampuan dan keinginan anggota ...”

Israel (1990) mendefinisikan kelembagaan (institution), pengembangan

kelembagaan (institutional development) atau pembangunan kelembagaan

(institutional bulding) merupakan proses perbaikan kapasitas organisasi supaya lebih

efektif dalam penggunaan SDM berdasarkan ketersediaan dana. Proses ini harus mampu dijalankan secara internal maupun eksternal berupa bantuan pemerintah dan promosi donatur lainnya. Secara luas pengembangannya diawali dari perencanaan sampai pada evaluasi, termasuk kegiatan pembangunan pertanian.

Penguatan sebuah organisasi dalam bidang pertanian, sebaiknya mengandalkan keberadaan institusi yang pernah bergerak dalam kegiatan serupa, sehingga memiliki pengalaman sesama anggota. Artinya, dalam pengembangan masyarakat lebih baik memperkuat/membenah manajemen institusi yang telah terbentuk daripada membentuk institusi baru. Menyangkut pembentukan organisasi (kelompok) tersebut, yang harus diperhatikan beberapa petunjuk pelaksanaan, karena kelembagaan pembangunan yang berkelanjutan harus dibangun dari kehendak anggota, bukan dipaksa dari atas yakni pihak yang punya kepentingan.

Mengenai pembentukan kelompok/organisasi supaya mampu menjadi kelembagaan dimaksud, Widyastuti dan Santiasih dalam Mubyarto (1994)

menganjurkan pada setiap pembentukan kelompok supaya selalu dipertimbangakan empat hal pokok;

1. Kelembagaan akan berhasil jika menggunakan kelompok yang pernah ada di kalangan masyarakat. Retrukturisasi kelembagaannya harus diserahkan sepenuhnya kepada anggota-anggota lama.

2. Jumlah anggota tidak terlalu banyak namun tidaklah mesti ditentukan jumlahnya melainkan menurut kebutuhan kepengurusan dan keterwakilan di tingkat dusun. 3. Perlu penerangan/pendampingan teknis dari pihak pemerintah maupun organisasi

tertentu ke arah kerjasama dengan pihak lain guna mencapai tujuan strategis. 4. Perlu partisipasi unsur masyarakat desa dalam upaya mendorong kegiatan

Dokumen terkait