• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fruit Scar association between thrips (Thysanoptera Thripidae) and flower andfruit of mangosteen (Garcinia mangostana)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fruit Scar association between thrips (Thysanoptera Thripidae) and flower andfruit of mangosteen (Garcinia mangostana)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

GEJALA BURIK PADA BUAH MANGGIS:

ASOSIASI TRIPS (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) DENGAN

BUNGA DAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana)

FARDEDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi “Gejala Burik pada Buah Manggis: Asosiasi Trips (Thysanoptera: Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana)” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(3)

FARDEDI. Fruit Scar: Association between Thrips (Thysanoptera: Thripidae) and Flower and Fruit of Mangosteen (Garcinia mangostana). Under direction of NINA MARYANA, SYAFRIDA MANUWOTO and ROEDHY

POERWANTO.

Scar on mangosteen fruit is one of the problems in increasing the fruit export volume of Indonesia. Scar is a kind of fruit damage that occurs on the surface of the skin (exocarp) that could reduce consumer’s interest. The source of scar appearance in mangosteen fruit has not been explored well, but presumably that is because of the activity of thrips. Hence, it is important to study some aspects about the fruit scar, i.e. farmer’s perception and action about the fruit scar, the appearance event of scar, and the association of thrips to flower/fruit. Fieldwork and Laboratory observation ware conducted on May 2009-August 2011. The baseline data of farmer were conducted by interviewing farmers (40 respondents) using a structured questionnaire with some open answer. The parameters were related to the farmer’s perception and action to the mangosteen fruit scar appearance. The scar appearance was observed on 1 to 16 weeks after anthesis (waa) fruit. The aims of the research were to study the initiation and development of scar appearance, fruit damage caused by the scar, and intensity of fruit damage in the field. The association of thrips to flower/fruit was conducted in field and laboratory. The aims of the study were to investigate the association of flowers/fruit to thrips and to study population dynamics of thrips. The results showed that the presence of fruit scar could reduce the quality of mangosteen and the price as well. Despite they could loss 38.93% of price, the farmer has not applied any methods in order to control the scar. Generally (>75%) they had never been informed, either counseling or training about mangosteen fruit scar management. The symptom of scar could be observed at the beginning of fruit growth especially in 2 waa fruit. The most scar appeared on stem end, followed by styler end and the equator of the fruit. The intensity of the symptom of scar in 1 to 7 waa fruit was high (52.57%), and after that there would be no symptom until 16 waa. Scar existed in cuticle and exocarp only, not in edible part. Some species of thrips that associated to the plant, especially in flower, has been identified as Scirtothrips dorsalis and Thrips hawaiiensis (Thysanoptera: Thripidae). The highest population of adult was found on open flower, while the highest population of larva was found on fruit of 2 waa. The population increased until 2 waa and then decreased until 16 waa. The density of thrips positively correlated to the scar appearance in 2 and 3 waa fruit. Hence, the thrips population could be related to fruit scar appearance. We found 2 isolates of pathogenic bacteria from the fruit scar.

(4)

FARDEDI. Gejala Burik pada Buah Manggis: Asosiasi Trips (Thysanoptera Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana). Dibimbing oleh NINA MARYANA, SYAFRIDA MANUWOTO, dan ROEDHY POERWANTO.

Burik pada buah manggis merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan volume ekspor manggis Indonesia. Burik merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah manggis akibat adanya pelukaan yang menyebabkan kulit terlihat kusam sehingga mengurangi daya tarik konsumen. Penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis hingga saat ini belum diketahui secara pasti namun diduga karena aktifitas makan dan oviposisi serangga trips. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang mencakup berbagai aspek yaitu petani manggis, fenomena gejala burik pada buah manggis dan trips yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis dan hubungannya dengan kejadian burik.

Penelitian lapangan dilakukan sejak Mei 2009 sampai Agustus 2011 di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan Desa Kandang Tarok, Kecamatan 6 Lingkung, Kabupaten Pariaman serta Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat. Pengamatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan di Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor serta di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Pengumpulan data dasar petani menyangkut persepsi dan tindakan petani manggis terhadap buah burik dilakukan dengan mewawancarai 40 orang petani manggis menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka. Peubah yang ditanyakan kepada petani menyangkut persepsi dan tindakan petani terhadap burik pada buah manggis. Penelitian tentang kajian burik pada buah manggis dilakukan dengan mengikuti perkembangan buah mangis di lapangan dari umur 1 hingga 16 minggu setelah anthesis (msa). Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kemunculan dan perkembangan gejala burik, kerusakan jaringan kulit buah manggis akibat burik dan intensitas gejala di lapangan. Penelitian lapangan dan laboratorium tentang asosiasi trips dengan bunga dan buah manggis dilakukan dengan cara mengikuti perkembangan bunga dan buah manggis berumur 1 hinga 16 msa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari trips yang berasosiasi serta dinamika populasinya pada kuncup, bunga dan buah manggis serta mempelajari hubungan populasi trips dengan kejadian burik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya burik pada buah manggis sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas manggis dan berdampak pada penurunan harga. Walaupun mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% setiap kg akibat burik, petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (>75%) belum pernah mendapatkan informasi baik berupa penyuluhan atau pelatihan cara mengatasi burik pada buah manggis.

(5)

pada buah manggis. Gejala burik yang muncul pertama kali adalah pada bagian stem end, kemudian diikuti pada bagian styler end dan equator. Intensitas gejala burik mengalami peningkatan dari buah berumur 1 msa hingga 6 - 7 msa. Pada umur 6 - 7 msa intensitas gejala burik mencapai 51.40 - 52.57%, setelah itu tidak ada pertambahan gejala burik hingga buah berumur 16 msa. Burik hanya merusak bagian kutikula dan eksokarp. Pada kerusakan yang parah, mesokarp yang berbatasan dengan eksokarp dapat mengalami kerusakan, namun tidak merusak bagian yang dapat dimakan. Buah manggis dengan gejala burik skor 4 memiliki nilai %Brix paling tinggi yaitu 16.53%.

Spesies trips yang berasosiasi dengan bunga dan tanaman manggis adalah Scirtothrips dorsalis dan Thrips hawaiiensis (Thysanoptera: Thripidae). Populasi imago S. dorsalis dan T. hawaiiensis tertinggi ditemui pada bunga mekar sempurna sedangkan populasi larva tertinggi ditemui pada buah berumur 2 msa. Terjadi peningkatan populasi trips dari kuncup ke bunga mekar sempurna hingga mencapai puncaknya pada buah berumur 2 msa dan populasi menurun hingga buah berumur 16 msa. Terdapat korelasi antara kepadatan trips dengan kejadian burik pada buah manggis berumur 2 dan 3 msa. Hal ini mengindikasikan bahwa trips adalah penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis. Ditemukan 2 isolat bakteri patogen pada kulit buah manggis bergejala burik.

Kata kunci: persepsi petani, burik buah manggis, Scirtothrips dorsalis, Thrips hawaiiensis

(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

ASOSIASI TRIPS (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) DENGAN

BUNGA DAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana)

FARDEDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sobir, M.S.

Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Djatnika, M.S.

(9)

(Thysanoptera: Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana)

Nama : Fardedi

NIM : A361070011

Program Studi : Entomologi

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc.

Diketahui:

Ketua Program studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. NIP 195808251985031002 NIP. 196508141990021001

(10)

ﻡﻴﺣﺭﻟﺍﻦﻣﺣﺭﻟﺍﷲﺍﻡﺴﺒ

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Alloh SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Gejala Burik pada Buah Manggis: Asosiasi Trips (Thysanoptera: Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana)”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing yang terdiri dari Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. serta Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. sebagai anggota, atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan mulai penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Selain itu, ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Dirjen Dikti, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB berserta seluruh Staf Pengajar Program Studi Entomologi serta Fitopatologi, Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Entomologi.

Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya buat ayahanda H. Abdul Munir (alm) yang wafat tahun 1977 dan ibunda Hj. Rakiah Ahmad (almh) yang wafat tahun 2010 atas pendidikan, doa dan dukungnya sehingga penulis dapat menyelesaikan rangkaian pendidikan ini. Kepada istri tercinta Susi Desminarti dan anak-anakku Tio Rizky, Miranti F Putri terimakasih atas doa, dukungan dan dampingannya selama penyelesaian pendidikan, begitu pula dengan seluruh keluarga yang mendoakan penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak sempat kami sebut satu per satu yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi. Semoga semuanya mendapat balasan dari yang Maha Kuasa, Insya Alloh. Mudah-mudahan disertasi ini dapat berguna bagi kita semua. Aaamin.

Bogor, Agustus 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tahapan Penelitian ... 2

Tujuan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Tanaman Manggis ... 7

Interaksi antara Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Tanaman ... 9

Bioekologi Trips ... 13

Asosiasi Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Bunga dan Buah Manggis ... 14

Kerusakan Tanaman oleh Serangan Trips... 15

Perilaku Makan dan Oviposisi Trips ... 16

III. PERSEPSI DAN TINDAKAN PETANI MANGGIS TERHADAP BUAH BURIK ... 19

Abstract ... 19

Pendahuluan ... 19

Bahan dan Metode... 21

Hasil dan Pembahasan ... 21

Kesimpulan ... 29

Daftar Pustaka ... 29

IV. KAJIAN BURIK PADA BUAH MANGGIS ... 31

Abstract ... 31

Pendahuluan ... 31

Bahan dan Metode... 33

Hasil dan Pembahasan ... 37

Kesimpulan ... 45

(13)

V. TRIPS (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) PADA BUNGA DAN BUAH MANGGIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN

KEJADIAN BURIK PADA BUAH MANGGIS (Garcinia

mangostana) ... 49

Abstract ... 49

Pendahuluan ... 50

Bahan dan Metode... 51

Hasil dan Pembahasan ... 55

Kesimpulan ... 68

Daftar Pustaka ... 68

VI. PEMBAHASAN UMUM ... 73

VII KESIMPULAN UMUM ... 79

Kesimpulan ... 79

Saran ... 79

VIII DAFTAR PUSTAKA ... 80

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

3.1. Persebaran petani menurut usia ... 22

3.2. Latar belakang pendidikan responden ... 22

3.3. Pekerjaan petani responden selain usaha tani manggis ... 23

3.4. Pengalaman petani responden dalam berusahatani manggis ... 23

3.5. Jumlah pohon manggis yang diusahakan ... 24

3.6. Status kepemilikan lahan ... 24

3.7. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman manggis ... 25

3.8. Sistem budidaya manggis ... 25

3.9. Pemupukan tanaman manggis ... 26

3.10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit ... 26

3.11. Sistem pemasaran manggis yang dilakukan oleh petani responden ... 27

3.12. Pengetahuan petani responden terhadap standar mutu manggis .... 27

3.13. Persepsi petani responden tentang burik pada buah manggis ... 28

3.14. Persepsi petani responden tentang usaha pengelolaan burik pada buah manggis ... 28

3.15. Persepsi petani responden tentang informasi pengendalian buah burik ... 28

4.1. Skala nilai kerusakan... 34

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1. Peta tahapan penelitian gejala burik pada buah manggis dan asosiasi trips dengan bunga dan buah manggis ... 3 4.1. Pembagian posisi munculnya gejala burik pertama kali pada

buah manggis ... 34 4.2. Gejala burik yang muncul pertama kali pada buah manggis ... 37 4.3. Posisi munculnya gejala burik pertama kali pada buah manggis ... 37 4.4. Persentase kemunculan dan perkembangan intensitas gejala burik

pada buah manggis ... 38 4.5. Lapisan terluar kulit buah manggis ... 39 4.6. Persentase buah manggis berdasarkan skala penilaian gejala

burik selama periode panen bulan Januari hingga Februari 2010 .. 41 4.7. Sebaran vertikal buah manggis berdasarkan skala penilaian

gejala burik buah manggis selama periode panen bulan Januari hingga Februari 2010 ... 41 4.8. Perkembangan intensitas gejala burik selama periode panen

bulan Januari hingga Februari 2010 ... 42 4.9. Perkembangan intensitas gejala burik pada buah manggis hasil

panen petani dan pedagang pengumpul selama periode panen bulan Januari hingga Februari 2010 ... 43 4.10. Padatan total terlarut berdasarkan skala penilaian gejala burik

(0-4) pada buah manggis... 45 5.1. Scirtothrips dorsalis ... 56 5.2. Thrips hawaiiensis ... 57 5.3. Rataan populasi S. dorsalis, T. hawaiiensis dan larva trips pada

daun muda ... 58 5.4. Pertumbuhan buah manggis umur 1-16 msa ... 60 5.5. Rataan populasi imago S. dorsalis dan T. hawaiiensis pada

kuncup, bunga mekar sempurna hingga buah berumur 16 msa ... 61 5.6. Rataan populasi larva S. dorsalis dan T. hawaiiensis pada

kuncup, bunga mekar sempurna hingga buah berumur 16 msa ... 62 5.7. Kadar nitrogen, total gula dan kadar air pada bunga mekar

sempurna dan kulit buah berumur 1-16 msa ... 63 5.8. Jumlah trips yang terperangkap pada perangkap berperekat dan

(16)

5.9. Hubungan antara kepadatan trips dengan burik pada pengamatan 2 dan 3 msa ... 66 5.10. Hubungan antara kepadatan populasi trips dengan persentase

kemunculan gejala burik pada buah manggis ... 66 5.11. Jumlah sampel yang didiami oleh Trips dan kutu putih (E.

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(18)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Serangga trips dilaporkan sebagai penyebab burik pada manggis (Garcinia mangostana) (Pableo dan Velasco 1994; Affandi et al. 2008; Pankeaw et al.

2011). Burik pada buah manggis merupakan salah satu faktor pembatas ekspor buah manggis Indonesia. Hal ini terlihat dari masih rendahnya persentase ekspor manggis Indonesia dibandingkan total produksi. Tahun 2009 produksi manggis mencapai 105 558 ton dan yang dapat diekspor hanya 9 987 ton atau 9.46% dengan total nilai US$ 6 451 923 (BPS 2010). Walaupun demikian, ekspor buah manggis paling tinggi nilainya dibandingkan dengan buah-buahan lain yang lebih banyak diproduksi. Di Indonesia tanaman manggis tersebar hampir di seluruh provinsi di pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat merupakan pemasok buah manggis terbesar di Indonesia. Pangsa pasar utama ekspor buah manggis Indonesia adalah Taiwan, Cina, Singapura, Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (Deptan 2009).

Volume ekspor buah manggis yang masih rendah di antaranya diakibatkan oleh rendahnya mutu buah pada umumnya. Sistem produksi buah manggis saat ini masih tergantung pada alam, skala usahanya kecil dan terpencar serta minimnya sentuhan teknologi maju, sehingga kualitas buah yang dihasilkan masih rendah (Deptan 2009). Secara garis besar permasalahan mutu buah manggis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi (1) adanya burik pada kulit buah, (2) getah kuning pada daging buah dan (3) rendahnya shelflife buah (Poerwanto et al. 2010). Standar mutu buah manggis untuk ekspor meliputi ukuran (diameter), berat, warna, kemulusan, kelengkapan jumlah sepal yang berwarna hijau segar, tangkai buah berwarna hijau segar serta bebas dari cacat dan kerusakan. Buah manggis harus bebas dari gejala burik dan getah kuning (Deptan 2009).

(19)

serangan burik mencapai 23.84%. Penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis diduga karena aktivitas serangga trips.

Burik pada buah nectarine disebabkan oleh Frankliniella occidentalis

(Thysanoptera: Thripidae) (Felland et al. 1995). Pada buah jeruk burik disebabkan oleh F. bispinosa dan F. kelliae (Childers 1999), sedangkan pada buah alpukat burik disebabkan oleh Scirtothrips perseae (Thysanoptera: Thripidae) (Hoddle et al. 2002a).

Serangga trips pada buah dapat menimbulkan kerusakan berupa adanya rautan (scabbing) pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah. Serangan trips pada buah manggis tidak mempengaruhi hasil atau bagian yang dapat dimakan (edible portion), tetapi terjadi perubahan warna pada pemukaan buah yang mengakibatkan penampilan buah kurang menarik, menurunkan kualitas dan mengurangi nilai jual (Pableo dan Velasco 1994). Kerusakan tanaman akibat serangan trips dapat disebabkan oleh aktivitas makan dan oviposisi (Kirk 1997a).

Belum ada data tentang seberapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh burik pada buah manggis di Indonesia. Dengan hanya 9.46% dari total produksi manggis Indonesia yang dapat diekspor, diperkirakan kerugian yang dialami petani cukup besar. Dari survai yang telah dilakukan (bagian dari disertasi), petani mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% untuk setiap kg manggis akibat burik. Saat ini informasi tentang burik pada buah manggis di Indonesia baik penyebab maupun pengelolaannya masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang burik pada buah manggis.

Tahapan Penelitian

(20)

Gambar 1.1. Peta tahapan penelitian gejala burik pada buah manggis dan asosiasi trips dengan bunga dan buah manggis. Kotak berwarna gelap adalah tahapan penelitian yang merupakan bagian dari disertasi.

Burik pada buah manggis menjadi masalah ketika manggis sudah berstatus sebagai komoditas ekspor. Serangga trips dilaporkan sebagai penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis dan belum ada rekomendasi teknologi yang bisa diinformasikan kepada petani dalam rangka menekan munculnya kejadian gejala burik. Selain itu belum ada data yang menginformasikan kerugian yang diakibatkan oleh burik pada buah manggis di

(21)

Indonesia. Penelitian tentang burik pada buah manggis masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian burik pada tanaman buah buahan lainnya yang disebabkan oleh serangga trips seperti jeruk, nectarine dan alpukat sudah jauh berkembang terutama di benua Amerika.

Sebagai salah satu negara penghasil buah manggis terbesar di samping Thailand, Indonesia perlu melakukan kajian-kajian dalam rangka meningkatkan kualitas manggis sehingga secara ekonomi akan berdampak langsung pada petani manggis. Sistem usahatani manggis di Indonesia masih dikelola secara tradisional oleh petani, dengan demikian faktor petani merupakan tokoh sentral dalam budidaya manggis. Aspek petani, fenomena gejala burik dan serangga trips yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis menjadi fokus utama dalam rangkaian penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya menghasilkan buah manggis dengan intensitas gejala burik yang rendah.

Petani sebagai pelaku utama dalam sistem budidaya manggis berperan penting dalam pengambilan keputusan pada setiap tahapan kegiatan budidaya termasuk tindakan untuk melakukan upaya perlindungan tanaman dari organisme pengganggu tanaman. Menurut Untung (1996), proses pengambilan keputusan pengendalian hama terpadu (PHT) sangat ditentukan oleh kemampuan petani dalam mendiagnosis masalah dan kondisi lahannya. Diperlukan pula pemahaman tentang cara petani mempersepsikan hama tersebut, sikap dan keyakinannya, serta tindakan pengendalian yang dilakukannya (Rauf 1999). Penelitian tentang pengetahuan, persepsi dan tindakan petani terhadap burik buah manggis mengawali rangkaian penelitian ini. Survai dengan menggunakan kuesioner terstruktur bertujuan untuk mengumpulkan informasi dasar seperti pendidikan, kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola. Selain itu ditanyakan tentang budidaya, panen dan persepsi petani terhadap burik pada buah manggis.

(22)

fenologi tanaman manggis. Untuk itu dilakukan penelitian tentang kemunculan dan perkembangan gejala burik, kerusakan jaringan kulit buah manggis akibat burik dan intensitas gejala burik.

Informasi tentang waktu kemunculan gejala burik yang dikaitkan dengan fenologi buah manggis dan serangga trips yang berasosiasi perlu diketahui. Kelimpahan populasi suatu spesies serangga dalam suatu ekosistem diantaranya dipengaruhi oleh faktor fisik dan kesesuaian dengan tanaman inang. Selain itu fenologi dan habitat mikro dalam kanopi tanaman inang juga berpengaruh terhadap kelimpahan dan dinamika populasi trips. Selain itu manggis merupakan tanaman yang mempunyai sifat berbunga dan berbuah musiman. Pembentukan bunga manggis diawali dengan inisiasi tunas bakal bunga. Tunas bakal bunga akan membesar, kemudian tunas pecah membentuk kuncup bunga. Kuncup bunga akan mengalami pertumbuhan sehingga terus membesar dan mencapai ukuran maksimum pada saat anthesis. Waktu yang diperlukan mulai dari terinisiasinya pucuk hingga mencapai anthesis berkisar antara 39 sampai 40 hari (Ropiah 2009). Selanjutnya dari anthesis hingga buah manggis matang membutuhkan waktu 100 hingga 120 hari. Periode pembentukan kuncup, anthesis hingga buah matang merupaka periode kritis yang akan mempengaruhi penampilan tanaman dan diduga akan berdampak pada kelimpahan populasi trips pada kuncup, bunga dan buah manggis. Trips diketahui serangga dengan tipe seleksi r yang dapat memanfaatkan sumberdaya yang muncul dalam waktu terbatas (Mound 1997).

Tujuan Penelitian

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Manggis

Distribusi Tanaman Manggis

Manggis merupakan salah satu buah tropis yang berasal dari Indonesia dan kawasan Asia Tenggara (Almeyda dan Martin 1976). Pada awalnya pembudidayaan tanaman manggis hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara mulai dari Indonesia hingga Papua Nugini dan Mindanao Philipina dan ke arah utara dari Malaysia hingga Birma, Vietnam dan Kamboja. Namun saat ini tanaman manggis sudah banyak dibudidayakan di daerah lainnya termasuk Srilangka, India Selatan, Amerika Tengah, Brazil dan Australia (Verheij 1992).

Pada tahun 2008 luas panen tanaman manggis di Indonesia mencapai 9 354 ha, dan hampir tersebar di semua pulau. Daerah Jawa Barat memiliki luas panen tertinggi yaitu 2 678 ha, diikuti berturut-turut oleh daerah Sumatera Barat (1 049 ha), Jawa Timur (671 ha), Sumatera Utara (657 ha) dan Banten dengan luas panen sebanyak 625 ha (Deptan 2009).

Morfologi Tanaman Manggis

Manggis merupakan tanaman pohon berkayu keras dengan tinggi mencapai 6 - 25 meter. Pohon tegak lurus dengan percabangan simetris membentuk kerucut. Seluruh bagian tanaman dapat mengeluarkan getah kuning yang lengket dan kental (Verheij 1992).

Daun manggis berhadapan menyilang dan pada pasangan daun teratas tangkainya menutupi kuncup terminal. Lembaran daun berbentuk lonjong berukuran 15 - 25 cm x 7 - 13 cm, tebal, pinggiran daun rata dengan bagian ujung meruncing dan licin. Permukaan atas daun berwarna hijau tua sedangkan permukaan bawah berwarna hijau kekuningan dengan tulang daun hijau pucat dan menonjol pada kedua sisi (Verheij 1992).

(24)

dasar ovari. Benang sari bebas dan pendek muncul bersamaan pada dasar bunga dengan panjang 0.5 cm. Ovari melekat pada dasar bunga, hampir bulat dengan 4 - 8 ruang (Verheij 1992).

Pembentukan bunga manggis diawali dengan inisiasi tunas bakal bunga. Pucuk yang akan berbunga, pangkal tunas barunya tampak membesar dan membengkak kemudian tunas pecah membentuk kuncup bunga. Kuncup bunga akan mengalami pertumbuhan sehingga terus membesar dan mencapai perkembangan maksimum pada saat terjadinya anthesis atau bunga mekar. Waktu yang diperlukan mulai dari terinisiasinya pucuk hingga mencapai anthesis antara 39 sampai 40 hari (Ropiah 2009). Selanjutnya dari anthesis hingga buah manggis matang membutuhkan waktu 100 hingga 120 hari (Yaacob dan Tindall 1995).

Permukaan kulit buah manggis atau pericarp halus, mempunyai ketebalan 4 - 8 mm. Pada buah yang tua pericarp mengeras, bagian luar berwarna ungu kecoklatan dan bagian dalam berwarna ungu serta mengandung getah kuning yang pahit. Jika buah muda dilukai maka getah kuning akan menetes keluar. Pada buah yang matang, struktur kulit yang keras merupakan pelindung yang sangat baik bagi daging buah yang lembut dan sifat buah ini memudahkan pengepakan dan pengangkutan. Buah manggis memiliki 4 - 8 segmen dan setiap segmen mengandung satu bakal biji yang diselimuti oleh aril yang berwarna putih, empuk dan mangandung sari buah (Yaacob dan Tindall 1995).

Menurut Osman dan Millan (2006), pola pertumbuhan buah manggis membentuk kurva sigmoid. Pertumbuhan diawali dengan dominasi pertumbuhan pericarp hingga 20 hari setelah anthesis dan dilanjutkan dengan perkembangan aril dan biji. Hasil penelitian Gunawan (2007) juga memperlihatkan pola pertumbuhan dan perkembangan buah manggis berupa sigmoid. Pertumbuhan buah lambat pada waktu 1 - 3 minggu setelah anthesis (msa), selanjutnya cepat pada waktu 4 - 11 msa, lalu kembali lambat pada minggu 12 - 14 msa dan kemudian tidak ada pertumbuhan hingga 15 - 16 msa. Pada umur 15 - 16 msa, buah mencapai ukuran yang maksimum.

Burik pada Buah Manggis

(25)

umumnya disebabkan oleh aktivitas semut dan serangga pengisap (aphids) pada buah ketika masih kecil atau bahkan pada bunga baru mekar, karena bunga menghasilkan nektar sebagai makanan semut. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penyebab burik adalah trips (Pableo dan Velasco 1994; Affandi et al.

2008; Pankeaw et al. 2011).

Buah manggis yang terserang hama trips menampakkan gejala kulit buah berwarna keperakan, kuning pucat hingga kecoklatan, adanya luka yang memanjang dan mengeras dapat menutupi seluruh permukaan buah. Buah yang burik terkadang dapat terhambat perkembangannya hingga tidak dapat mencapai ukuran normal (Affandi et al. 2008). Menurut Felland et al. (1995), burik pada buah nectarine disebabkan oleh Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Pada buah jeruk burik disebabkan oleh F. bispinosa dan F. kelliae

(Childers 1999). Pada buah alpukat burik disebabkan oleh Scirtothrips perseae

(Thysanoptera: Thripidae) (Hoddle et al. 2002a). Menurut Pableo dan Velasco (1994), serangan hama trips pada buah manggis dapat menimbulkan kerusakan seperti adanya bekas garukan (scabbing) pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah dan mengurangi nilai jual, tetapi tidak mempengaruhi bagian yang dapat dimakan. Pengamatan lebih mendalam tentang burik pada buah manggis sangat diperlukan.

Interaksi antara Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Tanaman

(26)

preferensi, serangga cenderung untuk tidak memilih tanaman sebagai makanan, tempat bertelur atau tempat berlindung (Painter 1951).

Dalam proses seleksi tanaman inang, terdapat perilaku dengan tahap yang berurutan yaitu proses pencarian kemudian serangga melakukan pengujian secara kontak. Pencarian berakhir dengan penemuan, sedangkan pengujian secara kontak berakhir dengan penerimaan atau penolakan. Penerimaan itu merupakan keputusan yang penting karena akan dilanjutkan dengan memakan atau meletakkan telur, dan hal ini akan beresiko terhadap kesehatan serangga tersebut dan kelangsungan hidup keturunannya (Schoonhoven et al. 2005).

Menurut Kogan (1982), pemilihan tanaman inang oleh serangga melalui lima tahapan yaitu: 1) penemuan habitat inang; 2) penemuan inang; 3) pengenalan inang; 4) penerimaaan inang; dan 5) kesesuaian inang. Penemuan habitat inang pada umumnya dipandu oleh rangsangan fisik seperti cahaya, angin dan daya tarik bumi. Penemuan inang didorong oleh indera penglihatan terhadap warna dan bentuk tanaman, dan indera penciuman terhadap senyawa kimia tanaman. Penilaian kelayakan tanaman sebagai sumber nutrisi dilakukan dengan menggunakan sensor kimia. Penerimaan atau penolakan terhadap tanaman inang dilakukan setelah serangga mengetahui kandungan kimia tanaman. Nilai nutrisi tanaman dan kandungan senyawa yang bersifat toksik akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan serangga, serta mempengaruhi keperidian dan lama hidup imago. Faktor fisik dan kimia tanaman sangat berpengaruh dalam proses pemilihan dan penentuan inang. Faktor tersebut tidak bekerja secara tunggal, tetapi bersama-sama membentuk suatu sistem pertahanan tanaman.

(27)

mendekati hijau (Teulon dan Penman 1992), S. dorsalis tertarik pada warna kuning (Chu et al. 2006). F. intonsa dan Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) tertarik pada warna biru, T. palmi pada warna biru atau putih, sedangkan T. obscuratus tertarik pada warna kuning (Lewis 1997).

Selain warna, aroma bunga tanaman inang dapat menarik trips sehingga trips menggunakannya untuk mendeteksi keberadaan inangnya meskipun tanpa warna. Aldehid adalah senyawa bunga yang pertama kali memperlihatkan dapat menarik trips. F. occidentalis tertarik pada senyawa volatil seperti benzenoid dan monoterpene (Koschier et al. 2000), sedangkan T. hawaiiensis tertarik pada senyawa methyl anthranilate (Imai et al. 2001). Ketertarikan trips terhadap aroma yang dihasilkan tanaman dimanfaatkan sebagai kombinasi dalam pembuatan perangkap berperekat. Penambahan aldehid pada perangkap berperekat menghasilkan jumlah tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang tidak diberi aldehide (Lewis 1977).

Ketika kontak dengan tanaman, serangga memperoleh informasi tambahan tentang kualitas tanaman yang belum dapat diakses pada tahap pemilihan tanaman inang sebelumnya. Bentuk fisik atau jaringan tanaman dapat mempengaruhi pemilihan tanaman inang. Kehadiran trikoma dan struktur kristal lilin pada permukaan tanaman, kekerasan dan ketebalan daun, sklerotisasi atau pengerasan dan kandungan silika yang tinggi dapat menyebabkan perilaku penghindaran oleh serangga. Ciri tanaman seperti itu sering diasumsikan sebagai suatu fungsi pertahanan tanaman (Schoonhoven et al. 2005).

Protein, gula, fosfolipid, garam-garam anorganik, mineral dan vitamin yang terdapat dalam tanaman dapat berfungsi sebagai perangsang makan atau penolak makan serangga. Konsentrasi gula dan asam amino pada beberapa bagian tanaman berbeda dan bervariasi, variasi ini juga digunakan sebagai isyarat penting untuk serangga ketika memilih lokasi makanan (Schoonhoven et al. 2005).

(28)

penelitian Brodbeck et al. (2001) menunjukkan bahwa populasi betina F. occidentalis pada bunga tomat berkorelasi positif dengan konsentrasi asam amino aromatic primer fenilalanin pada bunga.

Menurut Southwood (1978), nutrisi yang mengandung unsur nitrogen seperti protein dan sterol sangat mempengaruhi keperidian serangga betina. Kogan (1982) menyatakan bahwa kandungan nutrisi dalam tanaman bergantung pada jenis tanaman, bagian tanaman, umur tanaman dan musim. Serangga trips dapat membedakan di antara tanaman yang sesuai sebagai inangnya (Delphia dan Mescher 2007).

Di samping metabolit primer yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanaman juga menghasilkan senyawa berupa metabolit sekunder. Banyak senyawa yang aktif secara biologis diketahui beracun bagi hewan, cendawan atau mikroorganisme, yang lainnya mempunyai fungsi ekologi yang berbeda. Oleh karena itu, senyawa ini sangat penting dalam seleksi inang oleh serangga fitofag. Whittaker dan Feeny (1971) menyebut senyawa metabolit sekunder tersebut sebagai allelokimia tanaman.

Pada manggis ditemukan berbagai senyawa metabolit sekunder (Chaverri et al. 2008). Pada buah manggis dalam tahap pematangan terdapat metabolit sekunder berupa senyawa antosianin yaitu sophoroside, cyanidin-3-glucoside dan cyanidin-3-glycoside. Perubahan warna pada permukaan kulit manggis sangat berkaitan dengan peningkatan konsentrasi antosianin seperti cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin-3-glucoside (Palapol et al. 2009). Menurut Lev Yadun dan Gould (2009), antosianin berfungsi sebagai bahan kimia repellent

dan sebagai pertahanan tanaman dari orientasi visual serangga herbivor. Antosianin tidak bersifat racun bagi spesies hewan tingkat tinggi dan aman sebagai pewarna makanan (Lee dan Brammeier 1987).

(29)

tanaman terhadap serangga (Terry 1997). Senyawa volatil yang terdapat pada tanaman Origannum majorana dan Rosmarinum officinalis bersifat antifeedant

dan deterrent terhadap T. tabaci (Koschier dan Sedy 2002). Sebaliknya F. occidentalis akan memilih daun paprika yang mengandung asam amino aromatik dengan konsentrasi yang tinggi (Terry 1997). Senyawa sekunder tanaman manggis dan perannya terhadap serangga herbivora khususnya trips belum diketahui.

Bioekologi Trips

Perkembangan trips merupakan peralihan hemimetabola dan holometabola. Siklus hidup trips terdiri dari telur, dua instar larva yang aktif makan, selanjutnya pra pupa yang diikuti oleh satu atau dua instar pupa yang tidak makan. Perkembangan trips dari telur, nimfa, pra pupa sampai imago umumnya berlangsung selama 2 hingga 3 minggu (Ananthakrishnan 1993; Mound dan Kibby 1998). Telur berukuran relatif kecil, trips betina famili Thripidae memasukkan telur ke dalam jaringan tanaman. Setiap individu betina mampu menghasilkan 30 hingga 300 telur tergantung spesies dan kualitas nutrisinya. Larva trips terlihat sama dengan imago yang tanpa sayap, pra pupa dan pupa memiliki antena dan tungkai yang sangat pendek. Sebagian larva jatuh ke tanah untuk berpupa meski tidak berlaku untuk semua spesies. Pada daerah panas dan di rumah kaca perkembangbiakan dapat berlangsung 12 hingga 15 generasi tiap tahunnya (Lewis 1973; Mound 2006).

(30)

Asosiasi Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Bunga dan Buah Manggis

Artopoda fitofag yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis merupakan suatu komunitas. Begon et al. (1986) mendefinisikan komunitas sebagai kelompok spesies populasi yang dapat hidup bersama dalam suatu ruang dan waktu. Unsur komunitas dalam ekosistem pertanian dapat berupa tanaman, artropoda (fitofag, predator, parasitoid) dan pengurai, sedangkan unsur abiotik dapat berupa suhu, kelembaban udara, angin, cahaya, hujan dan tanah (Price 1984). Dengan demikian komunitas serangga pada bunga dan buah manggis merupakan berbagai spesies serangga yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis baik sebagai herbivora, predator, parasitoid, penyerbuk, pengurai dan yang tinggal sementara.

Berbagai jenis artropoda dilaporkan berperan sebagai hama pada tanaman manggis khususnya pada bunga dan buah. Artropoda hama pada fase bunga dan buah pada tanaman manggis meliputi serangga dari Ordo Coleoptera (Famili Nitidulidae, Scolytidae); Diptera (Famili Drosophilidae, Tephritidae); Hemiptera (Famili Aphididae, Asterolecaniidae, Coccidae, Delphacidae, Diaspididae, Pseudococcidae); Hymenoptera (Famili Formicidae); Lepidoptera (Famili Noctuidae, Tortricidae ) dan Thysanoptera (Famili Thripidae) serta Acarina (Famili Tenuipalpidae, Tarsonemidae) (USDA (2005).

Pableo dan Velasco (1994) melaporkan adanya 3 spesies trips yang menyerang buah manggis di Philipina yaitu Heliothrips haemorrhoidales

(Bouche), Selenothrips rubrocinctus (Giard) dan Caliothrips striatopterus

(31)

warna keperakan berkembang menjadi kuning pucat hingga kecoklatan. Selain trips, tungau juga diketahui dapat menyerang buah manggis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tungau adalah adanya bekas goresan halus karena aktivitas menggaruk pada permukaan kulit buah manggis dan mengakibatkan buah manggis tidak menarik (Osman dan Millan 2006).

Kerusakan Tanaman oleh Serangan Trips

Berdasarkan bagian tanaman yang diserang, hama dapat dikelompokkan menjadi hama langsung dan tidak langsung. Hama langsung adalah hama yang menyerang bagian tanaman yang dipanen atau dipasarkan, sedangkan hama tidak langsung menyerang bagian tanaman bukan pada bagian yang dipanen. Kerusakan secara langsung oleh serangga dapat diakibatkan karena aktivitas makan dan peletakkan telur, sedangkan kerusakan secara tidak langsung dapat juga karena aktivitas makan tapi bukan pada bagian yang dipanen dan kontaminan exuvia serangga itu sendiri yang dapat mengurangi nilai jual dari produk tersebut (Dent 2000).

Trips menyerang tanaman sejak tanaman ada di persemaian. Hama ini meraut daun, tunas dan buah serta mengisap cairan tanaman dengan menggunakan alat mulutnya. Warna daun yang terserang trips berubah menjadi coklat pada bagian pinggir kemudian berubah menjadi keperak-perakan, dan akhirnya mengeriting serta melengkung ke atas (Hudson dan Adams 1999). Pada tanaman alpukat, serangan Scirtothrips perseae mengakibatkan burik pada buah alpukat. Hal ini akan berakibat turunnya kualitas buah karena kulit buah tampak tidak menarik (Hoddle et al. 2002a).

(32)

Kerusakan tanaman secara langsung akibat serangan trips dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat populasi trips, jenis jaringan yang dimakan, fase pertumbuhan tanaman, kerentanan kultivar, kedalaman makan dan adanya daya racun dalam kelenjar ludah (Childers 1997). Kerusakan utama yang ditimbulkan oleh trips pada tanaman pertanian terutama disebabkan oleh aktivitas makan pada daun, bunga atau buah, serta aktivitas oviposisi (Kirk 1995). Belum ada informasi yang melaporkan gejala burik yang berasosiasi dengan trips dan organisme lainnya.

Perilaku Makan dan Oviposisi Trips

Alat mulut Ordo Thysanoptera terletak pada bagian bawah kepala dan membentuk corong mulut (mouthcone). Struktur tersebut terdiri dari satu stilet mandibel dan dua stilet maksila. Pada saat makan, trips menggunakan stilet mandibel untuk menusuk pada dinding luar jaringan dan kemudian menggunakan stilet maksila untuk mengisap cairan dari dalam jaringan (Kirk 1997a).

Umumnya trips dapat makan pada berbagai jaringan tanaman (daun, bunga, buah, polen) dan beberapa jaringan cendawan seperti spora dan hifa. Perilaku makan trips serupa untuk seluruh jaringan tanaman. Setelah hinggap pada tanaman, trips berjalan melingkar pada permukaan tanaman. Ketika menemukan titik yang tepat, imago dan larva menggunakan mandibel untuk meraut permukaan tanaman dengan cara mendorong kepala dan menarik kembali moncongnya. Sepasang stilet maksila kemudian masuk melalui bukaan yang telah dihasilkan oleh mandibel, dan biasanya meninggalkan bekas lubang berbentuk seperti angka 8 pada kutikula daun. Otot cibarial membantu mengisap cairan sel tanaman di sepanjang saluran, dan secara bergantian saliva masuk ke dalam jaringan tanaman melalui saluran yang sama dengan bantuan pompa saliva. Aktivitas makan tersebut mengakibatkan kerusakan sel. Bila kerusakan terjadi pada ovarium bunga maka pada perkembangan buah akan tampak bekas garukan, sehingga mengurangi kualitas buah (Kirk 1997a; Mound 2005). Bekas aktivitas makan tampaknya yang berkembang menjadi gejala burik.

(33)
(34)

(Farmer’s Perception and Action to the Mangosteen Fruit Scar)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar berbagai aspek menyangkut persepsi dan tindakan petani terhadap burik pada buah manggis. Survei dilakukan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang berlangsung pada bulan Desember 2009 - Januari 2010 dan di Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat yang berlangsung pada bulan Februari - Maret 2011. Petani manggis yang diwawancarai berjumlah 40 orang. Hasil survei menunjukkan bahwa jumlah tanaman manggis yang dikelola petani adalah 50 - 100 pohon pada lahan seluas 0.25 - 1 ha sebagian besar adalah milik sendiri. Pengalaman berusahatani manggis berkisar antara 10 - 15 tahun dan seluruh petani manggis mengetahui adanya burik pada buah manggis tetapi tidak mengetahui penyebab munculnya gejala burik. Seluruh petani mengetahui bahwa burik menyebabkan rendahnya kualitas manggis dan mengalami kerugian harga sebesar 38.93%, tetapi petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (77.5%) menyatakan belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang cara mengatasi burik pada buah manggis.

Kata kunci: survei petani, buah manggis burik, persepsi petani Abstract

The aim of this study was to obtain some basic information about farmer’s perception and action to the mangosteen fruit scar appearance. Survey was conducted in Karacak Village, Leuwiliang Subdistric, Bogor Distric, West Java during December 2009 to January 2010 and in Bukit Bulat Village, Bukit Barisan Subdistric, 50 Kota Distric, West Sumatera, during February to March 2011. From the interview (40 respondents), it was recorded that generally the farmers have 50 - 100 trees in their own area of 0.25 - 1 ha. The farmers have 10 - 15 years experiences in mangosteen planting. The farmers could recognize the scar but they could not identify the cause of the scar appearance. All farmers realized that the scar could reduce the quality of fruit. Despite they could loss 38.93% of price, the farmer has not applied any methods in order to control the scar. Most of them (77.5%) have never been trained to manage the fruit scar.

Keywords: survey, mangosteen scar, farmer’s perception Pendahuluan

(35)

Barat dan Sumatera Barat merupakan pemasok buah manggis terbesar di Indonesia (Deptan 2009).

Pola usahatani manggis umumnya masih skala kecil yaitu tumbuh di lahan-lahan pekarangan, lahan-lahan kosong, pada lahan-lahan bersama tanaman lainnya (polikultur) dan berpencar. Sebagian besar tanaman manggis yang ada sekarang adalah tanaman warisan yang ditanam dengan jarak tanam tidak teratur, serta ditanam bersama dengan tanaman tahunan lainnya.

Permasalahan yang dihadapi oleh petani manggis cukup banyak mulai dari sistem budidaya, panen dan penanganan pasca panen serta sistem pemasaran. Permasalah utama dalam sistem produksi manggis adalah rendahnya mutu buah yang dihasilkan karena adanya burik pada kulit buah, getah kuning pada daging buah dan rendahnya shelflife buah (Poerwanto et al. 2010). Kondisi ini berdampak pada rendahnya volume ekspor manggis Indonesia. Tercatat pada tahun 2009 volume ekspor hanya 9 987 ton atau 9.46% dari total produksi (BPS 2010).

Sistem usahatani manggis pada saat ini umumnya dikelola secara tradisional oleh petani, dengan demikian faktor petani menjadi tokoh sentral dalam budidaya manggis. Informasi tentang persepsi dan tindakan petani tentang pengelolaan burik pada buah manggis penting untuk digali, hal ini di Indonesia belum pernah dilaporkan. Selain itu, diperlukan pula pemahaman tentang cara petani mempersepsikan hama tersebut, sikap dan keyakinannya serta tindakan pengendalian yang dilakukannya. Survei dasar petani yang meliputi survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani sangat penting dalam membuat rekomendasi teknologi (Rauf 1996).

(36)

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2009 – Januari 2010 pada petani manggis di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan Februari hingga Maret 2011 di Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat. Pemilihan daerah tersebut sebagai lokasi penelitian adalah karena daerah tersebut memiliki area tanaman manggis yang luas dan merupakan sentra produksi manggis.

Penentuan Sampel

Responden terpilih ditentukan secara purposive sampling yaitu petani yang memiliki atau mengelola kebun manggis. Jumlah responden keseluruhan untuk masing masing lokasi adalah 20 orang.

Peubah Penelitian dan Metode Analisis

Penelitian dilakukan dengan mewawancarai petani manggis dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka (Lampiran 1). Peubah yang ditanyakan kepada petani meliputi faktor internal petani seperti pendidikan, kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola. Selain itu ditanyakan pula tentang budidaya, panen dan persepsi petani terhadap burik pada buah manggis. Data yang diperoleh berupa data primer dari petani, kemudian data dianalisis berdasarkan frekuensi jawaban petani dan tabulasi.

Data % kerugian akibat burik diperoleh dengan cara membandingkan jumlah kerugian yang ditimbulkan menurut petani dibandingkan dengan harga buah manggis yang berlaku saat wawancara dilakukan.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Petani Manggis

(37)

Desa Bukit Bulat termasuk petani produktif sehingga masih berpotensi untuk mengembangkan diri dan masih terbuka untuk menerima inovasi guna meningkatkan kemampuan dalam usaha budidaya tanaman manggis.

Tabel 3.1. Persebaran petani menurut usia (%)

Lokasi Usia (tahun)

20 - 30 31- 40 41 - 50 51 - 60 > 60

Desa Karacak 5 35 20.0 20 20.0

Desa Bukit Bulat 5 05 35.0 40 15.0

Rataan 5 20 27.5 30 17.5

Dari segi pendidikan, umumnya petani responden (45%) adalah lulusan SLTP dan 25% tamatan SLTA (Tabel 3.2). Sebanyak 5% petani responden di Desa Karacak dan Bukit Bulat pernah kuliah dan alumni perguruan tinggi dan 47,5% petani responden pernah mengikuti pelatihan tentang budidaya manggis. Tingkat pendidikan petani manggis di lokasi penelitian cukup baik jika dibandingkan dengan kondisi pendidikan petani Indonesia pada umumnya. Menurut Palebangan et al. (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya.

Tabel 3.2. Latar belakang pendidikan responden (%)

Lokasi

Pendidikan Tidak

tamat SD SD SLTP SLTA PT

Desa Cengal 0 20 45 30 5

Desa Bukit Bulat 10 20 45 20 5

Rataan 5 20 45 25 5

(38)

petani responden mempunyai pekerjaan lain seperti pedagang (12.5%), pegawai negeri sipil (7.5%) dan usaha lainnya (12.5%). Tanaman manggis merupakan tanaman tahunan yang berproduksi musiman dianggap tidak membutuhkan curahan waktu yang banyak, dengan demikian petani memiliki waktu luang untuk bekerja di bidang lainnya.

Tabel 3.3. Pekerjaan petani responden selain usahatani manggis (%)

Lokasi Pekerjaan

Petani Pedagang PNS Lain lain

Desa Karacak 40 25 10 25

Desa Bukit Bulat 95 0 5 0

Rataan 67.5 12.5 7.5 12.5

Petani di Desa Karacak dan Bukit Bulat cukup berpengalaman dalam budidaya tanaman manggis, 65% di antaranya berpengalaman antara 10 - 20 tahun, 32.5% berpengalaman kurang dari 10 tahun dan 2.5% berpengalaman lebih dari 20 tahun (Tabel 3.4). Berdasarkan data persebaran usia responden pada Tabel 3.1 bahwa lebih dari 50% responden berumur 20-50 tahun, data pada Tabel 3.4 menunjukkan bahwa potensi sumberdaya petani dalam keberlanjutan mengelola usaha manggis cukup baik.

Tabel 3.4. Pengalaman petani responden dalam berusahatani manggis (%)

Lokasi

Pengalaman berusahatani manggis (tahun)

< 5 5-10 10-15 15-20 > 20

Desa Karacak 30 25 25 15 5

Desa Bukit Bulat 5 5 50 40 0

Rataan 17.5 15 37.5 27.5 2.5

(39)

Tabel 3.5. Jumlah pohon manggis yang diusahakan (%)

Lokasi Jumlah pohon manggis yang diusahakan (pohon)

<50 50 - 100 101 - 250 251 - 500 501 - 1000 >1000

Desa Karacak 30 30 35 0 0 5

Desa Bukit Bulat 10 60 25 5 0 0

Rataan 20 45 30 2.5 0 2.5

Umumnya (85%) lahan yang digunakan oleh petani responden untuk budidaya manggis adalah milik sendiri dan petani berperan langsung sebagai penggarap, sisanya adalah sebagai penyewa (Tabel 3.6). Luas lahan yang diusahakan petani responden untuk mengusahakan tanaman manggis relatif sempit. Sebanyak 32.5% petani responden mengelola lahan seluas 0.25 - 0.5 ha, 30% lainnya mengelola lahan seluas 0.5 - 1 ha. Petani responden yang mengelola lahan kurang dari 0.25 ha cukup banyak yaitu 27.5% dan sebaliknya hanya 10% yang mengelola tanaman manggis lebih dari 1 ha (Tabel 3.7). Dengan luas lahan yang sempit maka jumlah tanaman manggis yang dikelola petani juga sedikit (Tabel 3.5).

Tabel 3.6. Status kepemilikan lahan (%)

Lokasi Status kepemilikan lahan

Pemilik - penggarap Penyewa Penggarap

Desa Karacak 90 10 -

Desa Bukit Bulat 80 20 -

Rataan 85 15 -

(40)

Tabel 3.7. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman manggis (%)

Lokasi Luas pengusahaan kebun manggis (ha) <0.25 0.25 - 0.5 0.5 - 1 >1

Desa Karacak 35 35 25 5

Desa Bukit Bulat 20 30 35 15

Rataan 27.5 032.5 30 10

Sistem Budidaya Manggis

Tanaman manggis tidak ditanam secara monokultur, tetapi merupakan polikultur dengan tanaman lainnya (97.5%), karena itu tanaman tidak memiliki jarak tanam yang teratur (100%) (Tabel 3.8). Hal ini disebabkan tanaman yang ada saat ini adalah tanaman yang sudah ada sejak dulu secara turun temurun dan ditanam dengan memanfaatkan lahan kosong sehingga tidak tertata sebagaimana layaknya perkebunan. Umumnya tanaman manggis ditanam bersama dengan tanaman tahunan lainnya seperti durian, jengkol, petai, melinjo, kopi dan kakao.

Tabel 3.8. Sistem budidaya manggis (%)

Lokasi

Pola tanam Jarak tanam Mono

kultur

Poli

kultur Hutan Teratur

Tidak teratur

Desa Karacak 0 95 5 0 100

Desa Bukit Bulat 0 100 0 0 100

Rataan 0 97.5 2.5 0 100

(41)

Tabel 3.9. Pemupukan tanaman manggis (%)

Seluruh petani responden di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tidak melakukan aplikasi pestisida pada tanaman manggis. Hal ini sangat baik mengingat manggis sudah menjadi komoditas ekspor. Dari hasil wawancara secara mendalam yang dilakukan terungkap bahwa pemupukan tidak dilakukan secara rutin, sering hanya terkait dengan kegiatan program tertentu yang umumnya adalah bantuan pemerintah. Menurut informasi petani responden khususnya di Desa Bukit Bulat, aplikasi pestisida pernah digunakan pada waktu tanaman masih dalam fase bibit di lapangan untuk mengatasi hama belalang. Ketika tanaman manggis sudah menghasilkan petani tidak pernah melakukan aplikasi pestisida.

Tabel 3.10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit (%)

Lokasi

Gulma Hama dan penyakit

Dikendalikan Tidak Dikendalikan* Tidak dikendalikan dikendalikan

Desa Karacak 75 25 0 100

Desa Bukit Bulat 55 45 25 75

Rataan 65 35 12.5 87.5

* dengan pestisida

Panen dan Pemasaran Manggis

Sistem pemasaran yang paling banyak dilakukan adalah melalui pedagang pengumpul atau kelompok tani (92.5%) sisanya dijual dengan sistem ijon (7.5%). Tidak ada petani yang menjual langsung hasil panen manggis ke eksportir (Tabel 3.11). Di Desa Karacak sebagian petani sudah bernaung dalam kelompok atau lembaga yang salah satu tujuannya adalah untuk melindungi petani manggis terutama dari permainan harga oleh pedagang pengumpul atau tengkulak.

(42)

pemanenan yang baik dan benar. Menurut Deptan (2009), sistem ijon yang banyak terjadi di sentra produksi manggis ternyata lebih cenderung merusak tanaman karena pemanenan tidak memperhatikan persyaratan panen yang ada dan tidak mendorong petani untuk melakukan pemeliharaan tanaman manggisnya.

Tabel 3.11. Sistem pemasaran manggis yang dilakukan oleh petani responden

Lokasi

Pengetahuan petani di Desa Karacak tentang standar mutu buah manggis lebih baik dari pada Desa Bukit Bulat. Sebanyak 70% petani responden di Desa Karacak mengetahui standar mutu manggis dibandingkan dengan di Desa Bukit Bulat yang hanya mencapai 45% (Tabel 3.12). Walaupun petani mengetahui standar mutu buah manggis, pada saat jual beli penyortiran dilakukan bukan oleh petani namun oleh pedagang pengumpul atau kelompok tani. Sebagian petani telah melakukan kegiatan sortasi sebelum dijual ke pedagang pengumpul guna menaikkan harga jual, tetapi sortasi hanya dilakukan terhadap buah manggis yang berkualitas sangat rendah yang nantinya dijual terpisah. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa buah burik dan getah kuning menjadi penyebab utama rendahnya mutu buah manggis yang diperoleh.

Tabel 3.12. Pengetahuan petani responden terhadap standar mutu manggis (%)

Lokasi Standar mutu buah manggis

Tahu Tidak tahu

Desa Karacak 70 30

Desa Bukit Bulat 45 55

Rataan 57.5 42.5

Pengetahuan Burik pada Buah Manggis

(43)

(87.5%) (Tabel 3.13). Petani di Bukit Bulat menyebut buah burik sebagai buah

kosek karena permukaan kulit buah manggis terasa kasar.

Tabel 3.13. Persepsi petani responden tentang burik pada buah manggis (%)

Lokasi

Pengetahuan

Buah burik Penyebab buah burik Tahu Tidak tahu Tahu Tidak tahu

Desa Karacak 100 0 10 90

Desa Bukit Bulat 100 0 15 85

Rataan 100 0 12.5 87.5

Petani mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% per kg akibat burik. Sebanyak 27.5% petani melakukan pengendalian gulma, namun sebagian besar (72.5%) tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik pada buah manggis (Tabel 3.14).

Tabel 3.14. Persepsi petani responden tentang usaha pengelolaan burik pada buah manggis (%)

Lokasi Upaya pengelolaan buah burik

Pestisida Penyiangan gulma Dibiarkan saja

Desa Karacak 0 35 65

Desa Bukit Bulat 0 20 80

Rataan 0 27.5 73

Walaupun burik sudah menjadi masalah bagi petani manggis, belum ada upaya dari pihak pihak terkait untuk memberikan penyuluhan atau pelatihan kepada petani untuk mengatasi burik pada buah manggis. Hal ini terlihat dari jawaban petani responden (Tabel 3.15) sebagian besar petani menyatakan belum pernah mendapatkan penyuluhan (77.5%) dan sebanyak 22.5% menyatakan pernah mendapatkan penyuluhan tentang buah burik.

Tabel 3.15. Persepsi petani responden tentang informasi pengendalian buah burik (%)

Lokasi Penyuluhan mengatasi buah burik

Tidak pernah Pernah

Desa Karacak 70 30

Desa Bukit Bulat 85 15

(44)

Kesimpulan

Sebagian besar petani manggis berumur 20 - 50 tahun dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Petani responden tidak sepenuhnya mengandalkan pendapatan dari berusahatani manggis karena juga memiliki pekerjaan lain yang sebagian besar juga di bidang pertanian, pedagang dan pegawai negeri sipil. Umumnya petani responden memiliki lahan sendiri dan langsung sebagai penggarap dengan luasan 0.25 - 1 ha.

Sebagian besar tanaman manggis dimiliki petani secara turun temurun, kondisi pertanaman manggis berada dalam hutan campuran, ditanam bersama dengan tanaman tahunan lainnya dengan jarak tanam yang tidak teratur. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah pemupukan, sangat sedikit yang melakukan penyiangan gulma dan aplikasi pestisida. Buah manggis hasil panen umumnya dijual ke pedagang pengumpul atau kelompok tani. Walaupun petani mengetahui standar mutu buah manggis, kegiatan sortasi tetap dilakukan oleh pedagang pengumpul atau kelompok tani.

Semua petani responden mengetahui adanya burik pada buah manggis dan menyadari bahwa burik sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas manggis. Walaupun mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% per kg akibat burik, petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (>75%) belum pernah mendapatkan informasi baik berupa penyuluhan ataupun pelatihan cara mengatasi burik pada buah manggis.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi buah buahan di Indonesia. Dikutip dari: http//www.bps.go.id/[23 Maret 2012].

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Profil Kawasan Manggis. Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura. Jakarta: Departemen Pertanian.

(45)

Poerwanto R, Dorly, Maad M. 2010. Getah kuning pada buah manggis. Di dalam: Utama IMS, Susila AD, Poerwanto R, Antara NS, Putra NK, Susustra KB, editor. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura Indonesia; Universitas Bali, 25-26 Nop. Universitas Udayana-Bali: Perhorti. hlm 225-260.

(46)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari perkembangan gejala burik, analisis jaringan buah dan padatan total terlarut buah yang bergejala burik serta intensitas dan distribusi buah bergejala burik. Penelitian kajian burik pada buah manggis dilaksanakan pada bulan Mei 2009-September 2010 di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengamatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala burik sudah terlihat pada buah berumur 1 minggu setelah anthesis (msa) dan kemunculan gejala burik yang paling banyak adalah pada buah berumur 2 msa. Intensitas gejala burik mengalami peningkatan dari buah berumur 1 msa hingga mencapai 51.40 - 52.57% ketika buah berumur 6 - 7 msa dan tidak ada pertambahan gejala burik hingga buah berumur 16 msa. Burik hanya merusak bagian kutikula dan eksokarp, dan tidak merusak bagian yang dapat dimakan. Buah manggis dengan gejala burik skor 4 memiliki nilai %Brix paling tinggi yaitu 16.53%. Sektor tengah tanaman merupakan penghasil buah bebas gejala burik terbanyak (7.13%) sekaligus juga penghasil buah terbanyak bergejala burik dengan skor tertinggi (8.60%).

Kata kunci: gejala burik, kerusakan jaringan, sebaran vertikal buah burik

Abstract

The aims of this study were to investigate the fruit scar appearance and development, to analyze tissue structure and the total dissolved solids of fruit with scar, to analyze the intensity and distribution of scar fruit as well. The study was conducted from May 2009 to September 2010 in Cengal Town, Karacak Village, Leuwiliang Subdistrict, Bogor District, West Java. Laboratory observation was conducted at Plant Anatomy Laboratory of Bogor Agricultural University. The result showed that fruit scar appeared in one week after anthesis (waa) and the highest appearance was in 2 waa. The intensity of fruit scar appearance increased to 51.40-52.57% in 6-7 waa, and there was no more increasing until 16 waa. The scar disrupted the fruit cuticle and exocarp only, not the edible part. The fruit with heavy scar (score 4) had 16.53%Brix. Of 7.13% fruits in the middle plant canopy were scar free, but then 8.60% of fruits in the same part were also with scar.

Keywords: fruit scar, tissue damage, vertical distribution

Pendahuluan

Ekspor buah manggis paling tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain

yang lebih banyak diproduksi. Persentase ekspor manggis Indonesia masih

rendah dibandingkan total produksi. Tahun 2009 produksi manggis Indonesia

(47)

2010). Buah manggis segar Indonesia sebagian besar diekspor ke China,

Hongkong, Timur Tengah dan Asia Timur (Deptan 2009).

Volume ekspor buah manggis yang masih rendah di antaranya diakibatkan

oleh rendahnya mutu sebagian besar buah. Sistem produksi buah manggis saat ini

masih tergantung pada alam, dengan skala usaha kecil dan lokasi pertanaman

terpencar serta minim sentuhan teknologi maju, sehingga kualitas buah yang

dihasilkan masih rendah (Deptan 2009). Secara garis besar permasalahan mutu

buah manggis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi (1) adanya burik pada

kulit buah, (2) getah kuning pada daging buah dan (3) rendahnya shelflife buah

(Poerwanto et al. 2010).

Burik merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah

manggis akibat adanya pelukaan sehingga menyebabkan kulit terlihat kusam.

Hasil pengamatan yang dilakukan di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan

Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menunjukkan bahwa intensitas gejala

burik mencapai 23.84%. Penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis

hingga saat ini belum diketahui secara pasti namun diduga karena aktifitas

serangga trips dan pernah dilaporkan oleh Pableo dan Velasco (1994), Affandi et

al. (2008) dan Pankeaw et al. (2011).

Gejala burik merupakan kerusakan yang berakibat langsung kepada

penurunan kualitas hasil. Kerusakan secara langsung oleh serangga dapat

diakibatkan karena aktifitas makan dan peletakkan telur. Kerusakan secara tidak

langsung karena aktivitas makan tapi bukan pada bagian yang dipanen dan

kontaminan exuvia serangga itu sendiri (Dent 2000).

Trips dilaporkan merupakan penyebab burik pada buah manggis (Pableo

dan Velasco 1994; Affandi et al. 2008; Pankeaw et al. 2011). Serangan pada

buah dapat menimbulkan kerusakan berupa adanya rautan (scabbing) pada kulit

buah yang dapat menghambat pertumbuhan buah, mengakibatkan penampilan

buah kurang menarik dan mengurangi harga jual. Serangan trips pada buah

manggis tidak mempengaruhi bagian yang dapat dimakan (edible portion), tetapi

adanya perubahan warna pada pemukaan buah yang mengakibatkan penurunan

kualitas (Pableo dan Velasco 1994). Kriteria yang ditetapkan dalam standar mutu

(48)

kelengkapan jumlah sepal yang berwarna hijau segar, tangkai buah berwarna hijau

segar serta bebas dari cacat dan kerusakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mempelajari kemunculan dan perkembangan gejala burik, dampak serangan pada

kualitas buah, intensitas gejala burik dan padatan total terlarut dari buah bergejala

burik.

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2009 hingga September 2010.

Pengamatan lapangan dilakukan di sentra produksi manggis di Kampung Cengal,

Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Pengamatan kerusakan jaringan buah bergejala burik dilakukan di Laboratorium

Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Kemunculan dan Perkembangan Gejala Burik

Studi terhadap kemunculan dan perkembangan gejala burik dilakukan

dengan cara mengikuti perkembangan buah yang dimulai setelah bunga mekar

hingga buah siap dipanen. Dipilih 5 pohon secara acak pada pertanaman manggis.

Pada setiap pohon ditentukan 10 bunga manggis sebagai contoh. Pengamatan

dilakukan seminggu sekali selama 16 minggu.

Untuk memperoleh buah dengan kriteria umur tersebut, bunga manggis

yang belum mekar sempurna diberi label. Setiap bunga yang diberi label dicatat

tanggal terjadinya mekar sempurna dalam suatu data base untuk mengetahui

perkembangan umur buah saat pengamatan dilakukan.

Pengamatan saat muncul gejala burik dilakukan dengan cara mengamati

gejala burik yang muncul pertama kalinya pada buah contoh. Pengamatan

dilakukan setiap minggu hingga munculnya gejala burik. Bersamaan dengan

pengamatan kemuculan gejala burik, diamati juga pola gejala burik untuk

mengetahui apakah ada preferensi tertentu dari penyebab burik terhadap bagian

dari buah manggis. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap bagian buah

yang menunjukkan gejala burik pertama muncul. Buah manggis dibagi menjadi

(49)

bawah yaitu dekat ujung buah (Gambar 4.1). Pengamatan dilakukan setiap

minggu bersamaan dengan pengamatan saat muncul gejala pertama.

Gambar 4.1. Pembagian posisi munculnya gejala burik pertama kali pada buah manggis (stem end, equator dan styler end)

Pengamatan perkembangan intensitas serangan dilakukan terhadap buah

manggis yang memperlihatkan gejala burik. Penilaian intensitas serangan

dilakukan setiap minggu hingga buah siap dipanen dengan menetapkan skala nilai

kerusakan seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Skala nilai kerusakan

Urutan skala (i) Skor (v) Skala kerusakan (%)

Intensitas gejala burik dihitung dengan rumus Townsend dan Hueberger

(dalam Unterstenhofer 1976) :

Keterangan :

n: jumlah buah yang terserang pada skor tertentu

(50)

N: total jumlah buah yang diamati

Z: nilai skor tertinggi

Analisis Kerusakan Jaringan Buah yang Bergejala Burik

Tujuan dari analisis jaringan buah yang terserang burik adalah untuk

mengetahui tingkat kerusakan jaringan kulit buah manggis akibat burik. Analisis

kerusakan jaringan dilakukan pada buah manggis yang memperlihatkan gejala

burik dengan nilai kerusakan lebih dari 50% dan buah yang tidak bergejala burik.

Buah manggis diperoleh dari hasil panen (16 msa) dari tanaman contoh.

Pengamatan anatomi dilakukan terhadap sediaan mikroskopis yang dibuat dengan

metode parafin (Johansen, 1940) dan dilanjutkan pengamatan dengan mikroskop

stereo.

Sediaan irisan transversal kulit buah manggis dibuat dengan metode

parafin. Kulit buah difiksasi di dalam larutan FAA (5 ml formalin, 5 ml asam

asetat glacial, 90 ml alkohol 50%). Selanjutnya dilakukan dehidrasi dan

embedding mengikuti metode Johansen (1940). Sampel yang telah difiksasi

selama 48 jam di dalam larutan FAA dicuci dengan cara direndam di dalam

alkohol 50% sebanyak 4 kali masing-masing selama 1 jam. Proses dehidrasi

dilakukan dengan merendam sampel di dalam seri Johansen (Lampiran 2).

Infiltrasi parafin ke dalam jaringan dilakukan secara bertahap dengan

menambahkan parafin beku ke dalam wadah yang berisi sampel, tertier butyl

alkohol dan minyak parafin, kemudian dibiarkan terbuka pada suhu ruang selama

1-4 jam. Sampel kemudian disimpan di dalam oven dengan suhu 60oC. Setelah

melalui infiltrasi, sample dimasukkan ke dalam parafin dan dibekukan (berbentuk

blok). Selanjutnya sampel yang ada di dalam blok dilunakkan dengan

merendamnya di dalam larutan Gifford (80 bagian alkohol 60%, 20 bagian asam

asetat glacial dan 5 bagian gliserin) selama 1 bulan. Sampel kemudian diiris

dengan ketebalan 10 µm dengan menggunakan mikrotom putar. Pita parafin hasil

pengirisan direkatkan pada gelas objek yang telah diolesi dengan perekat

albumin-gliserin dan dikeringkan di atas hotplate dengan suhu 40 oC selama 3 - 5 jam.

Selanjutnya dilakukan pewarnaan rangkap dua safranin 1% dan fastgreen 0.5%.

Gambar

Gambar 1.1.  Peta tahapan penelitian gejala burik pada buah manggis dan asosiasi
Tabel 3.1.  Persebaran petani menurut usia (%)
Tabel 3.5.  Jumlah pohon manggis yang diusahakan (%)
Tabel 3.9.  Pemupukan tanaman manggis (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis berharap dengan adanya Terapi Bermain Menggambar dan Mewarnai Gambar Alat Transportasi (truk) ini mampu menurunkan tingkat kecemasan anak usia prasekolah (3-6

Sama halnya dengan perhitungan metode modifikasi pada sistem resetting, insiden energi arc flash diperoleh dengan beberapa pertimbangan, antara lain berkurangnya

Mereka masih mempunyai kemampuan untuk dididik dalam bidang akademik yang sederhana (dasar) yaitu membaca, menulis dan berhitung. Anak mampudidik kemampuan maksimalnya

“ Adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung dan seksama pada pelaksanaan operasi perusahaan yang sejalalan dengan judul di atas

Pattern Analysis and Machine Intelligence , 23(11), pp. An experimental comparison of min-cut/ max-flow algorithms for energy minimization in vision. Maximal flow through a

Sedangkan kegiatan non-mengajar adalah kegiatan yang berkaitan di luar pembelajaran antara lain: observasi, konsultasi dengan dosen/guru pembimbing, membantu guru pembimbing

Tujuan dari penelitian ini adalah meng- identifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi dan identifikasi agen/penyebab risiko dalam kegiatan konstruksi bangunan gedung

interkoneksi yang dibagi dalam tiga sub pembahasan, yaitu, (1) proses pembelajaran IPA dan IPS dari kelas I, II dan III berbasis integrasi interkoneksi, (2)