A. Self-Compassion
1. Konsep Self-Compassion
2. Definisi Self-Compassion
Self-compassion berasal dari kata compassion yang diturunkan dari bahasa
Latin patiri dan bahasa Yunani patein yang berarti menderita, menjalani, atau mengalami (Farida dalam Halim, 2015).Self-compassionmerupakan kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan dengan diri individu itu sendiri sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami (Neff, 2003a). Seseorang yang memiliki self-compassion lebih dapat menerima diri dengan apa adanya.
Hahn (dalam Missiliana, 2014) menyatakan bahwa untuk memberikan kasih sayang kepada diri sendiri dapat dilihat dengan bagaimana kita melihat jika orang lain merasakan keadaan yang lebih sulit dari yang sedang kita rasakan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh definisi self-compassion Amstrong (dalam Frieda, 2015) yang menjelaskan bahwaself-compassion merupakan karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada posisi individu lain. Cara tersebut membuat individu berfikir bahwa sebagai manusia, setiap individu dapat mengalami keadaan yang tidak menyenangkan dan dapat melakukan suatu kesalahan. Dalam posisi tersebut, individu akan merasa empati sehingga muncul keinginan untuk meringankannya.
bagaimana individu mampu bersikap baik kepada diri sendiri saat individu mengalami keadaan yang tidak menyenangkan dalam hidup, memahami hal tersebut sebagai sesuatu yang positif serta berusaha menemukan cara untuk meringankan beban tersebut.
3. Komponen Self-Compassion
Self-compassion terdiri dari tiga komponen yang memiliki kutub positif
dan negatif. Komponen-komponen tersebut yaitu Self-kindness, Common humanity, danMindfulness. Neff (dalam Ulfah, 2015) menyatakan bahwa
secara konseptual ketiga komponen tersebut berbeda, namun saling berhubungan, serta bermanfaat dengan cara yang berbeda yaitu bagaimana individu menanggapi penderitaan dan kegagalan secara emosional (dengan kebaikan atau menghakimi), bagaimana individu memahami keadaan mereka secara kognitif (sebagai bagian dari pengalaman manusia atau sebagai sesuatu yang mengisolasi), dan bagaimana individu memperhatikan penderitaan atau kegagalan (secara sadar/seimbang atau berlebihan).
a. Self-kindness
Self-kindness merupakan suatu sikap lembut yang diberikan kepada diri
individu maka dapat menimbulkan self-judgement, yaitu individu akan menghakimi diri sendiri dan mengkritik diri sendiri terhadap kekurangan atau peristiwa sulit yang terjadi. Tetapi jika kenyataan tersebut dapat diterima dengan bijaksana, maka individu akan menghasilkan emosi positif dan dapat menjaga diri untuk membantu mengatasi keadaan tersebut.
b. Common Humanity
Ketika pengalaman individu diinterpretasikan dari perspektifnya, individu cenderung sulit untuk melihat bahwa ternyata orang lain juga pernah merasakan apa yang dirasakannya. Mereka cenderung melakukan penilaian yang buruk terhadap diri sendiri, mengganggap bahwa mereka adalah satu-satunya yang menderita, dan merasa terisolasi. Individu yang memiliki common humanityakan melihat bahwa tantangan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari manusia dan semua orang pasti mengalaminya. Dengan cara ini, maka individu akan merasa tidak sendiri ketika berada dalam rasa sakit.
c. Mindfulness
Mindfulness adalah tidak menghakimi, melihat secara jelas dan menerima
mindfulnesstidak akan melakukan over-identification dengan pikiran dan
perasaan mereka, serta akan merasa lebih baik saat pikiran atau perasaan negatif dialihkan sehingga mereka tidak terjebak dalam kebencian pada diri sendiri.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-compassion
Neff (2003) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi self-compassion, yaitu :
a. Lingkungan
Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat seorang anak bergantung dari awal kehidupannya. Seorang anak akan mempercayakan orangtuanya untuk memenuhi kebutuhannya seperti menyediakan makanan yang cukup, kehangatan, kenyamanan, dan perlindungan. Orangtua diharapkan dapat menjelaskan hal-hal, membantu menghadapi hal-hal yang menakutkan serta menjaga anak untuk tetap aman dari hal-hal yang merusak.
menunjukkan derajat self-compassion yang rendah. Individu yang memiliki derajat self-compassion yang rendah kemungkinan besar memiliki ibu yang kritis, berasal dari keluarga disfungsional, dan menampilkan kegelisahan dari pada individu yang memiliki derajat self compassion yang tinggi (Neff & McGeehee, 2010: 228).
Jumlah anak dalam keluarga juga dapat memengaruhi self-compassion. Nathania (2014) mengatakan bahwa dua buah hati akan meningkatkan kebahagiaan orangtua sedangkan anak ketiga biasanya sudah tidak membuat ayah dan ibu merasa lebih bahagia. Orang tua yang bahagia dengan memiliki jumlah anak ideal diharapakan mampu melakukan pemenuhan terhadapa kebutuhan anak, sehingga dapat meningkatkan self-compassion pada anak.
b. Usia
Neff mencari latar belakang hubungan tersebut berdasarkan teori perkembangan Erikson. Individu yang telah mencapai tahapan integrity akan lebih menerima kondisi yang terjadi padanya sehingga dapat memiliki level self-compassion yang lebih tinggi (Neff, 2011). Self-compassion terendah dalam periode kehidupan terjadi pada masa remaja.
kognitif yang menyelimuti mereka. Seperti imaginary audience dan personal fable (Elkind 1967 dalam Neff, 2003). Imaginary audience yaitu
remaja membayangkan bahwa penampilan dan perilaku mereka adalah fokus dari perhatian orang lain, sedangkan personal fable yaitu remaja percaya bahwa pengalaman mereka bersifat unik dan orang lain tidak mungkin memahami apa yang mereka alami. Menurut Elkind (dalam Papalia, 2007) bentuk-bentuk ketidakmatangan dari remaja ini mendasari banyaknya perilaku beresiko dan self-destructive yang dilakukan remaja, dan tidak diragukan lagi memberikan kontribusi peningkatan self-criticism, perasaan terisolasi, dan overidentification dengan emosi yang dirasakan. Hal ini berarti bahwa self-compassion cenderung menjadi sangat diperlukan terlebih karena kurangnya kemampuan ini selama periode kehidupan remaja.
c. Jenis kelamin
Hal lain yang menjelaskan perbedaan gender tersebut yaitu perempuan juga lebih sering melakukan perenungan yang berulang, mengganggu, dan cara berpikir yang tak terkendali atau yang disebut rumination. Rumination mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan rumination mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan menimbulkan kecemasan (Neff, 2003:94). Penelitian lain yang dilakukan oleh Neff (2013) pada partisipan yang berasal dari berbagai kalangan juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada laki-laki.
d. Budaya
Penelitian yang dilakukan pada negara Thailand, Taiwan, dan Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan latar budaya mengakibatkan adanya perbedaan derajat self-compassion. Markus dan Kitayama (dalam Missiliana, 2014) mengatakan bahwa orang-orang di Timur yang memiliki budaya collectivistic dikatakan memiliki self-conceptinteredependent yang menekankan pada hubungan dengan orang lain, peduli kepada orang lain, dan keselarasan dengan orang lain (social conformity) dalam bertingkah laku, sedangkan individu dengan budaya
kesadaran akan common humanity dan keterkaitan dengan orang lain, dapat diasumsikan bahwa self-compassion lebih sesuai pada budaya interdependent daripada independent. Namun ternyata masyarakat Timur lebih mengkritik diri sendiri dibandingkan masyarakat dengan budaya barat sehingga derajat self-compassion tidak lebih tinggi dari budaya barat (Kitayama&Markus, 2000; Kitayama, Markus, Matsumotoo, & Norasakkunkit, 1997; dalam Ulfah 2015).
B. Anak Jalanan
1. Definisi Anak Jalanan
diatas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan berada pada usia dibawah 18 tahun yangmenghabiskan waktu lebih dari 4 jam dijalanan guna mencari nafkah, ataupun melakukan aktivitas lainnya.
2. Karakteristik Anak Jalanan
a. Berdasarkan Usia
Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) mengatakan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6-18 tahun. Departemen Sosial RI (2001: 23–24) juga menjelaskan salah satu indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6-18 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
b. Berdasarkan Pengelompokan
a) Children on the street (anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga)
Kategori kelompok pertama ini merupakan anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan tetapi masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.
b) Children of the street (anak jalanan merupakan anak-anak yang
berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi)
c) Children from families of the street (anak yang menghabiskan seluruh
waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau
tinggalnya juga di jalanan)
Anak jalanan dalam kategori kelompok yang ketiga ini merupakan anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Dalam kategori kelompok yang ketiga ini jika kita telusuri ada sebuah fakta yang memprihatinkan yaitu pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
c. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis
d. Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga
Berada dijalanan merupakan aktivitas utama anak jalanan, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun melakukan aktivitas lainnya. Hal tersbeut dapat berdampak pada intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka menjadi kurang intensif. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23), indikator anak jalanan menurut intensitas hubungan dengan keluarga, yaitu masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari, frekuensi dengan keluarga sangat kurang, ataupun sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
e. Berdasarkan Tempat Tinggal
Anak jalanan memiliki berbagai macam tempat tinggal. Menurut Departemen Sosial RI(2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat tinggalnya antara lain tinggal bersama orang tua, tinggal berkelompok bersama teman-temannya, dan idak mempunyai tempat tinggal.
f. Berdasarkan aktivitas
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescene yang berarti
to grow atau to grow maturity. Papalia, Olds, Feldman (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (dalam Fithrianida, 2010) membedakan masa remaja kedalam tiga tahapan, yaitu masa remaja awal dari usia 10-13 tahun, masa remaja tengah dari usia 14-16 tahun dan masa remaja akhir dari usia 17-19 tahun.
2. Ciri-ciri Masa Remaja
Remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hulock (2007), adalah sebagai berikut:
1. Masa remaja merupakan periode penting
Masa remaja merupakanperiode terjadinya perkembangan fisik dan mental yang pesat dan penting sehingga memerlukan penyesuaian mental, penentuan sikap, nilai, dan minat baru. Perubahan-perubahan yang dialami pada masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan merupakan perpindahan dari tahap satu ke tahap selanjutnya. Perkembangan pada masak-masak belum selesai, tetapi belum dianggap sebagai individu yang dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Pada periode ini terdapat lima perubahan yang dialami oleh remaja, yaitu perubahan tubuh, perubahan minat dan perat, perubahan emosi yang meningkat, perubahan nilai, dan sikap yang mucul karena perubahan.
4. Masa remaja sebagai masa pencarian identitas diri
mengeluarkan usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja merupakan masa yang bermasalah
Masalah terjadi pada anak laki-laki maupun perempuan. Kesulitan yang terjadi disebabkan karena mereka merasa sudah mandiri, sehingga menolak bantuan orang-orang yang ada disekitar mereka seperti orang tua dan guru dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Penyebab lainnya adalah, sepanjang masa kanak-kanak, masalah mereka sebagian diselesaikan oleh orang-orang yang ada disekitar mereka sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalamana dalam mengatasi masalah yang ada.
6. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan
Hal ini disebabkan karena pada masa ini para remaja cenderung memunculkan perilaku yang kurang baik sehingga banyak orang tua menjadi takut.
3. Tahapan Perkembangan Masa Remaja
Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap perkembangan (Sarwono, 2006), yaitu :
a. Remaja awal (early adolescence)
muncul. Para remaja ingin lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebaas, serta memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.
b. Remaja Madya (middle adolescence)
Periode berkisar pada usia 15-18 tahun. Pada tahap ini remaja mulai mencari identitas diri, serta timbulnya keinginan untuk kencan. Remaja juga memiliki kesulitan untuk menentukan hal yang terbaik bagi dirinya.
c. Remaja Akhir (late adolescence)
Pada periode ini usia berkisar antara 18-21 tahun. Ciri yang melekar antara lain, remaja sudah mulai dapat mengungkapkan identitas diri, minat-minat terhadap fungsi intelektual, munculnya batasan antara diri sendiri dan masyarakat, serta munculnya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain.
4. Keadaan Emosi pada Masa Remaja
Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu
(dalam Hurlock, 2007) mengatakan bahwa remaja yang berusia empat belas tahun memberikan bentuk emosi yang meledak, mudah marah, mdah terangsang, dan tidak berusaha untuk mengendalikan emosinya. Sementara pada remaja yang berusia enam belas tahun, bentuk emosi menjadi lebih stabil. Jadi periode badai dan tekanan pada masa remaja dapat berkurang seiiring waktu.
a. Pola emosi pada masa remaja
Menurut Hurlock (2007), pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi yang terjadi pada masa kanak-kanak, perbedaannya hanya pada rangsangan yang membangkitkan emosi, tingkat emosi, serta pengendalian terhadap rangsangan yang memunculkan emosi. Emosi umum yang terjadi antara lain; mudah marah, iri hati, takut, gembira, sedih, cemburu, ingin tahu serta kasih sayang lebih.
b. Kematangan emosi
Baik laki-laki maupun perempuan dapat dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila mereka sudah dapat mengendalikannya dengan tidak meledak-ledak dan mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Ciri lain yang menunjukkan kematangan emosi adalah para remaja menilai situasi secara kritis dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran mengenai situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional, misalkan dengan berbagi masalah dengan orang lain yang diharapkan dapat memberikan stabilan emosi bagi remaja. Hurlock (2007) juga menyebutkan bahwa emosi dapat distabilkan dengan belajar katarsis emosi. Cara yang dapat dilakukan berbeda-beda setiap invidu, misalkan dengan bermain atau bekerja, tertawa ataupun menangis.
D. Self-Compassion pada Anak Jalanan
bermain bersama teman akan berbeda perannya dengan anak jalanan yang kegiatan utamanya mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Surbakti (dalam Puspareni, 2012) membedakan anak jalanan dalam 3 kategori kelompok yaitu; children on the street, children of the street, dan children from families of the street. Usia anak jalanan di kota Medan masih
muda yaitu berada pada usia masa kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, dan remaja. Anak jalanan kota Medan yang berada di usia remaja, memiliki beban tugas yang lebih, karena sedang berada pada tahap pencarian identitas diri dan tugas-tugas perkembangan lainnya. Dampak yang dapat terjadi dari beban tugas yang lebih tersebut adalah menimbulkan sikap pesimis, krisis percaya diri, merasa terasingkan dari masyarakat, penyalahgunaan obat-obatan, serta menghambat pengembangan diri yang ada pada anak jalanan. Hal tersebut juga berdampak pada tingginya tingkat kriminalitas dikalangan anak jalanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Saat menjadi anak jalanan sebagian dari mereka juga dapat merasakan kebahagiaan atas apa yang mereka jalani. Penelitian yang dilakukan Mardayeti (2013) menjelaskan bahwa anak jalanan merasa bahwa ia dapat merasakan kebahagiaan ketika bersama temannya, karena menurutnya temannya mampu memberikan perhatian kepadanya dan bersama teman-temannya ia bisa membagi semua permasalahan yang dialaminya. Hal tersebut, dapat terwujud karena adanya konsep self-compassion pada diri anak. Penelitian Neff (2013) juga menjelaskan bahwa individu yang memilliki self-compassionakan menunjukkan perilaku hubungan yang lebih positif
daripada mereka yang tidak memiliki self-compassion.
Self-compassionadalah kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan