• Tidak ada hasil yang ditemukan

Self-Efficacy Pada Anak Jalanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Self-Efficacy Pada Anak Jalanan"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

SELF-EFFICACY PADA ANAK JALANAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MAHARANI ASINA PASARIBU

041301117

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Maharani Asina Pasaribu dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Anak jalanan berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Anak jalanan memiliki tugas untuk belajar dan juga mencari uang dimana anak harus memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu (Baron & Byrne dalam Akbar & Hawadi, 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy pada anak jalanan. Teknik pengambilan partisipan pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Partisipan penelitian adalah anak jalanan yang berusia 7-12 tahun, tinggal dengan orang-tua dan masih bersekolah, sebanyak tiga orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi self-efficacy pada anak jalanan adalah kurangnya motivasi dan dorongan dari orang-tua dan guru untuk belajar sehingga partisipan menjadi malas belajar dan justru lebih semangat mencari uang. Orang-tua partisipan lebih fokus pada jumlah uang yang dihasilkan partisipan di jalanan daripada hasil belajar mereka di sekolah. Meskipun partisipan sebenarnya ingin dapat meningkatkan hasil belajarnya namun karena keterbatasan kemampuan partisipan sehingga partisipan tidak dapat merealisasikan keinginannya tersebut.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul Self-Efficacy Pada Anak Jalanan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra.Elvi Andriani Y., M.Si. yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan proposal skripsi ini, serta kepada Ibu Eka Ervika, M.Si. dan Ibu Meidriani Ayu S., M.Kes. untuk kritik dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang sudah sangat membantu penulis sehingga proposal skripsi ini selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, mengingat terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang dapat membangun agar proposal skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan mengembangkan wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca sekalian.

Medan, Desember 2009

(4)

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Masa Kanak-Kanak Akhir ... 13

1. Definisi Kanak-Kanak Akhir ... 13

2. Tugas-tugas Perkembangan Kanak-Kanak Akhir ... 13

B. Anak Jalanan ... 14

1. Definisi Anak Jalanan ... 14

2. Karakteristik dan Kriteria Anak Jalanan ... 15

(5)

4. Latar Belakang Anak Jalanan ... 18

5. Dinamika Kehidupan Anak Jalanan ... 19

B. Self-Efficacy ... 20

1. Definisi Self-Efficacy ... 20

2. Pembentukan Self-Efficacy ... 21

3. Sumber-sumber Self-Efficacy ... 23

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy ... 24

5. Aspek-aspek Self-Efficacy ... 26

6. Karakteristik Individu yang Mempunyai Self-Efficacy Tinggi dan Self-Efficacy Rendah ... 28

C. Self-Efficacy pada Anak Jalanan ... 29

D. Paradigma Self-Efficacy pada Anak Jalanan ... 33

BAB III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Pendekatan Kualitatif ... 34

B. Metode Pengumpulan Data ... 35

C. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 37

1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 37

2. Pedoman Wawancara ... 38

D. Kredibilitas Penelitian ... 39

E. Partisipan dan Lokasi Penelitian ... 40

1. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 40

(6)

3. Karakteristik Pastisipan ... 41

4. Lokasi Penelitian ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 42

1. Tahap Persiapan ... 42

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 43

3. Tahap Pencatatan Data ... 43

G. Prosedur Analisa Data ... 44

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 46

A. Partisipan 1 ... 46

1. Deskripsi Umum Partisipan 1 ... 46

2. Deskripsi Hasil Wawancara ... 49

3. Interpretasi Intra Subjek ... 63

B. Partisipan 2 ... 69

1. Deskripsi Umum Partisipan 2 ... 69

2. Deskripsi Hasil Wawancara ... 72

3. Interpretasi Intra Subjek ... 86

C. Partisipan 3 ... 92

1. Deskripsi Umum Partisipan 3 ... 92

2. Deskripsi Hasil Wawancara ... 95

(7)

BAB V. KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Diskusi ... 129

C. Saran ... 133

1. Saran Praktis ... 133

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 133

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan 1 ... 46

Tabel 2 Waktu Wawancara Partisipan 1 ... 49

Tabel 3 Interpretasi Partisipan 1 ... 64

Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan 2 ... 69

Tabel 5 Waktu Wawancara Partisipan 2 ... 72

Tabel 6 Interpretasi Partisipan 2 ... 87

Tabel 7 Gambaran Umum Partisipan 3 ... 92

Tabel 8 Waktu Wawancara Partisipan 3 ... 95

Tabel 9 Interpretasi Partisipan 3 ... 110

Tabel 10 Rangkuman Analisa Antar Partisipan ... 116

(9)

Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Maharani Asina Pasaribu dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Anak jalanan berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Anak jalanan memiliki tugas untuk belajar dan juga mencari uang dimana anak harus memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasnya tersebut. Self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu (Baron & Byrne dalam Akbar & Hawadi, 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy pada anak jalanan. Teknik pengambilan partisipan pada penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Partisipan penelitian adalah anak jalanan yang berusia 7-12 tahun, tinggal dengan orang-tua dan masih bersekolah, sebanyak tiga orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi self-efficacy pada anak jalanan adalah kurangnya motivasi dan dorongan dari orang-tua dan guru untuk belajar sehingga partisipan menjadi malas belajar dan justru lebih semangat mencari uang. Orang-tua partisipan lebih fokus pada jumlah uang yang dihasilkan partisipan di jalanan daripada hasil belajar mereka di sekolah. Meskipun partisipan sebenarnya ingin dapat meningkatkan hasil belajarnya namun karena keterbatasan kemampuan partisipan sehingga partisipan tidak dapat merealisasikan keinginannya tersebut.

(10)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 tampak seakan-akan menjadi pemicu bertambahnya jumlah anak jalanan di Indonesia (Koentjoro, 2001). Data Departemen Sosial (dalam Media Indonesia tanggal 1 April 2006) menyebutan bahwa anak jalanan tahun 2004 berjumlah 94.674 jiwa. Hal tersebut merupakan simbol dari kegagalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Seperti yang terlihat dari hasil wawancara dengan seorang anak jalanan berusia 8 tahun di sekitar terminal angkutan kota, yang memutuskan untuk turun ke jalan karena alasan kemiskinan.

“Kami butuh uang kak...untuk makan, mau bayar uang sekolah. Bapak narik becak, nggak cukup uangnya. Ini aku disuruh mama kesini. Pulang sekolah aku langsung kesini sampai malam jam sembilan, baru aku pulang, naik angkot sendiri. Kadang aku ngamen, kadang aku nyemir sepatu kak. Tapi kalau semir sepatu, jarang ada yang mau. Paling sedikit aku bisa dapat lima ribu, paling banyak lima belas ribu. Bisa satu hari aku nggak ada dapat uang. Kalau aku pulang nggak dapat uang, mamaku marah-marah...terus aku dipukulnya. Mama jahat kak...mama tiri, mamaku udah meninggal kena tsunami...”

(11)

jiwa menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA, 2007) dan hampir separuhnya berada di Jakarta, sedangkan sisanya tersebar ke kota-kota besar lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang dan Makasar (Suwardi, 2007).

Koentjoro (2001) menambahkan bahwa hingga kini belum ada kesepakatan batasan tunggal mengenai anak. Menurut berbagai tinjauan pustaka dan pendapat ahli psikologi perkembangan, yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 12/13 tahun. Menurut pandangan lain bahwa batas usia anak berada dalam rentang 14 tahun (Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1984) hingga 21 tahun (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 dan No. 4 tahun 1979). UNICEF dan ILO (dalam Koentjoro, 2001) juga menyepakati bahwa yang termasuk klasifikasi anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.

(12)

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti, pekerjaan-pekerjaan tersebut juga dilakukan oleh anak-anak jalanan yang berada di kota Medan. Berbagai jenis pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak jalanan demi mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.

Pada umumnya anak-anak jalanan tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan saja, melainkan dua atau lebih agar kemungkinan untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Anak-anak jalanan di kota Medan semakin hari semakin bertambah dan tahun ini berjumlah sekitar 7000 anak. Hal tersebut dikatakan oleh Jesmon, salah seorang pekerja sosial di salah satu LSM di Medan.

“Kalau untuk Medan secara keseluruhan banyak dek.. Jumlah anak jalanan sekitar 7000an. Itu termasuk mereka yang ngabisin banyak waktunya berada di jalanan tanpa melakukan pekerjaan apapun. Tapi tidak semua dari anak jalanan itu bergabung di LSM ataupun rumah singgah, yang bergabung dan dibina di rumah-rumah singgah hanya sekitar 3000 anak jalanan.”

(13)

1995). Menurut pandangan ini, anak seharusnya tinggal di dalam keluarga atau di dalam rumah tinggal (Karyanto dalam Suranto, 1999).

Departemen Sosial menjelaskan bahwa telah banyak terdapat rumah singgah dan Lembaga Swadaya Masyarakat di kota Medan dan salah satunya adalah Yayasan KKSP yang mengurus anak-anak kurang mampu termasuk di dalamnya anak jalanan, tapi hal tersebut tidak dapat mengurangi jumlah anak jalanan. Anak-anak yang memang telah menjadi Anak-anak jalanan dan mencari nafkah di jalanan sudah sulit dibina untuk tidak menjadi anak jalanan lagi (Fahmi Yayasan KKSP, 2009), namun mereka diberikan pembekalan agar dapat bertahan hidup di jalanan misalnya pembekalan bermain alat musik dan menyanyi.

Fenomena tersebut sesuai dengan teori reinforcement yang didukung oleh pernyataan Suwardi (2007) mengatakan bahwa anak-anak yang dibimbing di rumah singgah atau LSM, tak jarang yang tetap melakukan aktifitasnya di jalanan. Hal tersebut seringkali terjadi walapun pihak rumah singgah telah memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan atap untuk berlindung bagi mereka. Penyebab anak-anak tersebut kembali ke jalanan adalah tidak lain karena uang. Di jalanan mereka dengan gampang bisa memperoleh uang, yang biasanya minimum mencapai Rp 20.000 per hari. Berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh paling tidak Rp 600.000. Jumlah ini tentu saja relatif cukup besar bagi seorang anak di bawah umur 18 tahun dan hidup di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap seorang anak jalanan berumur 10 tahun yang masih memiliki keluarga inti dan tinggal bersama keluarganya :

(14)

dulu makan siang di rumah, baru aku kesini ngamen pake krincing-krincing ini. Ini aku sendiri yang buat. Aku disini ngamen sendiri aja, aku nggak ada nyetor-nyetor ke bos. Kami disini nggak ada bos, nggak ada juga yang minta-minta uang kami. Baik-baik disini semua kak. Satu hari paling dikit aku bisa dapat 20.000... Tapi aku pernah dapat 110.000 satu hari. Kawanku ada juga yang pernah dapat 300.000 satu hari, dia masih kecil segini kak, pandai dia bikin mukanya lemas-lemas, pucat kayak gini hahaha... Makanya bisa dapat banyak kali dia satu hari tu. Aku pulang ke rumah jam-jam 6 atau 7 kak.”

(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008) Yayasan Duta Awam Semarang (Kalida, 2005) mengkategorikan penyebab anak turun ke jalanan ke dalam tiga faktor yaitu ekonomi, masalah keluarga dan pengaruh teman sebaya. Dari ketiga faktor tersebut, faktor ekonomi menjadi penyebab utama yang menjadikan seorang anak turun ke jalanan yaitu karena kemiskinan, sehingga anak turun ke jalanan bukan karena inisiatif sendiri karena banyak kasus ditemui bahwa anak jalanan turun ke jalanan justru karena perintah orangtuanya.

“Sebenarnya awakpun tak maunya kerja-kerja macam ni di jalan, nyapu-nyapu angkot, kadang bantu-bantu doorsmeer... tapi cemana lah bosawak ni nyuruh, marah pulak dia nanti kalau nggak diturutin... Tapi benar pulak, bos cowok pun tak cukup uangnya buat makan kami, bos cewek juga bukannya banyak juga penghasilannya dari jualan rokoknya itu, mau makan apa nanti kami kalau nggak kerja kayak gini... adek-adek awak tu yang masih kecil juga...”

(Komunikasi personal, 9 Desember 2008)

(15)

alasan yang berbeda satu dengan yang lain. Sukiadi (dalam Hariadi dan Suyanto, 1999) mengatakan bahwa keputusan untuk menjadi anak jalanan tergantung pada diri anak itu sendiri dan pengaruh teman yang membawanya.

Karyanto (dalam Suranto, 1999) mengatakan bahwa masyarakat mengenali anak jalanan sebagai kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan, maka anak-anak jalanan dapat digolongkan sebagai pekerja anak yang bekerja dalam sektor jasa kemasyarakatan terutama yang bercirikan informal. Mereka disebut sebagai anak jalanan karena umumnya mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah di jalanan ataupun di tempat-tempat umum lainnya (Ariyanto, 1999). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Departemen Sosial No.26 tahun 1997 (dalam Waluyo, 2000) yang mengatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah.

(16)

“Aku disuruh mamaku kak...cari uang katanya. Untuk uang sekolah. Makanya aku ngamen terus kadang-kadang juga nyemir sepatu. Kalau aku nggak dapat uang, aku dimarahi mamak...kadang dipukul juga sama mamak.”

(Komunikasi personal, 16 Oktober 2008) Pernyataan di atas menunjukkan bahwa anak-anak jalanan tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan ataupun pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum dilakukan mereka, seperti mengamen, menyapu angkutan umum ataupun bekerja di doorsmeer, dimana mereka bekerja untuk mencari nafkah ataupun sekedar uang tambahan guna menghidupi keluarganya, namun mereka juga masih tetap melakukan kewajiban mereka sebagai seorang pelajar yang menjalankan pendidikan di sekolah formal seperti halnya anak-anak lain yang seumuran mereka.

“Pagi aku sekolah kak, terus pulang sekolah baru aku ngamen kesini. Nggak ada dimarahin mamak karena dia juganya yang nyuruh aku kek gini, untuk bantu-bantu bayar uang sekolahku katanya...”

(17)

yang sesungguhnya dapat membahayakan dirinya sendiri seperti mengamen di jalanan, membersihkan angkutan umum di perempatan jalan, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat memberikan penghasilan bagi mereka.

Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, diperoleh bahwa ketika seorang anak turun ke jalanan untuk menghadapi kehidupannya, maka ia juga akan berhadapan dengan lingkungan sosial dan untuk dapat bertahan dengan keadaan tersebut maka anak harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri agar dapat mempertahankan hidupnya dari berbagai macam rintangan hidup misalnya kemampuan untuk bernyanyi, berjualan, ataupun kemampuan untuk membersihkan mobil.

“aku biasanya ngamen kak, sebenarnya suarakupun tak bagus-bagus kalinya, tapi biarlah yang pentingkan dapat uang. Krincing-krincingku ini kak, aku sendiri yang buat, biar paling nggak adalah musik-musiknya.”

(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008) Hal tersebut di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Schultz (1994) mengenai kemampuan diri seseorang atau yang lebih dikenal dengan istilah self-efficacy, yaitu kemampuan individu dalam menghadapi kehidupan. Selain itu juga, Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) menambahkan bahwa self-efficacy merupakan kemampuan individu dalam mengatasi rintangan untuk mencapai tujuan dan mendapatkan sesuatu.

(18)

mengatakan bahwa anak jalanan dapat bertahan hidup di jalan karena kemampuan yang dimiliki mereka yang diperoleh dari pengalaman orang lain juga pengalaman keberhasilan yang telah dicapainya. Anak jalanan akan mengikuti apa yang dilakukan orang lain dan akan mengulangi kegiatan yang dianggapnya menghasilkan sesuatu yang menyenangkan.

“Sebenarnya aku nggak ada kak ikut-ikut kayak gini, tapi kutengok abangku banyak dia dapat uang dari nyapu-nyapu angkot sama ngamen kek gitu... jadinya akupun ikut-ikutan, lumayan juga lah kan uangnya buat bantu-bantu mamak untuk tambah-tambah uang makan kami, kalau pas dapat lebih, bisa juga kutabung...”

(Komunikasi personal, 9 Desember 2008) Schwarzer (dalam Zimbardo dan Gerrig, 1999) menjelaskan bahwa self-efficacy mempengaruhi seberapa besar usaha yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dan berapa lama seseorang dapat bertahan dalam mengatasi situasi kehidupan yang sulit. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, anak jalanan akan berusaha keras untuk mencapai tujuannya.

“biasanya aku memang ngamen kak, tapi kalau aku sudah capek nyanyi, nyemir sepatu lah aku, nengok-nengok orangnya juga lah. Biar bisa dapat uang lebih banyak lagi, karena kalau nggak bawa uang kan nanti dimarahin mamak.

(19)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy seorang anak jalanan itu mempengaruhi bagaimana cara mereka dalam mempertahankan hidupnya di jalanan dan juga bagaimana cara mereka menyelesaikan pendidikan formal yang mereka jalani sehingga menimbulkan pertanyaan bagi peneliti yaitu bagaimanakah gambaran self-efficacy yang dimiliki oleh anak jalanan dimana mereka memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar serta tanggung jawab sebagai pencari nafkah dalam keluarganya.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana gambaran self-efficacy pada anak jalanan”.

Perumusan masalah di atas akan diperinci lagi dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah persepsi anak jalanan terhadap tugas untuk mencari nafkah yang mereka hadapi dan apa dampak bagi anak jalanan tersebut?

2. Seberapa mampukah anak jalanan dapat bertahan ketika menghadapi tugas untuk mencari nafkah?

3. Bagaimanakah anak jalanan dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar di sekolah?

(20)

5. Faktor-faktor apa saja yang mendukung keberhasilan anak jalanan dalam melakukan tugas-tugasnya sebagai pelajar dan pencari nafkah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jawaban dari perumusan masalah mengenai self-efficacy pada anak jalanan.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan, yaitu membukakan wawasan mengenai self-efficacy pada anak jalanan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai anak jalanan bagi :

a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pihak-pihak yang ikut berpartisipasi terhadap masalah anak jalanan.

(21)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dalam laporan ini adalah : BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan anak jalanan dan self-efficacy.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan lokasi penelitian dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan pengolahan dan pengorganisasian data penelitian, membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan. Bab ini juga memuat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan oleh teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. MASA KANAK-KANAK AKHIR 1. Definisi Kanak-kanak Akhir

Menurut Hurlock (1999), masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual, atau dari 6 – 12 tahun. Masa kanak-kanak akhir ditandai dengan kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi dari masa kanak-kanak akhir adalah kanak-kanak yang berada pada rentang usia enam sampai dua belas tahun.

2. Tugas-tugas Perkembangan Kanak-kanak Akhir

Havighurst (dalam Monks, 1999) mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas tertentu yang harus dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Havighurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan, yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma budaya (Monks, 1999).

(23)

a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum.

b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh.

c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.

e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung.

f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.

g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai. h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga.

i. Mencapai kebebasan pribadi.

B. ANAK JALANAN 1. Definisi Anak Jalanan

(24)

sikap pemerintah yang diskriminatif, dimana anak jalanan dibedakan dengan anak-anak lain berdasarkan norma atau aturan yang ditentukan sendiri oleh rezim Orde Baru (Karyanto dalam Suranto, 1999).

Soedijar (dalam Irwanto, 1995) mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Soedijar juga menambahkan bahwa istilah anak jalanan digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasi kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Identifikasi ini kuat dipengaruhi oleh cara masyarakat yang mendasarkan pandangannya pada domestikasi. Dalam pandangan ini, anak seharusnya tinggal di dalam keluarga atau di dalam rumah tinggal (Karyanto dalam Suranto, 1999).

Menurut Suwardi (2007), seseorang dapat dikatakan anak jalanan bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia 7 – 15 tahun yang bekerja dan menggunakan jalanan ataupun tempat umum lainnya sebagai tempat mencari nafkah serta berada di jalanan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu.

2. Karakteristik dan Kriteria Anak Jalanan

(25)

a. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan) selama 3 sampai 24 jam sehari.

b. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah dan hanya sedikit sekali yang tamat SD).

c. Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (biasanya berpindah-pindah tempat tinggal, bahkan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya).

d. Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal).

Kriteria yang menonjol dari diri anak jalanan (Suwardi, 2007) antara lain : a. Terlihat kumuh atau kotor, baik kotor pada badan atau tubuh maupun pakaian

yang mereka pakai.

b. Memandang orang lain (di luar orang yang berada di jalanan) adalah orang yang bisa atau dapat dimintai uang.

c. Mandiri artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau makanan.

d. Muka atau mimik yang selalu memelas terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan.

e. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi dan mengobrol dengan siapapun sesama di jalanan.

(26)

3. Klasifikasi Anak Jalanan

Menurut Suwardi (2007) anak jalanan terbagi ke dalam empat tipe, yaitu: a. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua. b. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang

tua.

c. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga.

d. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.

Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996) juga membagi anak jalanan ke dalam tiga kategori, yaitu :

a. Children of the Street : anak jalanan yang selama 24 jam hidup di jalanan termasuk makan, tidur, bekerja dan juga tinggal di jalan. Anak jalanan kategori ini tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak bersekolah lagi juga tidak pernah lagi pulang ke rumah meskipun rumah mereka masih ada.

(27)

c. Children Vulnerable to Be on the Street : kelompok anak yang berteman atau bergaul dengan 2 tipe di atas dan terkadang ikut-ikutan turun ke jalan. Kelompok anak kategori ini melihat “asyiknya” gaya hidup di jalanan yang bebas, punya uang, dll. Anak tersebut tinggal menunggu thecrashmoment seperti dipukul orang tua, perceraian, bencana (kebakaran, penggusuran, banjir, dsb) untuk masuk ke dalam kategori pertama atau kedua.

4. Latar Belakang Anak Jalanan

Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996) menyebutkan ada tiga tingkat yang menyebabkan munculnya fenomena anak jalanan, yaitu :

a. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi anak dan keluarganya seperti kondisi ekonomi keluarga yang rendah, ketidakharmonisan keluarga, kekerasan dalam keluarga.

b. Tingkat meso (underlying causes), yaitu faktor-faktor yang ada di masyarakat tempat anak dan keluarga berada seperti tinggal di tempat kumuh dan juga lingkungan pergaulan anak.

c. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan struktur makro dari masyarakat (ekonomi, politik dan kebudayaan) seperti krisis moneter, konflik antar suku, kerusuhan dan bencana alam.

(28)

5. Dinamika Kehidupan Anak Jalanan

Menurut Soedijar (dalam Irwanto, 1995) anak jalanan merupakan anak yang berusia 7 – 15 tahun dan menurut Hurlock (1999) rentang usia tersebut merupakan masa kanak-kanak akhir (6 – 12 tahun) dan masa remaja (13 – 18 tahun). Karakteristik anak jalanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang berada pada masa kanak-kanak akhir dimana pada masa ini tugas perkembangan dari seorang anak adalah mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, anak mulai membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan pada masa ini anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah (Hurlock, 1999). Namun pada kenyataannya, anak jalanan yang berada di rentang usia 6–12 tahun tersebut, selain mereka tetap menjalankan kewajiban mereka untuk belajar di sekolah formal, mereka juga harus terjun ke jalanan dan justru lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan dengan orang-orang yang bukan sebaya dengannya daripada di sekolah dengan teman-teman sebayanya. Mereka juga akan berhadapan langsung dengan kerasnya dunia serta melakukan kegiatan ataupun tugas-tugas yang seharusnya belum dilakukan pada rentang usia mereka. Anak-anak jalanan diharuskan dapat menguasai tugas-tugas perkembangan yang seharusnya baru dapat mereka kuasai dan mereka lakukan pada tahap dewasa awal yaitu mencari nafkah untuk dapat mempertahankan kehidupannya sendiri serta kehidupan keluarga mereka.

(29)

penjual koran, penyemir sepatu dan lain sebagainya, dimana seharusnya pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dilakukan oleh anak seusia mereka karena akan dapat membahayakan diri mereka sendiri dimana anak-anak jalanan tersebut akan berhadapan dengan rintangan-rintangan kehidupan (antara lain kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan pada anak jalanan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bahaya merokok, seks bebas, minum minuman keras akibat dari pergaulannya dan sebagainya) agar dapat menghasilkan sesuatu. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan anak-anak jalanan karena mereka harus mendapatkan penghasilan atau uang tambahan sebab penghasilan dari orang tua mereka dirasa masih kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga sehingga anak-anak jalanan dan keluarganya dapat tetap bertahan hidup.

C. SELF-EFFICACY 1. Definisi Self-Efficacy

Schultz (1994) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi dan kemampuan individu tersebut dalam menghadapi kehidupan. Bandura (dalam Santrock, 1998) mendefinisikan self-efficacy sebagai “individual’s belief that they can master a situation and produces positive outcomes”. Definisi ini menyebutkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif.

(30)

juga mengatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu dari peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya dan hal ini akan mendorong suatu keinginan serta akan berpengaruh dalam pemilihan perilaku, usaha dan ketekunan seseorang. Bandura menambahkan pendapatnya bahwa persepsi individu terhadap kemampuannya (mencakup penilaian kemampuan) akan mengatur dan menjalankan tindakan dalam jenis performansi tertentu.

Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) berpendapat bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan atau kompetensi yang ada dalam dirinya yang akan mempengaruhi dalam pemilihan perilaku dan usaha dari individu tersebut ketika mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu dan melakukan suatu tugas untuk mencapai suatu tujuan.

2. Pembentukan Self-Efficacy

(31)

kemampuan fisik, keterampilan sosial dan kecakapan berbahasa. Kemampuan ini hampir secara konstan digunakan dan ditunjukkan di lingkungan.

Awal pertumbuhan self-efficacy berasal dari orang tua, kemudian setelah itu diperluas lagi dengan pengalaman dunia anak dan penerimaan pengaruh dari saudara kandung, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Anak yang berpengalaman dan sukses dalam tugas dan permainan akan menunjukkan self-efficacy yang tinggi (Schultz, 1994).

Ketika memasuki masa remaja, seseorang dihadapkan dengan tuntutan dan tekanan baru, dari pengenalan seks hingga pemilihan universitas dan karir. Dalam setiap situasi yang membutuhkan penyesuaian, remaja harus membentuk kemampuan baru dan penilaian baru terhadap kemampuan mereka. Bandura mencatat bahwa keberhasilan pada masa remaja tergantung pada self-efficacy yang terbentuk pada masa kanak-kanak (Schultz, 1994).

Bandura membagi masa dewasa atas 2 kelompok yaitu dewasa muda dan dewasa pertengahan. Menurut Bandura, self-efficacy penting pada masa dewasa muda yakni dalam hal penyesuaian terhadap perkawinan dan peningkatan karir. Individu yang mempunyai self-efficacy rendah cenderung gagal dalam menyesuaikan diri dalam situasi sosial (Schultz, 1994).

(32)

terintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu. Akibatnya, dalam situasi yang sama dan orang yang berbeda dapat menghasilkan prestasi yang berbeda. Demikian juga orang yang sama dalam situasi yang berbeda dapat menghasilkan prestasi yang berbeda pula (Akbar & Hawadi, 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa proses perkembangan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang berlangsung dari sejak masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan seterusnya sampai usia dewasa. Dalam perkembangannya, self-efficacy seseorang akan dipengaruhi oleh pengalaman sosial bersama orang tua, saudara dan lingkungan di sekitarnya.

3. Sumber-sumber Self-Efficacy

Bandura (1997) mengatakan bahwa terdapat empat sumber informasi yang dapat diperoleh individu mengenai kemampuan dirinya, yaitu :

a. Enactive Mastery Experiences (Pengalaman Keberhasilan)

Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap self-efficacy. Bila seseorang berhasil mencapai kesuksesan yang diinginkan, maka akan dapat meningkatkan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, bila seseorang mengalami kegagalan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan, maka akan dapat mengurangi keyakinan terhadap kemampuan dirinya (Bandura, 1997). b. Vicarious Experience (Pengalaman Orang Lain)

(33)

tugas yang sama pula. Individu akan menilai bahwa dirinya juga mampu melakukan hal yang sama. Sementara jika individu tersebut melihat orang lain yang dinilai memiliki kemampuan yang sama dengan dirinya mengalami kegagalan, maka hal tersebut dapat merendahkan penilaian terhadap kemampuan dirinya sendiri (Bandura, 1997).

c. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal)

Individu dapat memperoleh informasi mengenai kemampuan dirinya melalui persuasi verbal yang disampaikan oleh orang lain dan biasanya merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh terhadap dirinya. Pada dasarnya persuasi digunakan untuk membantu individu percaya akan kemampuan yang dimilikinya (Bandura, 1997).

d. Physiological State (Keadaan Fisiologis)

Individu dapat mengetahui bahwa kondisi fisiknya dalam suatu situasi yang menekan, sebagai tanda bahwa ia tidak mampu melakukan suatu tugas. Dalam menghadapi suatu aktifitas yang menuntut kekuatan fisik dan stamina, seseorang dapat membaca kelelahannya sebagai indikasi ketidakmampuan, sehingga keyakinan dirinya akan menurun (Bandura, 1997).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy individu antara lain :

(34)

Orang tua seringkali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan anak laki-laki dan perempuannya. Zimmerman (dalam Bandura, 1997) dalam penemuannya melaporkan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi anak laki dan perempuan. Ketika anak laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan kemampuan dirinya, anak perempuan malah seringkali meremehkan kemampuan mereka.

b. Sifat dari tugas yang dihadapi

Derajat kompleksitas dan kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleksnya suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut dalam menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut akan menilai kemampuannya. c. Insentif eksternal

Bandura (1997) mengatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent contingent incentive yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang dalam menguasai atau melaksanakan tugasnya.

d. Status (peran serta individu dalam lingkungan)

(35)

dibandingkan dengan orang yang aktif dalam lingkungan. Peran dalam lingkungan dapat ditunjukkan dengan mengikuti satu atau lebih organisasi-organisasi sosial yang ada.

e. Informasi tentang kemampuan diri

Seseorang akan memiliki self-efficacy yang tinggi jika ia memperoleh informasi yang positif mengenai dirinya dan akan memiliki self-efficacy yang rendah jika memperoleh informasi yang negatif mengenai dirinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy yaitu jenis kelamin, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal, status (peran serta individu dalam lingkungan) dan informasi tentang kemampuan diri.

5. Aspek-aspek Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), ada 3 aspek dari self-efficacy antara lain : a. MagnitudeLevel (tingkat kesulitan tugas)

(36)

Magnitudelevel terbagi atas 3 bagian, yaitu :

1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil.

2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya, yaitu seberapa besar keyakinan atau kemampuan individu dalam menghindari situasi dan perilaku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya.

3) Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit, yaitu seberapa besar keyakinan dan kemantapan individu dalam menjalankan tugas dan tantangan pekerjaan.

b. Generality (luas bidang perilaku)

Berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana seseorang merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan suatu tugas baik pada setiap bidang yang biasa dijalaninya maupun pada bidang yang belum pernah dilakukannya. c. Strength (kemantapan keyakinan)

(37)

6. Karakteristik Individu yang Mempunyai Efficacy Tinggi dan Self-Efficacy Rendah

Bandura (1997) mengatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan penilaian terhadap seberapa baiknya seseorang dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan dalam situasi tertentu.

Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi adalah :

a. Merasa yakin bahwa dirinya mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang dihadapi.

b. Tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas. c. Percaya pada kemampuan diri sendiri.

d. Memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru.

e. Menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadapnya.

f. Menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakukannya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan.

g. Berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan. h. Cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan dan menghadapi

stressor atau ancaman dan keyakinan bahwa dirinya mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

Karakteristik individu yang memliki self-efficacy yang rendah adalah : a. Merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis dan menjadi cemas.

(38)

c. Cepat menyerah saat menghadapi rintangan.

d. Aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai dalam situasi yang sulit cenderung akan memikirkan kekurangan dirinya.

e. Lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).

Bandura (dalam Warsito, 2004) menambahkan individu yang memiliki self-efficacy yang rendah akan menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul. Mereka menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan yang ada. Dalam kaitannya dengan keyakinan akan kemampuan ini, orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan sebaliknya orang yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mengurangi usaha mereka untuk bekerja dalam situasi yang sulit.

C. Self-Efficacy pada Anak Jalanan

(39)

Menurut Hurlock (1999), jika dikaitkan dengan tugas perkembangan seorang anak jalanan (dimana pada penelitian ini berumur 7 – 12 tahun), maka dapat dilihat bahwa hal tersebut bukan merupakan tugas perkembangan dari anak jalanan karena di usia kanak-kanak akhir (6 – 12 tahun) tersebut seharusnya anak berada dalam lingkungan bermain, belajar serta menghabiskan banyak waktu di sekolah. Anak akan menghadapi tugas untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan konsumtif mereka pada masa dewasa awal (18 – 40 tahun).

(40)

kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu. Anak jalanan memiliki tugas untuk mencari nafkah guna mencapai tujuan yaitu mendapatkan penghasilan atau uang, dan untuk memenuhi tugas dan tujuan tersebut, anak jalanan harus dapat mengatasi rintangan-rintangan kehidupan yang akan dihadapi mereka (antara lain kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan pada anak jalanan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bahaya merokok, seks bebas, minuman keras akibat dari pergaulan dan sebagainya) ketika menjalankan tugas untuk mencapai tujuannya.

(41)
(42)

D. Paradigma Self-Efficacy pada Anak Jalanan

Klasifikasi Anak Jalanan : 1. Children of the Street 2. Children on the Street 3. Children Vulnerable to be on the Street

(Tata Sudrajat, 1996)

Self-efficacy

Sumber self-efficacy : 1.Enactive mastery experiences dan mencari uang / nafkah bagi keluarganya.

Faktor-faktor self-efficacy: 1. Jenis kelamin

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah pengalaman subjektif individu mengenai kemampuan anak jalanan dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk bersekolah dan mencari nafkah dimana karakteristik dari partisipan penelitian adalah anak jalanan yang berusia 7 – 12 tahun dan peneliti menilai bahwa anak dalam rentang usia tersebut akan lebih mudah jika dilakukan dengan pendekatan kualitatif agar peneliti memperoleh apa yang menjadi tujuan penelitian.

(44)

dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif adalah bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif, tujuan dari penelitian ini akan tercapai.

B. METODE PENGUMPULAN DATA

(45)

terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007). Wawancara akan dilakukan terhadap anak-anak jalanan yang sesuai dengan karakteristik partisipan penelitian dan akan dilakukan juga wawancara terhadap significant other seperti orang tua, teman dekat, dll agar data yang dikumpulkan dapat lebih valid dan terpercaya serta lebih memperkaya data-data yang akan diperoleh.

Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewatkan. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian.

(46)

mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2007).

Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut (Minauli, 2002).

C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data antara lain :

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

(47)

indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan tape recorder, peneliti tidak perlu mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan tape recorder juga memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin dari partisipan. Peneliti mengemukakan bahwa sangatlah penting untuk merekam pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007).

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

(48)

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

3. Panduan Observasi

Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hal-hal yang terjadi selama wawancara dicatat dalam panduan observasi. Catatan observasi ini akan memudahkan peneliti dalam mendapatkan dan mengingat garis besar yang terjadi selama proses wawancara seperti penampilan fisik partisipan, setting wawancara, sikap partisipan kepada peneliti selama wawancara, hal-hal yang mnegganggu wawancara, hal-hal yang unik, menarik dan tidak biasa dilakukan partisipan yang muncul selama menjawab pertanyaan peneliti.

D. KREDIBILITAS PENELITIAN

(49)

Kredibilitas penelitian ini terletak pada keberhasiln penelitian dalam mengungkapkan permasalahan mengenai aspek-aspek dari self-efficacy yang terdapat dala diri anak jalanan.

Marshall (dalam Poerwandari, 2007) menyarankan adanya patokan-patokan yang perlu dipahami untuk meningkatkan kredibilitas laporan penelitian kualitatif. Peneliti mengikuti saran Marshall tersebut dengan berusaha meningkatkan kredibilitas penelitian melalui beberapa langkah seperti : peneliti menjelaskan metode pengumpulan data, mengungkap secara terbuka langkah-langkah pengumpulan data dan analisa data, menyimpan kelengkapan data yang didapat di lapangan, peneliti juga mengembangkan konstruk analisa data yang sebenarnya didapatkan di lapangan, dimana analisa tersebut bukan rekaan peneliti.

Selain itu peneliti berusaha meningkatkan generalibilitas dan kredibilitas penelitian ini dengan melakukan triangulasi. Peneliti juga berusaha meningkatkan kredibilitas penelitian dengan cara melakukan diskusi dan meminta saran mengenai analisa dan interpretasi data yang diperoleh di lapangan dengan dosen pembimbing. Hal tersebut dilakukan peneliti sesuai dengan saran dari Patton (dalam Poerwandari, 2007).

E. PARTISIPAN DAN LOKASI PENELITIAN 1. Prosedur Pengambilan Partisipan

(50)

construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.

2. Jumlah Partisipan

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah subyek penelitian, yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah subyek yang bisa memberikan sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya, kemampuan partisipan, ketertarikan partisipan dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya subyek menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian (Gay dan Airasian, 2003). Dalam penelitian ini peneliti merencanakan 3 (tiga) partisipan dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai self-efficacy pada anak jalanan secara menyeluruh.

3. Karakteristik Partisipan

(51)

a. Anak jalanan, yaitu anak-anak yang melakukan aktivitas atau pekerjaan di jalanan untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya paling sedikit enam jam dalam sehari dan enam hari dalam seminggu.

b. Usia antara 7 – 12 tahun dan bersekolah. c. Tinggal dengan orang-tua.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil subjek yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan sekaligus menghemat biaya penelitian.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu :

a. Mengumpulkan data

(52)

b. Menyusun pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara. Pedoman wawancara berisikan tentang aspek-aspek self-efficacy dan teori-teori yang terdapat pada Bab II.

c. Menghubungi calon partisipan

Mengumpulkan informasi tentang calon partisipan. Peneliti mendapatkan informasi mengenai calon partisipan melalui informan. Setelah mendapatkan beberapa calon partisipan, selanjutnya peneliti menghubungi calon partisipan untuk menjelaskan penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaan calon partisipan untuk menjadi subjek penelitian

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap pelaksanaan yang dilakukan adalah :

a. Informed consent, yaitu partisipan menyatakan persetujuannya untuk terlibat dalam penelitian, setelah ia mendapatkan informasi yang benar tentang penelitian yang melibatkannya tersebut (Kvale & Neuman dalam Poerwandari, 2007).

b. Peneliti meminta izin partisipan untuk merekam pembicaraan dengan menggunakan alat perekam dari awal sampai akhir wawancara.

(53)

d. Wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan umum yang kemudian makin lama makin khusus berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Verbatim adalah mendengarkan lalu menulis kata per kata hasil rekaman wawancara kemudian diketik (Poerwandari, 2007).

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan dianalisa sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

G. PROSEDUR ANALISA DATA

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa setelah wawancara, peneliti kemudian menganalisa dan menginterpretasi data yang dimulai dengan membuat verbatim dari hasil wawancara. Data akan dianalisa menurut prosedur penelitian kualitatif dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), proses analisa data adalah :

(54)

2. Setelah melakukan organisasi data, peneliti melakukan koding dan analisis. Peneliti kemudian menyusun transkripsi verbatim dengan menyediakan kolom kosong sebelah kanan transkrip untuk tempat kode-kode tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip. Selanjutnya peneliti memberi pemaknaan pada substansi data yang telah dikumpulkan.

3. Peneliti melakukan pengujian terhadap dugaan. Peneliti akan mempelajari data dan kemudian akan mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat dengan upaya mencari penjelsan yang berbeda mengenai data yang sama, dalam hal ini peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analisa serta memeriksa bias-bias yang mungkin terjadi tanpa disadari oleh peneliti.

4. Peneliti kemudian melakukan strategi analisis. Proses analisa dilakukan dengan melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisa.

(55)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami self-efficacy pada anak jalanan, maka data akan dijabarkan, dianalisa dan diinterpretasi per partisipan. Dalam bab ini akan digunkan kode-kode yang memudahkan melihat hasil wawancara yang terdapat pada lampiran. Contoh kode yang digunakan seperti W1P1B078-086/ hal. 2, yang berarti pernyataan tersebut terdapat pada wawancara pertama untuk parsipan pertama yang terdapat pada baris 78 sampai 86, dimana pernyataan tersebut terdapat pada lampiran halaman 2.

Penelitian ini melibatkan 3 (tiga) partisipan penelitian. Masing-masing partisipan akan dianalisa satu per satu dan kemudian akan dibandingkan hasil analisa masing-masing dalam tabel analisa banding.

A. Partisipan 1 (RS)

1. Deskripsi Umum Partisipan 1 (RS) Tabel 1

Gambaran Umum Partisipan 1

Keterangan Partisipan 1 (RS)

Inisial RS

Usia 12 tahun

Jenis Kelamin Perempuan

Agama Kristen Protestan

(56)

Penghasilan rata-rata Rp 20.000,- / hari Pekerjaan Ayah Petani

Usia Ayah 50 tahun

Pekerjaan Ibu Petani

Usia Ibu 35 tahun

Partisipan berinisial RS (12 tahun) ini merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, namun dapat dikatakan juga bahwa RS anak kesepuluh dari sebelas bersaudara karena ayah RS menikah dua kali dan RS terlahir dari ibu keduanya. Ibu pertama RS telah meninggal karena suatu penyakit dan RS memiliki empat orang saudara tiri dari ibu pertamanya. Tiga orang saudara RS telah menikah, tiga orang pergi merantau dan yang lainnya tinggal bersama dengan RS dan orang-tuanya serta nenek RS.

(57)

apa yang dilakukan oleh RS. Sejak saat itu RS menjadi rutin pergi ke Simpang Pos untuk berjualan aqua.

Menurut pengakuan teman-teman RS, RS termasuk anak yang pandai mencari uang karena penampilan RS yang menarik serta RS yang ‘pintar merayu’. Pendapatan rata-rata RS dapat dikatakan sekitar Rp 20.000,- s/d Rp 25.000,- kecuali pada hari-hari tertentu (misalnya Hari Raya) RS akan mendapatkan uang yang jauh di atas rata-rata. Selama berada di jalanan, RS juga melakukan kegiatan lain untuk mendapatkan uang seperti mengamen, menyapu ataupun menyemprot. Namun kegiatan yang paling sering dilakukannya sekarang adalah mengamen karena RS merasa kegiatan itu lebih mudah dan lebih menyenangkan dilakukan. Meskipun RS berstatus sebagai anak jalanan, namun RS masih tetap bersekolah di SMP Budi Insani yang berada di daerah Simalingkar dan sekarang RS duduk di kelas I (satu). RS masuk sekolah pada pukul 07.25 dan pulang pukul 14.00. Di sekolah, RS paling berminat pada mata pelajaran kesenian dan budaya karena RS mengaku memang sangat suka menyanyi, sementara itu mata pelajaran yang paling tidak disukai RS adalah matematika karena RS merasa kurang menyukai dan menguasai pelajaran berhitung.

(58)

Tabel 2

Waktu Wawancara Partisipan 1 (RS) Partisipan Hari/Tanggal wawancara Waktu

wawancara Tempat wawancara RS Minggu/18 Oktober 2009 15.30 - 16.35 WIB Rumah singgah RS Sabtu/24 Oktober 2009 15.00 - 16.00 WIB Rumah singgah RS Rabu/04 Nopember 2009 15.30 - 16.20 WIB Rumah makan

2. Deskripsi Hasil Wawancara

Partisipan berinisial RS yang berusia 12 tahun ini merupakan anak kesepuluh dari sebelas bersaudara. Ayah RS sudah dua kali menikah karena istri pertamanya telah meninggal dan RS terlahir dari istri kedua ayahnya. RS memiliki 4 orang saudara tiri dan 7 orang saudara kandung. RS bersekolah di SMP Budi Insani yang berada di daerah Simalingkar dan sekarang RS duduk di kelas I (satu). RS masuk sekolah pada pukul 07.25 dan pulang pukul 14.00. Setelah pulang sekolah RS biasanya pergi ke Simpang Pos untuk mengamen, menyapu ataupun menyemprot. Pendapatan rata-rata RS dapat dikatakan sekitar Rp 20.000,- s/d Rp25.000,- kecuali pada hari-hari tertentu (misalnya Hari Raya) RS akan mendapatkan uang yang jauh di atas rata-rata. Uang yang didapatkan RS biasanya digunakan untuk keperluan sehari-hari dirinya dan keluarganya serta untuk keperluan sekolah RS.

a. Klasifikasi anak jalanan

(59)

akhirnya kakak RS berhasil membujuk RS untuk mengikutinya berjualan aqua di lampu merah sekitar Simpang Pos.

“Eee, diajak sama kakak. Si Elita. Ada dia disitu.” (W1P1B031-032/Hal.5)

“Eee, dibilangnya kan, ayo Rosi jualan, trus dibawanya aku lari ke simpang pos.”

(W1P1B041-042/Hal.5)

“Si Elita kak, kakak ku yang kemaren itu. Kan dia yang ngajak aku, diajaknya aku waktu itu jualan aqua.”

(W2P1B086-088/Hal.17)

Kakak RS mengajak RS berjualan aqua dengan alasan agar mereka bisa mendapatkan uang tambahan untuk jajan mereka karena menurut pengakuan RS penghasilan orang-tuanya tidak terlalu banyak sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga. Oleh karena itu, RS mau diajak kakaknya untuk berjualan aqua karena dengan berjualan aqua mereka akan memperoleh uang tambahan untuk dapat dipergunakan mereka membeli makanan.

“Iya, dibilang si Elita kan, ayo Rosi jualan aqua kita di simpang pos, biar dapat duit kita Rosi. Bisa nanti kita jajan. Pertama nggak mau aku, takut aku lah, tapi kan karena sama-sama kami jadi bisa juga lah aku.”

(W2P1B091-096/Hal.17)

“Ah, bapak pun susah nya itu uangnya. Untuk makan kami ajanya itu. Nggak bisa jajan jadinya.”

(W2P1B099-101/Hal.18)

(60)

menjadi anak jalanan yaitu agar dapat uang untuk membeli buku dan keperluan sekolah lainnya. RS mengikuti nasehat ibunya yaitu menabung sebagian uang yang didapatnya dari jalanan, tetapi hal tersebut hanya dilakukan apabila RS mendapatkan uang yang lebih banyak dari biasanya.

“Tapi setelah lama-lama itu aku jualan aqua, trus dibilang mamak, kau tabung duitmu itu Rosi, mana tau nanti nggak ada duit kita, biar bisa nanti bayar uang sekolahmu. Jangan kayak si Elita kau nanti, nggak bisa sekolah gara-gara nggak ada duit mamak bayar uang sekolahnya.”

(W2P1B105-112/Hal.18)

“Eee, mau nyari uang buku kak.” (W1P1B260/Hal.10)

“Kutabungi lima ribu, sepuluh ribu. Tapi itupun kalau banyak dapatku, kutabungi, kalau dikit ya nggak lah.”

(W1P1B276-278/Hal.10)

“Ya dari bapak lah kak, tapi mau juga kutabung duit ngamenku kalau pas banyak dapatku. Seribu, dua ribu, lima ribu. Trus nanti itulah yang dipakai buat uang sekolah.”

(W2P1B069-072/Hal.17)

“Yaaa, gitu juga kak. Kalau ada uang bapak, kuminta tapi kalau nggak ada, ya kucari sendirilah. Ngamen aku kan di simpang pos itu. Ngamen, gini-gini dapat duit, kutabung buat beli buku.”

(W2P1B074-078/Hal.17)

Selain itu, setiap kali RS mendapatkan uang RS selalu memberikannya pada ibu RS untuk membantu sedikit beban orang-tuanya dan uang tersebut biasanya digunakan untuk membeli kebutuhan keluarga sehari-hari.

“Iya kak, bantu-bantu mamak dikit-dikit lah kak.” (W2P1B127-128/Hal.18)

“Iyalah kak. Tapi sebagian kan kujajankan, main-main, jalan-jalan ke Ramayana, kadang juga belanja, beli tomat, cabe. Sebagian juga kutabung kak.” (W1P1B199-202/Hal.8)

(61)

Setiap harinya setelah selesai melakukan kegiatannya di jalanan, RS selalu pulang dan tidur di rumah karena RS tinggal dengan orang-tua dan saudara-saudaranya.

“Pulang ke rumah lah kak.” (W1P1B013/Hal.5)

“Tinggal sama orang-tua, sama opungku, kakak sama abangku juga.” (W1P1B015-016/Hal.5)

Selain RS menjadi seorang anak jalanan, RS juga masih tetap melakukan

kewajibannya sebagai seorang anak yang berusia 12 tahun yaitu bersekolah,

dimana sekarang RS duduk di kelas I (satu) SMP Budi Insani.

RS berangkat ke sekolah pada pagi hari dan pulang sekolah sekitar jam dua

siang. Setelah pulang sekolah, RS biasanya pulang ke rumah terlebih dahulu untuk

makan siang dan menukar seragamnya kemudian setelah itu barulah RS pergi ke

jalanan untuk mencari uang. Pada hari biasa (Senin-Kamis) RS biasanya pergi ke

jalanan sekitar jam setengah tiga atau jam tiga siang. Akan tetapi pada hari Jumat

dan Sabtu, karena jadwal pulang sekolah lebih cepat, maka RS juga lebih cepat

pergi ke jalanan. Begitu pula halnya pada hari Minggu.

“Habis pulang sekolah lah kak, jam-jam tiga, tengah tiga.” (W1P1B292-293/Hal.10)

“Pulang sekolah, aku ke rumah, ganti baju, makan baru ke simpang pos.” (W1P1B430-431/Hal.13)

“Iya, tiap hari, tapi kalau Sabtu cepat aku kesini, karena cepat pulang sekolah itu kan kak, jam dua belas udah disini aku kak, Minggupun kayak gitu, pulang gereja jam sebelas, trus jam dua belasnya kesini aku.”

(W1P1B295-299/Hal.10)

Setelah RS selesai mencari uang di jalanan, RS selalu pulang ke rumah,

(62)

tersebut. Terkadang RS berada di jalanan sampai jam delapan dan bahkan

sembilan malam hanya karena belum mendapatkan uang yang dirasa RS cukup

untuk dibawa pulang.

“Jam tujuh, jam lapan, pernah juga jam sembilan.” (W1P1B301-302/Hal.10)

“Hehe...nggak lah kak. Kalau baru sikit yang kudapat, lama aku pulangnya kak. Tapi kalau udah banyak kudapat, ya pulang lah aku.”

(W1P1B304-306/Hal.10) b. Latar belakang anak jalanan

RS terlahir sebagai anak ke sepuluh dari sebelas bersaudara dimana ayah RS telah dua kali menikah karena ibu pertama RS telah meninggal dan RS lahir dari ibu kedua. Saudara tiri RS yang berasal dari ibu pertama berjumlah empat orang dan saudara kandung RS berjumlah tujuh orang. RS tinggal di daerah sekitar Simalingkar B, Medan bersama dengan kedua orang-tuanya, neneknya serta lima orang saudaranya. Tiga orang saudara RS telah berkeluarga dan tiga orang lagi pergi merantau.

“Eee, bapak dua kali kawin itu.” (W1P1B360/Hal.11)

“Eee, lima di rumah, tiga udah kawin, tiga lagi merantau.” (W1P1B374-375/Hal.12)

(63)

“Iyalah kak, banyak sawah di situ kak.” (W3P1B085/Hal.23)

“Nggak lah kak, itu aja nya kerja bapak. Nanti kalau udah panen kan, dijualnya lah beras kami itu.”

(W2P1B050-052/Hal.17)

“Nggak tentu juga kak, nggak tau aku berapa kak. Tapi kan kak, bapak nggak dapat uang tiap bulan, paling-paling kalau pas panen aja baru bapak dapat duit. Tapi sebentar nya itu kak, langsung habis, karena banyak itu kami kan.” (W2P1B054-059/Hal.17)

Selain dari bertani, orang-tua RS juga mendapat kiriman uang setiap bulannya dari saudara RS yang sudah menikah, namun RS mengatakan itu belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan mereka sekeluarga. Bahkan untuk membayar biaya sekolah RS dan saudara-saudaranya yang lainpun terkadang mereka tidak memiliki uang yang cukup.

“Yaaa, dari jualan bapaklah, trus dari kiriman abang tadi, sama dari ngamenku inilah kak.”

(W1P1B382-383/Hal.12)

“Heh? Nggak gitu kak. Kan yang udah nikah itu udah nggak tinggal dirumah lagi, trus ada juga yang pergi merantau. Jadi tiap bulan ada juganya mereka yang ngirimin bapak uang untuk biaya-biaya kami.”

(W2P1B062-066/Hal.17)

“Iya, tapi nggak cukup untuk kami semua, makanya aku cari duit sendiri.” (W1P1B273-274/Hal.10)

c. Tugas-tugas yang dihadapi anak jalanan berkaitan dengan aspek-aspek self-efficacy

1.) Magnitude Level

(64)

tugas-tugas (pekerjaan rumah) yang RS dapat dari sekolah, semuanya itu harus dapat dikerjakan RS dengan baik.

“Itulah kak, nyapu. Abis itu eee cuci piring, lipat kain, kadang itu aku kak, eee jaga adekku juga. Nyucipun iya juga kak, tapi nyuci sepatu sama tas ku. Sama kami dua sama kakakku pun.”

(W2P1B035-039/Hal.16)

Selain berstatus sebagai seorang pelajar, RS juga seorang anak jalanan dimana tugas RS adalah mencari uang. Banyak macam kegiatan yang dilakukan RS selama berada di jalanan, antara lain berjualan aqua, mengamen, menyapu ataupun menyemprot. Semua hal tersebut harus dikerjakan oleh RS dan RS harus mampu bertahan dalam situasi apapun dan mampu menemukan bagaimana cara mengatasi agar tugasnya tersebut dapat terpenuhi dengan baik.

“Kami ambil dari grosir sana itu. Dari mereka seribu empat ratus, kami jual dua setengah. Tapi sedikitnya dapat kalau jualan aqua.”

(W1P1B046-049/Hal.6)

“Iya, nggak laku kak, jarang orang mau beli aqua.” (W1P1B051-052/Hal.6)

“Dulu itu kak waktu pertama-tama, tapi dikit kali untungnya, jadi ngamenlah aku jadinya.”

(W1P1B070-071/Hal.6)

Gambar

Tabel 10  Rangkuman Analisa Antar Partisipan ........................................
Tabel 2 Waktu Wawancara Partisipan 1 (RS)
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji jaminan hukum terhadap hak anak jalanan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan memahami pemenuhan hak anak jalanan

Jadi pengertian judul “ Rumah Singgah Sebagai Tempat Pendidikan Anak Jalanan Di Surakarta “ adalah tempat beristirahat sementara untuk anak dibawah usia 18 tahun yang mencari

Menurut Johanes (1996, dalam, Kartika, 1997), anak jalanan adalah anak yang menggunakan sebagian waktunya di jalanan baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak

Permasalahan anak jalanan masih harus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan untuk menyelesaikan beberapa masalah seperti: banyak anak jalanan yang masih duduk di bangku

Pada kategori kelompok yang kedua ini anak jalanan merupakan anak- anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka

Maka dari itulah pendidikan yang didapat oleh anak jalanan sangatlah rendah dan dapat dikatakan anak jalanan ini tidak mendapatkan pendidikan secara baik sesuai konvensi hak

Permasalahan anak jalanan masih harus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan untuk menyelesaikan beberapa masalah seperti: banyak anak jalanan yang masih duduk di bangku

Pusat pendidikan anak jalanan merupakan salah satu wadah untuk menampung anak jalanan khususnya di Surabaya agar mereka mendapatkan pendidikan, kehidupan, dan keadilan