• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Tanaman Manggis

Manggis merupakan salah satu buah tropis yang berasal dari Indonesia dan kawasan Asia Tenggara (Almeyda dan Martin 1976). Pada awalnya pembudidayaan tanaman manggis hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara mulai dari Indonesia hingga Papua Nugini dan Mindanao Philipina dan ke arah utara dari Malaysia hingga Birma, Vietnam dan Kamboja. Namun saat ini tanaman manggis sudah banyak dibudidayakan di daerah lainnya termasuk Srilangka, India Selatan, Amerika Tengah, Brazil dan Australia (Verheij 1992).

Pada tahun 2008 luas panen tanaman manggis di Indonesia mencapai 9 354 ha, dan hampir tersebar di semua pulau. Daerah Jawa Barat memiliki luas panen tertinggi yaitu 2 678 ha, diikuti berturut-turut oleh daerah Sumatera Barat (1 049 ha), Jawa Timur (671 ha), Sumatera Utara (657 ha) dan Banten dengan luas panen sebanyak 625 ha (Deptan 2009).

Morfologi Tanaman Manggis

Manggis merupakan tanaman pohon berkayu keras dengan tinggi mencapai 6 - 25 meter. Pohon tegak lurus dengan percabangan simetris membentuk kerucut. Seluruh bagian tanaman dapat mengeluarkan getah kuning yang lengket dan kental (Verheij 1992).

Daun manggis berhadapan menyilang dan pada pasangan daun teratas tangkainya menutupi kuncup terminal. Lembaran daun berbentuk lonjong berukuran 15 - 25 cm x 7 - 13 cm, tebal, pinggiran daun rata dengan bagian ujung meruncing dan licin. Permukaan atas daun berwarna hijau tua sedangkan permukaan bawah berwarna hijau kekuningan dengan tulang daun hijau pucat dan menonjol pada kedua sisi (Verheij 1992).

Bunga manggis muncul dari ujung pucuk yang tua, pada awalnya dalam bentuk bengkakan besar di ujung ranting. Bunga manggis berdiameter 5.5 mm dan memiliki 4 sepal dan 4 petal dengan tangkai bunga pendek. Benang sari tersusun dalam 1 - 3 kelompok dalam 1 - 2 baris, membentuk cincin di sekitar

dasar ovari. Benang sari bebas dan pendek muncul bersamaan pada dasar bunga dengan panjang 0.5 cm. Ovari melekat pada dasar bunga, hampir bulat dengan 4 - 8 ruang (Verheij 1992).

Pembentukan bunga manggis diawali dengan inisiasi tunas bakal bunga. Pucuk yang akan berbunga, pangkal tunas barunya tampak membesar dan membengkak kemudian tunas pecah membentuk kuncup bunga. Kuncup bunga akan mengalami pertumbuhan sehingga terus membesar dan mencapai perkembangan maksimum pada saat terjadinya anthesis atau bunga mekar. Waktu yang diperlukan mulai dari terinisiasinya pucuk hingga mencapai anthesis antara 39 sampai 40 hari (Ropiah 2009). Selanjutnya dari anthesis hingga buah manggis matang membutuhkan waktu 100 hingga 120 hari (Yaacob dan Tindall 1995).

Permukaan kulit buah manggis atau pericarp halus, mempunyai ketebalan 4 - 8 mm. Pada buah yang tua pericarp mengeras, bagian luar berwarna ungu kecoklatan dan bagian dalam berwarna ungu serta mengandung getah kuning yang pahit. Jika buah muda dilukai maka getah kuning akan menetes keluar. Pada buah yang matang, struktur kulit yang keras merupakan pelindung yang sangat baik bagi daging buah yang lembut dan sifat buah ini memudahkan pengepakan dan pengangkutan. Buah manggis memiliki 4 - 8 segmen dan setiap segmen mengandung satu bakal biji yang diselimuti oleh aril yang berwarna putih, empuk dan mangandung sari buah (Yaacob dan Tindall 1995).

Menurut Osman dan Millan (2006), pola pertumbuhan buah manggis membentuk kurva sigmoid. Pertumbuhan diawali dengan dominasi pertumbuhan pericarp hingga 20 hari setelah anthesis dan dilanjutkan dengan perkembangan aril dan biji. Hasil penelitian Gunawan (2007) juga memperlihatkan pola pertumbuhan dan perkembangan buah manggis berupa sigmoid. Pertumbuhan buah lambat pada waktu 1 - 3 minggu setelah anthesis (msa), selanjutnya cepat pada waktu 4 - 11 msa, lalu kembali lambat pada minggu 12 - 14 msa dan kemudian tidak ada pertumbuhan hingga 15 - 16 msa. Pada umur 15 - 16 msa, buah mencapai ukuran yang maksimum.

Burik pada Buah Manggis

Burik (scar) merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah manggis akibat adanya pelukaan. Menurut Verheij (1997), burik pada manggis

umumnya disebabkan oleh aktivitas semut dan serangga pengisap (aphids) pada buah ketika masih kecil atau bahkan pada bunga baru mekar, karena bunga menghasilkan nektar sebagai makanan semut. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penyebab burik adalah trips (Pableo dan Velasco 1994; Affandi et al.

2008; Pankeaw et al. 2011).

Buah manggis yang terserang hama trips menampakkan gejala kulit buah berwarna keperakan, kuning pucat hingga kecoklatan, adanya luka yang memanjang dan mengeras dapat menutupi seluruh permukaan buah. Buah yang burik terkadang dapat terhambat perkembangannya hingga tidak dapat mencapai ukuran normal (Affandi et al. 2008). Menurut Felland et al. (1995), burik pada buah nectarine disebabkan oleh Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Pada buah jeruk burik disebabkan oleh F. bispinosa dan F. kelliae

(Childers 1999). Pada buah alpukat burik disebabkan oleh Scirtothrips perseae

(Thysanoptera: Thripidae) (Hoddle et al. 2002a). Menurut Pableo dan Velasco (1994), serangan hama trips pada buah manggis dapat menimbulkan kerusakan seperti adanya bekas garukan (scabbing) pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah dan mengurangi nilai jual, tetapi tidak mempengaruhi bagian yang dapat dimakan. Pengamatan lebih mendalam tentang burik pada buah manggis sangat diperlukan.

Interaksi antara Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Tanaman Asosiasi serangga fitofag dengan tanaman inangnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu serangga sebagai konsumen dan tanaman sebagai sumber makanan. Perilaku serangga sebagai konsumen dan sifat tanaman sebagai sumber makanan berperan dalam hubungan antara serangga fitofag dengan inangnya. Serangga juga mengadakan pemilihan inang dan memiliki preferensi terhadap inang tertentu. Pemilihan inang terdiri dari urutan perilaku serangga dalam menentukan dan menemukan tanaman inang. Preferensi inang didefinisikan sebagai kecenderungan serangga dalam melakukan pemilihan tanaman inang yang tepat bagi perkembangannya. Preferensi inang merupakan salah satu aspek mekanisme ketahanan tanaman, yang disebut antixenosis atau disebut juga sebagai non

preferensi, serangga cenderung untuk tidak memilih tanaman sebagai makanan, tempat bertelur atau tempat berlindung (Painter 1951).

Dalam proses seleksi tanaman inang, terdapat perilaku dengan tahap yang berurutan yaitu proses pencarian kemudian serangga melakukan pengujian secara kontak. Pencarian berakhir dengan penemuan, sedangkan pengujian secara kontak berakhir dengan penerimaan atau penolakan. Penerimaan itu merupakan keputusan yang penting karena akan dilanjutkan dengan memakan atau meletakkan telur, dan hal ini akan beresiko terhadap kesehatan serangga tersebut dan kelangsungan hidup keturunannya (Schoonhoven et al. 2005).

Menurut Kogan (1982), pemilihan tanaman inang oleh serangga melalui lima tahapan yaitu: 1) penemuan habitat inang; 2) penemuan inang; 3) pengenalan inang; 4) penerimaaan inang; dan 5) kesesuaian inang. Penemuan habitat inang pada umumnya dipandu oleh rangsangan fisik seperti cahaya, angin dan daya tarik bumi. Penemuan inang didorong oleh indera penglihatan terhadap warna dan bentuk tanaman, dan indera penciuman terhadap senyawa kimia tanaman. Penilaian kelayakan tanaman sebagai sumber nutrisi dilakukan dengan menggunakan sensor kimia. Penerimaan atau penolakan terhadap tanaman inang dilakukan setelah serangga mengetahui kandungan kimia tanaman. Nilai nutrisi tanaman dan kandungan senyawa yang bersifat toksik akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan serangga, serta mempengaruhi keperidian dan lama hidup imago. Faktor fisik dan kimia tanaman sangat berpengaruh dalam proses pemilihan dan penentuan inang. Faktor tersebut tidak bekerja secara tunggal, tetapi bersama-sama membentuk suatu sistem pertahanan tanaman.

Warna merupakan salah satu faktor fisik yang dapat berperan positif dalam penemuan dan pengenalan inang oleh serangga (Prokopy dan Owens 1983). Pada serangga trips, warna digunakan untuk membedakan tanaman inang dari tanaman sekitarnya. Di antara berbagai warna yang ada, warna berkilau adalah yang lebih menarik bagi trips. Dapat dikatakan bahwa daya tarik suatu warna akan berkurang jika kilaunya berkurang (Terry 1997). Pada umumnya trips tertarik pada warna kuning, biru dan putih (Kirk 1984; Hoddle et al. 2002b), namun setiap spesies trips memiliki ketertarikan terhadap warna tertentu. Trips bunga tertarik pada warna cerah seperti putih, sementara trips rumput tertarik pada warna yang

mendekati hijau (Teulon dan Penman 1992), S. dorsalis tertarik pada warna kuning (Chu et al. 2006). F. intonsa dan Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) tertarik pada warna biru, T. palmi pada warna biru atau putih, sedangkan T. obscuratus tertarik pada warna kuning (Lewis 1997).

Selain warna, aroma bunga tanaman inang dapat menarik trips sehingga trips menggunakannya untuk mendeteksi keberadaan inangnya meskipun tanpa warna. Aldehid adalah senyawa bunga yang pertama kali memperlihatkan dapat menarik trips. F. occidentalis tertarik pada senyawa volatil seperti benzenoid dan monoterpene (Koschier et al. 2000), sedangkan T. hawaiiensis tertarik pada senyawa methyl anthranilate (Imai et al. 2001). Ketertarikan trips terhadap aroma yang dihasilkan tanaman dimanfaatkan sebagai kombinasi dalam pembuatan perangkap berperekat. Penambahan aldehid pada perangkap berperekat menghasilkan jumlah tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang tidak diberi aldehide (Lewis 1977).

Ketika kontak dengan tanaman, serangga memperoleh informasi tambahan tentang kualitas tanaman yang belum dapat diakses pada tahap pemilihan tanaman inang sebelumnya. Bentuk fisik atau jaringan tanaman dapat mempengaruhi pemilihan tanaman inang. Kehadiran trikoma dan struktur kristal lilin pada permukaan tanaman, kekerasan dan ketebalan daun, sklerotisasi atau pengerasan dan kandungan silika yang tinggi dapat menyebabkan perilaku penghindaran oleh serangga. Ciri tanaman seperti itu sering diasumsikan sebagai suatu fungsi pertahanan tanaman (Schoonhoven et al. 2005).

Protein, gula, fosfolipid, garam-garam anorganik, mineral dan vitamin yang terdapat dalam tanaman dapat berfungsi sebagai perangsang makan atau penolak makan serangga. Konsentrasi gula dan asam amino pada beberapa bagian tanaman berbeda dan bervariasi, variasi ini juga digunakan sebagai isyarat penting untuk serangga ketika memilih lokasi makanan (Schoonhoven et al. 2005).

Perbedaan konsentrasi senyawa kimia tanaman, dalam hal ini nutrisi tanaman mempengaruhi seleksi tanaman inang oleh serangga herbivor. Menurut Ananthakrishnan (1993), terdapat korelasi positif antara kandungan amino nitrogen dalam daun dengan serangan trips. Produksi telur trips meningkat jika imago dibiakkan pada tanaman yang kandungan aminonya tinggi. Hasil

penelitian Brodbeck et al. (2001) menunjukkan bahwa populasi betina F. occidentalis pada bunga tomat berkorelasi positif dengan konsentrasi asam amino aromatic primer fenilalanin pada bunga.

Menurut Southwood (1978), nutrisi yang mengandung unsur nitrogen seperti protein dan sterol sangat mempengaruhi keperidian serangga betina. Kogan (1982) menyatakan bahwa kandungan nutrisi dalam tanaman bergantung pada jenis tanaman, bagian tanaman, umur tanaman dan musim. Serangga trips dapat membedakan di antara tanaman yang sesuai sebagai inangnya (Delphia dan Mescher 2007).

Di samping metabolit primer yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanaman juga menghasilkan senyawa berupa metabolit sekunder. Banyak senyawa yang aktif secara biologis diketahui beracun bagi hewan, cendawan atau mikroorganisme, yang lainnya mempunyai fungsi ekologi yang berbeda. Oleh karena itu, senyawa ini sangat penting dalam seleksi inang oleh serangga fitofag. Whittaker dan Feeny (1971) menyebut senyawa metabolit sekunder tersebut sebagai allelokimia tanaman.

Pada manggis ditemukan berbagai senyawa metabolit sekunder (Chaverri et al. 2008). Pada buah manggis dalam tahap pematangan terdapat metabolit sekunder berupa senyawa antosianin yaitu sophoroside, cyanidin-3-glucoside dan cyanidin-3-glycoside. Perubahan warna pada permukaan kulit manggis sangat berkaitan dengan peningkatan konsentrasi antosianin seperti cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin-3-glucoside (Palapol et al. 2009). Menurut Lev Yadun dan Gould (2009), antosianin berfungsi sebagai bahan kimia repellent

dan sebagai pertahanan tanaman dari orientasi visual serangga herbivor. Antosianin tidak bersifat racun bagi spesies hewan tingkat tinggi dan aman sebagai pewarna makanan (Lee dan Brammeier 1987).

Trips menggunakan berbagai instrument sensori yang terdapat pada antena dan alat mulut untuk mengetahui sifat morfologi, senyawa kimia, rasa yang terdapat pada tanaman dan dapat membedakan antara tanaman inang dan bukan tanaman inang. Metabolit primer dan sekunder yang terdapat pada tanaman inang mempengaruhi kesesuaian serangga herbivor untuk makan dan melakukan oviposisi. Senyawa fenolik, tanin dan alkaloid dapat menjadi faktor ketahanan

tanaman terhadap serangga (Terry 1997). Senyawa volatil yang terdapat pada tanaman Origannum majorana dan Rosmarinum officinalis bersifat antifeedant

dan deterrent terhadap T. tabaci (Koschier dan Sedy 2002). Sebaliknya F. occidentalis akan memilih daun paprika yang mengandung asam amino aromatik dengan konsentrasi yang tinggi (Terry 1997). Senyawa sekunder tanaman manggis dan perannya terhadap serangga herbivora khususnya trips belum diketahui.

Bioekologi Trips

Perkembangan trips merupakan peralihan hemimetabola dan holometabola. Siklus hidup trips terdiri dari telur, dua instar larva yang aktif makan, selanjutnya pra pupa yang diikuti oleh satu atau dua instar pupa yang tidak makan. Perkembangan trips dari telur, nimfa, pra pupa sampai imago umumnya berlangsung selama 2 hingga 3 minggu (Ananthakrishnan 1993; Mound dan Kibby 1998). Telur berukuran relatif kecil, trips betina famili Thripidae memasukkan telur ke dalam jaringan tanaman. Setiap individu betina mampu menghasilkan 30 hingga 300 telur tergantung spesies dan kualitas nutrisinya. Larva trips terlihat sama dengan imago yang tanpa sayap, pra pupa dan pupa memiliki antena dan tungkai yang sangat pendek. Sebagian larva jatuh ke tanah untuk berpupa meski tidak berlaku untuk semua spesies. Pada daerah panas dan di rumah kaca perkembangbiakan dapat berlangsung 12 hingga 15 generasi tiap tahunnya (Lewis 1973; Mound 2006).

Menurut Mound (1997), dari strategi sejarah kehidupannya trips mampu menguasai habitat yang muncul dalam rentang waktu singkat secara optimal. Thrips adalah serangga oportunis yang pada umumnya adalah spesies dengan seleksi r yang memiliki vagility, waktu generasi pendek, toleransi terhadap kisaran inang yang luas, cenderung parthenogenesis dan struktur perkembangbiakan yang kompetitif sehingga menyebabkan terjadinya agregasi. Pertanaman pertanian memberikan kesempatan untuk terjadinya kolonisasi dan perkembangan populasi yang besar bagi trips.

Asosiasi Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Bunga dan Buah Manggis

Artopoda fitofag yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis merupakan suatu komunitas. Begon et al. (1986) mendefinisikan komunitas sebagai kelompok spesies populasi yang dapat hidup bersama dalam suatu ruang dan waktu. Unsur komunitas dalam ekosistem pertanian dapat berupa tanaman, artropoda (fitofag, predator, parasitoid) dan pengurai, sedangkan unsur abiotik dapat berupa suhu, kelembaban udara, angin, cahaya, hujan dan tanah (Price 1984). Dengan demikian komunitas serangga pada bunga dan buah manggis merupakan berbagai spesies serangga yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis baik sebagai herbivora, predator, parasitoid, penyerbuk, pengurai dan yang tinggal sementara.

Berbagai jenis artropoda dilaporkan berperan sebagai hama pada tanaman manggis khususnya pada bunga dan buah. Artropoda hama pada fase bunga dan buah pada tanaman manggis meliputi serangga dari Ordo Coleoptera (Famili Nitidulidae, Scolytidae); Diptera (Famili Drosophilidae, Tephritidae); Hemiptera (Famili Aphididae, Asterolecaniidae, Coccidae, Delphacidae, Diaspididae, Pseudococcidae); Hymenoptera (Famili Formicidae); Lepidoptera (Famili Noctuidae, Tortricidae ) dan Thysanoptera (Famili Thripidae) serta Acarina (Famili Tenuipalpidae, Tarsonemidae) (USDA (2005).

Pableo dan Velasco (1994) melaporkan adanya 3 spesies trips yang menyerang buah manggis di Philipina yaitu Heliothrips haemorrhoidales

(Bouche), Selenothrips rubrocinctus (Giard) dan Caliothrips striatopterus

(Kobus) (Thysanoptera: Thripidae). Chay et al. (2005) juga melaporkan bahwa S. rubrocinctus dapat merusak bunga dan buah manggis. Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ditemui beberapa spesies trips seperti Nesothrips sp., S. rubrocinctus, Haplothrips victoriensis, H. haemorrhoidales dan S. dorsalis pada pucuk dan buah manggis (Harahap et al. 2009). Lebih lanjut Astridge dan Fay (2004) menyatakan bahwa S. rubrocinctus bersembunyi di bawah kelopak (calyx) buah manggis. Kerusakan yang timbul adalah luka sebagai akibat aktivitas makan trips yaitu dengan cara mengisap cairan sel. Trips lebih menyukai daun pucuk, dan pada serangan berat buah juga diserang. Gejala kerusakan ditandai dengan adanya warna keperakan pada daun dan buah, dan pada serangan yang berat

warna keperakan berkembang menjadi kuning pucat hingga kecoklatan. Selain trips, tungau juga diketahui dapat menyerang buah manggis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tungau adalah adanya bekas goresan halus karena aktivitas menggaruk pada permukaan kulit buah manggis dan mengakibatkan buah manggis tidak menarik (Osman dan Millan 2006).

Kerusakan Tanaman oleh Serangan Trips

Berdasarkan bagian tanaman yang diserang, hama dapat dikelompokkan menjadi hama langsung dan tidak langsung. Hama langsung adalah hama yang menyerang bagian tanaman yang dipanen atau dipasarkan, sedangkan hama tidak langsung menyerang bagian tanaman bukan pada bagian yang dipanen. Kerusakan secara langsung oleh serangga dapat diakibatkan karena aktivitas makan dan peletakkan telur, sedangkan kerusakan secara tidak langsung dapat juga karena aktivitas makan tapi bukan pada bagian yang dipanen dan kontaminan exuvia serangga itu sendiri yang dapat mengurangi nilai jual dari produk tersebut (Dent 2000).

Trips menyerang tanaman sejak tanaman ada di persemaian. Hama ini meraut daun, tunas dan buah serta mengisap cairan tanaman dengan menggunakan alat mulutnya. Warna daun yang terserang trips berubah menjadi coklat pada bagian pinggir kemudian berubah menjadi keperak-perakan, dan akhirnya mengeriting serta melengkung ke atas (Hudson dan Adams 1999). Pada tanaman alpukat, serangan Scirtothrips perseae mengakibatkan burik pada buah alpukat. Hal ini akan berakibat turunnya kualitas buah karena kulit buah tampak tidak menarik (Hoddle et al. 2002a).

Ciri khas akibat serangan trips pada daun dan bunga adalah adanya perubahan warna kecoklatan. Serangan pada buah dapat menimbulkan kerusakan berupa adanya rautan pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah. Serangan trips pada buah manggis tidak mempengaruhi hasil atau bagian yang dapat dimakan (edible portion), tetapi adanya perubahan warna pada pemukaan buah mengakibatkan penampilan buah kurang menarik dan mengurangi nilai jual (Pableo dan Velasco 1994).

Kerusakan tanaman secara langsung akibat serangan trips dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat populasi trips, jenis jaringan yang dimakan, fase pertumbuhan tanaman, kerentanan kultivar, kedalaman makan dan adanya daya racun dalam kelenjar ludah (Childers 1997). Kerusakan utama yang ditimbulkan oleh trips pada tanaman pertanian terutama disebabkan oleh aktivitas makan pada daun, bunga atau buah, serta aktivitas oviposisi (Kirk 1995). Belum ada informasi yang melaporkan gejala burik yang berasosiasi dengan trips dan organisme lainnya.

Perilaku Makan dan Oviposisi Trips

Alat mulut Ordo Thysanoptera terletak pada bagian bawah kepala dan membentuk corong mulut (mouthcone). Struktur tersebut terdiri dari satu stilet mandibel dan dua stilet maksila. Pada saat makan, trips menggunakan stilet mandibel untuk menusuk pada dinding luar jaringan dan kemudian menggunakan stilet maksila untuk mengisap cairan dari dalam jaringan (Kirk 1997a).

Umumnya trips dapat makan pada berbagai jaringan tanaman (daun, bunga, buah, polen) dan beberapa jaringan cendawan seperti spora dan hifa. Perilaku makan trips serupa untuk seluruh jaringan tanaman. Setelah hinggap pada tanaman, trips berjalan melingkar pada permukaan tanaman. Ketika menemukan titik yang tepat, imago dan larva menggunakan mandibel untuk meraut permukaan tanaman dengan cara mendorong kepala dan menarik kembali moncongnya. Sepasang stilet maksila kemudian masuk melalui bukaan yang telah dihasilkan oleh mandibel, dan biasanya meninggalkan bekas lubang berbentuk seperti angka 8 pada kutikula daun. Otot cibarial membantu mengisap cairan sel tanaman di sepanjang saluran, dan secara bergantian saliva masuk ke dalam jaringan tanaman melalui saluran yang sama dengan bantuan pompa saliva. Aktivitas makan tersebut mengakibatkan kerusakan sel. Bila kerusakan terjadi pada ovarium bunga maka pada perkembangan buah akan tampak bekas garukan, sehingga mengurangi kualitas buah (Kirk 1997a; Mound 2005). Bekas aktivitas makan tampaknya yang berkembang menjadi gejala burik.

Kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh trips juga disebabkan oleh aktivitas oviposisi oleh imago betina. Proses oviposisi dimulai saat betina mengangkat ujung abdomen. Pengujian kelayakan jaringan dilakukan oleh seta

yang terdapat pada ruas abdomen terakhir, lalu ovipositor ditusukkan ke dalam jaringan tanaman terpilih. Ovipositor yang menyerupai gergaji (saw) membuat celah dengan memotong jaringan tanaman. Proses peletakan telur pada celah didorong oleh kontraksi abdomen (Terry 1997). Aktivitas pembuatan celah untuk peletakan telur dapat menimbulkan kerusakan pada bagian tanaman yang sensitif seperti pada tanaman anggur yang masih muda (Mound 2006). Umumnya trips memilih daun atau jaringan bunga untuk meletakkan telur. Pada jeruk, F. bispinosa meletakkan telur pada jaringan bunga, cenderung pada area pistil-kaliks, petal, filament dan anter (Childers and Anchor 1991).

(Farmer’s Perception and Action to the Mangosteen Fruit Scar) Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar berbagai aspek menyangkut persepsi dan tindakan petani terhadap burik pada buah manggis. Survei dilakukan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang berlangsung pada bulan Desember 2009 - Januari 2010 dan di Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat yang berlangsung pada bulan Februari - Maret 2011. Petani manggis yang diwawancarai berjumlah 40 orang. Hasil survei menunjukkan bahwa jumlah tanaman manggis yang dikelola petani adalah 50 - 100 pohon pada lahan seluas 0.25 - 1 ha sebagian besar adalah milik sendiri. Pengalaman berusahatani manggis berkisar antara 10 - 15 tahun dan seluruh petani manggis mengetahui adanya burik pada buah manggis tetapi tidak mengetahui penyebab munculnya gejala burik. Seluruh petani mengetahui bahwa burik menyebabkan rendahnya kualitas manggis dan mengalami kerugian harga sebesar 38.93%, tetapi petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (77.5%) menyatakan belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang cara mengatasi burik pada buah manggis.

Kata kunci: survei petani, buah manggis burik, persepsi petani Abstract

The aim of this study was to obtain some basic information about farmer’s perception and action to the mangosteen fruit scar appearance. Survey was conducted in Karacak Village, Leuwiliang Subdistric, Bogor Distric, West Java during December 2009 to January 2010 and in Bukit Bulat Village, Bukit Barisan Subdistric, 50 Kota Distric, West Sumatera, during February to March 2011. From the interview (40 respondents), it was recorded that generally the farmers have 50 - 100 trees in their own area of 0.25 - 1 ha. The farmers have 10 - 15 years experiences in mangosteen planting. The farmers could recognize the scar but they could not identify the cause of the scar appearance. All farmers realized that the scar could reduce the quality of fruit. Despite they could loss 38.93% of price, the farmer has not applied any methods in order to control the scar. Most of

Dokumen terkait