• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfologi Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan tanaman tropis yang berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya kelapa sawit dikenal sebagai tanaman pangan yang penting oleh penduduk setempat. Tanaman ini dikembangkan sebagai tanaman perkebunan di Afrika Barat, Zaire, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia sangat pesat sejak tahun 1960 (Vaughan & Geissler 2009).

Pohon Kelapa Sawit terdiri dari dua spesies Arecaceae atau famili palmae

yang digunakan untuk pertanian komersil dalam pengeluaran minyak kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit menurut sistematika tumbuhan dimasukkan ke dalam divisi Trcheohyta, kelas Angiospermae, ordo Cocoida, famili Palmae,

genus Elaeis dan spesies Elaeis guineensis Jacq. Varietas kelapa sawit cukup

banyak dan diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu ketebalan cangkang dan warna buah. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dibagi menjadi tiga varietas, yaitu : Psifera (buah tanpa cangkang), Dura (buah bercangkang tebal, 2,0 - 8,0 mm), dan Tenera (bercangkang tipis 0,5 - 0,8 mm). Tenera merupakan hasil persilangan antara Dura dan Psifera (Turner dan Gillbanks 1988).

Kelapa sawit adalah tanaman berakar serabut yang sebagian besar berada dekat permukaan tanah yaitu pada kedalaman 15 - 30 cm (dangkal), sehingga peka terhadap cekaman kekeringan. Tanaman kelapa sawit berbatang tegak tidak bercabang, berdiameter 40 - 75 cm, tinggi batang dalam pembudidayaan tidak lebih 15 - 18 cm, berdaun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun mencapai 9 m dengan panjang helai daun mencapai 1,2 m berjumlah 100 - 160 pasang. jumlah pelepah yang dipertahankan dalam perkebunan kelapa sawit sekitar 30 - 50 pelepah (Sunarko 2009). Adapun standar pertumbuhan morfologi dan fisilogi bibit PT. Dami Mas dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu yaitu dalam satu pohon terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga tersusun dalam tandan. Tandan

5

bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam ketiak daun yang berbeda, sehingga persentase penyerbukan silang tinggi. Secara alami penyerbukan dilakukan oleh serangga dan angin. Tanaman kelapa sawit dilapangan mulai berbunga pada umur 12-14 bulan dan bisa dipanen pada umur 5 - 6 bulan, tetapi baru ekonomis untuk dipanen pada umur 2,5 tahun (Lubis 1992).

Bunga merupakan karangan bunga yang terdiri atas bunga jantan (tepung sari) dan bunga betina (putik). Beberapa pohon kelapa sawit hanya memproduksi bunga jantan saja. Umumnya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam tandan yang sama. Bunga jantan umumnya masak lebih dahulu daripada bunga betina, karena itu, penyerbukan sendiri sangat jarang terjadi. Masa reseptif (masa putik dapat menerima tepung sari) bunga kelapa sawit 3 x 24 jam. Setelah masa tersebut putik akan berwarna hitam dan mengering. Pada tanaman kelapa sawit muda (sampai umur 6 tahun), bunga betina tumbuh lebih banyak daripada bunga jantan, karena itu kelapa sawit muda membutuhkan bantuan penyerbukan oleh manusia (Satrosayono 2003).

Tanaman kelapa sawit mulai berbuah pada umur 3 - 4 tahun setelah tanam. Buah menjadi matang 5 - 6 bulan setelah penyerbukan, bergantung pada umur bibit yang ditanam, kesuburan tanah, iklim, dan teknik budidaya selama tanaman belum menghasilkan. Proses pematangan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi merah jingga

sewaktu buah telah matang (Fauzi et al. 2008).

Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit

Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa sawit antara 5 - 7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1.500 - 4.000 mm,

temperatur optimal 24 - 28 oC. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1

- 500 m di atas permukaan laut (dpl). Kelembaban optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80 - 90 % dan kecepatan angin 5 - 6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan (Pahan 2008).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0 - 5,5. Tanaman kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar,

6

berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak

lebih dari 15o. Kriteria sifat kimia tanah untuk pembudidayaan tanaman kelapa

sawit dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pembibitan Tanaman Kelapa Sawit

Faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tanaman di perkebunan kelapa sawit yaitu penggunaan bibit yang berkualitas. Hal tersebut diungkapkan Pahan (2008) bahwa investasi yang sebenarnya bagi perkebunan komersial berada pada bahan tanam (benih/bibit) yang akan ditanam, karena merupakan sumber keuntungan pada perusahaan kelak.

Penyediaan bibit yang baik dan sehat selama di pembibitan awal (pre nursery) maupun di pembibitan utama (main nursery) sangat besar pengaruhnya untuk pertumbuhan tanaman (Setiawibawa dan Widyastuti 1992). Untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam usaha peningkatkan luas areal penanaman kelapa sawit, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit yang dipergunakan untuk penanaman di lapangan agar diperoleh tanaman yang sehat dan berproduksi tinggi.

Pembibitan yang baik diharapkan akan dapat menghasilkan bibit yang baik dan bermutu. Bibit yang baik berarti mempunyai kekuatan tumbuh dan penampilan yang baik, sedangkan benih bermutu berarti mempunyai sifat genetik yang baik dan benar menurut varietasnya.

Bibit yang baik diharapkan lebih berkemampuan dalam menghadapi keadaan stress waktu dipindahkan ke lapang, dan tanggap terhadap input yang diberikan. Tanaman yang berasal dari bibit yang baik akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan cepat, dan pada akhirnya berproduksi lebih awal dan memberikan hasil yang lebih tinggi (Yahya 1992).

Untuk mendapatkan bibit yang baik diperlukan penanganan dan pemeliharaan tersebut diantaranya dengan pemberian pupuk yang tepat. Bibit kelapa sawit sangat cepat pertumbuhannya dan memerlukan banyak pupuk (Lubis 1992). Salah satu usaha yaitu dengan melakukan pemberian hara pada bibit

7

pertumbuhannya. Perlakuan pemberian zat makanan yang cukup terhadap pertumbuhan tanaman di lapangan dengan jalan pemupukan (Sukarji dan Tobing 1982).

Tahap pembibitan merupakan tahap paling awal pengelolaan tanaman kelapa sawit. Pada saat ini pembibitan kelapa sawit yang dianjurkan ialah

pembibitan pada kantong plastik (polybag) dengan 2 tahap (double stage system)

yaitu melalui pembibitan awal (pre-nursery) dan pembibitan utama (

main-nursery).

Pembibitan Awal (Pre-Nursery)

Kecambah kelapa sawit berakar tunggang dan pada tanaman dewasa berakar serabut yang membentuk anyaman yang rapat dan tebal. Pada tanaman dewasa akar primer tumbuh dari dasar batang, yang sebagian besar tumbuh mendatar. Pada akar primer ini tumbuh akar sekunder yang sebagian besar tumbuh mengarah ke permukaan tanah, kemudian dari akar sekunder tumbuh lagi akar tersier yang kebanyakan tumbuh horizontal, dan dari akar tersier tumbuh akar kuarter. Akar tersier dan kuarter inilah yang membentuk anyaman tebal dekat permukaan (Yahya 1992). Menurut Lubis (1992) akar tersier dan kuarter merupakan akar yang paling aktif mengambil air dan hara dari dalam tanah.

Masa pembibitan awal adalah sejak penanaman kecambah sampai bibit berumur tiga bulan. Adapun kondisi bibit di pembibitan awal dapat dilihat pada lampiran 3. Pada tahap pertumbuhan awal, keperluan unsur hara masih dapat disediakan dari cadangan makanan yang ada pada endosperm, selanjutnya secara berangsur-angsur tanaman mulai mengambil unsur hara dari dalam tanah (Sunarko 2009). Oleh karena itu, pada masa pembibitan awal tidak perlu diberikan pupuk kecuali bila ada kekurangan hara misalnya daun memucat. Pada pembibitan awal bila diberikan pupuk maka kemungkinan besar terjadi kontak langsung antara pupuk dengan daun sehingga dapat menyebabkan daun terbakar, disamping itu kebutuhan hara pada fase ini masih dapat disediakan oleh biji itu sendiri (Lubis 1992).

Pembibitan awal (pre - nursery) bertujuan untuk memperoleh bibit yang

8

nursery) Lokasi yang dijadikan sebagai tempat pembibitan awal yaitu dekat sumber air dan jalan, areal rata dengan drainase baik, jauh dari gangguan ternak, dan di dalam areal yang akan ditanami (Yahya 1992).

Cara pembibitan awal yang lazim digunakan yaitu cara pembibitan kantung plastik. Tanah media yang telah bersih dari kotoran dimasukkan ke dalam polybag. Benih yang telah berkecambah dan berakar ditanam sedalam 2 - 5 cm di tengah-tengah polybag dan dijaga agar akarnya tidak patah. Bibit yang telah dipindahkan ke polybag ditempatkan di bawah naungan dan sedikit demi sedikit intensitas cahaya yang masuk ditingkatkan. Penyiraman dilakukan pagi dan sore. Setelah 3 bulan di pembibitan pendahuluan kemudian dilakukan seleksi bibit. Bibit yang tumbuh kerdil dan abnormal dibuang, dan sisanya dipindahkan ke pembibitan utama setelah mempunyai 3 - 4 helai daun (Lubis 1992).

Pembibitan Utama (Main - Nursery)

Pembibitan utama (main nursery) bertujuan agar bibit sudah cukup kuat

dan besar sebelum ditanam di lapangan, dan agar pertumbuhan bibit seragam. Pembibitan utama ini menggunakan polybag besar, dengan ukuran 40 cm x 50 cm dan tebal 0,02 cm (Yahya 1992). Media tanam yang digunakan sebaiknya adalah

tanah yang berkualitas baik, misalnya tanah bagian atas (top soil) pada ketebalan

10 - 20 cm. Persiapan media pembibitan awal dan kondisi bibit di pembibitan utama dapat dilihat berturut - turut pada Lampiran 4 dan 5. Tanah yang digunakan harus memiliki struktur yang baik, gembur, serta bebas kontaminasi (hama dan penyakit, pelarut, residu dan bahan kimia). Bila tanah yang akan digunakan kurang gembur dapat dicampur pasir dengan perbandingan pasir : tanah 3:1 (kadar pasir tidak melebihi 60 %). Sebelum dimasukkan ke dalam polybag, campuran tanah dan pasir diayak dengan ayakan kasar diameter 2 cm. Proses pengayakan bertujuan untuk membebaskan media tanam dari sisa - sisa kayu, batuan kecil dan material lainnya (Bintoro 1988).

Pemupukan

Pupuk merupakan bahan alami atau buatan yang mengandung unsur - unsur kimia yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

9

Sedangkan pemupukan dimaksudkan sebagai pemberian zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan serta meningkatkan hasil tanaman. Secara umum dapat dikatakan manfaat pupuk adalah untuk menyediakan unsur hara yang kurang atau tidak tersedia di dalam tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Pemupukan merupakan usaha pemberian unsur hara pada tanaman untuk memperoleh tanggap tanaman yang optimal. Unsur hara yang diberikan sebaiknya merupakan tambahan bagi unsur yang sudah ada dalam tanah sehingga jumlah yang tersedia dalam tanah bagi tanaman terdapat dalam perbandingan yang tepat (Setyorini et al. 2003).

Menurut Pahan (2008), pemberian pupuk dengan campuran unsur N,P,K akan berpengaruh sangat baik terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Aplikasi pupuk N,P,K yang efektif dan efisien bila diberikan dalam dosis rendah secara kontinu. Pemupukan yang dilakukan adalah pemupukan dengan unsur nitrogen, fosfor, dan kalium. Unsur N diperoleh dari pupuk Urea, unsur P dari SP36, dan unsur K dari pupuk KCl.

Nitrogen (N) merupakan unsur utama pembentuk protoplasma sel, asam amino, protein, amida, alkaloid, dan klorofil. Nitrogen diserap oleh akar tanaman

dalam bentuk anorganik yaitu amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Nitrat

merupakan ion yang sangat mobil di dalam tanah, hal ini disebabkan oleh sifatnya yang mudah larut dan tidak terjerap (adsorpsi) oleh koloid tanah (Geisler & Venema 2011). Unsur hara N bergerak menuju permukaan akar melalui

mekanisme aliran massa (98,8 %) (Marschner 1995). Setelah serapan terjadi, NO3

-yang berada dalam sitoplasma sebagian kecil disimpan dalam vakuola dan sisanya

direduksi menjadi bentuk ion NO2- kemudian masuk ke dalam organel plastida

akar dan diubah lagi dalam bentuk NH4+. Ion NH4+ ini bergabung dengan senyawa

organik (glutamin) untuk membentuk asam amino yang digunakan sebagai dasar

molekuler untuk pertumbuhan dan perkembangan (Rubio et al. 2009).

Aplikasi nitrogen yang berlebihan dapat mengakibatkan pencemaran air

tanah dan air sungai melalui runoff dan leaching (Goh & Hardter 2003).

Kekurangan unsur nitrogen (N) menyebabkan warna daun yang hijau menjadi agak kekuningan selanjutnya berubah menjadi kuning. Jaringan daun mati dan

10

inilah yang menyebabkan daun selanjutnya menjadi kering dan berwarna merah kecoklatan.

Fosfor (P) berperan dalam setiap proses fisiologis tanaman, baik yang menyangkut pertumbuhan vegetatif maupun generatif. Fungsi lain unsur ini adalah membentuk ikatan fosfolipid dalam minyak. Ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Ketersediaan P maksimum antara pH 5,5 dan 7,5. Tanah masam ( pH < 5,5) menyebabkan kelarutan Al dan Fe tinggi sehingga dapat berpresipitasi dengan P dan menghambat ketersediaan P. Pada kondisi salin ( pH > 7,5 ) Ca yang tinggi dapat mengikat P sehingga ketersediaannya menurun (White 2006). Mobilitas ion - ion P dalam tanah sangat rendah karena retensinya

dalam tanah sangat tinggi. Oleh karena itu recovery rate dari pupuk P sangat

rendah antara 10 - 30 %, sisanya 70 – 90 % tertinggal dalam bentuk immobil atau

hilang karena run off (Leiwakabessy & Sutandi 2004).

Tanaman memperoleh P dalam bentuk P anorganik (Pi). Reaktivitas Pi yang tinggi dengan kation dalam tanah dan perubahan yang cepat ke bentuk-bentuk organik oleh mikroba yang menyebabkan Pi pada umumnya tidak tersedia

bagi tanaman (Bunemann et al. 2011). Fosfor digunakan sepenuhnya dalam

bentuk teroksidasi dan terhidrasi sebagai orthophosphate. P diabsorpsi oleh akar tanaman dari larutan tanah sebagian besar dalam bentuk ion ortofosfat primer

(H2PO4-) dan sebagian kecil dalam bentuk ion ortofosfat sekunder ( HPO42- ).

Serapan kedua ion tersebut bergantung pada pH di sekitar akar. Pada pH tanah

rendah bentuk H2PO4- lebih banyak diserap daripada bentuk HPO42-, dan pada

pH tinggi terjadi hal sebaliknya (Barker & Pilbeam 2007).

Kahat P dalam tanaman akan memperlambat proses pertumbuhan akar, tanaman kerdil, daun warna gelap dan tegak kemudian menjadi keungu - unguan dan umur panen lambat hal ini karena proporsi asimilat untuk pertumbuhan akar yang dialokasikan lebih besar dibandingkan dengan pucuk (Goh & Hardter 2003). Kalium (K) merupakan unsur hara utama ketiga setelah N dan P. Kalium

mempunyai valensi satu dan diserap dalam bentuk ion K+. Kalium tergolong

unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam jaringan tanaman, maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat dalam sitoplasma.

11

Unsur hara Kalium sangat penting untuk tanaman kelapa sawit, karena unsur K paling banyak ditransfer ke tandan buah. Pada tanaman muda, unsur kalium nyata memperbesar perkembangan batang dan mempercepat pertumbuhan vegetatif. Pemupukan kalium pada tanah yang kandungan pasirnya tinggi bisa meningkatkan produksi tandan kelapa sawit.

Kalium berperan sebagai pengatur proses fisiologi tanaman seperti

fotosintetis, akumulasi, translokasi, transportasi karbohidrat, membuka

menutupnya stomata, atau mengatur distribusi air dalam jaringan dan sel. Kekurangan unsur ini menyebabkan daun seperti terbakardan akhirnya gugur

(Bunemann et al. 2011 ).

Tandan Kosong Kelapa Sawit ( TKKS )

Pabrik kelapa sawit banyak menghasilkan limbah padat terutama tandan kosong kelapa sawit yang merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan setiap

ton tandan buah segar (TBS) (Darmosarkoro et al. 2007). Sebagian pabrik kelapa

sawit memanfaatkan tandan kosong untuk diproses menjadi pupuk oleh karena jumlah tandan kosong ini cukup banyak yaitu sebanyak 20 % dari jumlah tandan buah sawit yang diolah serta kandungan kalium yang cukup tinggi mencapai 40,1 % (Naibaho 1998).

Susanto et al (2005) menyatakan bahwa tandan kosong sawit (TKS)

merupakan bahan organik yang mengandung 0,80 % N, 0,22 % P2O5, 2,90 %

K2O 42,8 % Ca, 0,30 % MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23

ppm Cu, dan 51 ppm Zn. Adapun hasil analisis amelioran tandan kosong dan abu

janjang kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 6. Menurut (Darmosarkoro et al.

2007) tandan kosong sawit mempunyai kadar C/N yang tinggi yaitu 45 - 55, hal

ini dapat menurunkan ketersediaan N pada tanah karena N terimobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Untuk itu dilakukan usaha penurunan kadar C/N dengan proses pengomposan sampai kadar C/N mendekati kadar C/N tanah sehingga tandan kosong kelapa sawit yang telah dikomposkan (C/N sekitar 15) menjadi lebih baik untuk digunakan sebagai bahan pembenah media tanam sub soil yang kurang subur pada pembibitan kelapa sawit dan dapat menggantikan fungsi top soil.

12

Tandan kosong kelapa sawit banyak mengandung lignoselulosa dengan penyusun utama selulosa 45,95 %, hemiselulosa 22,84 % , dan lignin 16,49 %,

abu 1,23 %, Nitrogen 0,53 %, minyak 2,41 %, (Darmosarkoro et al. 2007). Kadar

selulosa, hemiselulosa dan lignin yang tinggi menyebabkan pengomposan tandan kosong kelapa sawit memerlukan waktu yang lama yaitu 3 bulan.

Limbah tandan kosong kelapa sawit digunakan sebagai bahan organik bagi pertanaman kelapa sawit secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung ialah dengan menggunakan tandan kosong sawit sebagai mulsa sedangkan secara tidak langsung dengan mengomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk organik. Bagaimanapun juga, pengembalian bahan organik kelapa sawit ke tanah akan menjaga pelestarian kandungan bahan organik lahan kelapa sawit demikian pula hara tanah. Selain itu, pengembalian bahan organik ke tanah akan dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama berperan dalam memperbaiki struktur tanah, mempengaruhi populasi mikroba tanah yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan dan kualitas tanah. Aktivitas mikroba akan berperan dalam menjaga stabilitas dan

produktivitas ekosistem alami, demikian pula ekosistem pertanian ( Barea et al.

2005 ).

Kebutuhan hara yang besar untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas tanaman kelapa sawit menjadikan anggaran untuk pemupukan menjadi besar, selain hal itu pengelolaan perkebunan kelapa sawit dewasa ini diharuskan memperhatikan kelestarian lingkungan dan isu global perusahaan modern tanpa limbah. Salah satu langkah untuk menuju pengolahan tanpa limbah adalah pemanfaatan limbah kelapa sawit berupa tandan kosong kelapa sawit (TKS) sebagai sumber hara K dan digunakan sebagai bahan pembenah tanah baik untuk perkebunan maupun pertanian.

Hasil penelitian (Susanto et al. 2005) menunjukkan bahwa aplikasi 80%

pupuk standar ditambah 15 ton kompos tandan kosong sawit/ha cenderung menaikkan jumlah tandan. Sedangkan perlakuan pupuk standar 90% ditambah kompos tandan kosong sawit 20 ton/ha dapat meningkatkan rerata berat tandan. Selanjutnya pemberian tandang kosong 50 % dapat meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah pelepah sebesar 16,81 dan 3,17 pelepah.

13

Abu Janjang Kelapa Sawit

Amelioran abu janjang (fly ash) adalah abu sisa pembakaran tandan kosong kelapa sawit, cangkang sawit yang tidak memiliki nilai ekonomis. Abu janjang kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai amelioran untuk membenahi

sifat kimia tanah karena abu janjangmemiliki pH yang tinggi dengan kisaran 11 -

12. Abu janjang kelapa sawit mengandung unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dan mengandung logam - logam berat yang tidak dapat mencemari lingkungan serta tidak bersifat racun yang membahayakan tanah dan tanaman (Rini 2005).

Guna meningkatkan produktivitas tanah sehingga dapat memberikan hasil optimal diperlukan suatu pengolahan yang tepat dan efisien. Salah satunya adalah dengan pemberian amelioran. Secara umum pemberian amelioran ke dalam tanah bertujuan untuk menetralkan asam organik (asam fenolat dan asam-asam karboksilat) yang bersifat meracun, pengaruh yang nyata terhadap kimia tanah adalah meningkatnya pH tanah sehingga reaksi tanah mengarah ke netral dan di lain pihak dapat memperbaiki kandungan unsur hara tanah.

Hasil penelitian Panjaitan et al. (1983) bahwa abu janjang sawit

mempunyai kandungan unsur hara Kalium yang tinggi, disamping kandungan unsur hara lain seperti Fosfor dan Magnesium. Sementara itu abu janjang sawit

menurut Nainggolan (1992) mengandung Silika (SiO2) 3,33 %, Calcium Oksida

(CaO) 5,85 %, Magnesium Oksida (MgO) 2,63 %, Alumunium Oksida (Al2O3)

4,71%, Feri Oksida (Fe2O3) 18,34 %, Sulfur Tri Oksida (SO3) 3,0 %, Natrium

Oksida (Na2O) 1,8 %, Kalium Oksida (K2O) 27,26 %. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hanibal et al. (2001) abu janjang sawit mengandung unsur hara,

seperti : N-Total 0,05 %, P2O5 4,79 %, K2O 36,48, MgO 2,63 %, CaO 5,46 %,

Mn 1,230 ppm, Fe3 450 ppm, Cu 183 ppm, Zn 28 ppm dan pH 11,9 - 12,0.

Pemberian abu janjang sawit dengan dosis yang meningkat diharapkan dapat menurunkan kejenuhan Alumunium yang tergolong tinggi pada Ultisol, dapat menyumbangkan unsur hara K, Mg dan Ca untuk tanaman jagung, dapat meningkatkan pH dan basa-basa di dalam tanah serta dapat berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas tukar kation efektif serta kejenuhan basa.

14

Pemberian abu janjang kelapa sawit dengan dosis 10, 20, 30, 40 dan 50 gram per 8 kg tanah Ultisol kering oven dapat meningkatkan kation - kation basa dapat ditukar seperti : K - dd dari 0,30 menjadi 0,70, 1,13, 1,20, 2,90 dan 3,01 me/100 g. Ca - dd dari 0,81 menjadi 0,87, 0,90, 0,96, 1,30 dan 1,36 me/100 g. Mg - dd dari 0,30 menjadi 0,40, 0,56, 0,60, 1,10 dan 1,20 me/100 g. Kejenuhan basa dari 17,25 menjadi 17,25, 23,00, 30,00, 31,75, 55,00 dan 59,75%. Serta penurunan Al-dd dari 1,02 menjadi 0,63, 0,39, 0,25, 0,05 dan tak terukur (Sylvia 1992).

Penelitian yang dilakukan oleh Mukhlis (1990) melaporkan bahwa pemberian abu janjang sawit pada tanah Podsolik dapat menurunkan Al-dd dari 0,90 menjadi 0,38 ; 0,36 ; 0,32 ; dan 0,30 (me/100 g) dengan dosis 1,9 ; 3,8 ; 5,7 dan 7,6 (gram per 1 Kg tanah kering oven).

Pemberian abu janjang kelapa sawit dengan dosis 20 g per 8 kg tanah Ultisol yang diinkubasi selama 2 minggu dapat meningkatkan pH tanah dari pH 4,32 menjadi pH 5,5. Ketersediaan unsur hara didalam tanah seperti K-dd, Ca-dd, dan Mg-dd juga meningkat serta kandungan Al-dd tanah dapat diturunkan

(Hanibal et al 1995).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmad (1993) pemberian

abu janjang sawit dengan dosis : 1,5 ; 3,0 ; 4,5 dan 6,0 kg per 9 m2 dapat

meningkatkan nilai pH, yaitu : 5,5 ; 5.9 ; 6,30 ; 6,62 ; dan 6,87. Dari dosis

tertinggi yang digunakan, yaitu : 6,0 kg per 9 m2 diperoleh hasil 43,71 gram per

15

Dokumen terkait