• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perumusan Kebijakan Publik

Kebijakan atau policy dalam The Little Oxford Dictionary diberikan definisi sebagai arah tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah, partai dan sebagainya (course of action adopted by government, party, etc). Suatu kebijakan dikeluarkan karena berbagai pertimbangan antara lain adanya masalah, kebutuhan atau adanya aspirasi tertentu. Perumusan suatu kebijakan dihasilkan dari analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif sehingga diperoleh alternatif terbaik.

Mencermati pendapat dari Graycar, maka Keban (2004) menyatakan bahwa kebijakan dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, dan sebagai suatu proses. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan. Sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai suatu kumpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya.

Terkait dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah termasuk yang dilakukan oleh pemda, maka Dunn (2003) menyatakan bahwa dalam kebijakan publik atau public policy terkandung pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Selanjutnya menurut Dunn (2003) dalam merumuskan suatu kebijakan perlu dilandasi dengan argumen-argumen, mengapa suatu kebijakan dikeluarkan. Argumen-argumen kebijakan (policy argument) yang merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik, mempunyai enam unsur yaitu 1) informasi yang relevan dengan kebijakan (policy-relevant information), 2) tuntutan kebijakan (policy claim), 3) jaminan atau pembenaran (warrant), 4) dukungan

(backing), 5) bantahan (rebuttall), dan 6) kesimpulan (qualifier).

Selanjutnya menurut Dunn (2003), secara garis besar, proses yang terjadi dalam pengambilan kebijakan terdiri dari 6 tahapan yaitu 1) identifikasi masalah

pengusulan formula kebijakan (formulation policies proposal), 4) pengesahan kebijakan (legitimating policies), 5) pelaksanaan kebijakan (implementing policies), dan 6) evaluasi kebijakan (evaluating policies).

Keban (2004) berpendapat bahwa suatu kebijakan yang tidak mampu memecahkan masalah dianggap sebagai kebijakan berkapasitas rendah. Kebijakan yang berkapasitas rendah ini, perlu ditingkatkan kemampuannya melalui mekanisme yang lebih rasional dengan data dan informasi yang lengkap dan terpercaya, serta melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan, agar masyarakat dapat mengontrol secara langsung.

Selanjutnya menurut Keban (2004), kualitas suatu kebijakan dapat diketahui melalui beberapa parameter penting seperti proses, isi, dan konteks atau suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Oleh karena itu, analisis kebijakan dan proses kebijakan menjadi unsur yang penting dilakukan.

Menurut Dunn (2003) analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tenta ng dan didalam proses kebijakan. Proses analisis kebijakan mempunyai lima tahap yang saling bergantung yang secara bersama sama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak linear. Aktivitas-aktivitas tersebut berurutan sesuai waktunya da n melekat dalam konteks kebijakan yang bersifat kompleks, tidak linear dan pada dasarnya bersifat politis.

Pengertian Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah ’pembangunan’ atau development sudah sangat lazim didengar. Menurut Siagian (1983) pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan. Sedangkan Rustiadi et al. (2004) berpendapat ba hwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling

10

humanistik. Selanjutnya Todaro dalam Rustiadi et al. (2004) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, pananganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Dalam pelaksanannya, menurut Arsyad (1999) proses pembangunnan dilaksanakan dalam 4 tahap, yaitu 1) menetapkan tujuan, 2) mengukur ketersediaan sumber-sumber daya yang langka, 3) memilih berbagai cara untuk mencapai tujuan, dan 4) memilih kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan.

Sejalan dengan berkembangnya dinamika masyarakat, maka konsep pembangunan telah mengalami pergeseran paradigma pembangunan dari yang berpusat pada produksi (produce centre development) ke pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centre development). Menurut Guy Gran dalam Korten dan Sjahrir (1988) paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai subyek, melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannnya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa dan perbedaan lokal. Salah satu syarat agar proses pembangunan tersebut berjalan dengan lancar, adalah dilakukannnya desentralisasi yang cukup besar dalam proses pembuatan keputusan, yang tidak sekedar delegasi wewenang formal yang sederhana. Salah satu tantangan yang penting bagi pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah mengubah orientasi birokrasi pembangunan dari pemerintah agar menjadi organisasi-organisasi yang menghargai dan memperkuat kerakyatan, keanggotaan mereka, serta para warga negara yang harus dilayaninya.

Desentralisasi Pe nyelenggaraan Pemerintahan

Sejalan dengan diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 juncto UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 juncto UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka telah terjadi desentralisasi yang cukup

pemerintah pusat. Menurut Hidayat (2004), desentralisasi dapat dilihat dari perspektif politik dan perspektif administrasi. Berdasarkan perspektif politik desentralisasi merupakan devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan berdasarkan perspektif administrasi, desentralisasi adalah penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan, perencanaan, dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi, kepada pemerintah dan organisasi non pemerintah yang berada pada level yang lebih rendah.

Menurut Smith (1985) tujuan desentralisasi dapat dilihat dari kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah. Berdasarkan sisi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi mempunyai tiga tujuan utama yaitu 1) pendidikan politik (political education), 2) latihan kepemimpinan (provide training in political education), dan 3) menciptakan stabilitas politik (political stability). Sedangkan dari sisi kepentingan pemerintah daerah, desentralisasi mempunyai tiga tujuan yaitu 1) terciptanya keberimbangan secara politik (political equality), 2) meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah (local accountability), 3) meningkatkan kepekaan pemerintah daerah terhadap wilayahnya (local responsivness). Dengan demikian, sebenarnya desentralisasi mempunyai makna yang mendalam dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta terkait dengan berbagai aspek antara lain politik, ekonomi, sosial. Sukirno (1992) berpendapat, terdapat beberapa pertimbangan dilakukannnya desentralisasi, antara lain a) pemerintah daerah lebih mengetahui daerahnya, b) bila ada masalah pemerintah daerah lebih tahu sehingga lebih cepat penyelesaiannya, c) jumlah masalah yang dihadapi pemerintah daerah lebih sedikit daripada masalah nasional sehingga lebih cepat penyelesaiannya.

Dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi berbagai bidang/urusan yang sebelumnya di kendalikan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, terdapat bidang/urusan yang masih merupakan kewenangan pemerintah pusat, sebagaimana ditentukan dalam UU nomor 22 tahun 1999 pasal 7 juncto UU nomor 32 tahun 2004 pasal 10 yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,

12

serta agama. Untuk penyelenggaraan kegiatan bidang-bidang tersebut di daerah, dilakukan dengan asas dekonsentrasi.

Konsep Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah

Perencanaan merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh berbagai pihak, baik perorangan maupun suatu organisasi. Untuk memahami kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan, sangat bervariasi tergantung dari kompleksitas masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Secara sederhana konsep perencanaan menurut Tarigan (2004) adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya secara lebih lengkap Tarigan (2004 ) memberi kan pengertian bahwa perencanaan berarti mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor yang tidak dapat di kontrol (noncontrolable) namun relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan menurut Friedman dalam Tarigan (2004) perencanaan pada asasnya berkisar pada dua hal, pertama ialah penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan kongkret yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan, kedua ialah pilihan-pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.

Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan pe mbangunan ekonomi pada suatu daerah perlu dilakukan perencanaan yang matang. Arsyad (1999) berpendapat terdapat tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah yaitu 1) perlunya pemahaman tentang hubungan antara daerah

merupakan bagian darinya, 2) perlu memahami bahwa sesuatu yang tampaknya baik secara nasional (makro) belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional, dan 3) tersedianya perangkat kelembagaan untuk pembangunan daerah seperti administrasi dan proses pengambilan keputusan. Perencaanaan yang efektif harus bisa membedakan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan.

Mengutip pendapat dari Blakely, maka Arsyad (1999) menyatakan bahwa

dalam perencanaan pembangunan ekonomi terdapat enam tahap yaitu 1) pengumpulan dan analisis data, 2) pemilihan strategi pembangunan daerah,

3) pemilihan proyek-proyek pembangunan, 4) pembuata n rencana tindakan, 5) penentuan rincian proyek, dan 6) persiapan perencanaan secara keseluruhan dan implementasi.

Sedangkan menurut Jhingan (2000) perkembangan ekonomi dapat dipergunakan untuk menggambarkan faktor -faktor penentu yang mendasari pertumbuhan ekonomi seperti perubahan dalam teknik produksi, sikap masyarakat dan lembaga-lembaga dimana perubahan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembangunan ekonomi, maka ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi juga mengalami pergeseran, tidak hanya dari aspek pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau kenaikan pendapatan per kapita penduduknya namun lebih jauh lagi ke arah perkembangan masyarakat. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama.

14

Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat, maka konsep perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2004) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan siste mnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Suatu wilayah terkait dengan beragam aspek, sehingga definisi baku mengenai wilayah belum ada kesepakatan diantara para ahli. Sebagaimana dikemukakan oleh Alkadri (2002) bahwa sebagian ahli mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada pula yang mengacu pada fungsinya, dan ada pula yang berdasarkan korelasi yang kuat diantara unsur -unsur (fisik dan non fisik) pembentuk suatu wilayah. Sehingga, pengertian wilayah tidak hanya sebatas aspek fisik tanah, namun juga aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan. Berdasarkan fungsinya wilayah dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu wilayah homogen, wilayah nodal, dan wilayah perencanaan.

Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002) secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu negara :

1. Wilayah yang telah maju;

2. Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi;

3. Wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik;

4. Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan

pengembangan;

5. Wilayah tidak berkembang.

Dengan mengetahui ciri suatu wilayah, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah.

Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, menurut Tukiyat (2002) konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah.

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2004) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Tata ruang wilayah merupakan landasan dan juga sekaligus juga sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang sudah ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah seluruh masyarakat yang ada di wilayah tersebut termasuk di dalamnya pemerintah daerah serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut. Paling tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam pembangunan wilayah yakni sebagai pengatur atau pengendali (regulator) dan sebagai pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat umum ke arah yang diinginkan oleh pemerintah.

Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2004) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor. Selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat

16

dikembangkan atau di tingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna lebih mengembangkan wilayah.

Penentuan Prioritas K ebijakan Pembangunan

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah merumuskan dan mengeluarkan kebijakan. Menurut Keban (2004), kualitas suatu kebijakan dapat diketahui melalui beberapa pa rameter penting seperti proses, isi, dan konteks atau suasana dimana kebijakan itu dihasilkan atau dirumuskan. Pemerintah perlu memperhatikan isu-isu yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat yang menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan. Oleh karena itu, analisis kebijakan dan proses kebijakan menjadi unsur yang penting dilakukan.

Untuk mengetahui isu yang menjadi prioritas kebijakan dapat dilakukan dengan metode analisis yang dikenal dengan Analysis Hierarchy Process (AHP) atau proses hirarkhi analisis. Metode ini diperkenalkan oleh Dr. Thomas Saaty di tahun 1970’an.

Dalam menetapkan suatu kebijakan, maka perumus kebijakan akan dihadapkan pada banyak faktor baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, dimana seringkali analisis yang dilakukan mengabaikan faktor-faktor yang bersifat kualitatif. Dengan metode AHP, maka semua faktor yang dianggap berpengaruh terhadap suatu kebijakan akan diikutkan dalam perhitungan. Menurut Saaty (1980) pada umumnya hal-hal yang berperan dalam pengambilan keputusan adalah a) perencanaan, b) perumusan alternatif, c) menetapkan berbagai prioritas, d) menetapkan alternatif terbaik, e) mengalokasikan sumber daya, f) menentukan kebutuhan, g) memprediksi hasil yang dicapai, h) mendesain sistem i) penilain hasil, j) menjaga kestabilan sistem, k) mengoptimalkan tujuan, dan l) mengelola konflik. Saaty (1980) menekankan pentingnya pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan, dengan memperhatikan struktur, fungsi, tujuan dan lingkungan.

Beberapa keuntungan dari metode AHP dalam kegiatan analisis antara lain :

perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur pada level yang lebih rendah;

2. Membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang komplek dan tidak berstruktur, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas guna mendapatkan prioritas;

3. Mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas dengan tidak memaksakan pemikiran yang linier;

4. Mengukur secara komprehensif pengaruh unsur -unsur yang mempunyai korelasi dengan masalah dan tujuan, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas

Sarana yang digunakan dalam metode AHP ini adalah dengan memberikan kuesioner kepada para responden terpilih yang mengetahui dan memahami dengan baik masalah-masalah yang yang menjadi obyek penelitian.

Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah

Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah, maka kedudukan dan peran pemerintah daerah dalam menyelenggarakan organiasi pemerintahan di daerah, menjadi lebih fleksibel sesuai dengan kemampuan keuangan, potensi daerah, dinamika masyarakat, dan kebutuhan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, agar proses pembangunan di daerah dapat berjalan dengan terarah dan efektif, maka perlu dilakukan kegiatan perencanaan pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu (Riyadi 2004).

Dalam pelaksanaannya, maka kegiatan perencanaan daerah merupaka n kegiatan yang kompleks karena akan dihadapkan pada berbagai aspek yang memerlukan perhatian. Oleh karena itu, kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara individual tetapi merupakan kegiatan bersama/tim yang melibatkan

18

beragam disiplin ilmu. Menurut Riyadi (2004) terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kegiatan perencanaan pembangunan daerah yaitu : 1. faktor lingkungan, baik bersifat internal maupun eksternal yang meliputi

bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik; 2. faktor sumber daya manusia perencana;

3. faktor sistem yang digunakan, yang antara lain meliputi aspek prosedur, mekanisme pelaksanaan, pengambilan keputusan, dan pengesahan;

4. faktor perkembangan ilmu dan teknologi; 5. faktor pendanaan.

Sebelum berlakunya UU nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka perencanaan pembangunan mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan setiap 5 tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penjabaran GBHN tersebut pada masing-masing daerah dituangkan ke dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah (POLDAS) yang selanjutnya dirinci kedalam Rencana Strategis Pembangunan (RENSTRA), Program Pembangunan Daerah (PROPEDA). Sebagai operasional kegiatan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara garis besar perencanaan pembangunan yang dilakukan sebagaimana Gambar 2 di bawah.

Sejalan dengan diberlakukannnya UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagai konsekuensi berlakunya UU nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka mekanisme perencanaan pembangunan juga mengalami beberapa perubahan. Salah satu yang mendasari perubahan tersebut adalah diberlakukannnya mekanisme pemilihan langsung presiden dan para kepala daerah oleh rakyat, sehingga MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak mengeluarkan GBHN. Perencanaan pembangunan lebih mengacu pada visi dan misi presiden atau para kepala daerah yang terpilih. Berdasarkan UU 25 tahun 2004 tersebut, maka terdapat 3 rencana pembangunan yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk kurun waktu 25 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk kurun waktu 5 tahun, dan Rencana Pembangunan Tahunan, baik untuk tingkat nasional maupun daerah.

Sumber : Bratakusumah (2003)

Gambar 2 Bagan alir perencanaan pembangunan

RPJM berisi program-program kerja untuk kurun waktu 5 tahun dan disusun dengan berpedoman pada RPJP yang telah ditetapkan. Untuk tingkat nasional RPJM merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi presiden terpilih. Sedangkan, untuk tingkat daerah RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi dan misi kepala daerah terpilih. Secara garis besar perencanaan pembangunan dilakukan oleh daerah sebagaima na nampak pada Gambar 3 di bawah.

UUD 45 GBHN 99 PROPENAS REPETA --- APBN DEPT/ LPND PROPEDA PROPI NSI APBD PROPI NSI PROPEDA KAB/KOTA APBD KAB/ KOTA

PEMBANGUNAN NASI ONAL &

20

Gambar 3 Bagan alir penyusunan rencana pembangunan daerah

Sesuai UU nomor 25 tersebut, maka pendekatan yang dilakukan dalam melakukan perencanaan pembangunan terdiri dari 5 aspek yakni politik, teknokratik, partisipatif, bawah-atas (bottom-up), atas-bawah (top -down). Dalam penjelasan UU tersebut dikatakan bahwa pendekatan politik memandang pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah.

UU Pemilu

Visi, Misi, dan Program Kerja masing-masing calon Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA Kepala Daerah Terpilih RPJM UUD 45

Calon A Calon B Calon yang lain

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD),

Rencana Anggaran Pembangunan Daerah (RAPBD)

pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas -bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.

Dokumen terkait