PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING
MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF
Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum
Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
J A I L A N I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.
Bogor, 22 Februari 2008
JAILANI. Strategy and Programs for the Strengthening Economy of Dry Land Farmers through Participative Approach, a Case Study in Gampong Lampisang Dayah, Seulimeum subdistrict, Aceh Besar Regency, Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under the Guidance of Yusman Syaukat as the chairman and Sarwititi S. Agung as the member.
Out of 120 heads of family in Gampong Lampisang Dayah, 60 of them are dry land farmers with farming and herding activities. Farming system conducted in unirrigated agricultural fields depends very much on the rainy season and still uses the subsistent pattern. The main problem the dry land farmers facing is their inability to improve their welfare due to the limited knowledge on managing dry land. The aim of this study is to estimate the level of farmers’ welfare based on per capita income and to evaluate the success of the activities in utilizing the dry land.
Dry land farmers in Gampong Lampisang Dayah have the potential to develop farming because the dry land covers an area of 524 hectares, the availability of technical assistance, and the high demand for agricultural products. The productive aged people in this village are about 70.12 percent, while the productive heads of family are around 94.12 percent. The weakness is that social relationship pattern among dry land farmers is still limited to horizontal cooperation, and the network with other institutions has not been established.
The activities of dry land farmers are planting the second crop on unirrigated land and raising old plants in the garden, and there are 4 family heads herding buffaloes and cows on 135 hectares of grassy land. The ownership of dry land is averagely 0.6 hectares with an average monthly income of Rp1,083,581, and monthly outcome of Rp Rp691,318. The analysis result of the welfare level of dry land farmers by referring to the figures of per capita income of poverty line in Aceh Besar Regency showed that 47.06 percent of family heads were categorized as poor with the indicator being unable to meet their basic needs.
Efforts to improve the welfare of dry land farmers can be carried out with a number of problem solving strategies through SWOT analysis. By utilizing the strength of farmer community and the opportunity in their environment, it is expected they can minimize their weaknesses and prevent the possible threats. Strategy analysis was successful in designing 20 programs for the empowerment of dry land farmers. The recommendation is that it is necessary for the government of Aceh Besar regency, local businessmen and dry land farmers to involve themselves in the activities of empowerment.
Keywords: Strengthening the Economy of Farmers, Dry Land, Participative Approach
JAILANI, Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Komisi Pembimbing adalah Yusman Syaukat sebagai ketua dan Sarwititi S. Agung sebagai anggota.
Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999) dan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provonsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan dalam pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, kembali menata sistem pemerintahan daerah dalam Provinsi NAD sampai pada tingkat paling bawah yakni pedesaan. Untuk menjalankan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), pemerintah daerah merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional, di antaranya penjaringan aspirasi masyarakat melalui jalur musrenbangdes dan musrenbang.
Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 60 kepala keluarga di antaranya adalah petani lahan kering dengan kegiatan pengolahan lahan pertanian dan penggembalaan ternak. Usahatani yang dilakukan di ladang sangat tergantung pada musim hujan (rainfed) dan sistem pertanian masih menganut pola subsisten. Karakteristik pertanian subsisten yakni rendahnya pengetahuan tentang pengolahan tanah, belum menerapkan teknologi pertanian, permodalan yang kecil dan tidak memiliki akses pasar yang lebih luas. Akibat dari permasalahan subsisten inilah, sehingga petani lahan kering tdak berkemampuan meningkatkan pendapatan akhirnya rendahnya kesejahteraan hidup keluarga.
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, potensi lahan kering dan profil petani lahan kering dengan menganalisis tingkat kesejahteraan petani berdasarkan tingkat pendapatan perkapita. Selanjutnya mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pertanian dan peternakan terhadap pemanfaatan lahan kering. Pada bagian akhir kajian ini untuk upaya pemberdayaan, merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering. Kegunaan dari kajian diharapkan antara lain menjadi suatu masukan bagi pihak berwewenang dalam pengambilan keputusan terhadap penanggulangan kemiskinan petani lahan kering berdasarkan program yang telah dirancang.
berupa dukungan pendamping teknis meliputi peran PPL Pertanian dan mantri hewan. Tahun 2007 munculnya program Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias membentuk kelompok petani lahan kering dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Akan tetapi menjadi suatu ancaman bagi justru pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah tidak melibatkan petani lahan kering, termasuk dalam penyelenggaraan musrenbangdes maupun musrenbang. Hal ini diperlukan supaya bisa menampung aspirasi masyarakat petani sebagai implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang nenekankan
pola bottom-up planing.
Kegiatan petani lahan kering secara rutin hanya pada tiga sektor yakni usahatani palawija seperti jagung, cabe, tomat, kacabg dan ubi kayu di ladang dan tanaman tua kopi, kelapa, pisang dan pinang di kebun. Komunitas petani lahan kering desa ini hanya 4 kepala keluarga di antaranya melakukan kegiatan penggembalaan ternak kerbau dan lembu di atas 135 hektar lahan dataran rumput. Kepemilikan lahan kering rata 0,6 hektar dengan pendapatan rata-rata Rp1,083,581 perbulan, dan pengeluaran Rp691,318 perbulan. Hasil analisis tingkat kesejahteraan petani lahan kering, merujuk pada angka pendapatan per kapita poverty line Kabupaten Aceh Besar diketahui 47,06 persen kepala keluarga tergolong miskin dengan indikator tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga.
Upaya peningkatan kesejahteraan hidup petani lahan kering dapat dilakukan beberapa strategi pemecahan masalah melalui analisis SWOT dan FGD bersama petani lahan kering, unsur Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan BPM Kabupaten Aceh Besar. Dengan memamfaatkan kekuatan komunitas petani dan peluang sekitar lingkunganya diharapkan mampu meminimalisir kelemahan diri dan mencegah ancaman yang muncul. Berdasarkan analisis SWOT ditemukan 10 strategi yang dianggap efektif untuk dasar penyusunan program. Analisis strategi tersebut berhasil memunculkan 20 program pemberdayaan petani lahan kering. Keduapuluh program dimaksud dapat dijalankan secara bertahap menurut prioritas jangka waktu; yakni jangka pendek untuk tahun 2008, jangka menengah yakni tahun 2008 sampai dengan 2009, sedangkan jangkla panjang bisa dilaksanakan pada rencana strategic 2010 -2015.
Program-program yang dimunculkan dalam karya akhir ini secara garis besar meliputi pembentukan kelembagaan petani lahan kering, pendampingan teknis, sosialisasi teknologi, kemitraan dan pemodalan dan advokasi terhadap pengambil kebijakan. Semua program arahnya untuk keikutsertaan petani lahan kering dalam pembagunan dan sebaliknya keterlibatan pemerintah dalam aktivitas petani, di samping berperannya sektor swasta dan pengusaha lokal dalam memotivasi komunitas ini. Dengan demikian, peran partisipatif bisa tercipta dalam upaya penguatan ekonomi peani lahan kering di Gampong Lampisang Dayah.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB
PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING
MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF
Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
J A I L A N I
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Partisipatif
Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
N a m a :
J a i l a n i
N R P : I354060055
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec K e t u a
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kajian ini membahas kondisi petani lahan kering yang belum mencapai tingkat kesejahteraan keluarga kehidupannya, sedangkan potensi SDA masih tersedia. Sehubungan dengan permasalahan dimaksud, maka kajian ini menyajikan program pengembangan masyarakat tani. Tulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca untuk menjadikan program pengembangan masyarakat di tempat lain, disesuaikan dengan rekomendasi yang telah ditetapkan.
Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai penulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan ponghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Departemen Sosial Republik Indonesia sebagai sponsor beasiswa,
2. Pemda Kabupaten Aceh Utara memberi Tugas Belajar dan bantuan biaya, 3. Ketua Program MPM-IPB dan seluruh staf pengajar MPM,
4. Pihak STKS Bandung dengan segala fasilitas proses belajar-mengajar, 5. Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan penulitas KPM,
6. Pihak keluarga (istri dan anak) yang telah memberi dorongan moril, 7. Warga Gampong Lampisang Dayah dengan partisipasinya,
8. Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.
Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga KPM akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat petani lahan kering.
Bogor, 22 Februari 2008
Penulis, dilahirkan di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 31 Desember 1966. Kedua orang tua merupakan suku Aceh dengan mata pencaharian bertani, orang tua laki-laki bernama Ishak bin Husen, (almarhum 1971) dan ibu bernama Fatimah binti Saat. Penulis sendiri merupakan putra ke enam di antara delapan bersaudara.
Jenjang pendidikan formal, Sekolah Dasar Negeri Tanoh Abee tamat 1979, SMP Negeri Seulimeum tamat 1982 dan SMA Negeri Seulimeum tamat 1985. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 988, mengambil jurusan Penyiaran dan Penerangan selesai 1994. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, dengan sponsor Depsos RI dan Pemda Aceh Utara. Studi ini dapat penulis selesaikan hanya dalam waktu 18 bulan, tepatnya lulus pada Februari 2008.
Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 1999 ditempatkan pada unit kerja Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara, menjabat Kasubbag Kepegawaian tahun 2001. Agustus 2003 dimutasi menjadi Kasubbag Umum pada Dinas Kesejahteraan Sosial, kemudian Mei 2005 mendapat kepercayaan menjadi Kasubbag Keuangan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada tanggal 31 Agustus 2006.
Keluarga, tanggal 21 Mei 2001 menikah dengan Juliana binti Ibrahim (lahir di Lhokseumawe 30 September 1982), sekarang sedang menempuh pendidikan pada jurusan Hukum Pidana Unima Lhokseumawe. Hasil pernikahan tersebut telah diberkahi dua putri, pertama bernama Shifwa Sunnia lahir di Cunda tanggal 18 Mei 2002, sedangkan putri kedua Rieha Karima lahir di Lhokseumawe tanggal 14 September 2005.
Bogor, 22 Februari 2008
PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING
MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF
Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum
Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
J A I L A N I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.
Bogor, 22 Februari 2008
JAILANI. Strategy and Programs for the Strengthening Economy of Dry Land Farmers through Participative Approach, a Case Study in Gampong Lampisang Dayah, Seulimeum subdistrict, Aceh Besar Regency, Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under the Guidance of Yusman Syaukat as the chairman and Sarwititi S. Agung as the member.
Out of 120 heads of family in Gampong Lampisang Dayah, 60 of them are dry land farmers with farming and herding activities. Farming system conducted in unirrigated agricultural fields depends very much on the rainy season and still uses the subsistent pattern. The main problem the dry land farmers facing is their inability to improve their welfare due to the limited knowledge on managing dry land. The aim of this study is to estimate the level of farmers’ welfare based on per capita income and to evaluate the success of the activities in utilizing the dry land.
Dry land farmers in Gampong Lampisang Dayah have the potential to develop farming because the dry land covers an area of 524 hectares, the availability of technical assistance, and the high demand for agricultural products. The productive aged people in this village are about 70.12 percent, while the productive heads of family are around 94.12 percent. The weakness is that social relationship pattern among dry land farmers is still limited to horizontal cooperation, and the network with other institutions has not been established.
The activities of dry land farmers are planting the second crop on unirrigated land and raising old plants in the garden, and there are 4 family heads herding buffaloes and cows on 135 hectares of grassy land. The ownership of dry land is averagely 0.6 hectares with an average monthly income of Rp1,083,581, and monthly outcome of Rp Rp691,318. The analysis result of the welfare level of dry land farmers by referring to the figures of per capita income of poverty line in Aceh Besar Regency showed that 47.06 percent of family heads were categorized as poor with the indicator being unable to meet their basic needs.
Efforts to improve the welfare of dry land farmers can be carried out with a number of problem solving strategies through SWOT analysis. By utilizing the strength of farmer community and the opportunity in their environment, it is expected they can minimize their weaknesses and prevent the possible threats. Strategy analysis was successful in designing 20 programs for the empowerment of dry land farmers. The recommendation is that it is necessary for the government of Aceh Besar regency, local businessmen and dry land farmers to involve themselves in the activities of empowerment.
Keywords: Strengthening the Economy of Farmers, Dry Land, Participative Approach
JAILANI, Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Komisi Pembimbing adalah Yusman Syaukat sebagai ketua dan Sarwititi S. Agung sebagai anggota.
Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999) dan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provonsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin luas kewenangan dalam pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, kembali menata sistem pemerintahan daerah dalam Provinsi NAD sampai pada tingkat paling bawah yakni pedesaan. Untuk menjalankan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), pemerintah daerah merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional, di antaranya penjaringan aspirasi masyarakat melalui jalur musrenbangdes dan musrenbang.
Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 60 kepala keluarga di antaranya adalah petani lahan kering dengan kegiatan pengolahan lahan pertanian dan penggembalaan ternak. Usahatani yang dilakukan di ladang sangat tergantung pada musim hujan (rainfed) dan sistem pertanian masih menganut pola subsisten. Karakteristik pertanian subsisten yakni rendahnya pengetahuan tentang pengolahan tanah, belum menerapkan teknologi pertanian, permodalan yang kecil dan tidak memiliki akses pasar yang lebih luas. Akibat dari permasalahan subsisten inilah, sehingga petani lahan kering tdak berkemampuan meningkatkan pendapatan akhirnya rendahnya kesejahteraan hidup keluarga.
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, potensi lahan kering dan profil petani lahan kering dengan menganalisis tingkat kesejahteraan petani berdasarkan tingkat pendapatan perkapita. Selanjutnya mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pertanian dan peternakan terhadap pemanfaatan lahan kering. Pada bagian akhir kajian ini untuk upaya pemberdayaan, merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan kering. Kegunaan dari kajian diharapkan antara lain menjadi suatu masukan bagi pihak berwewenang dalam pengambilan keputusan terhadap penanggulangan kemiskinan petani lahan kering berdasarkan program yang telah dirancang.
berupa dukungan pendamping teknis meliputi peran PPL Pertanian dan mantri hewan. Tahun 2007 munculnya program Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias membentuk kelompok petani lahan kering dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Akan tetapi menjadi suatu ancaman bagi justru pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah tidak melibatkan petani lahan kering, termasuk dalam penyelenggaraan musrenbangdes maupun musrenbang. Hal ini diperlukan supaya bisa menampung aspirasi masyarakat petani sebagai implementasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang nenekankan
pola bottom-up planing.
Kegiatan petani lahan kering secara rutin hanya pada tiga sektor yakni usahatani palawija seperti jagung, cabe, tomat, kacabg dan ubi kayu di ladang dan tanaman tua kopi, kelapa, pisang dan pinang di kebun. Komunitas petani lahan kering desa ini hanya 4 kepala keluarga di antaranya melakukan kegiatan penggembalaan ternak kerbau dan lembu di atas 135 hektar lahan dataran rumput. Kepemilikan lahan kering rata 0,6 hektar dengan pendapatan rata-rata Rp1,083,581 perbulan, dan pengeluaran Rp691,318 perbulan. Hasil analisis tingkat kesejahteraan petani lahan kering, merujuk pada angka pendapatan per kapita poverty line Kabupaten Aceh Besar diketahui 47,06 persen kepala keluarga tergolong miskin dengan indikator tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga.
Upaya peningkatan kesejahteraan hidup petani lahan kering dapat dilakukan beberapa strategi pemecahan masalah melalui analisis SWOT dan FGD bersama petani lahan kering, unsur Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan BPM Kabupaten Aceh Besar. Dengan memamfaatkan kekuatan komunitas petani dan peluang sekitar lingkunganya diharapkan mampu meminimalisir kelemahan diri dan mencegah ancaman yang muncul. Berdasarkan analisis SWOT ditemukan 10 strategi yang dianggap efektif untuk dasar penyusunan program. Analisis strategi tersebut berhasil memunculkan 20 program pemberdayaan petani lahan kering. Keduapuluh program dimaksud dapat dijalankan secara bertahap menurut prioritas jangka waktu; yakni jangka pendek untuk tahun 2008, jangka menengah yakni tahun 2008 sampai dengan 2009, sedangkan jangkla panjang bisa dilaksanakan pada rencana strategic 2010 -2015.
Program-program yang dimunculkan dalam karya akhir ini secara garis besar meliputi pembentukan kelembagaan petani lahan kering, pendampingan teknis, sosialisasi teknologi, kemitraan dan pemodalan dan advokasi terhadap pengambil kebijakan. Semua program arahnya untuk keikutsertaan petani lahan kering dalam pembagunan dan sebaliknya keterlibatan pemerintah dalam aktivitas petani, di samping berperannya sektor swasta dan pengusaha lokal dalam memotivasi komunitas ini. Dengan demikian, peran partisipatif bisa tercipta dalam upaya penguatan ekonomi peani lahan kering di Gampong Lampisang Dayah.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB
PENGUATAN EKONOMI PETANI LAHAN KERING
MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF
Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
J A I L A N I
Tugas Akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Partisipatif
Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
N a m a :
J a i l a n i
N R P : I354060055
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec K e t u a
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS
Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulisan tugas akhir kajian pengembangan masyarakat (KPM) sebagai persyaratan menyelesaikan studi pada Progam Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dapat penulis selesaikan tepat waktunya. Judul KPM ini adalah Strategi dan Program Penguatan Ekonomi Petani Lahan Kering Melalui Pendekatan Partisipatif, Studi Kasus di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kajian ini membahas kondisi petani lahan kering yang belum mencapai tingkat kesejahteraan keluarga kehidupannya, sedangkan potensi SDA masih tersedia. Sehubungan dengan permasalahan dimaksud, maka kajian ini menyajikan program pengembangan masyarakat tani. Tulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca untuk menjadikan program pengembangan masyarakat di tempat lain, disesuaikan dengan rekomendasi yang telah ditetapkan.
Penyusunan tugas akhir ini tidak akan terlaksana jika penulis lakukan sendiri, tetapi justru berkat bantuan semua pihak sehingga telah memudahkan pengumpulan data sampai penulisan. Sehubungan dengan dukungan dan jasa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimaksih dan ponghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Departemen Sosial Republik Indonesia sebagai sponsor beasiswa,
2. Pemda Kabupaten Aceh Utara memberi Tugas Belajar dan bantuan biaya, 3. Ketua Program MPM-IPB dan seluruh staf pengajar MPM,
4. Pihak STKS Bandung dengan segala fasilitas proses belajar-mengajar, 5. Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan penulitas KPM,
6. Pihak keluarga (istri dan anak) yang telah memberi dorongan moril, 7. Warga Gampong Lampisang Dayah dengan partisipasinya,
8. Kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam riset.
Penulis sangat menyadari bahwa penyajian kajian ini masih banyak kekurangan. Guna menyempurnakannya, tentu memerlukan munculnya koreksi dan saran konstruktif dari pihak penelaah. Kritikan tersebut penulis harapkan secara lisan maupun tulisan, sehingga KPM akan lebih sempurna dan bermanfaat bagi masyarakat petani lahan kering.
Bogor, 22 Februari 2008
Penulis, dilahirkan di Gampong Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 31 Desember 1966. Kedua orang tua merupakan suku Aceh dengan mata pencaharian bertani, orang tua laki-laki bernama Ishak bin Husen, (almarhum 1971) dan ibu bernama Fatimah binti Saat. Penulis sendiri merupakan putra ke enam di antara delapan bersaudara.
Jenjang pendidikan formal, Sekolah Dasar Negeri Tanoh Abee tamat 1979, SMP Negeri Seulimeum tamat 1982 dan SMA Negeri Seulimeum tamat 1985. Melanjutkan Perguruan Tinggi pada Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 988, mengambil jurusan Penyiaran dan Penerangan selesai 1994. Agustus 2006 diterima pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, dengan sponsor Depsos RI dan Pemda Aceh Utara. Studi ini dapat penulis selesaikan hanya dalam waktu 18 bulan, tepatnya lulus pada Februari 2008.
Riwayat pekerjaan di Pemerintahan, menjadi CPNSD tahun 1999 ditempatkan pada unit kerja Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara, menjabat Kasubbag Kepegawaian tahun 2001. Agustus 2003 dimutasi menjadi Kasubbag Umum pada Dinas Kesejahteraan Sosial, kemudian Mei 2005 mendapat kepercayaan menjadi Kasubbag Keuangan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial. Sehubungan dengan panggilan IPB, penulis menyatakan mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada awal Agustus 2006 dan memperoleh Tugas Belajar pada tanggal 31 Agustus 2006.
Keluarga, tanggal 21 Mei 2001 menikah dengan Juliana binti Ibrahim (lahir di Lhokseumawe 30 September 1982), sekarang sedang menempuh pendidikan pada jurusan Hukum Pidana Unima Lhokseumawe. Hasil pernikahan tersebut telah diberkahi dua putri, pertama bernama Shifwa Sunnia lahir di Cunda tanggal 18 Mei 2002, sedangkan putri kedua Rieha Karima lahir di Lhokseumawe tanggal 14 September 2005.
Bogor, 22 Februari 2008
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 5
1.4 Kegunaan ... 5
1.5 Batasan Kajian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Penguatan Ekonomi ... 7
2.2 Pendekatan Partisipatif ... 8
2.3 Pemberdayaan Masyarakat ... 10
2.4 Kelembagaan ... 11
III. METODE KAJIAN ... 13
3.1 Kerangka Pemikiran ... 13
3.2 Lokasi dan Waktu Kajian ... 15
3.3 Sumber Data ... 16
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 18
3.4.1 Wawancara ... 18
3.4.2 Survei ... 18
3.4.3 Focused Group Discussion (FGD) ... 18
3.4.4 Studi Dokumentasi ... 19
3.5 Metode Analisis Data ... 19
3.6 Rancangan Penyusunan Program ... 20
IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DAN PERTANIAN LAHAN KERING ... 22
4.1 Peta Sosial Gampong Lampisang Dayah ... 22
4.1.1 Lokasi ... 22
4.1.2 Kependudukan ... 23
4.1.3 Kondisi Prekonomian ... 25
4.1.4 Struktur Komunitas ... 27
4.1.5 Kelembagaan dan Organisasi ... 29
4.1.6 Sumber Daya Lokal ... 31
4.1.7 Masalah Sosial dan Konflik ... 31
4.2 Pengembangan Lahan Kering ... 33
4.2.1 Deskripsi Kegiatan Petani Lahan Kering ... 33
4.2.2 Evaluasi Kegiatan Petani Lahan Kering ... 36
4.2.3 Pengembangan Ekonomi ... 38
4.2.4 Pengembangan Kelembagaan ... 39
5.1 Karakteristik Responden ... 43 5.1.1 Golongan Umur Responden ... 43 5.1.2 Jumlah Anggota Keluarga ... 44 5.2 Kondisi dan Permasalahan Usahatani ... 45 5.2.1 Kepemilikan Lahan Kering dan Pemanfaatan ... 45 5.2.2 Permasalahan Usahatani ... 59 5.3 Tingkat Kesejahteraan Petani Lahan Kering ... 56 5.3.1 Peneriman Petani Lahan Kering ... 56 5.3.2 Total Biaya ... 58 5.3.3 Pendapatan Petani Lahan Kering ... 58 5.3.4 Pengeluaran Keluarga ... 61 5.3 Rangkuman Tingkat Kesejahteraan ... 64
VI. STRATEGIS DAN PROGRAM PENGEMBANGAN
PERTANIAN LAHAN KERING ... 64 6.1 Kondisi Lingkungan Pertanian Lahan Kering ... 64 6.1.1 Faktor Internal ... 65 6.1.2 Faktor Eksternal ... 70 6.2 Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering ... 75
6.2.1 Membentuk kelembagaan (kelompok tani) Berbasis
Lahan Kering, Bersama Program BRR Aceh-Nias, ... 76 6.2.2 Memamfaatkan Potensi Lahan Kering dalam Menggalang
Kerjasama Usahatani Bersama Program BRR ... 76 6.2.3 Memanfaatkan Jasa Pendamping Teknis dalan rangka
Intensifikasi Lahan Kering ... 77 6.2.4 Memamfaatkan Perkembangan Pasar dengan Membentuk
Koperasi Simpan-pinjam sebagai Sarana Perekonomian
Petani Lahan Kering ... 77 6.2.5 Memanfaatkan Jasa Pendamping Teknis sebagai
Pemandu Kegiatan Usahatani ... 78 6.2.6 Memamfaatkan Program BRR untuk Memperkenalkan
dan Menerapkan Peralatan Teknologi Sederhana ... 79 6.2.7 Memamfaatkan Lahan Terlantar untuk Kegiatan Kelompok
Tani dalam rangka Kemitraan dngan Pengusaha Lokal ... 79 6.2.8 Meningkatkan Kerjasama Petani Lahan Kereing dalam
Memantau Penyelenggaraan Musrenbangdes ... 80 6.2.9 Meningkatkan SDM Bidang Pertanian untuk Mendapat
Kepercayaan Sektor swasta/Pengusaha Lokal ... 81
6.2.10 Memanfaatkan Musrenbangdes sebagai Media Partisipatif
dalam Penyampaian Aspirasi Petani Lahan Kering ... 81
6.3 Rancangan Program ... 85
6.3.1 Pembentukan Kelompok Pertanian Lahan Kering ... 88 6.3.2 Pembentukan Lembaga Adat Seuneubok ... 88 6.3.3 Kerjasama BBR dengan Kelompok Pertanian Lahan Kering.. 89 6.3.4 Kerjasama BRR dengan Lembaga Adat Seuneubok ... 89 6.3.5 Pendampingan PPL Pertanian Terhadap
Lahan Intensifikasi ... 90 6.3.6 Penyuluhan PPL terhadap Peremajaan Kebun ... 91 6.3.7 Mendirikan Koperasi Simpan-pinjam Berbadan Hukum ... 91 6.3.8 Melibatkan Donatur dalam Koperasi ... 92 6.3.9 Pelibatan Pendamping Teknis dalam kegiatan
Adat Seuneubok ... 93 6.3.11 Pengenalan Cara dan Penerapan Alat Pengolah
Minyak Kelapa ... 93 6.3.12 Pengenalan Cara dan Penerapan Alat Pengolah
Sabut Kelapa ... 94 6.3.13 Kemitraan Usahatani dengan Sektor Swasta ... 94 6.3.14 Kerjasama Usahatani dengan Pengusaha Lokal ... 94 6.3.15 Melakukan Advokasi ke BPM Aceh Besar, sebelum
Penyelenggaraan Musrenbangdes ... 95 6.3.16 Melakukan Advokasi ke BAPPEDA Aceh Besar
Sebelum penyelenggaraan Musrenbangdes ... 95 6.3.17 Pemberian Bimbingan Teknis Bidang Pertanian ... 96 6.3.18 Pemberian Bimbingan Teknis Bidang Peternakan ... 96 6.3.19 Partisipatif Petani Lahan Kering dalam
Pelaksanaan Musrenbangdes ... 97
6.3. 20 Partisipatif Petani Lahan Kering dalam
Pelaksanaan Musrenbang ... 97
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 104
7.1 Kesimpulan ... 104 7.2 Rekomendasi ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 108
Halaman
1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat ... 16
2 Matrik Kelengkapan Metode Pengumpulan Data ... 17
3 Jenis Lahan Desa dan Luas ... 22
4 Jenis Mata Pencaharian Kepala Keluarga ... 25
5 Ketersediaan Jenis Lahan Kering... 27
6 Jenis Organisasi dan Kepegurusan ... 32
7 Jumlah Responden Menurut Golongan Umur ... 43
8 Klasifikasi Jumlah Anggota Keluarga Responden... 44
9 Klasifikasi Luas Lahan Kering responden... 46
10 Penggunaan Lahan Kering Sesuai Jenis Tanaman... 48
11 Ketersediaan Modal Untuk usahatani Ladang dan Kebun... 50
12 Mamfaat Jalan Terhadap Kegiatan Usahatani Ladang dan Kebun ... 51
13 Penerapan Teknologi dalam Kegiatan Pertanian Ladanng / Kebun... 52
14 Interaksi Pasar Tingkat Desa Bagi Petani Lahan Kering ... 53
15 Pengetahuan Petani Terhadap Pengolahan Lahan ... 54
16 Jaringan Kerja Petani dengan Institusi Luar Desa ... 55
17 Penerimaan Rata- Rata Responden Pertahun ... 57
18 Analisis Pendapatan Rata-Rata Responden Pertahun ... 58
19 Pendapatan Responden Pertahun dan Perbulan ... 60
20 Perbandingan Pendapatan Rata-rata dan
Pengeluaran Keluarga Perbulan ... 62
21 Perbandingan Pendapatan Kepala Keluarga dengan Batas
Pendapatan Miskin Sesuai Poverty Line Aceh Besar ... 63
22 Matriks Analisis SWOT Pemberdayaan Petani Lahan Kering ... 75
23 Tahapan Pelaksanaan Program ... 86
Halaman
1 Skema Kerangka Berpikir... 14
2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin... 24
3 Skema Pola Hubungan Kerja Petani Lahan Kering... 41
Halaman
1 Peta Provinsi NAD dan Kabupaten Aceh Besar
Kecamatan Seulimeum dan Gampong Lampisang Dayah ... 110
2 Kuisioner Terhadap Petani Lahan Kering ... 111
3 Pedoman Wawancara terhadap Aparat Desa ... 113
4 Pedoman Wawancara Terhadap Pengusaha ... 114
5 Pedoman Wawancara Terhadap Mantri Hewan ... 115
6 Pedoman Wawancara Terhadap PPL Pertanian ... 116
7 Kuisioner Analisis SWOT ……….. 117
8 Jawaban Kuisioner Faktor Internal ... 118
9 Jawaban Kuisioner Faktor Eksternal ... 119
10 Pedoman Focus Group Discussion ... 120
11 Pepemilikan Lahan Kering Responden ... 121
12 Pengeluaran Keluarga Responden Sesuai Analisis
Kebutuhan Perbulan ... 122
I. P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Dengan bergulirnya Otonomi Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999),
dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Otonomi Khusus
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka semakin
luas kewenangan Pemerintah Daerah (kabupaten) dalam pelaksanaan program
pembangunan kesejahteraan sosial, ekonomi dan sektor lainnya guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kemudian, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh telah menyusun kembali pengaturan struktur
Pemerintahan sampai di tingkat paling bawah dalam rangka mempercepat proses
pembangunan pedesaan.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, menitikberatkan pola perencanaan bottom-up
(dari bawah ke atas) yakni dengan melibatkan aspirasi masyarakat setempat melalui
wadah musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbangdes). Artinya, posisi
masyarakat bukan hanya sebagai objek pembangunan melainkan harus
berperanserta sebagai pelaku atau subjek pembangunan.
Partisipasi masyarakat desa bersama pemerintah dibutuhkan dalam upaya
menentukan arah pembangunan ekonomi, khususnya dalam pembangunan pertanian
di pedesaan. Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1996), berpendapat bahwa lingkup
partisipasi masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan
arah kebijakan pembangunan meliputi tahap penyusunan perencanaan, penentuan
kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan, kerjasama serta monitoring
dan evaluasi.
Pertanian lahan kering menurut Notohadiprawiro (1989) ialah sektor pertanian
yang dikerjakan tanpa suatu sistem penggenangan air di atas lahan garapannya.
Yang termasuk lahan usahatani lahan kering adalah padi gogo, palawija, rumput
pakan ternak dan perkebunan. Petani yang memanfaatkan air irigasi secara “sadapan”
sejauh tidak menggenangi air, disebut lahan kering. Penanaman padi di sawah dan
perikanan tambak tidak tergolong kategori pertanian lahan kering.
Prospek ekonomi petani lahan kering agak sulit terwujud jika tidak didukung
ketersediaan sumberdaya manusia lokal yang memadai. Lahan kering perlu dpelihara
sepadan dengan pemeliharaan sumber air, sebagaimana anjuran Departemen
Pertanian RI dalam La An (2006) “ upaya penyimpanan air secara maksimal pada
musim penghujan dan pemanfaatannya secara efesien pada musim kemarau.
Konservasi tanah dan konservasi air berjalan beriringan dimana saat melakukan
tindakan konservasi tanah dilakukan juga tindakan konservasi air”.
Penggarapan lahan kering sebenarnya tidak terbatas pada sektor tanaman
palawija saja, melainkan bisa saja dialihkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif,
seperti peternakan dan perkebunan dengan memadukan kekuatan kapasitas sumber
daya manusia (SDM) dan kelembagaan lokal, Sistem pertanian lahan kering
cenderung bersifat subsisten (untuk kebutuhan sendiri), identik dengan pertanian
pangan seperti padi dan jagung. Pertanian subsisten ini menggunakan lahan (tanah)
dan tenaga kerja keluarga sebagai faktor produksi, yang dicirikan oleh beberapa
karakteristik, antara lain; produktivitas rendah, penerapan peralatan teknologi
pertanian sangat sederhana, terbatasnya akses kepada sumber modal, sangat
tergantung pada musim hujan dan ketidaktepatan cara pengolahan tanah,
Todaro (1985).
Memperhatikan karakteristik di atas, untuk memobilisasi pertanian subsisten
menuju perubahan ke arah pengembangan yang lebih maju dan sejahtera (pertanian
komersil), perlu diperhatikan unsur tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga
petani lahan kering. Argumentasi bahwa perlunya diprioritaskan pembenahan tenaga
kerja, mengingat keberadaan SDM itulah yang bisa mengendalikan teknologi dan
memanfaatkan sumber daya alam secara tepat. Penekanan pada fungsi tenaga kerja
(petani lahan kering dan keluarga) dianggap bisa mematahkan (breakdown)
kebiasaan-kebiasaan yang tidak tepat, keliru dari pola kerja pertanian subsisten.
Sehubungan dengan permasalahan pertanian subsisten tersebut, maka
usahatani masyarakat relatif tertinggal dan berdampak pada rendahnya penghasilan.
Akibatnya keluarga petani lahan kering mengalami ketertinggalan dalam berbagai
aspek kehidupan sosial, pendidikan dan kesehatan. Keadaan mereka diperparah lagi
ketidakcukupan pangan karena tidak melakukan penanaman padi sebagai kebutuhan
dasar, sehingga terdapat keluarga mengalami kekurangan pangan. Keluarga tersebut
jika dikaitkan dengan pendapatan rendah maka dapat dikatagorikan sebagai keluarga
miskin, dengan indikatornya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs).
Menurut Green dalam Widodo (1993) dan Streeten dalam Supriatna (1997), di antara
untuk konsumsi (personal consumption items) meliputi pangan, sandang, papan dan
peningkatan akses pada pelayanan publik (access to public services) meliputi aspek
kesehatan dan pendidikan.
Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah telah berusaha dengan berbagai program penanggulangan
kemiskinan. Pemerintah Pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) pernah menetapkan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Desa
(Gampong) Lampisang Dayah tahun 1994. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar
bersama aparat desa dan pendamping khusus tidak dapat melanjutkan
pengembangan program tersebut disebabkan beberapa tahun kemudian Aceh dilanda
konflik bersenjata.
Sehubungan dengan diberlakukan Darurat Militer (Darmil) di Aceh tahun 2004,
petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah mulai melakukan kegiatan kembali
dengan aktivitasnya di sektor pertanian (ladang/kebun) dan empat kepala keluarga di
antaranya bergerak di sektor penggembalaan (geumeubew) ternak kerbau dan lembu.
Dengan kegiatan tersebut telah memacu aktivitas petani lainnya guna menekuni
aktivitas pertanian, terutama dalam pemanfaatan kembali lahan kering yang pernah
ditinggalkan. Mengingat kegiatan penggembalaan ada kaitan ke depan (forward
linkages) dan kaitan ke belakang (backward linkages) seperti penggemukan ternak,
sehingga dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi petanian lahan kering.
Penggunaan potensi sumber daya lokal terhadap kedua kegiatan di atas
meliputi peremajaan kebun kelapa dan kebun kopi, penanaman tanaman palawija di
atas lahan ladang dan penggembalaan ternak di atas dataran rumput. Seharusnya
dengan adanya kegiatan-kegiatan pertanian dan penggembalaan bisa mengatasi
permasalahan petani dalam rangka peningkatan pendapatan, dan penyediaan
lapangan kerja bagi keluarga dan petani lahan kering lainnya. Setelah aktvitas petani
lahan kering di desa ini berlangsung tiga tahun, sekarang layak ditinjau kembali tingkat
keberhasilannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.
1.2 Rumusan Masalah
Pemberdayaan dan pengembangan masyarakat terus-menerus dilaksanakan
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam rangka mensejahterakan
masyarakat. Pemerintah senantiasa mengintervensi (ikut campur tangan), dalam
pengelolaan SDA, operasional pasar supaya masyarakat terlindungi kehidupannya.
sebagai objek pembangunan, seharusnya dilibatkan sebagai pelaku pembangunan.
Hal ini penting karena mayoritas masyarakat hidup di sektor pertanian dengan
mengolah lahan kering.
Sebagai negara agraris, mayoritas penduduk Indonesia tinggal di perdesaan
dan bermatapencaharian di sektor pertanian, baik menggarap lahan sawah maupun
lahan kering. Menurut laporan Puslitbangtanak dan BPS Nasional (2002), berdasarkan
kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng dan iklim), dari 107 juta hektar
lahan pertanian di Indonesia, 76,2 juta hektar (71,21 %) diantaranya merupakan lahan
kering potensial, dan 24,5 hektar (28,79 %) berupa lahan sawah.
Pengembangan masyarakat petani lahan kering sangat tepat dilakukan karena
keberadaan lahan kering mendukung kegiatan pertanian dan peternakan. Menurut
data BPS NAD (2005), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki 1.586.126
hektar lahan kering. Di antara 22 kabupaten/kota dalam Provinsi NAD, Kabupaten
Aceh Besar memiliki lahan kering yang cukup luas yakni 164.294 hektar (10,36 %).
Seulimeum merupakan kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang memilki lahan
kering terluas, yakni 31.438 hektar (19,14 %).
Gampong Lampisang Dayah merupakan desa dalam Kecamatan Seulimeum
mempunyai luas 675 hektar termasuk tanah negara 225 hektar. Desa ini memiliki
potensi lahan kering relatif besar yaitu 524 hektar (77,62 %). Berdasarkan
ketersediaan lahan kering tersebut dan keterlibatan Pemerintah Kabupaten Aceh
Besar, sektor swasta (pengusaha), masyarakat Gampong Lampisang Dayah dan
komunitas petani lahan kering setempat, dengan mengandalkan potensi sumber daya
alam yang dimiliki, maka kreativitas yang efektif dilaksanakan hanya sektor pertanian
dan penggembalaan ternak. Pertanyaannya adalah, apakah aktivitas pertanian dan
penggembalaan ternak tersebut bisa meningkatkan kesejahteraan hidup petani lahan
kering Gampong Lampisang Dayah ?
Petani lahan kering desa ini selama tiga tahun terakhir bergerak kembali di
sektor pertanian dengan swadaya dan di sektor penggembalaan ternak (geumeubew)
memperoleh modal dari pengusaha dan beberapa sumber lain. Untuk itu perlu
dilakuakan evaluasi terhadap kegiatan dimaksud guna mengetahui faktor dan indikator
keberhasilannya. Pertanyaannya ialah, sejauhmana pengelolaan lahan kering
untuk aktivitas pertanian dan penggembalaan ternak dapat dilaksanakan petani lahan
kering Gampong Lampisang Dayah ?
Upaya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam meningkatkan kesejahteraan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) dan gangguan keamanan
selama terjadi konflik bersenjata. Upaya petani lahan kering mengembangkan
usahatani tentunya mengalami berbagai kendala internal dan eksternal. Sehubungan
dengan persoalan tersebut, bagaimanakah rancangan strategi dan program
pengembangan petani lahan kering yang lebih efektif ?
1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi masalah, potensi dan profil petani lahan kering dan
menganalisis tingkat kesejahteraannya berdasarkan tingkat pendapatan dan
pengeluaran dari kegiatan pertanian maupun peternakan .
2. Mengidentifikasi dan mengevaluasi keberhasilan kegiatan-kegiatan yang telah
dilaksanakan petani dalam pemanfaatan potensi lahan kering di Gampong
Lampisang Dayah.
3. Merumuskan rancangan strategi dan program pengembangan petani lahan
kering Gampong Lampisang Dayah.
1.4 Kegunaan
Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) berguna sebagai konsep
pengembangan masyarakat petani lahan kering atau bagi pertanian subsisten. Secara
khusus kajian ini dapat dijadikan sebagai panduan pembangunan sosial-ekonomi di
Kabupaten Aceh Besar.
1. Untuk mengembangkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui program
penguatan ekonomi berbasis potensi pertanian lahan kering.
2. Kajian pengembangan masyarakat ini dapat dijadikan sebagai asumsi terhadap
kajian-kajian pemberdayaan petani lahan kering dengan pendekatan yang
berbeda.
3. Menjadi masukan bagi pihak yanng berwewenang dalam pengambilan kebijakan
terhadap strategi penanggulangan kemiskinan terhadap petani lahan kering di
Kabupaten Aceh Besar.
1.5 Batasan Kajian
Kajian pengembangan masyarakat (KPM) ini fokusnya terhadap kegiatan 60
sawah irigasi teknis. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis aktivitas komunitas
tersebut dalam kegiatan-kegiatan pertanian yang berhubungan dengan usahatani
ladang, kebun dan penggembalaan ternak dan kegiatan lain yang terkait dengan
pengelolaan hasil tani, karena masyarakat tersebut menganut pola nafkah ganda.
Untuk maksud tersebut perlu diketahui dan dikaji peta sosial masyarakat
meliputi ketersediaan lahan dan penguasaannya, kependudukan dan kepadatan,
kondisi perekonomian masyarakat, struktur komunitas dan kelembagaan yang pernah
terbentuk di desa ini selama tiga tahun terakhir. Di samping itu akan ditinjau juga
pelapisan sosial dan konflik yang terjadi dikalangan petani lahan kering. Pada tinjauan
pengembangan masyarakat akan diuraikan potret petani lahan kering dalam
aktifitasnya pengolahan lahan untuk pertanian dan pemanfaatan lahan untuk
pengembalaan. Di sini menguraikan pengembangan ekonomi dari dua sektor tersebut
dan menjelaskan sejauhman pertumbuhan dan pengembangan ekonomi yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penguatan Ekonomi
Penguatan ekonomi sektor pertanian terutama terhadap tanaman pangan,
dapat dibangun dengan konsep agribisnis. Secara kuantitatif diperhatikan juga
sejauhmana pemanfaatan sumber daya lokal atau sumber daya alam melalui kegiatan
sektor pertanian dan sejauhmana dapat dikembangkan kegiatan tersebut dengan
tujuan peningkatan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Peran
kelembagaan dan sumber daya manusia turut mempengaruhi kinerja bidang pertanian
dalam usaha keberhasilan pemanfaatan sumber daya alam.
Menurut Escafe dan Collin Clark dalam Winardi (1995), untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi (economic growth) perlu dilihat aspek pemunculan
sumber-sumber produksi baru, apakah dapat dipertahankan usaha atau bisa ditingkatkan lagi
produksi dan membuka lapangan kerja sekitarnya. Perekonomian yang belum
berkembang maka pertanian merupakan pekerjaan dan sumber pendapatan pokok.
Ketika pertanian tersebut tumbuh, maka industri manufaktur dan jasa akan tumbuh.
Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi dimaksud perlu keterkaitan
produksi pertanian (forward linkages dan backward linkages) yaitu mata rantai dari
produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, yang disebut agribisnis. Parhepi
dan Goal dalam Soekartawi (1993), mengidentifikasi dalam 5 faktor yang menghambat
pola dan hubungan mata rantai agribisnis di pedesaan. Pertama pola produksi
komoditi pertanian tersebar sehingga sulit pembinaan yang efektif, kedua infrasruktur
belum memadai sehingga sulit mencapai efesiensi usahatani, ketiga biaya produksi
lebih tinggi karena terisolir daerah, keempat pemusatan agroindustri di kota besar
sehingga nilai bahan baku pertanian menjadi mahal akibat biaya-biaya yang
dikeluarga, kelima sistem kelembagaan di pedesaan yang lemah, sehingga tidak
mendukung kegiatan agribisnis.
Kegiatan agribisnis perlu dimaksimalkan, dengan mempengaruhi pelaku
pembangunan pertanian pedesaan. Mosher dalam Soekartawi (1993) menawarkan 4
aspek alternatif. Pertama pemanfaatan sumberdaya dengan tanpa merusak
lingkungan (resourse endowment), kedua pemanfaatan teknologi yang senantiasa
berubah (technological endowment), ketiga pemanfaatan budaya (cultural
endowment) untuk keberhasilan pembangunan pertanian, keempat pemanfaatan
Todaro (1985) mengemukakan, sangat diperlukan secara menyeluruh
melakukan perubahan-perubahan kepada seluruh sendi kehidupan sosial, ekonomi
dan struktur kelembagaan pada masyarakat desa. Jika tidak dilakukan pembenahan
hal dimaksud, maka pembangunan pertanian sulit berkembang bahkan akan terjadi
kesenjangan antar kelompok petani kecil dengan pemilik tanah. Artinya, penguatan
ekonomi masyarakat petani terpengaruh pada kondisi sosial dan budaya setempat.
2.2 Pendekatan Partisipatif
Menurut Dagun (1987) dari sekian banyak pengertian pendekatan antara lain
disebutkan tentang suatu cara menangani atau memecahkan masalah. Sedangkan
partisipatif diartikan keikutsertaan atau berperan-serta dalam suatu kegiatan. Jika
kedua kata tersebut didefinisikan berarti; suatu metode fasilitasi penyelesaian masalah
secara bersama-sama terhadap apa yang sedang diperhatikan.
Pendekatan partisipatif di sini dimaksudkan pada cara tempuh dalam
penyelesaian kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial-ekonomi. Diperlukan
gerakan kolektif bersama unsur pemerintah, swasta dan masyarakat serta komunitas
petani lahan kering sendiri. Pelibatan masyarakat petani dalam kegiatan
pembangunan ekonomi bukan tujuan penguasaan material (modal usaha, dan aset
tanah) saja, namun perlu kerjasama secara berperanserta dalam membangun jejaring
sosial, penguatan kelembagaan lokal dan lainnya guna berkelanjutan (sustainable)
operasional kegiatan petani lahan kering.
Maschab dalam Suparlan (1994) menggarisbawahi, pembangunan desa
khususnya terhadap kegiatan pertanian sebagai suatu kegiatan yang terus-menerus
mementingkan peran unsur penggerak (mobilisasi) dari dalam masyarakat itu sendiri.
Pemerintah tidak bisa melaksanakan pembangunan tanpa dukungan partisipatif pihak
masyarakat, bukan disebabkan keterbatasan dana dan tenaga, tetapi karena
pembangunan manusia seutuhnya tidak terbatas pada peningkatan pendapatan dan
kemakmuran semata, tetapi harkat dan martabatnya sebagai bangsa merdeka yang
sederajad dengan bangsa lain di dunia.
Dari pemikiran di atas, program pengembangan masyarakat desa memerlukan
aspek partisipasi berbagai stakeholders khususnya unsur Pemerintah. Dalam arti lain,
penguatan ekonomi lebih mengutamakan peranan partisipasi semua unsur, namun
demikian partisipasi masyarakat desa sebaiknya tidak terbatas pada pelaksanaan
kegiatan, tetapi diperluas pada partisipasi aspiratif dalam perencanaan dengan pola
Mewujudkan partisipasi penuh, diutamakan kreativitas dan keseriusan
masyarakat tani. Pelibatan masyarakat seharusnya secara sempurna dari awal
sampai akhir proses suatu kegiatan bahkan perlu dilibatkan masyarakat dalam
evaluasi kegiatan. Pada era desentralisasi sekarang menerapkan pola bottom-up
dalam upaya memperkuat masyarakat di lapisan terendah (masyarakat tani) sebagai
objek pembangunan.
Cohen dan Uphoff dalam Prijono (1976) membatasi lingkup partisipasi
masyarakat desa, yaitu pelibatan unsur masyarakat desa dalam penentuan arah
kebijakan pembangunan harus dimulai dari tahap penyusunan perencanaan,
penentuan kebijakan kegiatan, pembuatan keputusan, penerapan keputusan,
pelaksanaan, kerjasama, penikmatan hasil proyek sampai pada monitoring dan
evaluasi program pembangunan. Konsep partisipasi masyarakat adalah konsep
bottom-up, tetapi tidak terbatas pembangunan ekonomi melainkan termasuk
persoalan transpormasi masyarakat luas (global society). Yaitu menyangkut justice
(keadilan), inclucivennes (kesetiakawanan) dan sustainability (berkesinambungan).
Artinya harus berpeluang sama dalam kebutuhan hidup, berbagi kemampuan sesama
dalam pengelolaan SDA serta memperhatikan kepentingan generasinya. Azas
demikian hanya mengandalkan masyarakat atau partisipasi aktif dimaksud diistilahkan
dengan a people centered development, Maschab dalam Suparlan (1994).
Dengan demikian, endekatan partisipatif dianggap paling efektif dalam
operasional otonomi daerah, khususnya terhadap penguatan ekonomi petani lahan
kering. Ditinjau dari aspek pembiayaan pembangunanpun termasuk paling efesien,
sebab pendekatan ini memprioritaskan rancangan pengembangan pembangunan
yang prioritas atau disesuaikan kehendak masyarakat desa seperti petani.
Uphoff dan Todaro dalam Riwu (1997), menegaskan partisipasi dalam
pembangunann dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan
kontribusi penuh guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud pada
barang-barang, tenaga, material, informasi yang konstruktif terhadap pembangunan.
Jika tujuan pembangunan perdesaan diarahkan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang diawali dari peningkatan kesejahteraan setiap keluarga, maka yang
menajdi indikatornya adalah pendapatan, pengeluaran dan produksi petani kecil yang
dihubungkan dengan pendapatan layak menurut standar setempat (poverty line).
Instrumen dan indikator pencapaiannya adalah teknologi, inovasi, kebijakan
pemerintah dan partisipasi swasta. Indikator lain ialah pengolahan, pasar, partisipatif
2.3 Pemberdayaan Masyarakat
Dikatakan pemberdayaan minimal adanya pihak pemberi dan penerima
kekuasaan atau kedua pihak saling berbagi kekuatan (empowerment share). Proses
demikian terjadi pelimpahan kekuatan, seperti dikatakan Ife dalam Suharto (2005),
“pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah
atau tidak beruntung”.
Prijono (1996) menjelaskan, pemberdayaan merupakan proses pematahan
(breakdown) kekakuan menjadi transparan dalam relasi antara subjek
(penguasa/pemerintah) dengan objek (masyarakat/petani). Proses ini mementingkan
adanya keseriusan subjek dalam membangun kemampuan objek menurut potensi
yang dimilikinya. Proses ini melihat pentingnya mengalir daya (flow of power) dari
subjek ke objek. Pemberian kuasa, kebebasan dan “pengakuan” dari subjek kepada
objek, manifestasinya dengan memberi kesempatan seluas-luasnya usaha
meningkatkan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat. Esensi
akhir yang di lihat adalah kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan
harapan berdasarkan “pengakuan” yang telah diberikan oleh subjek (Pemerintah).
Kemampuan individu dalam kegiatan merupakan bukti bahwa individu tersebut telah
memiliki daya.
Pemberdayaan masyarakat seharusnya tidak tersekat-sekat, inipun bisa
terealisasi jika semua pihak berpartisipasi penuh. Mengingat pihak objek (masyarakat)
identik dengan berbagai kelemahan/keterbatasan, maka aliran pemberdayaan subjek
(pemerintah) sering terganggu dan kurang efektif. Sehubungan dengan karakter
tersebut diperlukan keberpihakan empowerment kepada golongan powerless
(ketidakberdayaan). Empowerment merupakan modal dasar yang tidak boleh
dikonsentrasikan pada kasus tertentu saja, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan.
Membangun masyarakat melalui pemberdayaan, prosesnya terintegrasi dan
menyeluruh (ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan lainnya)
mengingat pola pengembangan masyarakat sekarang dalam kondisi modernisasi dan
globalisasi.
Menempatkan partisipasi masyarakat sebagai subjek pembangunan, Oakley
dan Marsden dalam Adimihardja (2004) menggambarkan pemberdayaan cenderung
pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan atau kemampuan
kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini biasanya ditandai dengan
upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian
Aspek pemberdayaan yang menekankan peranserta masyarakat (partisipatif)
berarti proses pembangunan berpusat pada rakyat (people development centre)
operasionalnya tidak mudah tersekat-sekat. Escap dalam Adimiharja (1999)
menyatakan “kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial,
budaya atau politik menjadi penting sebagai input untuk reformasi pembangunan yang
berpusat pada rakyat, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun
secara partisipatif.
Argumentasi diatas terkait dengan gagasan Depsos RI dan Chambers dalam
Kartasasmita (1996) “pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan
potensi ekonomi rakyat, tetapi termasuk harkat dan martabat, rasa percaya diri dan
harga dirinya, terpeliharanya tata nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai
konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang bertumpu pada
rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi
juga termasuk nilai tambah sosial-budaya”.
2.4 Kelembagaan
Mengenai kelembagaan, tinjauannya menyangkut pola norma dan hubungan.
Pembahasan pola norma terkait prilaku penataan organisasi (behavior), sedangkan
pola hubungan kaitannya dengan jejaring kerja (network) dengan institusi luar
komunitas (vertikal) maupun dalam komunitas (horizontal). Tuntutan dimaksud berlaku
terhadap kelembagaan di tingkat nasional maupun kelembagaan lokal. Thoha (1998)
menegaskan, “setiap membicarakan dinamika kelompok dalam hubungannya dengan
prilaku organisasi maka tidaklah lengkap jika belum dibicarakan pola prilaku panitia
dalam suatu organisasi. Panitia (kepengurusan) merupakan tipe formal yang amat
penting yang dijumpai sekarang ini dalam kehidupan organisasi ...”
Yang terpenting dan diharapkan dalam sebuah organisasi adalah ruh atau
keberlanjutan disebut dengan institutional sustainable. Kelembagaan berkelanjutan
mampu bergerak secara kontinyu pra realisasi bantuan maupun pasca terhentinya
bantuan donatur. Kelembagaan di negara sedang berkembang agak sulit bertahan jika
diperhatikan pada operasional proyek-proyek international seperti di Indonesia.
Sehubungan dengan pandangan tersebut, di sini menekankan makna pembangunan
lembaga yakni harus digerakkan dari lavel bawah atau digerakkan oleh masyarakat
sendiri, bukan suatu organisasi yang direkayasa dai atas sebagaimana organisasi
Menurut Esman dan Uphoff (1982), “organisasi lokal adalah asosiasi penduduk
desa yang bertanggungjawab kepada anggota-anggotanya (assositions of rural people
which are accountable tothei members) dan terlibat dalam berbagai kegiatan
pembangunan sejauhmana organisasi yang tumbuh dari bawah (grassroots
organization), bergantung pada cara mendirikan dan mengembangkannya. Organisasi
harus mampu mencerminkan pengalaman, kemampuan dan keinginan anggota ...”
Israel (1990) mendefinisikan kelembagaan (institution), pengembangan
kelembagaan (institutional development) atau pembangunan kelembagaan
(institutional bulding) merupakan proses perbaikan kapasitas organisasi supaya lebih
efektif dalam penggunaan SDM berdasarkan ketersediaan dana. Proses ini harus
mampu dijalankan secara internal maupun eksternal berupa bantuan pemerintah dan
promosi donatur lainnya. Secara luas pengembangannya diawali dari perencanaan
sampai pada evaluasi, termasuk kegiatan pembangunan pertanian.
Penguatan sebuah organisasi dalam bidang pertanian, sebaiknya
mengandalkan keberadaan institusi yang pernah bergerak dalam kegiatan serupa,
sehingga memiliki pengalaman sesama anggota. Artinya, dalam pengembangan
masyarakat lebih baik memperkuat/membenah manajemen institusi yang telah
terbentuk daripada membentuk institusi baru. Menyangkut pembentukan organisasi
(kelompok) tersebut, yang harus diperhatikan beberapa petunjuk pelaksanaan, karena
kelembagaan pembangunan yang berkelanjutan harus dibangun dari kehendak
anggota, bukan dipaksa dari atas yakni pihak yang punya kepentingan.
Mengenai pembentukan kelompok/organisasi supaya mampu menjadi
kelembagaan dimaksud, Widyastuti dan Santiasih dalam Mubyarto (1994)
menganjurkan pada setiap pembentukan kelompok supaya selalu dipertimbangakan
empat hal pokok;
1. Kelembagaan akan berhasil jika menggunakan kelompok yang pernah ada di
kalangan masyarakat. Retrukturisasi kelembagaannya harus diserahkan
sepenuhnya kepada anggota-anggota lama.
2. Jumlah anggota tidak terlalu banyak namun tidaklah mesti ditentukan jumlahnya
melainkan menurut kebutuhan kepengurusan dan keterwakilan di tingkat dusun.
3. Perlu penerangan/pendampingan teknis dari pihak pemerintah maupun organisasi
tertentu ke arah kerjasama dengan pihak lain guna mencapai tujuan strategis.
4. Perlu partisipasi unsur masyarakat desa dalam upaya mendorong kegiatan
III. METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Profil petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah tidak terlepas dengan
permasalahan besar seperti masih melekatnya dengan pola pertanian subsisten.
Petani tersebut selalu terkait dengan keterbatasan sarana penunjang aktivitas
pertanian (infrastruktur) di samping sangat sederhana dalam aplikasi teknologi
tepatguna. Akibatnya kegiatan tidak berkembang dengan baik, rendahnya produktifitas
sehingga sulit berkembang pasar yang lebih luas. Rendahnya pendapatan,
terbatasnya akses kepada sumber modal dan rendahnya SDM, mengakibatkan
rendahnya tingkat kesejahteraan.
Permasalahan sosial adalah kalangan petani lahan kering belum terjalin
kerjasama petani secara maksimal maupun hubungan dengan pihak lain luar desa
yang dapat menggalang kreativitas petani. Tujuan penggalangan petani ialah guna
memotivasi terbentuknya kelembagaan yang tangguh berkompetisi sehingga
mendapat kepercayaan institusi luar. Modal sosial tersebut dapat diusahakan melalui
jejaring sosial namun belum terjadi dengan sempurna sehingga akses kerjasama
masih terbatas, malah belum mendapat kepercayaan (trust) dari sumber modal
sekitarnya.
Permasalahan di atas sangat mempengaruhi kelancaran seluruh kegiatan
petani lahan kering yang bergerak dalam penanaman kopi dan dan kelapa serta yang
bergerak dalam penggembalaan kerbau dan lembu. Dalam kegiatannya usahatani di
lahan kering memang tidak terlepas dari unsur kelemahan dan ancaman, di samping
memiliki unsur kekuatan dan peluang. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki akan
diinventarisir dalam faktor internal, sedangkan peluang dan ancaman akan
digolongkan dalam faktor eksternal.
Tujuan akhir kajian adalah merumuskan program pengembangan masyarakat
setelah mengetahui indikator-indikator yang dapat mendukung pelaksanaan kegiatan.
Guna lebih terfokus alur pemikiran dan analisis data dimaksud, perlu disusun dalam
suatu gambaran kerangka berpikir yang sistematis, sehingga memudahkan
pengambilan data dari responden, mempercepat proses kajian analisis SWOT
(Strengths, Weaknessess, Oprtunities dan Threats), serta dalam tahapan pelaksanaan
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Keterangan :
Mempengaruhi, memerlukan
Permasalahan Petani Lahan Kering
1. Pola pertanian subsisten;
Ketergantungan pada musim
hujan (rainfed).
Ketidaktepatan cara
pengolahan tanah.
Belum diaplikasi teknologi
pertanian tepatguna.
Terbatasnya permodalan.
Tidak tersedia infrastruktur
penunjang kegiatan pertanian yang baik.
Belum terjadi interaksi pasar
yang lebih luas.
2. Pola agribisnis terkendala;
Pola produksi pertanian
ter-pencar/belum mengelompok.
Sarara/prasarana ekonomi
belum memadai.
Biaya trasportasi tinggi akibat
kondisi geografis daerah.
Pola agroindustri terpusat di
kota sehingga mahal bahan baku hasil pertanian.
Sistem kelembagaan
pedesa-an (pasar & keupedesa-angpedesa-an) lemah.
Faktor Internal Petani Lahan Kering
Ketersediaan lahan kering.
jejaring sosial/ Kerjasama
petani lahan kering.
Ketersediaan modal usaha.
Ketersediaan SDM.
Aplikasi terknologi dalam
kegiatan pertanian.
Ketersediaan infrastruktur.
Faktor Eksternal Petani Lahan Kering
Peran kelembagaan lokal.
Peranan musrenbang.
Peranan pasar dan
pemasaran hasil tani.
Peran dinas teknis melalui
pendamping teknis.
Peran swasta/pengusaha.
Peran ORNOP dalam
pemberdayaan petani. USAHATANI LAHAN KERING Strategi Rancangan Program Pembangunan sektor pertanian secara partisipatif dalam rangka penguatan ekonomi petani
lahan kering.
Hasil Yang Diharapkan Petani
lahan kering
Pemanfaatan lahan
kering secara efektif dan efesien.
Berjalannya pola
kegiatan agribisnis
Meningkatnya
3.2 Lokasi dan Waktu Kajian
Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) ini dilaksanakan di Gampong
Lampisang Dayah Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi ini merupakan kelanjutan dari Pemetaan Sosial
dan evaluasi kegiatan. Menjadi sasaran kajian yakni terhadap masyarakat petani
lahan kering yang tidak mempunyai akses tetap terhadap 105 hektar lahan sawah
irigasi.
Alasan pemilihan komunitas petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah
yakni mempertimbangkan bahwa desa ini memiliki lahan kering relatif terluas dalam
Kecamatan Seulimeum. Kemudian, di desa ini pernah dilaksanakan suatu program
pengembangan ekonomi masyarakat yang bersumber dari dana Program Inpres
Desa Tertinggal tahun 1994. Sasaran program dimaksud diarahkan kepada petani
lahan kering, tetapi terkendala disebabkan terjadinya konflik bersenjata di Provinsi
NAD, sehingga ketersediaan potensi sumber daya alam tidak dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Lahan kering desa ini meliputi lahan ladang, kebun, dataran dan
hutan yang seluruhnya memiliki luas 524 hektar, sebenarnya pernah dimanfaatkan
untuk pertanian dan pengembalaan sebelum terjadi konflik yaitu antara tahun 1970
sampai 1998.
1. Kegiatan pertanian
Usahatani berupa tanaman palawija di ladang tetapi ukuran penguasaan dan
pengelolaan lahan rata-rata relaif sangat kecil, sehingga tingkat produksi sangat
rendah. Kegiatan perkebunan dengan tanaman kopi pernah diusahakan petani di
atas tanah negara sebelum tahun 1994 namun gagal karena lahan tersebut
berpindah hak kepada pengelola hutan tanaman industri (HTI) PT. Indrapuri
(PTI). Kegiatan petani pada saat itu berlangsung secara subsisten dan belum
mendapat bantuan modal kerja serta penyuluhan (bimbingan teknis) dari
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.
2. Kegiatan Penggembalaan
Pengembalaan pernah berlangsung sebelum tahun 1998, namun tidak
berkelanjutan disebabkan Aceh ketika itu terjadi konflik. Pengembalaan ternak
kerbau dan lembu memamf lahaaatkan dataran milik negara sekitar 135 hektar.
Pemeliharaan ternak lembu yang dilakukan petani di dalam peladangan dan
perkebunan, hanyalah sebatas pemerliharaan ternak yang dimanfaatkan
Mengenai jadwal kajian lapangan terdir