• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Teoritis

Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisis populasi yang berada dibawah garis kemiskinan. Pada umumnya, ukuran dan indikator yang mengukur tingkat distribusi pendapatan tidak tergantung pada rata-rata distribusi. Terkadang ukuran distribusi pendapatan dipertimbangkan lemah dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan. Masalah utama dari distribusi pendapatan di suatu daerah adalah ketidakmerataan pendapatan antar kelompok masyarakat pada daerah tersebut. Oleh karena itu sering disebut tingkat ketidakmerataan atau kesenjangan (Todaro, 2000). Ketidakmerataan distribusi pendapatan tersebut diakibatkan banyak hal terutama:

1. Adanya perbedaan kepemilikan faktor-faktor produksi terutama stok modal (capital stock) antar kelompok masyarakat. Berdasarkan teori Neo-Klasik menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan berasal dari kepemilikan faktor capital stock ini. Namun kondisi seperti ini dapat diperbaiki oleh upaya pelimpahan dari pendapatan pemilik modal yang berlebih kepada pihak yang kekurangan. Mekanisme seperti ini tidak berjalan maka teori Keynesian mengandalkan peranan pemerintah dalam melakukan subsidi pada pihak yang kekurangan. Hal ini diperlukan pula kebijakan pemerintah dalam upaya redistribusi pendapatan

2. Ketidaksempurnaan mekanime pasar (Market Failure) yang menyebabkan tidak terjadinya mekanisme persaingan sempurna. Tidak berjalannya mekanisme persaingan ini karena: (i) perbedaan kepemilikan faktor produksi (sebagaimana telah dijelaskan); (ii) timpangnya akses informasi; (iii) intervensi pemerintah; serta (iv) keterkaitan antara pelaku ekonomi dengan pihak pemerintah yang kemudian mendistorsi pasar (biasnya kebijakan pemerintah dalam satu kebijakan tentang perlindungan industri tertentu misalnya.

Distribusi Pendapatan Daerah

Adanya perbedaan kepemilikan dalam hal sumber daya alam akibat dari perubahan distribusi antar daerah. Indeks yang sering digunakan untuk distribusi antar daerah ini adalah Indeks Williamson. Rumus yang digunakan dalam Indeks Williamson ini adalah sebagai berikut:

2 * / * i i Y Y f N W Y    

Dimana:

W = Indeks Williamson

Y i= PDRB/Kapita pada propinsi i

Y* =  PDRB/Kapita nasional fi =  penduduk propinsi i

N = Jumlah total penduduk nasional

Hasil dari Indeks Williamson ini menggambarkan 2 hal yaitu:

1. Disparitas ekonomi antar daerah menjadi berkurang setelah terjadi peningkatan laju perekonomian nasional

2. Disparitas pendapatan antar daerah di negara berkembang menjadi lebih tinggi dibandingkan negara maju. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa hal yaitu:

a. Migrasi tenaga kerja b. Migrasi modal (capital) c. Keterkaitan antar daerah d. Kebijakan ekonomi

Belanja Modal

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa belanja modal adalah pengeluaran untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai nilai manfaat lebih satu tahun untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Pada umumnya belanja modal dapat dibagi menjadi lima kategori, yaitu:

1) Belanja Modal Tanah

Belanja modal tanah untuk pengeluaran dalam memperoleh hak atas tanah yang siap pakai.

2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja modal yang berupa pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin, serta inventaris kantor dan dapat dimanfaatkan lebih dari 12 bulan dengan kondisi siap pakai.

3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja modal gedung dan bangunan merupakan pengeluaran perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang dpaat menambah kapasitas dan bangunan tersebut dalam kondisi siap pakai.

4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan untuk pengeluaran perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai. 5) Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja modal fisik lainnya termasuk didalamnya berupa pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengeluaran fisik lainnya yang bukan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan. Kategori belanja ini adalah belanja modal seperti kontrak sewa beli,

pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

Pemerintah daerah mengalokasikan dana berupa belanja modal ke dalam APBD. Pemerintah daerah akan mengalokasikan dana tersebut berdasarkan kebutuhan daerah untuk keperluan sarana dan prasarana yang dimanfaatkan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan fasilitas publik. Peningkatan belanja modal diharapkan dapat menjadi faktor pendorong dan menimbulkan investasi baru di daerah. Kemudian peningkatan belanja modal dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan konsep PDB (Produk Domestik Bruto) pada tingkat daerah. PDRB dapat dikatakan sebagai hasil interaksi kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi pada suatu wilayah tertentu (negara, propinsi, kabupaten/kota). PDRB dapat dijadikan indikator kinerja ekonomi suatu daerah. Nilai PDRB mencerminkan besaran aktivitas ekonomi daerah tersebut. Perhitungan PDRB mencakup barang/jasa akhir, yaitu barang- barang yang siap dikonsumsi. Untuk barang setengah jadi tidak termasuk perhitungan. PDRB dapat dihitung berdasarkan nilai tambah (value added). Perhitungan PDRB hanya termasuk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri pada tahun berlaku.

Perhitungan PDRB terbagi menjadi harga tahun berlaku disebut dengan PDRB nominal. Perhitungan PDRB nominal ini didalam perhitungannya masih terdapat unsur inflasi. Sedangkan perhitungan PDRB yang menghilangkan unsur inflasi yaitu PDRB atas harga konstan. PDRB atas harga konstan merupakan PDRB yang mempelihatkan output sebenarnya. Pendekatan PDRB dapat melalui pendekatan produksi dan pengeluaran. Pendekatan produksi adalah penjumlahan nilai produksi akhir dari aktivitas perekonomian suatu daerah. Agar tidak terjadi penghitungan ganda (double counting), maka dilakukan cara menghitung nilai tambah dari suatu produk, mulai dari produk mentah hingga produk (barang) jadi.. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach) merupakan penjumlahan dari rumah tangga konsumsi (Masyarakat), rumah tangga Pemerintah, rumah tangga perusahaan (Swasta) dan rumah tangga luar negeri. PDRB perkapita merupakan perbandingan PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita memperlihatkan pendapatan rata-rata masyarakat pada suatu wilayah/daerah. PDRB perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan pada suatu wilayah atau daerah.

Sumber Penerimaan Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah meliputi Pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber pendanaan tersebut merupakan sumber penerimaan daerah yang terdiri dari PAD dan dana perimbangan.

PAD adalah penjumlahan nilai dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan yang didalamnya adalah bagian laba yang diperoleh dari perusahaan milik daerah, serta lain-lain PAD yang sah. Setiap daerah berusaha untuk mengoptimalkan penerimaan PAD agar dapat membiayai kebutuhan pembangunan. Peningkatan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah berakibat terjadinya peningkatan alokasi belanja modal.

Ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat dapat diukur dari nilai perbandingan jumlah transfer dana perimbangan. Semakin tinggi dana perimbangan maka semakin besar tingkat ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggaran belanja modal. Dana transfer dari pemerintah pusat bersumber dari pendapatan APBN. Dana transfer pemerintah pusat dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

DAU merupakan dana transfer yang bersumber dari pendapatan APBN bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam mendanai kebutuhan pelaksanaan desentralisasi. Besarnya DAU ditentukan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah berdasarkan besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) dan potensi daerah (fiscal capacity). Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh DAU relatif besar (Juanda, Sidik dan Qibthiyah, 2013).

Rumusan DAU sebaiknya atas formula sederhana, mudah dipahami dan dihitung oleh daerah bila data tersedia. Selain itu perhitungan yang dibuat harus logis dan memenuhi kaidah prinsip teori serta harus konsisten. Formula alokasi DAU harus memiliki data dari variabel penentu DAU di setiap daerah dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula, celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kondisi keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan kebutuhan fiskalnya dan kapasitas fiskal. Sedangkan alokasi dasar adalah kebutuhan dana daerah untuk membayar gaji dan tunjangnan PNS. Secara umum formulasi dasar dari DAU kesuatu daerah adalah sebagai berikut (Brojonegoro dan Pakpahan, 2002):

DAU = AD + CF

dimana,

DAU = Dana Alokasi Umum, AD = Alokasi Dasar

Operasionalisasi perhitungan DAU, baik untuk tingkat popinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, didasarkan atas perumusan umum sebagai berikut:

Prop DAU Alokasi x Prop CF Prop CF Prop DAU (i) (i)

 Kab/Kota DAU Alokasi x Kab/Kota CF Kab/Kota CF Kab/Kota DAU (i) (i)

Sedangkan penetapan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah diperoleh melalui perumusan sebagai berikut:

Kebutuhan Fiskal = TBDR x

kapita

per

PDRB

Indeks

α

manusia

n

pembanguna

Indeks

α

konstruksi

kemahalan

Indeks

α

wilayah

luas

Indeks

α

penduduk

jumlah

Indeks

α

5 4 3 2 1 dimana:

TBDR = Total Belanja Daerah Rata-rata =

Kab/Kota atau Prop Jmlh B.Modal B.Barang Pegawai B.   i

= Bobot masing-masing indeks yang didapat dari hasil uji ekonometrika

nasional secara penduduk Jumlah daerah penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Indeks (i) (i) nasional secara wilayah Luas daerah wilayah Luas Wilayah Luas Indeks (i) (i) nasional secara kemahalan indeks rata - Rata daerah konstruksi kemahalan Indeks Wilayah Konstruksi Kemahalan Indeks (i) (i) nasional Manusia Pemb indeks rata - Rata daerah Manusia Pemb Indeks Wilayah Manusia Pemb Indeks (i)  (i)

nasional kapita per PDRB rata - Rata daerah kapita per PDRB Wilayah kapita per PDRB Indeks (i)  (i)

Kapasitas fiskal daerah merupakan fungsi penerimaan potensial daerah yang berasal dari sumber-sumber resmi yang telah ditetapkan oleh undang- undang. Adapun perhitungan kapasitas fiskal daerah dapat dirumuskan :

Kapasitas Fiskal = PAD + DBH

Gambar 7 Proses penetapan variabel dan rumus DAU

DAK adalah dana transfer dari pendapatan APBN yang dialokasikan yang bertujuan untuk mendanai berbagai kegiatan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Kegiatan pembangunan yang didanai oleh DAK diarahkan pada berbagai kegiatan yang bersifat penyediaan infrastruktur publik antara lain di pengadaan infrastruktur di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi serta pengadaan prasarana publik lainnya. Daerah yang menerima DAK diwajibkan menyediakan dana pendamping minimal sebesar 10% dari nilai DAK yang diterima, sehingga peningkatan DAK akan mendorong peningkatan alokasi belanja modal pada APBD (Kementerian Keuangan, DJPK, 2013).

Dana Bagi Hasil (DBH) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan formula tertentu dengan

Variabel Potensi : PAD dan DBH Kapasitas Fiskal Daerah Fungsi dari :  Kemajuan ekonomi (PDRB)  SDA VARIABEL KEBUTUHAN  Pelayanan Publik  Jumlah Penduduk  Luas Wilayah

 Indeks Harga Konstruksi  IPM

 PDRB/kapita KEBUTUHAN FISKAL

DAERAH, fungsi dari:

 Pelayanan Publik  Jumlah Penduduk  Luas Wilayah  Keadaan Geografi  IPM  Kemajuan Ekonomi MODEL DAU AMANAT UU No. 33/2004

memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana bagi hasil dapat dibedakan kedalam dua hal, yaitu: Dana bagi hasil Pajak (yang terdiri atas dana bagi hasil PBB, BPHTB, dan dana bagi hasil wajib pajak orang dan perorangan dalam negeri/PPh nomor 21, 25, dan 29). Dana bagi hasil sumber daya alam (yang berasal dari hasil kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi).

Transfer Pusat ke Daerah

Pada umumnya pemerintah pusat menguasai sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Oleh karena itu pemerintah daerah hanya menerima sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau mempunyai wewenang dalam memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan daerah relatif kurang signifikan. Kurangnya sumber penerimaan daerah terhadap kewajibannya akan membutuhkan transfer dana dari pemerintah pusat. Di berbagai negara, kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, dan bergantung pada kondisi daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan tingginya intensitas kegiatan ekonomi. Hal ini semua telah berimplikasi kepada besar kecil-nya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan (Simanjuntak, 2002).

Pada aspek lainnya, terdapat daerah yang memiliki variasi dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan publik yang dilihat dari penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Selain itu terdapat daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai (Simanjuntak, 2002).

Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar namun memiliki sarana dan prasana sudah lengkap. Hal seperti ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal needs) dari daerah- daerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) akan menghasilkan indikator dari kesenjangan atau celah (gap) fiskal dari masing-masing daerah, yang nantinya dapat ditutupi oleh transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan transfer dari pemerintah pusat dalam konteks ini adalah kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Karenanya daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu. Berbagai hal dalam mengatasi persoalan daerah yang memiliki standar pelayanan berasal dari penyebaran atau melimpahnya efek pelayanan publik ke luar daerah yurisdiksi (externalitas). Dalam melakukan stabilisasi daerah maka pemerintah menggunakan dana transfer untuk mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat (Simanjuntak, 2002).

Dana Alokasi Umum sebagai Equalization Grants

DAU merupakan transfer bersifat umum dengan jumlahnya yang sangat signifikan. Penggunaan DAU menjadi wewenang daerah maka DAU dilihat berdasarkan respons pemerintah daerah untuk mendapatkan bagian dan kontrol yang lebih besar terhadap keuangan negara. DAU menjadi sumber penerimaan penting untuk pemerintah daerah. Oleh karena itu, dengan DAU persoalan ketimpangan antara pusat dan daerah dapat teratasi. Tujuan DAU sebagai dana untuk mengatasi ketimpangan. Pencapaian tujuan DAU ini seharusnya benar- benar menjadi fokus dari DAU di masa depan (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002).

Kondisi keuangan daerah di Indonesia masih mencerminkan ketimpangan atau ketidakmerataan. Hal ini dapat dilihat dari PAD hasil pajak dan sumber daya alam. Penerimaan daerah lain seperti bagi hasil pajak seperti PBB, BPHTB dan PPh pribadi lebih menguntungkan untuk daerah yang sudah maju. Sedangkan kondisi nyata daerah di Indonesia yang mempunyai sumber daya alam melimpah hanya sebagian kecil saja. Penentuan DAU di setiap daerah didasarkan dari celah fiskal yang sesungguhnya sudah tepat. Hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara menghitung kebutuhan belanja daerah dan kapasitas keuangan daerah yang sesuai. Persoalan ini memerlukan kajian yang mendalam dan mengarah terhadap fungsi atau urusan yang menjadi tanggung jawab daerah. Setiap fungsi akan menjadi beban untuk daerah yang diharapkan dapat mencapai standar tertentu (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002).

Selanjutnya perlu dilihat sejauhmana daerah mampu membiayai pelaksanaan dari urusan daerah tersebut. Kemampuan pembiayaan urusan daerah bersumber dari penerimaan dari masing-masing daerah. Selisih dari penerimaan tersebut dapat ditutupi oleh DAU. Cara termudah untuk menghitung celah fiskal dalam jangka pendek adalah menghitung selisih antara belanja aktual dengan pendapatan aktual. Namun metode perhitungan ini masih menjadi persoalan yang cukup serius. Perhitungan celah fiskal ini mungkin akan semakin besar dan sulit dipenuhi oleh pusat (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002).

Struktur APBN sangat ketat, dimana penggunaan anggaran hanya diperuntukan untuk satu tahun anggaran. Terlebih lagi adanya kewajiban untuk membayar bunga dan cicilan pokok hutang, serta subsidi yang besar, sehingga belanja transfer ke daerah diragukan mampu menutupi kekurangan dana di seluruh daerah. Selain itu, belanja dan pendapatan aktual belum tentu mencerminkan kondisi kebutuhan dan kapasitas daerah yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan metode, model, dan ketersediaan data yang terbatas serta kemungkinan lainnya, yaitu bagi daerah yang memiliki PAD tinggi yang mencerminkan daerah tersebut mampu menghimpun secara maksimal pendapatan pajak atau memiliki tax effort yang sangat baik justru diberikan dana yang sangat rendah.

Sebenarnya dengan adanya DAU, kebijakan desentralisasi fiskal relatif menjadi lebih baik, namun masih sangat terbuka untuk memperbaiki formula DAU tersebut. Perbaikan formulasi DAU terutama diarahkan pada pengukuran kebutuhan dan kapasitas fiscal daerah. Diperlukannya kajian atau riset untuk menghitung kebutuhan dan kapasitas fiskal yang mendekati kondisi daerah sebenarnya. Persoalan lainnya yaitu dengan adanya syarat hold harmless yang

mempertimbangkan alokasi DAU yang tidak boleh kurang dibandingkan tahun sebelumnya. Syarat hold harmless ini sebaiknya dihilangkan karena tidak mencerminkan tujuan DAU. Tujuan DAU yang sebenarnya adalah pemerataan kapasitas atau kemampuan fiskal, dimana daerah-daerah yang kaya harus menerima DAU yang kecil, bahkan ekstrimnya tidak sama sekali menerima DAU. Formula DAU dalam perhitungannya dapat saja dipisahkan berdasarkan kota dan kabupaten. Dengan pemisahan formula DAU berdasarkan kota dan kabupaten yang memiliki tanggung jawab relatif berbeda, maka diharapkan dapat menghasilkan formula yang lebih baik (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002).

Pada praktiknya banyak negara yang menunjukkan pola perhitungan tidak seragam untuk transfer pusat ke daerah. Banyak hal yang dapat mempengaruhi transfer dana pusat kepada daerah seperti kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Berkaitan dengan itu dimungkinkan adanya satu patokan yang dapat diikuti dan tidak terlalu merumitkan model yang telah digunakan, tetapi tetap fokus terhadap model tersebut (Bird, 1993). Jika tujuan DAU adalah pemerataan kemampuan fiskal maka kemampuan dan kebutuhan fiskal daerah lah yang harus diukur. Masalah kecanggihan desain dari model merupakan masalah kedua. Sejauh ini masih banyak faktor-faktor yang belum dimasukkan dalam desain transfer DAU (Simanjuntak dan Hidayanto, 2002).

Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU Saat Ini dan DAU Revisi

DAU selain dibentuk dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal juga memasukkan alokasi dasar yang didapat dari pembayaran gaji pegawai negeri sipil daerah baik di provinsi dan kabupaten/kota. Adanya alokasi dasar membuat kesenjangan fiskal diantara kapasitas dan kebutuhan fiscal makin parah. Alokasi dasar direspon pemerintah daerah untuk menambah jumlah pegawai negeri. Berbagai kelemahan yang ada di alternatif formula DAU belum mampu memenuhi upaya penurunan ketimpangan pendapatan antar daerah dan penutupan celah fiskal. Mengacu pada revisi Undang-Undang No 33 tahun 2004, maka alokasi dasar dan PDRB perkapita dihilangkan dari kebutuhan fiskal.

Perhitungan formula DAU versi Shah (2012) dilakukan dengan menghitung rasio celah fiskal dengan jumlah penduduk dan tidak mempertimbangkan besaran PDRB perkapita. karena telah diakomodasi dalam perhitungan kapasitas fiskal. Persamaan DAU menurut Shah (2012) adalah sbb: DAU Shah (2012) = Kebutuhan fiskal perkapita – Kapasitas fiskal perkapita… (1)

Kapasitas fiskal dijadikan bobot dalam rasio agregat PAD dan DBH SDA dengan basis penerimaan terkait. Penggunaan data basis dari sumber penerimaan untuk pajak (PDRB non migas) dan penerimaan daerah dari SDA (PDRB migas). Perhitungan kebutuhan fiskal alternatif DAU versi Shah (2012) dilakukan dengan pembobotan pada kelompok pelayanan dasar berdasarkan agregat rasio belanja pemerintah daerah. Untuk potensi pengeluaran setiap jenis pelayanan adalah rasio agregat dari total realisasi pengeluaran untuk setiap unit yang diproksikan dengan penerima manfaat.

Perhitungan formula DAU selama ini menggunakan penjumlahan alokasi dasar dan celah fiskal. Celah fiskal dalam formula DAU saat ini dilihat dari selisih total kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Perhitungan DAU saat ini :

DAU aktual = Alokasi dasar + Celah Fiskal… (β)

Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal –Kapasitas Fiskal… (γ)

Dalam formula DAU aktual masih terdapat PDRB perkapita di dalam kebutuhan fiskal, selain indikator pelayanan publik, jumlah penduduk, dan indeks kemahalan kontruksi. Perhitungan kapasitas fiskal formula DAU aktual hanya menjumlahkan PAD dan DBH. Kapasitas fiskal berdasarkan data realisasi dan sumber penerimaan tidak seluruhnya dimasukkan ke dalam kapasitas fiskal.

Untuk perhitungan DAU revisi hanya menghapuskan alokasi dasar dan PDRB perkapita di dalam kebutuhan fiskal. Persamaan dari perhitungan formula DAU revisi :

DAU revisi = Kebutuhan fiskal –Kapasitas fiskal… (4) Kapasitas = PAD + DBH SDA………(5)

Investasi

Investasi merupakan perubahan tingkat modal dalam perekonomian dengan sebagian dari pendapatan ditabungkan dan dipergunakan untuk aktivitas peningkatan output produksi. Investasi dilakukan untuk pembelian barang modal dan kelengkapan produksi yang nantinya dapat menambah kemampuan memproduksi dari barang-barang dan jasa yang dibutuhkan dalam akitvitas ekonomi. Investasi dibedakan menjadi investasi publik (public investment) yaitu investasi atau penanaman modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat. Dalam penelitian ini investasi diproksikan dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB). PMTB berdasarkan PDRB menurut penggunaannya yaitu pengeluaran barang modal yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi (PDRB Jawa Barat Menurut Pengunaannya 2003- 2005). PMTB secara rinci terdiri dari :

1. Penambahan bersih dari produsen dengan asset berwujud yang dapat digunakan kembali. Penggunaannya tersebut memiliki umur satu tahun atau lebih dan bukan untuk keperluan militer.

2. Pengeluaran dari peningkatan dan perubahan barang modal yang dapat memperpanjang umur barang tersebut atau diharapkan dapat meningkatkan produktivitas.

3. Pengeluaran atas reklamasi tanah dan perbaikannya, pengembangan dan perluasan fisik seperti perkebunan, pertambangan, hutan, lahan pertanian dan perikanan.

4. Peningkatan ternak untuk mendapatkan outputnya seperti susu, bulu dan ternak potong

Perhitungan PMTB didasarkan dari pengeluaran untuk pembelian barang

Dokumen terkait