• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA SENIORITAS TERHADAP KEKERASAN YANG TERJADI PADA ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FENOMENA SENIORITAS TERHADAP KEKERASAN YANG TERJADI PADA ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA SENIORITAS TERHADAP KEKERASAN YANG TERJADI PADA ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara Oleh :

ANGGA KURNIA 140901053

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul Fenomena Senioritas Terhadap Kekerasan yang Terjadi pada Anak Jalanan di Kota Medan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan almamater Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa selama mengerjakan penelitian ini banyak dukungan yang datang kepada peneliti guna menyemangati dan memotivasi peneliti dalam mengerjakan skripsi ini, berkat dukungan dan doa mereka peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar. Maka dari itu peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada orang-orang yang menjadi motivasi peneliti dalam mengerjakan penelitian ini yaitu Malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Allah, Ibu dan Bapak selaku orang tua peneliti yang tidak henti- hentinya memberi kasih sayang, semangat, nasihat, dukungan moral dan materi, doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, serta atas dedikasi mimpi indah mereka peneliti sampai di titik ini. Tidak lupa juga peneliti ucapkan terimakasih kepada adik peneliti Dea Azzahra yang selalu memberi dukungan dan menjadi penyemangat sehingga membuat peneliti terpacu untuk melakukan hal terbaik di masa perkuliahan.

(3)

Rasa terimakasih juga peneliti ucapkan kepada pihak-pihak lain yang ikut serta dalam mendukung peneliti selama mengerjakan skripsi ini. Maka, dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

2. Ketua Departemen Ibu Dr. Harmona Daulay, M.Si karena telah banyak sekali membantu dalam memberikan bimbingan, nasihat juga arahan tidak hanya saat penelitian ini berjalan namun juga selama masa perkuliahan berlangsung dan Sekretaris Departemen, sekaligus dosen pembimbing Bapak Drs. T. Ilham Saladin, MSP yang bersedia menjadi teman diskusi

3. Seluruh Dosen dan Pengajar di Departemen Ilmu Sosiologi FISIP USU

4. Staf Departemen Kak Ernita dan Bang Abel yang selalu sabar dan baik hati dalam membantu peneliti selama menjadi mahasiswa.

5. Peneliti ucapkan terimakasih banyak kepada Siti Maharani yang telah bersedia memberikan semangat, nasihat juga meluangkan waktu untuk menemani dengan sangat sabar selama peneliti mengerjakan tugas akhir ini, terimakasi karena tetap setia untuk sama – sama berjuang.

(4)

6. Sahabat peneliti sejak SD, SMP, SMA, Riki, Defry, Ari, Yuda, yang selalu menjadi tempat ternyaman peneliti saat ingin berbagi keluh kesah dan kebahagiaan.

7. Teman-teman seperjuangan peneliti di Jurusan Sosiologi sedari awal masuk dunia perkuliahan Lia Ariska, Wasliati Kusuma Ningrum, Hanum Reiza Satipah, Sri Rahayu, Herry Agam Prakoso, R. Ulya Khairun, M. Ikhwanul Ihsam, DLL. yang mewarnai hidup peneliti selama masa perkuliahan. Terimakasih telah membuat masa perkuliahan peneliti begitu indah dan penuh dengan kelucuan dan kekonyolan kalian, dan menjadi teman seperjuangan peneliti sejak mengawali masa perkuliahan.

8. Kepada teman-teman dari p3 yang selalu membantu dan memberikan kesan di masa perkuliahan yang terdiri dari Alfat, Reza, Yuri, Rio, Irsyad, Anton, Diagung, Adrianus, Arif, Darwin, Efreim, dll.

9. Terimakasih tak terhingga kepada orang-orang dibalik layar yang berjasa sangat besar, abang, kakak, sekaligus keluarga yang memiliki hati sangat mulia. Dalam momen ini peneliti ucapkan banyak Terimakasih dan rasa syukur peneliti didekatkan dengan orang-orang yang sangat baik hati.

10. Terimakasih Kepada seluruh pihak terkait anak-anak jalanan yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

(5)

Demikianlah skripsi ini peneliti sadari masih memiliki banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, peneliti mohon maaf atas segala kesalahan yang terdapat pada skripsi ini dan terima kasih.

Medan, 19 Oktober 2018

ANGGA KURNIA

(6)

ABSTRAK

FENOMENA SENIORITAS TERHADAP KEKERASAN YANG TERJADI PADA ANAK JALANAN DI KOTA MEDAN

Kota Medan, yang merupakan kota terbesar ketiga memiliki banyak permasalahan sosial terutama permasalahan di dalam menangani anak jalanannya.

Tercatat Sumatera Utara memiliki jumlah anak jalanan sebanyak 2.867 anak jalanan yang tersebar di 5 kota. Dengan banyaknya jumlah anak jalanan di Kota Medan, berbanding lurus dengan kekerasan yang terjadi di kalangan anak jalanan itu sendiri. Terutama kekerasan yang diakibatkan oleh adanya senioritas di dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Penelitian dengan judul “Fenomena Senioritas Terhadap Kekerasan Yang Terjadi Pada Anak Jalanan Di Kota Medan”, memiliki rumusan masalah tentang bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh senioritas tersebut dan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kekerasan yang dialami anak jalanan oleh karena adanya senioritas dan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Adapun sumber data yang digunakan adalah data-data primer dan sekunder dari hasil wawancara para anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan dari para senior mereka. Data akan dianalisa dengan metode deskriptif analisis. Landasan teori yang digunakan adalah teori maskulinitas oleh Connell.

Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa maskulinitas di kalangan anak jalanan merupakan suatu konstruksi sosial yang terbentuk secara terus menerus di kalangan anak jalanan dan telah menjadi suatu kesepakatan mereka bersama. Dengan adanya maskulinitas yang umumnya dimiliki oleh para senior mereka sesama anak jalanan, maka muncul hirarki kekuasaan yang di dominasi oleh mereka yang memiliki sisi maskulinitas lebih daripada yang lainya. Dengan adanya dominasi tersebut akan memunculkan berbagai tindak kekerasan terhadap sesama anak jalanan. Pada dasarnya kekereasan tersebut terjadi karena adanya ketimpangan usia dan fisik yang dimiliki oleh masing-masing anak jalanan. Kekerasan tidak hanya diakibatkan oleh senioritas di kalangan anak jalanan saja. Akan tetapi, aparat keamanan juga ikut memberikan kekerasan pada anak jalanan yang masih di bawah umur.

Kehidupan jalanan sejatinya tidak layak untuk anak-anak, dengan kehidupan jalanan yang cenderung kasar dan juga keras, tidak seharusnya anak-anak ikut berada di dalamnya. Akan tetapi, karena faktor ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing anak itu sendiri, mau tidak mau mereka harus mengambil resiko untuk hidup di jalanan, dan mencari uang untuk membantu keadaan ekonomi keluarga mereka.

Kata Kunci : Senioritas, Maskulinitas, Anak Jalanan, Kekerasan, Dominasi.

(7)

ABSTRACT

SENIORITY PHENOMENON TOWARDS VIOLENCE THAT HAPPENS IN THE STREET CHILDREN IN MEDAN CITY

Medan City, which is the third largest city has many social problems, especially problems in handling street children. North Sumatra has a total of 2,867 street children spread in 5 cities. With the large number of street children in the city of Medan, it is directly proportional to the violence that occurs among street children themselves. Especially the violence caused by the presence of seniority in the lives of these street children. The study entitled "The Phenomenon of Seniority Against Violence That Occurs in Street Children in the City of Medan", has a formulation of the problem of how the forms of violence experienced by the seniority and the reasons why this happened. The purpose of this study was to find out the forms of violence experienced by street children because of seniority and why it happened.

This study uses a descriptive research method with a qualitative approach.

The data sources used are primary and secondary data from the interviews of street children who have experienced violence from their seniors. Data will be analyzed by descriptive analysis method. The foundation of the theory used is the theory of masculinity by Connell.

Based on the results of data analysis that has been done, it can be concluded that masculinity among street children is a social construction that is formed continuously among street children and has become a common agreement. With the existence of masculinity which is generally owned by their senior fellow street children, the power hierarchy emerges which is dominated by those who have more masculinity than others. With this dominance, various acts of violence will be generated against fellow street children. Basically the violence occurs because of the age and physical inequality each street child has. Violence is not only caused by seniority among street children. However, security forces also contributed to the abuse of underage street children. Street life is actually not feasible for children, with street life that tends to be rough and hard, children should not be included in it. However, because of the economic factors possessed by each child themselves, they inevitably have to take the risk of living on the streets, and looking for money to help their family's economic condition.

Keywords: Seniority, Masculinity, Street Children, Violence, Domination.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ...v

ABSTRACT...vi

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ………xi

DAFTAR MATRIKS ……….xii

DAFTAR GAMBAR ………xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ...9

1.3. Tujuan Penelitian ...9

1.4. Manfaat Penelitian ...10

1.4.1. Manfaat Akademis ... ...10

1.4.2. Manfaat Praktis ... ...10

1.5. Definisi Konsep ...11

1.5.1. Maskulinitas ...11

1.5.2. Senioritas (senior vs junior) ...12

1.5.3. Kekerasan...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...14

2.1. Landasan Teori ...14

2.1.1. Teori Maskulinitas Connell ...14

2.2. Senioritas ...16

2.2.1. Pengertian Senioritas ...16

2.2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Senioritas ...16

2.3. Anak Jalanan ...16

2.3.1. Pengertian Anak ...16

(9)

2.3.2. Pengertian Anak Jalanan ...18

2.3.3. Karakteristik Anak Jalanan ...20

2.3.4. Faktor Pendorong Anak Turun Ke Jalan ...21

2.4. Kekerasan ...22

2.4.1. Pengertian Kekerasan ...23

2.4.2. Bentuk Kekerasan Pada Anak Jalanan ...25

2.4.3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak Jalanan ...26

2.4.4. Pelaku Tindak Kekerasan Pada Anak Jalanan ...27

2.5. Penelitian Terdahulu ...28

2.5.1. Penelitian Chris Ellmanda dan Ade Chandra ...28

2.5.2. Penelitian Gatot Triasmoro dan Kris Hendrijanto ...29

2.5.3. Penelitian Kathleen Mc Creery and Eugene M. Lewit ...31

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Metode Penelitian ... 33

3.2. Lokasi Penelitian ...34

3.3. Unit Analisis dan Informan ...34

3.3.1. Unit Analisis ... 34

3.3.2. Informan ...34

3.4. Teknik Pengumpulan Data ...35

3.5. Teknik Analisa Data ...37

3.6. Batasan Masalah ...38

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN...40

4.1. Lokasi Penelitian ...40

(10)

4.1.1. Kecamatan Medan Tembung ...40

4.1.2. Kecamatan Medan Helvetia ...42

4.1.3. Kecamatan Medan Selayang ...44

4.1.4. Kecamatan Medan Amplas ...46

4.2. Kondisi Anak Jalanan ...47

4.2.1. Kondisi Anak Jalanan di Simpang Pasar Aksara ...47

4.2.2. Kondisi Anak Jalanan di Simpang Sei Sikambing ...50

4.2.3. Kondisi Anak Jalanan di Simpang Setia Budi ...52

4.2.4. Kondisi Anak Jalanan di Simpang Amplas ...53

4.3. Profil Informan ...55

4.4. Senioritas Di Kalangan Anak Jalanan ...66

4.5. Reaksi Anak Jalanan Atas Senioritas ...71

4.6. Maskulinitas Senior ...76

4.7. Bentuk Kekerasan di Jalanan ...81

4.7.1. Kekerasan Fisik ...83

4.7.2. Kekerasan Psikis / Psikologis ...89

4.7.3. Kekerasan Ekonomi ...93

4.8. Penyebab Terjadinya Kekerasan ...98

4.9. Analisis Hasil Penelitian ...105

4.9.1. Analisis Maskulinitas Terhadap Fenomena Senioritas Pada Anak Jalanan di Kota Medan ...105

4.9.2. Analisis Maskulinitas Senior Terhadap Kekerasan Yang Terjadi Pada Anak Jalanan di Kota Medan ...108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...112

(11)

5.1. Kesimpulan ...112

5.2. Saran ...114

DAFTAR PUSTAKA ...116

LAMPIRAN FOTO ………..120

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bentuk-bentuk dan pelaku kekerasan ………...103

(13)

DAFTAR MATRIKS Matriks 1. Hasil wawancara tentang

senioritas menurut anak jalanan ………..70 Matriks 2. Hasil wawancara tentang

reaksi anak jalanan terhadap senioritas ………..74 Matriks 3. Hasil wawancara tentang ciri-ciri maskulinitas senior ………..79 Matriks 4. Hasil wawancara dari informan tentang

kekerasan secara fisik ………87 Matriks 5. Hasil wawancara dari informan tentang

kekerasan seacara psikis ………91 Matriks 6. Hasil wawancara dari informan tentang

kekerarasan secara ekonomi ………..96 Matriks 7. Penyebab kekerasan menurut para informan………101

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Kecamatan Medan Tembung ………...40

Gambar 4.2. Kecamatan Medan Helvetia ………42

Gambar 4.3. Kecamatan Medan Selayang ………44

Gambar 4.4. Kecamatan Medan Amplas ………..46

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak jalanan merupakan masalah sosial yang menjadi fenomena menarik dalam kehidupan bermasyarakat. Kita bisa menjumpai anak-anak yang sebagian besar hidupnya berada di jalanan pada berbagai titik pusat keramaian di kota besar, seperti di pasar, terminal, stasiun, traffic light, pusat pertokoan, dan sebagainya. Kehidupan jalanan mereka terutama berhubungan dengan kegiatan ekonomi, antara lain mengamen, mengemis, mengasong, kuli, loper koran, pembersih mobil, dan sebagainya. Meskipun ada pula sekumpulan anak yang hanya berkeliaran atau berkumpul tanpa tujuan di jalanan (Suyanto, 2010).

Masalah anak jalanan tidak dapat dilepaskan dari: pertama, masih berlangsungnya kemiskinan struktural di alam masyarakat kita; kedua, semakin terbatasnya tempat bermain anak karena pembangunan yang semakin tidak mempertimbangkan kepentingan kebutuhan dan perlindungan anak; ketiga, semakin meningkatnya gejala ekonomi upah dan terbukanya peluang bagi anak- anak untuk mencari uang di jalanan; keempat, keberadaan anak jalanan tersebut telah dirasakan oleh sebagian masyarakat sebagai suatu bentuk gangguan (Huraerah, 2006).

Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Kementerian Sosial RI, hingga Agustus 2017 jumlah anak jalanan tersisa sebanyak 16.290.

Sebelumnya, jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia pada 2006 sebanyak

(16)

67.607 anak, dan pada 2015 menjadi 33.400 anak. Seluruh anak jalanan tersebut tersebar di 21 provinsi.

Banyak para ahli meneliti tentang faktor-faktor penyebab kemunculan anak jalanan. Menurut Mulandar (1996), ada sejumlah penyebab dari fenomena anak yang bekerja antara lain adalah tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orang tua, diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana bermain, dan pembenaran budaya bahwa kecil anak harus bekerja. Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab anak turun ke jalan adalah kemiskinan keluarga, kesibukan orangtua, penolakan masyarakat karena cacat atau anak haram, rumah tangga yang berkonflik, dan salah satu atau kedua orang tua meninggal dunia, serta faktor keinginan seorang anak untuk dapat mengekspresikan dirinya secara bebas. Berbagai macam faktor yang mendukung alasan seorang anak untuk turun ke jalanan demi mencari nafkah diantaranya besarnya urbanisasi, jaminan mendapatkan pekerjaan di kota, pengaruh dari teman dan lain sebaginya. Tetapi yang menjadi faktor utama mereka menjadi anak jalanan adalah kemiskinan. Secara umum, anak jalanan menginginkan pelayanan dari lembaga sosial dan mereka tidak ingin kembali ke jalan. Menurut Maslow seseorang membutuhkan lima kebutuhan dasar diantaranya adalah: kebutuhan fisiologis, keamanan dan rasa aman, rasa memiliki, harga diri, dan aktualisasi (Alwisol, 2009). Jadi, jika seorang individu yang tidak terpenuhi atau terpuaskan salah satu dari kebutuhannya, maka dapat mempengaruhi pikiran dan perilakunya bagaimana caranya untuk mencapai kepuasan kebutuhan tersebut.

(17)

Krisis ekonomi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah anak di jalanan. Peningkatan anak terbesar karena dampak krisis ekonomi sehingga membuat banyak komunitas jalanan yang merupakan rumah tangga miskin yang menyia-nyiakan anaknya. Peningkatan anak jalanan juga disebabkan dari keluarga broken home. Selain itu, pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang mempunyai efek samping merebaknya anak-anak jalanan. Anak dalam komunitas jalanan adalah masyarakat yang hidup dan tinggal dalam keluarga yang terpinggirkan sehingga mereka hidup di lingkungan jalanan.

Profesi keluarga dalam komunitas jalanan antara lain sebagi pemulung, pedagang asongan, gelandangan dan pengemis. Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, alasan anak bekerja adalah karena membantu pekerjaan orangtua (71%), dipaksa membantu orangtua (6%), menambah biaya sekolah (15%), dan karena ingin hidup bebas, untuk uang jajan, mendapatkan teman, dan lainnya (33%).

Pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan adalah sangat beragam. Secara umum pekerjaan anak jalanan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) pedagang asongan. Jenis dagangan yang dijual antara lain kantong plastik, koran, mainan anak-anak, dan makanan ringan. Pada umumnya anak jalanan melakukan kegiatan tersebut di sekitar pasar, tamankota atau tempat keramaian. Selain itu juga ada di sekitar perempatan jalan/lampu merah. Usia rata-rata anak jalanan yang melakukan pekerjaan ini berkisar antara 8 – 12 tahun. 2) Penjual jasa.

Kegiatan yang dilakukan antara lain menyemir sepatu, dan membantu mengangkat barang-barang belanjaan dari orang lain. Kegiatan ini dilakukan di sekitar pasar, taman kota, dan masjid. Usia rata-rata anak jalanan yang melakukan

(18)

kegiatan tersebut antara 8 - 12 tahun. 3) Mengamen dan mengemis. Kegiatan mengamen dan mengemis dilakukan di sekitar perempatan jalan (lampu merah).

Usia anak jalanan yang melakukan pekerjaan mengamen dan mengemis ini bervariasi antara 8 – 19 tahun, bahkan juga terdapat anak-anak dibawah usia 8 tahun (Erwin 2011).

Anak jalanan sangat rentan atau beresiko mendapatkan perlakuan yang tidak diinginkan, seperti rawan dieksploitasi secara ekonomi maupun seksual dan rawan menjadi korban traficking. Kekerasan-kekerasan itu dterima dari keluarga, teman sebaya di jalanan, preman jalanan dan pemerintah kota melalui satuan polisi pamong praja.

Kekerasan terhadap anak jalanan (anjal) juga masih banyak terjadi. Dari banyak kasus, pencabulan merupakan yang terbesar. Kementerian Sosial (Kemensos) mencatat sedikitnya 8.937 kasus menimpa anak-anak jalanan (anjal) selama 2017. Kasus yang menimpa anjal itu antara lain pencabulan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, eksploitasi seksual, hingga minuman keras, kasus tertinggi yang menimpa anak-anak jalanan selama tahun lalu adalah pencabulan sebanyak 2.117 kasus. Kemudian di peringkat kedua ada pencurian sebanyak 1.244 kasus dan posisi ketiga, yaitu penganiayaan atau perkelahian sebanyak 1.115 kasus. Peringkat keempat, yaitu pemerkosaan sebanyak 1.108 kasus, kemudian kasus tertinggi kelima adalah penelantaran sebanyak 989 kasus. Kasus lainnya ada di peringkat enam sebanyak 638 kasus. Kasus terbanyak di peringkat ketujuh yaitu kecelakaan lalu lintas 326 kasus. Berikutnya anak korban perlakuan salah sebanyak 322 kasus. Posisi kesembilan, adalah anak korban kekerasan fisik dan mental sebanyak 281 kasus, selanjutnya anak balita terlantar (ABT) korban

(19)

tindak pidana sebanyak 243 kasus. Sementara peringkat nomor 11 kasus terbanyak, yaitu narkotika sebanyak 195 kasus. Kemudian pembunuhan sebanyak 94 kasus, dan posisi 13 adalah korban penculikan sebanyak 56 kasus, dan perjudian jadi nomor 14 dengan 52 kasus.

Kekerasan struktural paling menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Kombinasi persoalan internal (keluarga) dan persoalan kultural dihubungkan dengan problem structural membuat kehidupan anak-anak Indonesia masuk lingkaran setan yang tidak mudah diatasi. Jenis kekerasan dari 18 kekerasan, yang sangat marak menimpa mereka adalah trafficking sejumlah 12,7

% dan penganiayan. Berdasarkan hasil temuan dari Komite Nasional Perlindungan Anak, sebagaimana yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi, kasus kekerasan dan kejahatan yang dialami anak dapat dilakukan baik oleh orang tua, masyarakat, pemerintah maupun oleh sesama anak.

Sejumlah kasus kekerasan di atas secara tidak langsung memperlihatkan kepada kita bahwa betapa rentannya kondisi anak-anak yang berada di jalanan.

Bentuk kekerasan yang umumnya sering dialami oleh anak jalanan tersebut dapat terbagi dalam tiga bentuk kekerasan, yaitu: (1) Kekerasan Fisik; dipukul, ditampar, ditarik rambutnya, dicubit, dijewer, didorong, baju ditarik, dirampas, dipalak, dilempar dengan batu, dijitak, ditusuk, dipaksa ngamen. (2) Kekerasan Psikis; dimarahi, dimaki, dicemooh/dihina, dilecehkan, diancam, dibentak. (3) Kekerasan Seksual; pemerkosaan, upaya perkosaan, disodomi, dicium paksa.

Kekerasan yang terjadi terhadap anak -yang ada di jalan- dalam lingkungan masyarakat luas, dapat dilakukan oleh siapa saja, seperti: sesama anak jalanan,

(20)

perkotaan, termasuk aparat negara yang secara spesifik diidentifikasi sebagai Kepolisian, Petugas Trantib (ketentraman dan ketertiban) dan Satpol PP (satuan polisi pamong praja).

Sesungguhnya penerapan kekerasan terhadap anak-anak jalanan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Hal ini berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Dalam Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 disebutkan secara jelas di dalam pasal 2, 3, 4, 13, 15, dan 16 tentang negara harus melindungi setiap anak dari semua tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Sementara di dalam Konvensi Hak Anak dinyatakan dengan tegas dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa negara akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan. Sementara pasal 37 menjelaskan bahwa tidak seorang anak pun boleh menjalani siksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat. Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, -termasuk di dalamnya anak jalanan-, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), serta perlindungan khusus (special protection).

(21)

Sumatera Utara, tercatat sebanyak 2.867 anak jalanan yang tersebar di 5 kota, yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak), dan Tanah Karo (157 anak). Sisanya tersebar di 25 Kabupaten/Kota lainnya. Survei yang pernah dilakukan oleh PKPA Kota Medan tahun 2011, terdapat 7 kecamatan yang memiliki populasi anak jalanan di atas 50 anak dalam satu kecamatan. Ketujuh kecamatan tersebut yakni Medan Johor (57 anak), Medan Amplas (81 anak), Medan Kota (94 anak), Medan Maimun (103 anak), Medan Sunggal (75 anak), Medan Petisah (60 anak), dan Medan Barat (53 anak).

Begitu juga di Kota Medan, permasalahan anak jalanan bukan permasalahan yang baru. Rata-rata di setiap titik simpang Kota Medan, banyak anak-anak yang beraktifitas di jalanan. Seperti Simpang Pos, Simpang Ring Road, Simpang Aksara, Simpang Tritura , Simpang Juanda, Simpang Mandala, dan Simpang Amplas. Aktifitas anak-anak di jalanan pun beragam seperti mengamen, menjadi penjual asongan, menjadi pengemis dan ada juga yang hanya ikut-ikutan

“meramaikan” jalan.

Di kota Medan dan sekitarnya, jumlah anak yang berada di jalanan, menurut perkiraan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara, mencapai 400-an orang dan kondisinya semakin memprihatinkan, rata-rata dari mereka menjadi pengemis, pengamen atau menggelandang, dari hari ke hari jumlahnya cenderung bertambah.Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak- anak berada di jalanan, antara lain, karena broken home atau rumah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak, bisa juga karena faktor kemiskinan.

(22)

menangani anak jalanan masih reaktif dan represif. Reaktif, karena melihat persoalan anak jalanan sebagai perusak keindahan perkotaan dan pelaku kriminal.

Sedang sikap represif diperlihatkan dalam bentuk penanganan anak jalanan melalui razia, tangkap dan ceramahi (Waspada, 2/3/2010).

Yayasan Pusat kajian dan Perlindungan anak, lembaga yang bergerak dalam bidang perlindungan anak di Sumatera Utara, menerbitkan catatan akhir tahun 2017 untuk merefleksikan situasi perlindungan anak sepanjang tahun 2017.Sepanjang tahun 2017, kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang didampingi PKPA meningkat sebanyak 6% dari tahun 2016, bukan hanya dari jumlah kasus yang terjadi, namun juga modus kejahatan yang meningkat.

Gambaran kasus yang dicatat oleh Yayasan PKPA dapat dilihat pada chart berikut:

Sumber : Data PKPA Sumatera Utara tahun 2017.

Dari sejumlah uraian di atas memperlihatkan bahwa anak jalanan tetap sebagai kelompok yang paling beresiko mengalami ancaman berbagai tindak kekerasan fisik, psikis, seksual dan bahkan pembunuhan. Semakin lama mereka

(23)

berada di jalan, semakin berpotensi timbulnya tindak kekerasan terhadap mereka.

Minimnya perlindungan yang mereka miliki, baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah, pada akhirnya membuat mereka tetap harus menghadapi situasi dan ancaman kekerasan ini. Hal ini pada satu sisi telah banyak menimbulkan keperihatinan, karena anak-anak bukanlah individu yang seharusnya berada di jalan. Anak-anak masih terlalu “lemah” untuk berada di lingkungan yang sangat “keras” seperti jalanan. Sehingga, dalam hal ini anak yang berada di jalan merupakan individu yang beresiko besar menjadi korban kejahatan. Karena pada usia pertumbuhan dan perkembangan anak, mereka belum memiliki kematangan fisik maupun psikis.

Karena sesungguhnya kekerasan apapun bentuknya dapat berdampak luar biasa pada anak. Akibat kekerasan pada anak bisa beragam, tergantung pada sifat dan tingkat keseriusannya. Namun kekerasan jangka pendek dan jangka panjang yang terulang-ulang dapat berakibat luar biasa. Kekerasan pada tahap awal masa kanak-kanak dapat dapat mempengaruhi proses kematangan otak. Kekerasan pada anak yang berkepanjangan baik sebagai saksi maupun sebagai korban dapat mengganggu sistem kekebalan dan sistem syaraf dan dapat menimbulkan kecacatan, gangguan sosial, emosional dan kognitif anak serta perilaku yang menyebabkan timbulnya penyakit, cedera dan masalah sosial.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

(24)

1. Bagaimana bentuk kekerasan yang di alami anak jalanan yang diakibatkan oleh adanya senioritas?

2. Mengapa kekerasan yang disebabkan karena senioritas terjadi di kalangan anak jalanan?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh anak jalanan akibat dari adanya senioritas.

2. Untuk mengetahui alasan terjadinya kekerasan yang diakibatkan oleh senioritas di kalangan anak jalanan.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemikiran dan kepustakaan bagi penelitian selanjutnya dan untuk menambah literatur keilmuan yang berkaitan dengan permasalahan anak jalanan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini turut berupaya untuk memberikan masukan bagi para tenaga profesional dibidang anak jalanan dalam membuat suatu intervensi pencegahan dan perlindungan anak jalanan dari potensi terjadinya tindak kekerasan di ruang publik, sehingga anak dapat menghadapi masa depannya dengan rasa aman tanpa perlu untuk turun ke jalan-jalan.

(25)

1.5. Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan oleh para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan diteliti, untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang akan dijadikan objek penelitian. Dengan kata lain, penulis berupaya membawa para pembaca bahwa hasil penelitian ini untuk memaknai konsep sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh penulis. Jadi, definisi konsep adalah pengertian terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:138).

Untuk mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan dalam penelitian yaitu makna konsep maskulinitas, senioritas, dan kekerasan.

1.5.1. Maskulinitas

Raywen Connel (2000) mendefinisikan maskulinitas sebagai suatu konfigurasi praktik-praktik (configuration of practies) dalam relasi gender dalam struktur-struktur yang lebih luas seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dalam definisi ini Connel memberikan penekanan pada aspek struktur yang mengandaikan hirarki dan hubungan kekuasaan. Maskulinitas tidak hanya mengandung unsur relasi kuasa dalam hubungan laki-laki dan perempuan, akan tetapi juga antara laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat bagaimana maskulinitas yang dimiliki oleh seorang senior di dalam kehidupan anak jalanan yang digunakan untuk menunjukkan kekuasaan dan dominasinya atas sesama anak-anak jalanan yang lain.

(26)

1.5.2. Senioritas (Senior vs Junior)

Senioritas adalah pandangan bahwa figur yang lebih tua (senior) memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada yang lebih muda (junior), sehingga yang lebih tua dapat menindas yang lebih muda dengan sejumlah kelebihan dan aturan yang ditetapkan olehnya. Kesenioritasan dinilai sebagai pengganggu kedamaian, karena mereka yang lebih muda akan selalu merasa terancam dan tertindas dengan aturan-aturan tersebut (M. Noor Rochman Hadjam dan Wahyu Widhiarso, 2003:

46). Dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana sikap anak jalanan yang telah senior terhadap junior mereka, yang dianggap lemah dan dapat untuk mereka tindas. Dengan segala aturan-aturan yang ada di jalanan, yang terbentuk karena adanya kesepakatan sosial yang telah berlangsung secara terus menerus di dalam kehidupan anak jalanan.

1.5.3. Kekerasan

Kekerasan (Violence) berasal dari bahasa latin violentinus yang berasal dari kata vi atau vis berarti kekuasaan atau berkuasa. Menurut Arif Rohman (2005) mendefinisikan tindak kekerasan merujuk kepada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya: pemukulan, penjarahan, pembunuhan, dan lain sebaginya.

Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Namun pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi. Dan bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.

Dalam penelitian ini akan dilihat apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami

(27)

oleh para anak jalanan yang mereka alami akibat adanya dominasi dari para senior mereka yang mempunyai kekuasaan dan berkuasa atas mereka yang berada di bawahnya, dan alasan mengapa kekerasan itu bisa terjadi.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Teori Maskulinitas Connel

Maskulinitas oleh Connell (2000:29) didefinisikan sebagai bentuk praktik gender yang merupakan konstruksi sosial. Maskulinitas mengacu pada tubuh laki- laki secara langsung maupun simbolis yang bukan ditentukan oleh biologis laki- laki. Bagi Connell, maskulinitas dipahami dalam arena reproduktif untuk menjelaskan bahwa tubuh bukanlah sesuatu yang tetap dan ditentukan secara biologis, namun melewati suatu proses historis. Maskulinitas diletakkan pada relasi gender, yaitu praktik yang melibatkan laki-laki dan perempuan dan berimplikasi pada pengalaman jasmaniah, sifat, dan kultur. Maskulinitas sebagai suatu konfigurasi praktik-praktik (configuration of practies) dalam relasi gender dalam struktur-struktur yang lebih luas seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dalam definisi ini Connel memberikan penekanan pada aspek struktur yang mengandaikan hirarki dan hubungan kekuasaan. Maskulinitas tidak hanya mengandung unsur relasi kuasa dalam hubungan laki-laki dan perempuan, akan tetapi juga antara laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Morgan (dalam Beynon, 2002:7) menjelaskan “what is masculinity is what men and women do rather than what they are”, maskulinitas adalah apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan.

Sebagai konstruksi, maskulinitas bukan hanya milik laki-laki, namun bisa juga dilekatkan pada perempuan. Laki-laki dan maskulinitas seolah-olah saling terkait.

Hal tersebut tidak lepas dari anggapan bahwa keduanya dipengaruhi oleh asumsi-

(29)

asumsi biologis sebagai standar menjadi laki-laki. Laki-laki normal, yaitu laki-laki agresif, aktif secara seksual, atau rasional merupakan sesuatu yang natural.

Pria dan maskulinitasnya masih merupakan hal baru yang dikaji dalam studi gender. Selama ini yang sering menjadi kajian dalam gender dan feminisme adalah wanita dan konstruksi nilai-nilai feminin. Masalah dalam gender bukan hanya mengenai wanita dan posisinya yang tersubordinasi oleh pria. Namun, pria pun juga memiliki masalah dan terugikan oleh konstruksi gender dalam masyarakat. Selayaknya gender yang merupakan hasil konstruksi, nilai-nilai maskulinitas mereka dan bagaimana mereka seharusnya menjadi pria pun merupakan hasil konstruksi. Walaupun banyak cara yang bisa dijalani untuk dianggap menjadi pria, namun ada beberapa hal yang dianggap lebih bernilai untuk dijalani agar seorang pria dianggap sebagai pria maskulin. Teori ini disebut dengan istilah hegemonic masculinity. Hegemoni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dsb suatu negara atas negara lain. Atau dalam konteks hegemoni maskulinitas, maka berarti pengaruh dominasi suatu konstruksi maskulinitas atas bentuk maskulinitas lain.

Menurut Trigiani (1998), “hegemonic masculinity is the socially dominant form of masculinity in a particular culture within a given historical period”.Dalam teori

ini, maskulin berhubungan dengan dominasi dan kekuatan. Teori hegemonic masculinity dianggap sebagai cara yang paling tepat dan sukses dalam mendefinisi

bagaimana seharusnya menjadi seorang lelaki. Dalam teori ini, maskulinitas didefinisikan dengan kekuatan fisik, bravado, heteroseksual, pengendalian emosi yang menunjukkan kelemahan, kemandirian secara ekonomi, otoritas atas wanita dan pria lain, dan ketertarikan yang besar untuk dapat menaklukan orang lain.

(30)

2.2. Senioritas

2.2.1. Pengertian Senioritas

Senioritas adalah pandangan bahwa figur yang lebih tua (senior) memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada yang lebih muda (junior), sehingga yang lebih tua dapat menindas yang lebih muda dengan sejumlah kelebihan dan aturan yang ditetapkan olehnya. Kesenioritasan dinilai sebagai pengganggu kedamaian, karena mereka yang lebih muda akan selalu merasa terancam dan tertindas dengan aturan-aturan tersebut (M. Noor Rochman Hadjam dan Wahyu Widhiarso, 2003:

46). Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) senioritas adalah keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman dan usia; prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja.

2.2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Senioritas

Faktor yang menyebabkan adanya senioritas itu sendiri adalah :

 Perilaku seorang yang ingin sok menjadi pemimpin atau penguasa.

 Ingin dipandang.

 Ingin dinyatakan bahwa dia itu hebat.

 Faktor balas dendam.

2.3. Anak Jalanan

2.3.1. Pengertian Anak

Dalam kajian sosiologi memandang bahwa anak merupakan bagian dari masyarakat. Dimana keberadaan anak sebagai bagian yang berinteraksi dengan

(31)

lingkungan sosialnya, baik dengan keluarga, komunitas, atau masyarakat pada umumnya. Sosiologi menjelaskan tugas atau peran oleh seorang anak pada masa perkembangannya:

1. Pada usia 5-7 tahun, anak mulai mencari teman untuk bermain.

2. Pada usia 8-10 tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan temannya lebih akrab lagi.

3. Pada usia 11-15 tahun, anak menjadikan temannya sebagai sahabatnya

Secara umum, anak adalah seseorang yang dilahirkan dan merupakan awal atau cikal bakal lahirnya generasi baru sebagai penerus cita-cita keluarga, agama, bangsa dan negara. Anak dianggap sebagai sumber daya manusia, aset, atau masa depan bagi pembangunan suatu negara. Berikut ini ada beberapa pengertian anak menurut para ahli :

 Menurut Suryana (2016), anak adalah rahmat dan amanat Allah, penguji

iman, media beramal, bekal di akhirat, unsur kebahagiaan, tempat bergantung di hari tua, penyambung cita-cita, dan sebagai makhluk yang harus dididik.

 Menurut Family Discovery, anak adalah peran utama dalam sebuah perjalanan sukses kehidupan.

 Menurut UU Kesejahteraan, Perlindungan, dan Pengadilan Anak, anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin yang masih dalam kandungan.

 Menurut Majalah Dharma Wanita, anak adalah seseorang yang bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan manusia yang oleh karena

(32)

kondisinya belum mencapai taraf pertumbuhan dan perkembangan yang matang, maka segala sesuatunya berbeda dengan orang dewasa pada umumnya.

 Menurut UU RI No. 4 tahun 1979, anak adalah seseorang yang belum

mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas 21 tahun ditentukan karena berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut.

 Menurut Supartini (2004) anak adalah individu yang unik dan bukan orang

dewasa mini. Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orangtua yang dapat dinilai secara sosial ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya untuk belajar mandiri.

2.3.2. Pengertian Anak Jalanan

Penggunaan istilah anak jalanan berimplikasi pada dua pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat mengatakan sebagai kenakalan anak, dan perilaku merteka dianggap mengganggu ketertiban sosial.

Kedua, pengertian ekonomi, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua yang miskin (Nugroho, 2000:78). Sebagaimana pembedaan tersebut, secara definisi, istilah anak jalanan terbagi dalam dua batasan istilah.

(33)

1. Pengertian Sosiologis: Anak jalanan adalah sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat menganggap sebagai anak nakal dan perilaku mereka mengganggu ketertiban sosial.

2. Pengertian Ekonomi: Anak jalanan adalah sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua miskin.

Anak jalanan dalam pengertian sosiologi, tidak harus merupakan produk dari kondisi kemiskinan tetapi merupakan akibat dari kondisi keluarga yang tidak cocok bagi perkembangan si anak, misalnya produk keluarga broken home, orangtua yang terlalu sibuk sehingga kurang memperhatikan kebutuhan si anak, tidak ada kasih sayang yang dirasakan anak. Ketidak kondusifan tersebut memicu anak untuk mencari kehidupan di luar rumah, apa yang tidak ia temukan dalam lingkungan keluarga. Mereka hidup di jalan-jalan dengan melakukan aktifitas yang dipandang negatif oleh norma masyarakat. Rata-rata mereka membentuk komunitas dan kelompok sosial tersendiri di luar kelompok masyarakat.

Sementara, defenisi yang dirumuskan dalam Lokakarya Kemiskinan dan Anak Jalanan, yang diselenggarakan Departemen Sosial pada tanggal 25 dan 26 Oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya utnuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.

Defenisi tersebut, kemudian dikembangkan oleh Ferry Johanes pada seminar tentang Pemberdayaan Anak Jalanan yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung pada bulan Oktober 1996, yang menyebutkan bahwa, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya di jalanan, baik

(34)

untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga atau terputus hubungannnya dengan keluarga , dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orangtua/keluarga (Huraerah, 2006: 80).

2.3.3. Karakteristik Anak Jalanan

Secara garis besar, anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti, 1997):

1. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan pekerja anak pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat atau menyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orangtuanya.

2. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak- anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Anak-anak padakategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik, maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-

(35)

ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya.

Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah mereka merasakan kehidupan jalanan sejak masih bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan. Kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta api, dan pinggiran sungai, walaupun secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

2.3.4. Faktor Pendorong Anak Turun Ke Jalan

Menurut Surjana(dalam Siregar, dkk., 2006) menyebutkan bahwa faktor yang mendorong anak untuk turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut :

1. Tingkat Mikro(immediate causes), memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk turun ke jalanan lebih dilatar belakangi oleh anak itu sendiri dan dari keluarga. Sebab-sebab dari si anak, yaitu seperti lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orangtua yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan, seperti sering menampar, memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan), disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah, berpetualang, atau bermain-main. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah penelantaran, ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, salah perawatan dari orangtua sehingga mengalami kekerasan di rumah (childabuse), serta kesulitan berhubungan

(36)

dengan keluarga karena terpisah dari orangtua. Permasalahan atau sebab- sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga keluarga ini saling terkait satu sama lain.

2. Tingkat Meso (underlying cause), memberikan penjelasan bahwa anak turun ke jalanan dilatar belakangi oleh faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur disini dianggap sebagai kelas masyarakat, dimana masyarakat itu ada yang miskin dan kaya. Bagi kelompok keluarga miskin anak akan diikut sertakan dalam menambah penghasilan keluarga).

Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain pergi ke kota untuk bekerja adalah sudah menjadi kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak (berurbanisasi).

3. Tingkat Makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur ini dianggap memiliki status sebab akibat yang sangat menentukan, dalam hal ini sebab banyak waktu di jalanan, akibatnya akan banyak uang). Memberikan penjelasan seperti peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, dan belum adanya kesamaan persepsi instasi pemerintah terhadap anak jalanan. Dengan begitu, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya cenderung memilih untuk turun ke jalanan yang tidak memerlukan modal dan keahlian yang besar.

(37)

2.4. Kekerasan

2.4.1. Pengertian Kekerasan

Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence yang artinya kekuasaan atau berkuasa. kata violence, berasal dari bahasa Latin yaitu violentia yang berarti force (kekerasan). Secara terminologi, kekerasan (violent)

didefinisikan sebagai perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik untuk memenangkan konflik. Pengertian kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupu mental. Kamus Sosiologi (2012:106), kekerasan merupakan suatu ekspresi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok di mana secara fisik maupun verbal mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat.

Di bawah ini adalah beberapa definisi pengertiankekerasan terhadap anak oleh beberapa ahli:

Kempe, dkk dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada anak-anak. Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih 2005) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.

Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan

(38)

salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.

David Gill (dalam Sudaryono, 2007) mengartikan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak.

Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan,melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.

Kekerasan terhadap anak menurut Andez (2006) adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: penelantaran dan perlakuan buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking, jual-beli anak. Sedangkan child abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Adapun kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.

(39)

2.4.2. Bentuk Kekerasan Pada Anak Jalanan

Anak jalanan mengalami berbagai macam bentuk tindak kekerasan, yaitu:

Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan pelaku dengan menggunakan salah satu anggota tubuh, misalnya dengan tangan ataupun kaki, dan juga dengan menggunakan benda tumpul maupun benda tajam yang dapat mengakibatkan cidera pada anak atau dapat menyebabkan anak tersebut mengalami cacat bahkan sampai meninggal.

Kekerasan Psikis

Kekerasan psikologis atau emosional adalah kekerasan yang biasanya diawali dengan kekerasan secara verbal melalui kata-kata yang diucapkan kepada anak, baik berupa ancaman, caci maki, maupun mengintimidasi. Contoh dari tindak kekerasan secara psikologis antara lain yaitu membentak, memaki dengan kata-kata yang tidak pantas, dan memberi pelabelan negatif.

Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindak kekerasan atau pelecahan ataupun pemaksaan kepada pekerja anak untuk melakukan hubungan intim.

Contoh, pencabulan (memegang atau meraba daerah-daerah sensitif), pemerkosaan, dan pornografi terhadap anak jalanan.

(40)

Kekerasan Ekonomi

Tindakan yang mengeksploitasi anak secara ekonomi, yaitu anak bekerja di bawah paksaan, ancaman atau bujuk rayu pihak lain, jam kerja yang panjang seperti orang dewasa, upah yang rendah dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan maupun pemalakan / meminta uang atau barang yang dimiliki secara paksa oleh oknum tertentu.

2.4.3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak Jalanan

Berbagai macam faktor yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak jalanan, yaitu:

1. Tekanan ekonomi. Kenaikan harga barang-barang keburutuhan rumahtangga, biaya pendidikan yang mahal, dan akses pelayanan kesehatan yang minim semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat menengah kebawah. Hingga akhirnya, ketidakberdayaan mereka dalam mengatasi kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat itu, menyebabkan mereka mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan dan kekecewaannya kepada orang terdekatnya yaitu anak.

2. Pelaku tindak kekerasan mempunyai sifat pemarah, frustrasi, dan kesalahan yang dilakukan oleh korban, diantaranya karena pemalas, kurang cekatan dalam bekerja, membantah perintah, dan lain-lain serta tingkat pendidikan pelaku tindak kekerasan.

3. Belum efektifnya hukum perlindungan anak meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku, tetapi kekerasan terhadap anak tidak juga menyurut.

(41)

2.4.4. Pelaku Tindak Kekerasan Pada Anak Jalanan

Tindak kekerasan terhadap anak jalanan dilakukan oleh orang terdekat ataupun orang yang tidak mereka kenal, yaitu:

1. Aparat keamanan

Aparat keamanan yang melakukan razia terhadap anak jalanan karena mereka dianggap mengganggu kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat.

2. Teman sebaya

Teman sebaya pun berpotensi untuk melakukan kekerasan. Ini dapat terjadi dikarenakan mereka berebut sesuatu atupun saling menghina sehingga menimbulkan keributan dan juga pertengkaran diantara anak jalanan.

3. Preman

Preman berasal dari kata free yang artinya bebas, dan man yang artinya laki - laki. Pengertian preman (pelakunya) yang selanjutnya disebut premanisme adalah faham kebebasan yang dianut untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dan keberadaan mereka seringkali bersifat dan berprilaku negatif yang meresahkan masyarakat sekitarnya. Preman seringkali menganggu kenyamanan anak jalanan, seperti meminta uang hasil bekerja anak jalanan, memerintahkan untuk melakukan sesuatu, dan apabila anak jalanan menolak maka para preman akan melakukan kekerasan.

(42)

4. Orangtua

Seharusnya orangtua merupakan orang yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Tetapi saat ini banyak orangtua yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap anaknya.

5. Pengguna jalan (masyarakat)

Pengguna jalan atau masyarakat sekitar terkadang merasa terganggu dengan adanya anak jalanan di tengah aktivitas mereka sehingga tidak segan- segan melakukan kekerasan, baik secara fisik ataupun psikologis untuk mengusir anak jalanan di sekitarnya.

2.5. Penelitian Terdahulu

2.5.1. Penelitian Chris Ellmanda dan Ade Chandra

Chris Ellmanda (2010) dalam penelitiannya, “Representasi Kekerasan Pada Anak dalam Film: Alangkah Lucunya Negeri ini”, mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak-anak di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh satu pemahaman yang keliru atau menjadi salah kaprah. Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua yang melahirkan. Mendidik dan merawat anak menjadi kebebasan orang tua itu sendiri bagaimanapun caranya dan menjadi tabu untuk dicampuri oleh campur tangan orang lain. Dengan demikian segala perbuatan dari orang tua terhadap anak merupakan manifestasi dari persepsi yang diperoleh berdasarkan nilai-nilai yang dianut dalam budaya masyarakat setempat. Adanya kultur kekerasan yang sangat kuat di sebagian masyarakat kita menyebabkan anak dilihat sebagai milik mutlak yang harus takluk untuk “menggayuh” keinginan orang

(43)

dewasa. Anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang dewasa, dan ketika anak tidak bisa memenuhi keinginan orang dewasa tersebut maka akan timbul tindak kekerasan. Hal ini menurut Ade Chandra (2008) dalam tulisannya,

“Kemiskinan: Penyebab dan Kekerasan yang Menyertainya”, mengatakan bahwa kekerasan seringkali diawali dari kemiskinan. Dimana menurutnya kemiskinan merupakan salah satu perwujudan dari kekerasan struktural dan kegagalan institusi. Menurutnya kemiskinan lebih banyak disebabkan oleh kuatnya tarik- menarik antara kultur, sistem dan kebijakan. Dalam kondisi yang demikian rakyat kecil yang tidak memiliki akses yang sepadan terhadap segala kebutuhan dasarnya, sekiranya telah menjadi obyek dan sekaligus menjadi korban dari kekerasan struktural.

2.5.2. Penelitian Gatot Triasmoro dan Kris Hendrijanto

Gatot Triasmoro (2005) dalam tulisannya, “Kekerasan Terhadap Anak Jalanan: Studi Kasus Terhadap Satu Anak Jalanan di Wilayah Stasiun Jatinegara”, memaparkan bahwa anak jalanan seringkali mengalami stigma dari masyarakat di sekitar mereka. Pandangan yang negatif tentang anak jalanan sebagai anak liar, kotor, biang keributan, dan pelaku kriminal, menjadikan mereka semakin terpinggirkan dalam lingkungan masyarakat. Adanya stigmatisasi ini tentu saja akan melahirkan tindakan-tindakan yang penuh prasangka dan cenderung akan mengesahkan jalan kekerasan didalam menghadapi anak jalanan. Sehingga tidak jarang dalam satu kasus tertentu anak jalanan seringkali bersinggungan dengan sejumlah permasalahan kekerasan di jalan yang berujung pada kematian. Disadari atau tidak, anak jalanan seringkali ditempatkan sebagai korban, baik sebagai

(44)

Dalam temuannya, Gatot Triasmoro (2005) memaparkan simpulan bahwa anak jalanan menjadi sasaran empuk kekerasan disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Kondisi fisik mereka yang kecil dan lemah; (2) Secara psikis mereka masih labil dan belum bisa mengambil sikap dan keputusan yang cepat dalam menghadapi suatu kondisi, keadaan bahkan masalah; (3) Anak jalanan berada di wilayah yang tidak ada seorangpun yang bisa mengontrol dan menjamin akan adannya rasa aman. Terminal, stasiun, taman kota dan tempat lainnya di jalan adalah tempat yang sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak; (4) Ketika kekerasan menimpa mereka, anak jalanan lebih banyak mengambil sikap diam/pasif dan hanya sebagian kecil yang membalas. Hal ini membuat pelaku kekerasan semakin leluasa karena tidak adanya perlawanan; (5) Anak jalanan sendiri sering kali dihadapkan pada cara atau pemenuhan sesuatu dengan gigih dan keras untuk mencapai keinginan.

Serupa dengan tulisan di atas, Kris Hendrijanto (2007) dalam tulisannya,

“Kekerasan Terhadap Anak Jalanan: Studi Kasus tentang Kekerasan pada Tiga Anak Jalanan di Yayasan SEKAR Tanjung Priok Jakarta Utara”, memaparkan tentang fenomena kekerasan yang dialami oleh anak jalanan. Hanya saja, penelitian ini sedikit berbeda dari penelitian sebelumnya di atas. Jika penelitian sebelumnya hanya menggunakan perspektif orientasi pelaku (actor-oriented) dalam melihat fenomena kekerasan anak jalanan, maka penelitian ini menggunakan perspektif orientasi pelaku (actor-oriented) dan orientasi struktur (structure-oriented) secara bersamaan dalam melakukan analisanya. Dalam temuan data lapangannya dipaparkan bahwa fenomena kekerasan terhadap anak jalanan bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Karena pada

(45)

dasarnya kekerasan yang dialami oleh anak jalanan bisa terjadi di ruang area domestik seperti keluarga, atau area publik seperti di jalan raya. Dan yang menjadi pelakunya bisa merupakan pihak yang memiliki ikatan persaudaraan seperti anggota keluarga, orang asing seperti masyarakat umum dan preman jalanan, atau negara dan wakilnya seperti aparat pemerintah (satpol pp dan kepolisian). Hal yang demikian pada akhirnya dapat melahirkan tindak kekerasan yang lebih luas, yaitu tidak hanya bersifat personal, namun juga struktural.

2.5.3. Penelitian Kathleen Mc Creery and Eugene M. Lewit

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Kathleen Mc Creery (2001) dalam tulisannya “From Street to Stage with Children in Brazil and Ghana”.

Dalam tulisannya dipaparkan bahwa kebanyakan dari anak jalanan di Negara Brasil dan Ghana merupakan ketegori anak jalanan children of the street.

Sebagian dari 8 (delapan) juta anak di jalan-jalan Brasil dan Ghana masih dalam kategori children on the street, dimana mereka kembali ke keluarga pada malam hari dan menyerahkan sebagian dari pendapatan mereka. Tetapi kebanyakan dari anak jalanan di Negara Brasil telah benar-benar meninggalkan rumah untuk selamanya, mereka tidur di jalanan dan bergabung dengan geng untuk perlindungan. Perlindungan ini mereka perlukan berkenaan dengan tingkat kematian anak jalanan yang tinggi di negara tersebut, yakni sampai 1000 kasus kematian pertahun atau 3 (tiga) kasus kematian perhari. Salah satu negara di Amerika Latin yang memiliki jumlah anak jalanan terbanyak yaitu Negara Brasil.

Brasil merupakan salah satu negara dengan tingkat distribusi kekayaan yang paling tidak merata di dunia, yakni sebesar 20% populasi teratas menerima

(46)

dan setengah penduduk bertahan hidup dengan 14% dari pendapatan nasional.

Kondisi yang demikian menurut Scanlon menyebabkan sejumlah anak dalam lingkungan keluarga miskin menjadi korban dari „kekerasan ekonomi‟.

Eugene M. Lewit (1997) dalam tulisannya, “The Impact of Poverty on Children”, menjelaskan bahwasanya anak jalanan yang terlahirkan dalam keluarga

miskin cenderung mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sehingga terkadang untuk dapat bertahan hidup di jalan, anak-anak ini dalam menjalani kehidupannya berperilaku secara keras.

Catatan yang dilakukan oleh Catholic Action for Street Children (CAS), memperlihatkan bahwa 35% dari anak jalanan yang terdaftar di Accra, menyatakan bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan mereka datang ke kota.

Selain itu terdapat sejumlah penyebab anak-anak di Brazil dan Ghana menjadi anak jalanan, diantaranya masalah perceraian, kematian salah satu atau lebih orang tua, pengabaian, kekerasan, dan pelecehan seksual. Anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin, berpotensi kehilangan kenyamanan masa kanak- kanaknya, terutama jika kemiskinan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan tipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi dan berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penulisan berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian mengangkat ke permukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tersebut (Bungin, 2015:36).

Sugiyono (2004:1) mendefinisikan metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

Menurut Tohirin (2013:2) penelitian kualitatif merupakan “penelitian yang berupaya membangun pandangan orang yang diteliti secara rinci serta dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik (menyeluruh dan mendalam) dan rumit.”.

Menurut Afifuddin (2009:57) “metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah , (lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti merupakan instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada

“generalisasi”.

(48)

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode dengan pendekatan kualitatif yang akan mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena senioritas terhadap kekerasan pada anak jalanan secara terperinci dan mendalam.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di persimpangan jalan Pasar Aksara Medan, Simpang Amplas Medan, Simpang Setia Budi Medan, dan Simpang Pasar Sei Sikambing Medan. Lokasi tersebut dipilih karena disana masih banyak terdapat anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen, pengemis, berdagang asongan dan sebagainya yang memang merupakan rutinitas mereka sehari-hari.

3.3. Unit Analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Dalam pengertian yang lain, Unit analisis diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan fokus/ komponen yang diteliti. Unit analisis suatu penelitian dapat berupa individu, kelompok, organisasi, benda, wilayah dan waktu tertentu sesuai dengan pokus permasalahannya. Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisisnya adalah para anak jalanan yang juga bekerja di persimpangan jalan Pasar Aksara Medan, Simpang Amplas Medan, Simpang Setia Budi Medan, dan simpang Pasar Sei Sikambing Medan.

3.3.2. Informan

Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong 2000 :

(49)

97). Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan diteliti. Dalam hal ini, yang menjadi informan adalah anak - anak jalanan dengan kategori :

Anak jalanan berusia 6 - 16 tahun.

Sudah berada di jalanan sekitar 6 bulan sampai 2 tahun.

Pekerjaan sehari - harinya memang berada di jalanan.

Pernah mengalami kekerasan selama di jalanan

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2009:224) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Sugiyono (2009:225) juga menjelaskan bahwa “dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebihbanyak pada observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pada penelitian ini peneliti menggunakan 3 teknik penelitian, diantaranya :

1. Observasi

Menurut Sugiyono (2014:145) “observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis”. Menurut Riyanto (2010:96) “observasi merupakan metode pengumpulan data yang menggunakan pengamatan secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan penjelasan para ahli, maka data disimpulkan bahwa observasi adalah penelitian dengan melakukan pengamatan dan pencatatan dari

(50)

yang tampak dalam suatu gejala pada objek penelitian. Jenis-jenis observasi menurut Riyanto (2010:98-100) :

Observasi partisipan. Observasi partisipan adalah observasi dimana orang yang melakukan pengamatan berperan serta ikut ambil bagian dalam kehidupan orang yang diobservasi.

Observasi non Partisipan. Observasi dikatakan non partisipan apabila observer tidak ikut ambil bagian kehidupan observe.

Observasi sistematik (Structured observation). Observasi sistematik, apabila pengamat menggunakan pedoman sebagai instrument pengamatan.

Observasi non sistematik. Observasi yang dilakukan oleh pengamat degan tidak menggunakan instrument pengamatan.

Observasi eksperimental. Pengamatan dilakukan dengan cara observe dimasukkan ke dalam suatu kondisi atau situasi tertentu.

2. Wawancara

Menurut Riyanto (2010:82) interview atau wawancara merupakan metode pengumpulan data yang menghendaki komunikasi langsung antara penyelidik dengan subyek atau responden. Menurut Afifuddin (2009:131) wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden.

3. Dokumentasi

Menurut Riyanto (2012:103) metode dokumentasi berarti cara mengumpulkan data dengan mencatat data-data yang sudah ada. Berdasarkan penjelasan ahli maka dapat disimpulkan bahwa metode dokumentasi merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan untuk memahami anak jalanan melalui pemahamanan terhadap latar belakang ekonomi keluarga anak jalanan tetap perlu digunakan, tetapi perlu ditambah

Kedua , Anak jalanan yang ditemui oleh penulis juga memberikan informasi bahwa mereka berada di jalanan juga mengalami berbagai problematika yang sangat kompleks,

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran kekerasan dan kebermaknaan hidup yang dialami oleh remaja anak jalanan serta mengapa ia memiliki kebermaknaan

Penelitian mengenai Tinjauan Viktimologi Terhadap Anak Jalanan Sebagai Korban Kejahatan Kekerasan di Kota Palembang akan dilakukan di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak

Adapunkriteria inklusi dari subyek penelitian adalah anak jalanan di Kota Semarang, pernah mengalami kekerasan seksual berupa perkosaan, baik per vaginal maupun per anal (sodomi),

Penelitian dilakukan terhadap 9 (sembilan) orang informan, 7 (tujuh) anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan dan 2 (dua) orang informan tambahan, 1 (satu) dari dinas sosial dan

Dari dinas sosial sendiri mengatakan bahwa usaha yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah anak jalanan saat ini adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan anak-anak

Motivasi November Memberikan motivasi agar anak jalanan ke arah yang positif Sumber: Dinas Sosial Kota Tanjungpinang,2021 Melihat berbagai kondisi yang dialami anak jalanan,