• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Pada bagian ini dipaparkan karya-karya ilmiah khususnya yang berkaitan dengan kajian dalam bidang semantik yang menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) dan teori Tata Bahasa Peran dan Acuan. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, penelitian ini memperhatikan kajian pustaka sebelumnya, baik berdasarkan teori-teori yang relevan maupun

berdasarkan penelitian mengenai struktur dan peran semantis yang dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian yang membantu dalam mengembangkan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Masreng (2002) mengkaji struktur dan peran semantis verba DUDUK dalam wacana kebudayaan Kei. Dalam hal ini, teori yang digunakan untuk mengungkap struktur dan peran semantis verba ialah Teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Berdasarkan hasil penelitiannya, struktur semantis verba dok „duduk‟ dalam bahasa Kei mengalami perubahan makna sesuai dengan konteks wacana kebudayaan. Perubahan makna verba dok „duduk‟ berasal dari makna dasar atau makna asali „duduk‟ dan „tinggal‟ yang menjadi „minum‟, „tidak minum‟ atau „makan‟, „minum tuak/arak‟, „bayar harta‟, „hamil‟, „malahirkan‟, „tidak menetap di suatu tempat‟, dan „gelisah‟. Selanjutnya, verba dok „duduk‟ memiliki peran semantis; agen, tema, dan pasien.

Penelitian Masreng memberikan kontribusi dalam hal memaparkan peran semantis yang kemudian diparafrasekan struktur semantisnya. Berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan, penelitian ini masih menerapkan teori peran umum untuk menganalisis peran semantis, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan menerapkan teori TPA untuk menganalisis peran semantis.

Sudipa (2004) membahas peran semantis verba bahasa Bali yang melekat pada argumen dalam sebuah proposisi. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk mengkaji hal ini adalah Teori Macrorole. Data yang digunakan adalah data lisan yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi terhadap informan kunci. Berdasarkan hasil penelitiannya, verba bahasa Bali memiliki peran semantis yang berlapis yaitu verba nyuun „menjunjung‟. Selain itu, anggota verba nosi

„membawa‟, seperti: nangal „membawa di mulut binatang/manusia‟; negen „memikul atau membawa di bahu‟; nyingal „membawa di dada, perut‟ ningting „membawa di tangan‟, dsb juga memiliki peran semantik berlapis.

Penelitian Sudipa memberikan kontribusi dari analisis peran semantis yaitu adanya peran berlapis, terutama verba tindakan, tipe melakukan yang berpolisemi dengan perpindahan. Kontribusi inilah yang digunakan pada verba AMBIL bahasa Aceh.

Subiyanto (2008) mengkaji verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa. Ia membahas komponen semantis dan struktur semantis verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa. Teori MSA digunakan untuk menjelaskan komponen semantis dan struktur semantik. Data yang digunakan adalah data lisan dan data tulisan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi terhadap informan kunci dengan teknik elisitasi dan teknik catat. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih. Berdasarkan hasil penelitiannya, komponen semantis verba bukan agentif bahasa Jawa memiliki ciri [+ dinamis], [- kesenjangan], [+/- kepungtualan], [+/- telik], dan [- kinesis]. Di samping itu, verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa memiliki komponen semantis [kesenjangan], artinya verba tidak dikontrol oleh agen. Selanjutnya, struktur semantis verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa ada dua, yaitu (1) berdasarkan arah gerakan, struktur semantisnya ialah BERGERAK dan MELAKUKAN dan (2) berdasarkan kualitas gerakan struktur semantisnya MELAKUKAN dan TERJADI. Penelitian Subiyanto memberikan kontribusi pada komponen semantis arah gerakan (mis.„X bergerak horizontal‟ dan „X melakukan beberapa kali‟). Komponen semantis yang diusulkannya diterapkan dan dikembangkan dalam

penelitian ini untuk menganalisis komponen makna verba AMBIL dalam bahasa Aceh.

Mulyadi (2009) menguraikan semantik verba bahasa Indonesia (VBI), yakni kategori semantis dan peran semantis verba, berdasarkan teori MSA. Ia mengusulkan tiga kategori semantis verba, yakni keadaan (tinggal, terlambat, bergetar), proses (menyukai, tumbuh, pecah), dan tindakan (menjumpai, mandi, berlari), yang diuji berdasarkan skala kestabilan waktu. Di samping itu, dijelaskan bahwa ciri utama perbedaan antara AKTOR dan PENDERITA ialah AKTOR memiliki gagasan kendali atas situasi yang dinyatakan oleh verba, sedangkan PENDERITA tidak mengandung gagasan kendali. Dalam bahasa Indonesia verba keadaan, memiliki relasi AKTOR sebagai pengalam dan relasi PENDERITA sebagai lokatif, stimulus dan tema, verba proses memiliki satu partisipan karena partisipan tunggalnya mengalami perubahan keadaan dan pengendali tindakan, peran semantisnya dipetakan sebagai PENDERITA, dan verba tindakan, ada dua kemungkinan peran derivasi dari AKTOR, yaitu pemengaruh dan agen.

Cara kerja teori MSA dan TPA dalam penelitian Mulyadi menjadi acuan untuk menerapkan teori MSA dan TPA pada verba AMBIL bahasa Aceh. Pembagian verba berdasarkan ciri temporal memberi inspirasi dalam mengkategorisasikan verba AMBIL dalam bahasa Aceh.

Kamajaya (2014) mengkaji struktur semantik pronomina persona dalam sistem sapaan bahasa Bali. Dia menerapkan teori Metabahasa Semantik Alami sebagai dasar acuan dan sekaligus dipakai sebagai alat analisis yang menitikberatkan pada unsur bentuk dan makna. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca setiap halamannya, serta menandai setiap kemunculan

pronomina yang berkategori pronominal persona. Data dianalisis menggunakan teknik pemetaan eksponen dan eksplikasi dalam bentuk parafrasa. Sebagai hasilnya, telah ditemukan beberapa pronomina persona sapaan dengan struktur semantik yang bervariasi. Struktur pronomina persona sapaan ini dapat diformulasikan sebagai; „Sesuatu terjadi pada Y jika X melakukan sesuatu‟ (tindakan), sesuatu terjadi pada Y jika mengatakan sesuatu (ujaran)‟.

Penelitian Kamajaya mempunyai kelemahan karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga data primer yang digunakan adalah data tulis. Walaupun demikian, penelitiannya memberikan kontribusi berupa metode dalam menganalisis struktur semantisnya.

Taib (2014) mengkaji analisis kategori, fungsi, dan peran dalam kalimat bahasa Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fungsi, kategori, dan peran kalimat yang menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik simak libat cakap dengan memanfaatkan data lisan, tulis, dan data buatan. Data diolah dengan menggunakan metode distribusional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran dalam kalimat bahasa Aceh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pelaku, alat, asal, peruntung (benefaktif), lokatif, penanggap, penyerta, sasaran, dan pengalam. Peran pelaku menduduki fungsi subjek dalam kalimat aktif dan menduduki fungsi pelengkap dalam kalimat pasif. Peran alat, asal, lokatif, dan peran penyerta menduduki fungsi keterangan. Peran peruntung menduduki fungsi subjek dalam kalimat pasif dan menduduki fungsi pelengkap dalam kalimat aktif. Penanggap menduduki fungsi subjek. Peran sasaran

menduduki fungsi subjek dalam kalimat pasif dan menduduki fungsi objek atau pelengkap dalam kalimat aktif. Peran pengalam menduduki fungsi subjek.

Penelitian ini memberikan kontribusi dari segi data, dan metode. Namun, terdapat perbedaan pada teori yang digunakan. Pada penelitian Taib, peran semantis dikaji secara struktural sedangkan pada penelitian yang dilakukan peran semantis dikaji berdasarkan segi semantis dengan menggunakan teori TPA.

Penelitian ini juga mendorong peneliti untuk meneliti verba AMBIL dalam bahasa Aceh.

Putra (2014) mengkaji klasifikasi, struktur dan peran semnatis verba “memotong” dalam Bahasa Bali. Penentuan klasifikasi dan struktur verba “memotong” bahasa Bali dilakukan dengan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA), sedangkan penentuan peran-peran argumen verba “memotong” bahasa Bali dilakukan dengan menggunakan teori Peran Umum (Macroroles). Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, perekaman, dan pencatatan. Analisis data dilakukan dengan metode distribusional dengan teknik penggantian (substitusi) sebagai teknik lanjutan untuk mendeskripsikan struktur VMBB, yang kemudian dibantu dengan teknik eksplikasi.

Hasil kajiannya menunjukkan bahwa ditemukan 89 butir leksikon VMBB yang dapat diklasifikasikan berdasarkan kedekatan makna inheren verba, yakni berdasarkan (1) ciri kemiripan entitas, (2) ciri kemiripan cara, (3) ciri kemiripan hasil, dan (4) ciri kemiripan instrumentalis. Pada analisis struktur dideskripsikan mengenai kolokasi entitas, keterangan alat, cara, hasil, eksplikasi / parafrase, tabel komponen makna, dan fitur semantik. Penggunaan Teori Peran Umum dilakukan untuk mengkaji peran semantik verba memotong bahasa Bali. Secara umum, AKTOR di dalam verba memotong bahasa Bali bertindak sebagai agen, PENDERITA

bertindak sebagai pasien. Selain itu, peran khusus juga ditemukan meliputi lokatif, tema, pengalam, dan benefaktif. Analisis peran dalam penelitian ini dilakukan secara berlapis untuk menentukan sebuah peran semantis pada argumen tertentu.

Penelitian Putra memberi banyak masukan dari segi teori dan cara menganalisis struktur dan peran semantisnya. Masukan dari segi teori terletak pada fitur-fitur pembeda dan pola sintaksis yang digunakan dalam penelitian tersebut. Kemudian masukan dari segi analisis struktur tampak pada parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali, dan dari segi analisis peran yang dilakukan secara berlapis untuk menemukan peran semantis pada argumen. Kontribusi Putra ini akan diterapkan pada penelitian verba AMBIL bahasa Aceh.

2.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk membedah struktur dan peran semantis verba AMBIL dalam bahasa Aceh adalah teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang dipelopori oleh Anna Wierzbicka (1996) dan Teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA) yang dipelopori oleh Van Valin dan LaPolla (1999) yang diterapkan secara eklektik. Selain menerapkan teori MSA dan TPA untuk menganalisis verba AMBIL dalam bahasa Aceh juga dirujuk Mulyadi (2012).

2.2.1 Teori Metabahasa Semantik Alami (MSA)

Pertama, teori MSA dapat menetapkan kategorisasi dan mengeksplikasi semua makna leksikal, gramatikal, ilokusi, dan pragmatik, termasuk aspek tata bahasa dan tipologi universal melalui seperangkat elemen sederhana (Mulyadi, 2012: 34). Sebagai bagian dari kategori leksikal, verba AMBIL dapat dieksplikasikan dengan teori MSA. Kedua, parafrase makna yang dihasilkan lebih mudah dipahami oleh banyak orang, khususnya penuturjati bahasa yang dibicarakan sebab parafrasenya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah (Mulyadi, 2012: 34).

Kajian struktur semantis terhadap verba AMBIL bahasa Aceh menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1996). Asumsi dasar teori MSA berhubungan dengan Prinsip Semiotik. Prinsip ini dikemukakan sebagai berikut.

“A sign cannot be reduced to or analyzed into any combination of things which are not themselves signs, consequently, it is impossible to reduce meanings to any combination of things which are not themselves meanings” (Wierzbicka, 1996: 10).

Artinya „Sebuah tanda tidak dapat direduksi atau dianalisis ke dalam

bentuk yang bukan merupakan tanda itu sendiri, oleh karena itu, tidak mungkin menganalisis makna pada kombinasi bentuk yang bukan merupakan makna bentuk itu sendiri‟. Dengan pernyataan ini, analisis makna yang kompleks dapat dijelaskan tanpa harus berputar-putar. Dalam teori MSA, ada sejumlah konsep teoretis yang penting untuk dikemukakan, yaitu makna asal (semantic primitive/semantic prime), polisemi nonkomposisi (non-compositional polysemy), dan sintaksis makna universal (The Universal Syntax of Meaning).

Makna asali adalah seperangkat makna yang tidak dapat berubah dan telah diwarisi manusia sejak lahir. Menurut Wierzbicka (1996:31), makna asali merupakan refleksi dari pembentukan pikiran yang dapat dieksplikasi dari bahasa alamiah yang merupakan satu-satunya cara mempresentasikan makna. Eksplikasi makna tersebut meliputi makna kata- kata yang intuitif berhubungan atau sekurang-kurangnya memiliki medan makna yang sama, dan makna kata-kata itu dianalisis berdasarkan komponennya. Wierzbicka (1996: 35) mengusulkan 63 makna asali yang ditemukannya terhadap sejumlah bahasa di dunia. Berikut merupakan elemen makna asli.

Tabel 2.1

Perangkat Makna Asali Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia

KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI

Substantif I AKU, YOU KAMU, SOMEONE

SESORANG, PERSON/PEOPLE

ORANG, SOMETHING/THING

SESUATU/HAL, BODY TUBUH Substansial Relasional KIND JENIS, PART BAGIAN

Pewatas THIS INI, THE SAME SAMA,

OTHER/ELSE LAIN

Penjumlah ONE SATU, TWO DUA,

MUCH/MANY BANYAK, SOME

BEBERAPA, ALL SEMUA

Evaluator GOOD BAIK, BAD BURUK

Deskriptor BIG BESAR, SMALL KECIL

Predikat Mental THINK PIKIR, KNOW TAHU, WANT

HEAR DENGAR

Ujaran SAY UJAR, WORD KATA, TRUE

BENAR

Tindakan, peristiwa, gerakan, kontak DO LAKU, HAPPEN TERJADI, MOVE GERAK, TOUCH SENTUH

Tempat, keberadaan, milik, dan spesifikasi

BE (SOME WHERE), THERE IS/EXIST

ADA, HAVE PUNYA, BE (SOMEONE/SOMETHING) ADALAH

(SESEORANG/SESUATU)

Hidup dan Mati LIVE HIDUP, DEAD MATI

Waktu WHEN/TIME BILA/WAKTU, NOW

SEKARANG, BEFORE SEBELUM,

AFTER SETELAH, A LONG TIME

LAMA, A SHORT TIME SINGKAT,

FOR SOME TIME SEBENTAR,

MOMENT SAAT

Ruang WHERE/PLACE (DI)

MANA/TEMPAT, HERE (DI) SINI,

ABOVE (DI) ATAS, BELOW (DI)

BAWAH, FAR JAUH, NEAR

DEKAT, SIDE SISI, INSIDE (DI) DALAM

Konsep logis NOT TIDAK, MAYBE MUNGKIN,

CAN DAPAT, BECAUSE KARENA, IF JIKA

Kesamaan LIKE/AS SEPERTI

Sumber: Mulyadi (2012: 38)

Berkaitan dengan struktur dan peran semantis verba AMBIL dalam bahasa Aceh diisyaratkan kemungkinan elemen yang dapat berfungsi sebagai predikat, yakni elemen yang dapat disamakan dengan verba: tindakan, peristiwa, gerakan (LAKU (DO), TERJADI (HAPPEN), GERAK (MOVE)).

2.2.1.2 Polisemi Nonkomposisi

Polisemi merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda (Mulyadi, 2000: 43). Ini terjadi karena adanya hubungan komposisional antara satu eksponen dengan eksponen lainnya karena eksponen tersebut memiliki kerangka gramatikal yang berbeda. Pada tingkatan yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin akan menjadi polisemi dengan cara yang berbeda pada bahasa yang berbeda pula.

Menurut Wierzbicka (1996: 25-26), ada dua hubungan nonkomposisional yang paling kuat, yakni hubungan pengartian (entailment-like relationship) dan hubungan implikasi (implicational relationship). Hubungan pengartian

diilustrasikan pada MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN

PADA/TERJADI. Contoh: jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN.

Perhatikan contoh berikut.

(7) X MELAKUKAN sesuatu pada Y sesuatu TERJADI pada Y

(8) Jika X MERASAKAN sesuatu tentang Y sesuatu TERJADI pada X

Perbedaan sintaksis yang dapat diketahui dari verba MELAKUKAN dan TERJADI pada contoh (7) di atas ialah bahwa MELAKUKAN memerlukan dua argumen, sedangkan TERJADI hanya membutuhkan satu argumen. Hal yang sama terjadi pada verba TERJADI dan MERASAKAN, tetapi pada verba MERASAKAN tipe argumen yang muncul berbeda, yaitu tentang „Y‟.

2.2.1.3 Sintaksis Makna Universal

Sintaksis makna universal yang dikembangkan Wierzbicka pada akhir tahun 1980 merupakan perluasan dari sistem makna asali. Wierzbicka (1996: 19) menyatakan bahwa makna memiliki struktur yang sangat kompleks, dan tidak hanya dibentuk dari elemen sederhana, seperti seseorang, ingin, tahu, tetapi dari komponen berstruktur kompleks, seperti „aku menginginkan sesuatu‟, „ini baik‟, atau „kamu melakukan sesuatu yang buruk‟. Kalimat seperti ini disebut sintaksis

makna universal. Jadi, sintaksis makna universal adalah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya (Mulyadi dan Rumnasari, 2006: 71).

Dalam teori MSA, untuk merumuskan struktur semantis digunakan teknik parafrase, yang menurut Wierzbicka (1996: 35) harus mengikuti kaidah-kaidah berikut:

1) Parafrase harus menggunakan kombinasi sejumlah makna asali yang diperlakukan terkait dengan klaim teori MSA, yaitu suatu bentuk tidak dapat diuraikan hanya dengan memakai satu makna asali.

2) Parafrase dapat pula dilakukan dengan memakai unsur yang merupakan kekhasan suatu bahasa. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan unsur-unsur yang merupakan keunikan bahasa itu sendiri untuk menguraikan makna. 3) Kalimat parafrase harus mengikuti kaidah sintaksis bahasa.

4) Parafrase selalu menggunakan bahasa yang sederhana.

5) Kalimat parafrase kadang-kadang memerlukan indensasi dan spasi khusus. Ketiga konsep teoretis di atas, yaitu makna asali, polisemi takkomposisi dan sintaksis makna universal merupakan komponen utama dalam merumuskan struktur semantis. Unit dasar sintaksis makna universal dapat disamakan dengan “klausa”, dibentuk oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya. Contoh pola sintaksis makna universal ditunjukkan di bawah ini :

(9) Aku melihat sesuatu di tempat ini. (10) Sesuatu yang buruk terjadi padaku.

(11) Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku.

(12) Aku tahu bahwa kamu orang yang baik. (13) Aku melihat sesuatu terjadi di sana. (14) Aku mendengar sesuatu yang baik.

Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis makna universal mengimplikasikan gagasan pilihan valensi. Contohnya, elemen MELAKUKAN,

selain memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti „seseorang melakukan sesuatu‟), juga memerlukan objek ” (seperti „seseorang melakukan sesuatu kepada seseorang‟). Begitu pula, MENGATAKAN, di samping memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti „seseorang mengatakan sesuatu‟), juga memerlukan “pesapa” (seperti „seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang‟), atau “topik” (seperti „seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu‟), atau “pesapa” dan topik” (seperti „seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu‟) (Mulyadi dan Rumnasari, 2006:71). Hubungan ketiga konsep tersebut dalam kajian makna diringkas dalam gambar di bawah ini:

Makna asali

Polisemi Sintaksis Makna

Universal

Makna asali Makna

Gambar 2.1

Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan Makna (Sumber: Mulyadi dan Rumnasari, 2006: 71)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa gabungan dari dua makna asali berkombinasi untuk membentuk polisemi. Kombinasi dari makna asali membentuk kalimat berupa parafrasa untuk mengetahui makna.

Dalam menjelaskan struktur semantis verba AMBIL bahasa Aceh, model penelitian parafrase yang digunakan mengikuti Wierzbicka dengan formulasi berikut ini:

mengambil

(a) pada waktu itu, seseorang (X) melakukan sesuatu pada sesuatu/seseorang (Y) dengan sesuatu/salah satu bagian tubuh (Z)

(b) karena ini, Y berpindah pada X pada waktu yang sama (c) X menginginkan ini

(d) X melakukan sesuatu seperti ini

2.3.2 Teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA)

Generalisasi peran semantis argumen dalam Teori Tata Bahasa Peran dan Acuan oleh Van Valin dan J La Polla (1997:141) disebut dengan semantik peran umum. Disebut demikian karena beberapa dari sejumlah tipe spesifik argumen (relasi tematis) menjadi bagian dari semantik peran umum. Dalam teori ini diproyeksikan gagasan AKTOR dan PENDERITA pada struktur klausa, baik pada klausa intransitif maupun pada klausa transitif. Istilah AKTOR merujuk kepada generalisasi lintas agen, pengalam, instrumen, dan peran-peran lain, sedangkan PENDERITA adalah generalisasi lintas pasien, tema, resipien, dan peran-peran lain. Wujud kedua peran itu pada setiap bahasa berbeda-beda, tergantung dari karakter morfologis dan sintaktis bahasa masing-masing. Bagi Van Valin dan LaPolla (1999:143), relasi tematis prototip ialah agen dan pasien; artinya,

agen adalah prototip untuk AKTOR dan pasien adalah prototip untuk

PENDERITA.

AKTOR dan PENDERITA tidak mempunyai isi semantis yang konstan. AKTOR dapat berperan sebagai agen, pengalam, instrumen, dan peran lain, sedangkan

PENDERITA berperan sebagai tema, pasien, resipien, dan peran-peran lain. Tidak ada perubahan peran AKTOR dan PENDERITA pada struktur klausa meskipun konfigurasi sintaktisnya berbeda. Keduanya dapat dipetakan pada argumen predikat transitif dan argumen predikat intransitif. AKTOR dan PENDERITA berbeda dengan relasi sintaktis, seperti subjek dan objek, ataupun peran kasus, seperti agen dan pasien. Pada sebuah argumen verba berbagai peran yang berbeda direalisasikan sesuai dengan ciri semantis predikatnya.

Dalam teori TPA penentuan peran umum pada sebuah verba didasarkan pada struktur logisnya (Van Valin dan LaPolla, 1999:151). Ada tiga kemungkinan dalam pemberian peran umum, yaitu 0, 1, 2. Jika sebuah verba memiliki dua argumen atau lebih pada struktur logisnya, verba itu memerlukan dua peran umum. Apabila sebuah verba mempunyai argumen tunggal pada struktur logisnya, pada situasi ini diperlukan satu peran umum. Pada verba tanpa argumen (mis., verba rain dan snow dalam bahasa Inggris) tidak terdapat peran umum. Sifat peran umum merupakan fungsi dari struktur logis verba. Jika sebuah verba membutuhkan dua argumen, keduanya boleh jadi berupa AKTOR dan PENDERITA. Pada verba dengan peran umum tunggal, pilihan utamanya diikuti langsung dari struktur logis verbanya. Verba dengan predikat kegiatan pada struktur logisnya diberi peran AKTOR; jika tidak, perannya adalah PENDERITA.

Pilihan terhadap argumen sebagai AKTOR dan PENDERITA tidak

bersifat acak, tetapi berdasarkan dalil tertentu. Van Valin dan

LaPolla (1999) mengusulkan sebuah hierarki pemarkahan untuk

AKTOR PENDERITA

Arg arg 1 arg 1 arg 2 arg pred‟

MELAKUKAN melakukan’ (x ... pred’ (x, y) pred’ (x, y) keadaan (x)

Gambar 2.2

Hirarki Aktor dan Penderita (Sumber: Van Valin dan LaPolla, 1999:146)

Pada hierarki di atas, „argumen MELAKUKAN‟ berperingkat tertinggi, dan argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah untuk AKTOR. Sementara itu, ‟argumen pred‟ (x)‟ berperingkat terendah dan argumen ini adalah pilihan yang tak bermarkah untuk penderita. Tanda panah menunjukkan peningkatan pemarkahan pada peristiwa tipe argumen tertentu untuk AKTOR atau PENDERITA. Terkait dengan AKTOR, pilihan yang bermarkah dimungkinkan jika argumen yang berperingkat lebih tinggi tidak hadir pada klausa. Pada PENDERITA, pilihan itu dimungkinkan apabila tidak hadir pasien pada klausa. ACTOR tidak sama dengan agen dan begitu pula UNDERGOER tidak sama dengan pasien (Van Valin dan La Polla, 1997:85--86). Tipe spesifik argumen yang digeneralisasi ke dalam semantik peran umum adalah agen, pemengaruh, pengalam, alat, daya, pasien, tema,

benefaktif, resipien, tujuan, sumber, dan lokasi. Peran-peran tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

(1) Agen

Agen adalah penual/instigator yang melakukan tindakan atau peristiwa, baik dengan sengaja maupun dengan tujuan tertentu.

Contoh: Leslie [Agen] breaking the glass on purpose. Leslie [Agen] memecahkan gelas dengan sengaja

(2) Pemengaruh

Argumen yang berfungsi sebagai pengakibat umumnya merupakan pelaku tindakan atau peristiwa yang dilakukan, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Contoh: Max [Pengakibat] breaking the clock accidentally. Max [Pengakibat] merusak jam secara tidak sengaja.

(3) Pengalam

Pengalam adalah peran argumen yang mengalami keadaan atau perasaan internal.

Contoh: Felipe [Pengalam] thingking about/remembering/disliking the question.

Felipe [Pengalam] berpikir/mengingat/tidak menyukai pertanyaan.

(4) Alat (Instrumen)

Umumnya, peran argumen sebagai alat adalah peran argumen yang berupa entitas yang tidak bernyawa. Peran ini dimiliki oleh argumen yang digunakan oleh agen untuk melakukan suatu tindakan. Umumnya, peran argumen ini berupa nomina tidak bernyawa.

Contoh: Juan breaking a window with a rock [Alat].

Dokumen terkait