• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Definisi Konsep

1.5.3. Kekerasan

Kekerasan (Violence) berasal dari bahasa latin violentinus yang berasal dari kata vi atau vis berarti kekuasaan atau berkuasa. Menurut Arif Rohman (2005) mendefinisikan tindak kekerasan merujuk kepada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya: pemukulan, penjarahan, pembunuhan, dan lain sebaginya.

Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Namun pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi. Dan bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.

Dalam penelitian ini akan dilihat apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami

oleh para anak jalanan yang mereka alami akibat adanya dominasi dari para senior mereka yang mempunyai kekuasaan dan berkuasa atas mereka yang berada di bawahnya, dan alasan mengapa kekerasan itu bisa terjadi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Teori Maskulinitas Connel

Maskulinitas oleh Connell (2000:29) didefinisikan sebagai bentuk praktik gender yang merupakan konstruksi sosial. Maskulinitas mengacu pada tubuh laki secara langsung maupun simbolis yang bukan ditentukan oleh biologis laki-laki. Bagi Connell, maskulinitas dipahami dalam arena reproduktif untuk menjelaskan bahwa tubuh bukanlah sesuatu yang tetap dan ditentukan secara biologis, namun melewati suatu proses historis. Maskulinitas diletakkan pada relasi gender, yaitu praktik yang melibatkan laki-laki dan perempuan dan berimplikasi pada pengalaman jasmaniah, sifat, dan kultur. Maskulinitas sebagai suatu konfigurasi praktik-praktik (configuration of practies) dalam relasi gender dalam struktur-struktur yang lebih luas seperti sosial, ekonomi, dan politik. Dalam definisi ini Connel memberikan penekanan pada aspek struktur yang mengandaikan hirarki dan hubungan kekuasaan. Maskulinitas tidak hanya mengandung unsur relasi kuasa dalam hubungan laki-laki dan perempuan, akan tetapi juga antara laki-laki satu dengan laki-laki lainnya. Morgan (dalam Beynon, 2002:7) menjelaskan “what is masculinity is what men and women do rather than what they are”, maskulinitas adalah apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan.

Sebagai konstruksi, maskulinitas bukan hanya milik laki-laki, namun bisa juga dilekatkan pada perempuan. Laki-laki dan maskulinitas seolah-olah saling terkait.

Hal tersebut tidak lepas dari anggapan bahwa keduanya dipengaruhi oleh

asumsi-asumsi biologis sebagai standar menjadi laki-laki. Laki-laki normal, yaitu laki-laki agresif, aktif secara seksual, atau rasional merupakan sesuatu yang natural.

Pria dan maskulinitasnya masih merupakan hal baru yang dikaji dalam studi gender. Selama ini yang sering menjadi kajian dalam gender dan feminisme adalah wanita dan konstruksi nilai-nilai feminin. Masalah dalam gender bukan hanya mengenai wanita dan posisinya yang tersubordinasi oleh pria. Namun, pria pun juga memiliki masalah dan terugikan oleh konstruksi gender dalam masyarakat. Selayaknya gender yang merupakan hasil konstruksi, nilai-nilai maskulinitas mereka dan bagaimana mereka seharusnya menjadi pria pun merupakan hasil konstruksi. Walaupun banyak cara yang bisa dijalani untuk dianggap menjadi pria, namun ada beberapa hal yang dianggap lebih bernilai untuk dijalani agar seorang pria dianggap sebagai pria maskulin. Teori ini disebut dengan istilah hegemonic masculinity. Hegemoni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dsb suatu negara atas negara lain. Atau dalam konteks hegemoni maskulinitas, maka berarti pengaruh dominasi suatu konstruksi maskulinitas atas bentuk maskulinitas lain.

Menurut Trigiani (1998), “hegemonic masculinity is the socially dominant form of masculinity in a particular culture within a given historical period”.Dalam teori

ini, maskulin berhubungan dengan dominasi dan kekuatan. Teori hegemonic masculinity dianggap sebagai cara yang paling tepat dan sukses dalam mendefinisi

bagaimana seharusnya menjadi seorang lelaki. Dalam teori ini, maskulinitas didefinisikan dengan kekuatan fisik, bravado, heteroseksual, pengendalian emosi yang menunjukkan kelemahan, kemandirian secara ekonomi, otoritas atas wanita dan pria lain, dan ketertarikan yang besar untuk dapat menaklukan orang lain.

2.2. Senioritas

2.2.1. Pengertian Senioritas

Senioritas adalah pandangan bahwa figur yang lebih tua (senior) memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada yang lebih muda (junior), sehingga yang lebih tua dapat menindas yang lebih muda dengan sejumlah kelebihan dan aturan yang ditetapkan olehnya. Kesenioritasan dinilai sebagai pengganggu kedamaian, karena mereka yang lebih muda akan selalu merasa terancam dan tertindas dengan aturan-aturan tersebut (M. Noor Rochman Hadjam dan Wahyu Widhiarso, 2003:

46). Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) senioritas adalah keadaan lebih tinggi dalam pangkat, pengalaman dan usia; prioritas status atau tingkatan yang diperoleh dari umur atau lamanya bekerja.

2.2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Senioritas

Faktor yang menyebabkan adanya senioritas itu sendiri adalah :

 Perilaku seorang yang ingin sok menjadi pemimpin atau penguasa.

 Ingin dipandang.

 Ingin dinyatakan bahwa dia itu hebat.

 Faktor balas dendam.

2.3. Anak Jalanan

2.3.1. Pengertian Anak

Dalam kajian sosiologi memandang bahwa anak merupakan bagian dari masyarakat. Dimana keberadaan anak sebagai bagian yang berinteraksi dengan

lingkungan sosialnya, baik dengan keluarga, komunitas, atau masyarakat pada umumnya. Sosiologi menjelaskan tugas atau peran oleh seorang anak pada masa perkembangannya:

1. Pada usia 5-7 tahun, anak mulai mencari teman untuk bermain.

2. Pada usia 8-10 tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan temannya lebih akrab lagi.

3. Pada usia 11-15 tahun, anak menjadikan temannya sebagai sahabatnya

Secara umum, anak adalah seseorang yang dilahirkan dan merupakan awal atau cikal bakal lahirnya generasi baru sebagai penerus cita-cita keluarga, agama, bangsa dan negara. Anak dianggap sebagai sumber daya manusia, aset, atau masa depan bagi pembangunan suatu negara. Berikut ini ada beberapa pengertian anak menurut para ahli :

 Menurut Suryana (2016), anak adalah rahmat dan amanat Allah, penguji

iman, media beramal, bekal di akhirat, unsur kebahagiaan, tempat bergantung di hari tua, penyambung cita-cita, dan sebagai makhluk yang harus dididik.

 Menurut Family Discovery, anak adalah peran utama dalam sebuah perjalanan sukses kehidupan.

 Menurut UU Kesejahteraan, Perlindungan, dan Pengadilan Anak, anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk janin yang masih dalam kandungan.

 Menurut Majalah Dharma Wanita, anak adalah seseorang yang bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, melainkan manusia yang oleh karena

kondisinya belum mencapai taraf pertumbuhan dan perkembangan yang matang, maka segala sesuatunya berbeda dengan orang dewasa pada umumnya.

 Menurut UU RI No. 4 tahun 1979, anak adalah seseorang yang belum

mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas 21 tahun ditentukan karena berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut.

 Menurut Supartini (2004) anak adalah individu yang unik dan bukan orang

dewasa mini. Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orangtua yang dapat dinilai secara sosial ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya untuk belajar mandiri.

2.3.2. Pengertian Anak Jalanan

Penggunaan istilah anak jalanan berimplikasi pada dua pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat mengatakan sebagai kenakalan anak, dan perilaku merteka dianggap mengganggu ketertiban sosial.

Kedua, pengertian ekonomi, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua yang miskin (Nugroho, 2000:78). Sebagaimana pembedaan tersebut, secara definisi, istilah anak jalanan terbagi dalam dua batasan istilah.

1. Pengertian Sosiologis: Anak jalanan adalah sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat menganggap sebagai anak nakal dan perilaku mereka mengganggu ketertiban sosial.

2. Pengertian Ekonomi: Anak jalanan adalah sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua miskin.

Anak jalanan dalam pengertian sosiologi, tidak harus merupakan produk dari kondisi kemiskinan tetapi merupakan akibat dari kondisi keluarga yang tidak cocok bagi perkembangan si anak, misalnya produk keluarga broken home, orangtua yang terlalu sibuk sehingga kurang memperhatikan kebutuhan si anak, tidak ada kasih sayang yang dirasakan anak. Ketidak kondusifan tersebut memicu anak untuk mencari kehidupan di luar rumah, apa yang tidak ia temukan dalam lingkungan keluarga. Mereka hidup di jalan-jalan dengan melakukan aktifitas yang dipandang negatif oleh norma masyarakat. Rata-rata mereka membentuk komunitas dan kelompok sosial tersendiri di luar kelompok masyarakat.

Sementara, defenisi yang dirumuskan dalam Lokakarya Kemiskinan dan Anak Jalanan, yang diselenggarakan Departemen Sosial pada tanggal 25 dan 26 Oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya utnuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.

Defenisi tersebut, kemudian dikembangkan oleh Ferry Johanes pada seminar tentang Pemberdayaan Anak Jalanan yang dilaksanakan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung pada bulan Oktober 1996, yang menyebutkan bahwa, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya di jalanan, baik

untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga atau terputus hubungannnya dengan keluarga , dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orangtua/keluarga (Huraerah, 2006: 80).

2.3.3. Karakteristik Anak Jalanan

Secara garis besar, anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti, 1997):

1. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan pekerja anak pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat atau menyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orangtuanya.

2. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Anak-anak padakategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik, maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka

terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya.

Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah mereka merasakan kehidupan jalanan sejak masih bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan. Kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta api, dan pinggiran sungai, walaupun secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

2.3.4. Faktor Pendorong Anak Turun Ke Jalan

Menurut Surjana(dalam Siregar, dkk., 2006) menyebutkan bahwa faktor yang mendorong anak untuk turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut :

1. Tingkat Mikro(immediate causes), memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk turun ke jalanan lebih dilatar belakangi oleh anak itu sendiri dan dari keluarga. Sebab-sebab dari si anak, yaitu seperti lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orangtua yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan, seperti sering menampar, memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan), disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah, berpetualang, atau bermain-main. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah penelantaran, ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, salah perawatan dari orangtua sehingga mengalami kekerasan di rumah (childabuse), serta kesulitan berhubungan

dengan keluarga karena terpisah dari orangtua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga keluarga ini saling terkait satu sama lain.

2. Tingkat Meso (underlying cause), memberikan penjelasan bahwa anak turun ke jalanan dilatar belakangi oleh faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur disini dianggap sebagai kelas masyarakat, dimana masyarakat itu ada yang miskin dan kaya. Bagi kelompok keluarga miskin anak akan diikut sertakan dalam menambah penghasilan keluarga).

Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain pergi ke kota untuk bekerja adalah sudah menjadi kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak (berurbanisasi).

3. Tingkat Makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat (struktur ini dianggap memiliki status sebab akibat yang sangat menentukan, dalam hal ini sebab banyak waktu di jalanan, akibatnya akan banyak uang). Memberikan penjelasan seperti peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, dan belum adanya kesamaan persepsi instasi pemerintah terhadap anak jalanan. Dengan begitu, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya cenderung memilih untuk turun ke jalanan yang tidak memerlukan modal dan keahlian yang besar.

2.4. Kekerasan

2.4.1. Pengertian Kekerasan

Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence yang artinya kekuasaan atau berkuasa. kata violence, berasal dari bahasa Latin yaitu violentia yang berarti force (kekerasan). Secara terminologi, kekerasan (violent)

didefinisikan sebagai perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik untuk memenangkan konflik. Pengertian kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupu mental. Kamus Sosiologi (2012:106), kekerasan merupakan suatu ekspresi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok di mana secara fisik maupun verbal mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat.

Di bawah ini adalah beberapa definisi pengertiankekerasan terhadap anak oleh beberapa ahli:

Kempe, dkk dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada anak-anak. Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih 2005) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.

Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan

salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.

David Gill (dalam Sudaryono, 2007) mengartikan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak.

Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan,melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.

Kekerasan terhadap anak menurut Andez (2006) adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: penelantaran dan perlakuan buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking, jual-beli anak. Sedangkan child abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Adapun kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.

2.4.2. Bentuk Kekerasan Pada Anak Jalanan

Anak jalanan mengalami berbagai macam bentuk tindak kekerasan, yaitu:

Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan pelaku dengan menggunakan salah satu anggota tubuh, misalnya dengan tangan ataupun kaki, dan juga dengan menggunakan benda tumpul maupun benda tajam yang dapat mengakibatkan cidera pada anak atau dapat menyebabkan anak tersebut mengalami cacat bahkan sampai meninggal.

Kekerasan Psikis

Kekerasan psikologis atau emosional adalah kekerasan yang biasanya diawali dengan kekerasan secara verbal melalui kata-kata yang diucapkan kepada anak, baik berupa ancaman, caci maki, maupun mengintimidasi. Contoh dari tindak kekerasan secara psikologis antara lain yaitu membentak, memaki dengan kata-kata yang tidak pantas, dan memberi pelabelan negatif.

Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindak kekerasan atau pelecahan ataupun pemaksaan kepada pekerja anak untuk melakukan hubungan intim.

Contoh, pencabulan (memegang atau meraba daerah-daerah sensitif), pemerkosaan, dan pornografi terhadap anak jalanan.

Kekerasan Ekonomi

Tindakan yang mengeksploitasi anak secara ekonomi, yaitu anak bekerja di bawah paksaan, ancaman atau bujuk rayu pihak lain, jam kerja yang panjang seperti orang dewasa, upah yang rendah dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan maupun pemalakan / meminta uang atau barang yang dimiliki secara paksa oleh oknum tertentu.

2.4.3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak Jalanan

Berbagai macam faktor yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak jalanan, yaitu:

1. Tekanan ekonomi. Kenaikan harga barang-barang keburutuhan rumahtangga, biaya pendidikan yang mahal, dan akses pelayanan kesehatan yang minim semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat menengah kebawah. Hingga akhirnya, ketidakberdayaan mereka dalam mengatasi kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat itu, menyebabkan mereka mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan dan kekecewaannya kepada orang terdekatnya yaitu anak.

2. Pelaku tindak kekerasan mempunyai sifat pemarah, frustrasi, dan kesalahan yang dilakukan oleh korban, diantaranya karena pemalas, kurang cekatan dalam bekerja, membantah perintah, dan lain-lain serta tingkat pendidikan pelaku tindak kekerasan.

3. Belum efektifnya hukum perlindungan anak meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku, tetapi kekerasan terhadap anak tidak juga menyurut.

2.4.4. Pelaku Tindak Kekerasan Pada Anak Jalanan

Tindak kekerasan terhadap anak jalanan dilakukan oleh orang terdekat ataupun orang yang tidak mereka kenal, yaitu:

1. Aparat keamanan

Aparat keamanan yang melakukan razia terhadap anak jalanan karena mereka dianggap mengganggu kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat.

2. Teman sebaya

Teman sebaya pun berpotensi untuk melakukan kekerasan. Ini dapat terjadi dikarenakan mereka berebut sesuatu atupun saling menghina sehingga menimbulkan keributan dan juga pertengkaran diantara anak jalanan.

3. Preman

Preman berasal dari kata free yang artinya bebas, dan man yang artinya laki - laki. Pengertian preman (pelakunya) yang selanjutnya disebut premanisme adalah faham kebebasan yang dianut untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dan keberadaan mereka seringkali bersifat dan berprilaku negatif yang meresahkan masyarakat sekitarnya. Preman seringkali menganggu kenyamanan anak jalanan, seperti meminta uang hasil bekerja anak jalanan, memerintahkan untuk melakukan sesuatu, dan apabila anak jalanan menolak maka para preman akan melakukan kekerasan.

4. Orangtua

Seharusnya orangtua merupakan orang yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Tetapi saat ini banyak orangtua yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap anaknya.

5. Pengguna jalan (masyarakat)

Pengguna jalan atau masyarakat sekitar terkadang merasa terganggu dengan adanya anak jalanan di tengah aktivitas mereka sehingga tidak segan- segan melakukan kekerasan, baik secara fisik ataupun psikologis untuk mengusir anak jalanan di sekitarnya.

2.5. Penelitian Terdahulu

2.5.1. Penelitian Chris Ellmanda dan Ade Chandra

Chris Ellmanda (2010) dalam penelitiannya, “Representasi Kekerasan Pada Anak dalam Film: Alangkah Lucunya Negeri ini”, mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak-anak di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh satu pemahaman yang keliru atau menjadi salah kaprah. Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua yang melahirkan. Mendidik dan merawat anak menjadi kebebasan orang tua itu sendiri bagaimanapun caranya dan menjadi tabu untuk dicampuri oleh campur tangan orang lain. Dengan demikian segala perbuatan dari orang tua terhadap anak merupakan manifestasi dari persepsi yang diperoleh berdasarkan nilai-nilai yang dianut dalam budaya masyarakat setempat. Adanya kultur kekerasan yang sangat kuat di sebagian masyarakat kita menyebabkan anak dilihat sebagai milik mutlak yang harus takluk untuk “menggayuh” keinginan orang

dewasa. Anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang dewasa, dan ketika anak tidak bisa memenuhi keinginan orang dewasa tersebut maka akan timbul tindak kekerasan. Hal ini menurut Ade Chandra (2008) dalam tulisannya,

“Kemiskinan: Penyebab dan Kekerasan yang Menyertainya”, mengatakan bahwa kekerasan seringkali diawali dari kemiskinan. Dimana menurutnya kemiskinan merupakan salah satu perwujudan dari kekerasan struktural dan kegagalan institusi. Menurutnya kemiskinan lebih banyak disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik antara kultur, sistem dan kebijakan. Dalam kondisi yang demikian rakyat kecil yang tidak memiliki akses yang sepadan terhadap segala kebutuhan dasarnya, sekiranya telah menjadi obyek dan sekaligus menjadi korban dari kekerasan struktural.

2.5.2. Penelitian Gatot Triasmoro dan Kris Hendrijanto

Gatot Triasmoro (2005) dalam tulisannya, “Kekerasan Terhadap Anak Jalanan: Studi Kasus Terhadap Satu Anak Jalanan di Wilayah Stasiun Jatinegara”, memaparkan bahwa anak jalanan seringkali mengalami stigma dari masyarakat di sekitar mereka. Pandangan yang negatif tentang anak jalanan sebagai anak liar,

Gatot Triasmoro (2005) dalam tulisannya, “Kekerasan Terhadap Anak Jalanan: Studi Kasus Terhadap Satu Anak Jalanan di Wilayah Stasiun Jatinegara”, memaparkan bahwa anak jalanan seringkali mengalami stigma dari masyarakat di sekitar mereka. Pandangan yang negatif tentang anak jalanan sebagai anak liar,